Jumat, 10 Desember 2010

MENGHANCURKAN KEMUSTAJABAN DOA


Betapa banyaknya orang yang berdoa sambil menghancurkan kemustajaban doanya sendiri. Dia mengira, berdoa hanya sebatas ibadah verbal alias kata-kata. Dia lupa, bahwa Allah menilai keseriusan doa itu sampai ke perbuatannya. Bagaimana mungkin Allah mengabulkan doa seseorang, ketika perbuatan orang itu berlawanan dengan kata-katanya?

Menurut Anda, apakah Allah akan mengabulkan doa seseorang yang berdoa minta sehat, sementara setiap saat dia tidak menjaga kesehatannya? Setiap pagi sampai malam makannya berlebihan. Kandungan gizinya juga sangat buruk, penuh kolesterol, purin, gula kadar tinggi, dan berbagai toksin kesehatan. Juga tidak pernah berolahraga, ritme hidupnya tidak beraturan, dan selalu negative thinking dalam bersikap. Singkat kata, pola makan dan pola hidupnya buruk. Mustajabkah doanya?

Menurut Anda, akan terkabul jugakah jika kita berdoa minta rezeki, tetapi sambil bermalas-malasan? Memutuskan hubungan silaturahim, yang kata Nabi adalah sebagai jembatan datangnya rezeki. Tidak mau belajar untuk memiliki keahlian yang dibutuhkan oleh lingkungannya. Tidak bisa bekerjasama dengan orang lain dalam bekerja. Dan segala sikap, yang justru menyebabkan pintu-pintu rezekinya tertutup. Bakal dikabulkankah doa yang dia lantunkan sepanjang pagi sampai malam untuk memperoleh rezeki?

Menurut Anda, akan dikabulkankah doa orang ini: ia ingin hidupnya damai penuh kebahagiaan, tetapi setiap hari kerjaannya mencari musuh. Dengan tetangga bertengkar. Dengan istri atau suami bertengkar. Dengan anak-anaknya juga suka bertengkar. Dan kepada siapa saja tidak bisa berprasangka baik. Akankah Allah memberikan kedamaian hidup kepadanya?

Sahabat, seringkali kita salah kaprah dalam berdoa. Kita mengira doa hanya sabatas kata-kata. Padahal doa adalah sebuah permohonan yang diekspresikan secara total kepada Sang Maha Berkuasa lagi Maha Bijaksana. Berdoa dengan hati, berdoa dengan pikiran, berdoa dengan mulut, dan berdoa dengan perbuatan, seluruhnya menyatu dalam permohonan yang tulus kepada Allah. Dia sungguh Maha Mengetahui siapa-siapa yang berdoa dengan sungguh-sungguh. Bukan ’pura-pura’, atau hanya formalitas belaka.

Begitu sering kita mendengar doa yang sangat panjang. Kadang sampai lebih dari satu jam. Segala macam dimintanya kepada Allah. Mulai dari rumah, mobil, istri, anak, saudara, sahabat, tetangga, bisnis, sampai kekuasaan. Setelah itu dia berdiam diri, atau setidak-tidaknya tak melakukan usaha keras untuk mencapai isi doanya. Dan, lebih suka menunggu datangnya ’keajaiban’ dari Tuhan Yang Maha Pemurah... :(

Ada dua hal yang mesti kita introspeksi dari doa yang semacam itu. Yang pertama, kita terkesan serakah. Segala macam diminta. Dan yang kedua kita tidak serius dalam berdoa, karena hanya berharap kepemurahan-Nya tanpa melakukan usaha yang sesuai. Kata orang sekarang: bossy, alias sok ’ngeboss’ – tinggal suruh sana suruh sini. Padahal yang dihadapinya adalah Tuhan. Jangan memerintah Tuhan, sehalus apa pun..! Karena Allah ’lebih suka’ membantu usaha Anda, daripada mengabulkan orang yang tidak punya etika dalam berdoa karena hanya ’main perintah’ kepada Tuhannya. Jangan salah mempersepsi dan bersikap atas sifat Maha Pemurah-Nya...

QS. Al Israa’ (17): 20
Kepada masing-masing golongan, baik golongan ini (yang berusaha mengejar dunia) maupun golongan itu (yang berusaha meraih akhirat) Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi.

Doa yang hanya ’bermodal’ kata-kata, seringkali tidak mustajab. Kecuali orang-orang yang tak berdaya atau sedang teraniaya. Allah sangat memperhatikan hamba-hamba-Nya yang sedang menderita itu. Tetapi, bagi yang cuma suka ’main perintah’ dan mendikte Tuhan, siap-siaplah ’gigit jari’... :)

Berdoa yang hanya verbal, memiliki berbagai syarat agar terkabul. Memang Allah Maha Mengabulkan doa. Dan selalu memotivasi kita untuk berdoa hanya kepada-Nya. Akan tetapi jika tidak terpenuhi syaratnya, tentu saja doa itu menjadi tidak terkabulkan dengan sendirinya.

QS. Al Baqarah (2): 186
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman (yakin) kepada-Ku, mudah-mudahan mereka berada di jalan yang benar (on the right track).

Allah sangat dekat dengan kita. Dan Dia akan mengabulkan doa semua orang yang memohon hanya kepada-Nya. Asalkan: memenuhi segala perintah dan menjauhi larangan-Nya, serta beriman alias yakin kepada-Nya. Dan, dua persyaratan itu masih ditutup dengan kalimat: mudah-mudahan mereka menjalankannya dengan benar.

Jadi, sudah diberi syarat harus total dalam berdoa (bukan hanya verbal), masih ditambahi dengan ungkapan ’mudah-mudahan’ sudah benar caranya. Artinya, terkabulnya sebuah doa yang hanya sebatas ’kata-kata permohonan’ itu masih jauh dari dikabulkan. Berbeda dengan orang yang berdoa dengan cara ’bersyukur’.

Apakah bersyukur itu termasuk doa? Ternyata, iya. Karena kepada orang yang bersyukur, Allah berjanji akan menambahkan kenikmatan baginya. Sesuai dengan firman-Nya yang sangat populer berikut ini.

QS. Ibrahim (14): 7
Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".

Jadi, orang yang bersyukur, ia sebenarnya sedang berdoa kepada Allah tanpa menggunakan kalimat meminta. Apalagi kalimat perintah. Karena, Allah menjanjikan kepada kita bahwa siapa saja bersyukur, otomatis Dia akan menambahkan barokahnya.

Jadi, jika Anda mensyukuri rezeki-Nya yang telah dikaruniakan kepada Anda, maka Allah akan menambahkan kenikmatan atas rezeki itu. Seketika. Yakni, saat Anda dijalari oleh perasaan syukur yang sesungguhnya. Tapi, jika syukurnya hanya pura-pura, tentu saja Anda tidak akan merasakan kenikmatannya. Dan, ketika Anda merasa nyaman serta merasa nikmat dengan rasa syukur itu, otomatis Anda sedang positive thinking kepada segala variabel kebaikan di sekitar Anda.

Maka, saat itu juga segala faktor kebaikan akan mendatangi Anda, dan menjadikan kebaikan itu berlipat ganda. Ini sudah dibuktikan oleh penelitian psikologi modern, bahwa positive thinking dan positive feeling ternyata akan memicu bekerjanya mekanisme positip alam semesta yang disebut sebagai servo-mechanism alam bawah sadar. Atau yang dalam Islam disebut sebagai sunnatullah. Bahwa getaran positip akan meresonansi variabel-variabel positip alias kesuksesan, dan sebaliknya getaran negatif akan memicu aktifnya variabel-variabel negatip alias kegagalan.

QS. Asy Syuura (42): 23
... Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri (membalas kebaikan).

QS. Luqman (31): 12
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".

Maka, bersyukur memiliki kemustajaban lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berdoa sekedar meminta dengan kata-kata. Karena, bersyukur adalah ungkapan tulus dari hati yang paling dalam, terucap dalam kata-kata, dan kemudian dijalankan dengan perbuatan. Karena itu, Allah berfirman di dalam Al Qur’an bahwa cara bersyukur yang baik adalah pengakuan tulus atas Kepemurahan Allah yang diikuti dengan kerja keras.

QS. Saba’ (34): 13
...Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang (bisa) berterima kasih.

Kalau kita mencermati QS. 14: 7, maka kita akan memperoleh informasi tentang kepastian bahwa Allah akan memberikan tambahan kenikmatan kepada orang yang bersyukur: la insyakartum laaziydannakum ~ jika kamu benar-benar bersyukur, Aku benar-benar akan menambahkan (apa yang kamu syukuri itu).

Penggunaan kata la’ pada ayat di atas adalah bersifat penegasan, bahwa siapa bersyukur dengan sungguh-sunguh, pasti Allah aka menambahkan nikmat kepadanya. Tanpa syarat lagi. Ini berbeda dengan orang yang berdoa alias ’memohon’ secara verbal. Tidak ada kepastian akan dikabulkan, kecuali telah memenuhi syarat dalam berdoa.

Jadi, bersyukur menjadi pilihan cara berdoa yang lebih baik dibandingkan dengan sekedar berdoa verbal. Sehingga, kalau Anda ingin sehat, sebenarnya nggak usah banyak-banyak berdoa secara verbal kepada Allah, cukup banyak-banyaklah bersyukur kepada-Nya atas kesehatan yang telah Anda terima sambil terus menjaga pola makan dan pola hidup Anda. Maka, pasti Allah akan menambahkan kualitas kesehatan Anda. Karena sudah berbuat sesuai dengan sunnatullah.

Jika Anda ingin rezeki yang membahagiakan, juga nggak usah berdoa dengan cara memohon kepada-Nya sambil menunggu ’keajaiban’ tanpa mengusahakannya. Karena Allah lebih suka membantu orang yang bekerja keras mencari rezeki-Nya sambil terus bersyukur atas nikmat yang telah dikaruniakan-Nya. Dan seterusnya. Dan sebagainya.

Dan, yang paling hebat dibandingkan dengan kedua cara di atas adalah berdoa dengan melakukan ’amal kebajikan’. Tidak pakai memohon atau apalagi memerintah Allah, melainkan langsung beramal kebajikan sebanyak-banyaknya. Maka, Allah berjanji memberi balasan berlipat ganda di sisi-Nya, tanpa hitungan lagi.

QS. Al Mukmin (40): 40
... Dan barangsiapa mengerjakan amal kebajikan, laki-laki maupun perempuan, sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab (tanpa hitungan).

QS. Saba’ (34): 37
... orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal kebajikan, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (derajatnya).

Maka, doa adalah sebuah harapan akan pertolongan Allah yang disampaikan dengan sepenuh hati dan setulus-tulusnya, disertai dengan usaha untuk menggapainya sambil bertawakal kepada-Nya.

QS. Alam Nasyrah (94): 7-8
Maka apabila kamu telah selesai (mengerjakan suatu urusan), (segera) kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan (hasilnya) hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.

QS. Ash Shaaffaat (37): 61
Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja.

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 9 Desember 2010 pukul 15:11


Kamis, 09 Desember 2010

PERGESERAN MAKNA ’KAMI’ & ’AKU’


Kalau Anda membuka kamus besar Bahasa Indonesia pada kata ’salah’, maka Anda akan menemukan salah satu penggunaannya terdapat pada kata ’salah kaprah’. Dan jika Anda teruskan membacanya, maka salah satu contoh salah kaprah itu adalah penggunaan kata ’kami’ untuk menggantikan kata ’aku’, dengan maksud untuk menghaluskan makna. Ringkas kata, menurut kamus tersebut, penggunaan kata ’kami’ untuk menghaluskan ’aku’ adalah salah kaprah.

Salah kaprah pengunaan kata ’kami’ dan ’aku’ dalam bahasa Indonesia itu kemudian merembet ke bahasa Arab. Tetapi Arab yang made in Indonesia. Karena, hal itu memang tidak pernah kita temui di bahasa aslinya, yang dipakai di negara-negara berbahasa Arab, seperti Arab Saudi atau pun Mesir. Mereka tidak mengenal penggunaa kata ganti nahnu (kami) sebagai pengganti ana (aku). Dan antum (kalian) sebagai penganti anta (engkau).

Di kalangan mahasiswa Indonesia pengguna bahasa Arab – baik yang masih berada di Indonesia – maupun yang sudah berada di Mesir, sebagiannya masih menggunakan ungkapan itu. Misalnya, ketika berkata kepada gurunya ataupun orang yang dihormati. Mereka menggunakan kata ’antum’ untuk membahasakan ’Anda’. Karena khawatir kalau menggunakan ’anta’ (engkau) dianggap kasar.

Padahal dalam kaidah bahasa Arab tidak ada aturan seperti itu. Antum hanya digunakan untuk menyebut ’kalian’ yakni ’kamu’ tapi dalam jumlah yang lebih dari dua orang. Misalnya tiga orang atau lebih. Sehingga, kalau kita menggunakan kata ’antum’ untuk menyebut satu orang di Mesir, kita akan diketawai oleh orang Arab Mesir. ’’Hah, antum? Ana musy aktsar min itsnain..!’’ begitu kata orang Mesir. ’’Hah, antum. Saya kan tidak lebih dari dua orang..?’’

Orang Mesir, kalau ingin menghaluskan ungkapannya kepada seseorang yang dihormati, bukan dengan mengganti kata anta menjadi antum atau ana menjadi nahnu, melainkan dengan sebutan penghormatan, seperti: hadratuka disingkat menjadi hadratak atau Siyadatuka disingkat Siyadtak. Keduanya memiliki makna ’Anda yang terhormat’. Atau menambahkan sebutan penghormatan di belakang kata anta, seperti: anta, ya basya atau anta, ya sayyid.. yang bemakna engkau, wahai Tuan. Dan lain sebagainya.

Jangankan kepada manusia, kepada Allah pun mereka berdoa dengan menggunakan dhomir (kata ganti) anta, bukan antum. Misalnya, Allahumma anta salam waminka salam... (Ya Allah Engkaulah kedamaian dan dari Engkaulah bersumber kedamaian...). Atau kepada rasulullah SAW: assalamualaika ayyuhannabi... (Kedamaian untukmu wahai Nabi ...) Begitulah memang, ketika sebutan itu hanya tertuju kepada satu orang, seperti saat kita berucap salam kepada Nabi dalam shalat.

Penggunaan kata ganti antum untuk menghaluskan anta, dan nahnu untuk menghaluskan ana dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Yakni, panjenengan untuk menggantikan kata ’kowe’ bagi orang yang dihormati. Dan kawula untuk menggantikan kata aku. Dalam bahasa Indonesia pun dikenal istilah ’Anda’ dan ’saya’, yang dianggap lebih halus dibandingkan ’kamu’ dan ’aku’.

Namun, dalam bahasa Arab tidak demikian. Bahasa Arab adalah bahasa yang egaliter dan menghargai kesederajatan dalam menggunakan kata ganti. Sehingga kata ganti ’ana’ (aku) akan berlaku untuk semua pelaku tunggal, sedangkan ’nahnu’ (kami) untuk pelaku jamak. Demikian pula ’anta’ (engkau)untuk tunggal, dan ’antum’ (kalian) untuk jamak. Karena itu, dalam ayat berikut ini meskipun Ibrahim berkata kepada Allah, dia tetap menggunakan kata ’aku’ dan ’Engkau’.

QS. Al Baqarah (2): 131
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku berserah diri (aslamtu) kepada Tuhan semesta alam".

QS. Al Baqarah (2): 260
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku (arini) bagaimana Engkau menghidupkan (tuhyi) orang mati" ...

Dalam bahasa Arab, ada lagi yang memiliki penerapan berbeda dengan bahasa Indonesia yakni Qala (berkata). Ini berlaku untuk siapa saja. Mulai dari orang awam, nabi dan rasul, bahkan Allah. Tetapi, dalam bahasa Indonesia dibedakan menjadi: kita berkata, Nabi bersabda, Allah berfirman. Tentu, kalau yang demikian ini dipaksakan akan terjadi pergeseran makna.

Berikut ini saya kutipkan ayat di atas selengkapnya, yang menunjukkan qala diterjemahkan dengan istilah yang berbeda-beda dalam bahasa Indonesia, menjadi: ’berkata’ dan ’berfirman’.

QS. Al Baqarah (2): 260
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata (qala): "Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati". Allah berfirman (qala): "Belum yakinkah kamu?". Ibrahim menjawab (qala): "Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)". Allah berfirman (qala): "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cingcanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera". Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ada lagi kata ’wahyu’, yang dalam bahasa Indonesia tidak boleh digunakan sembarangan, kecuali untuk para nabi. Yakni, firman Allah yang disampaikan kepada Nabi dan Rasul. Orang yang lebih rendah derajatnya, tidak boleh menggunakan istilah ’wahyu’ karena akan dianggap menyetarakan diri dengan nabi. Untuk orang awam, paling tinggi hanya boleh menggunakan kata ’ilham, intuisi’ atau ’inspirasi’.

Padahal dalam al Qur’an, istilah ’wahyu’ adalah istilah umum yang digunakan kepada malaikat, nabi, orang biasa, lebah, dan alam semesta. Dalam kebanyakan kitab terjemah,’wahyu’ diterjemahkan dengan istilah ’ilham’ ketika digunakan untuk orang biasa. Ini disebabkan terbawa oleh rasa bahasa Indonesia tersebut.

QS. Al Anfaal (8): 12
(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan (yuhi) kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman". Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.

QS. An Nahl (16): 123
Kemudian Kami wahyukan (auhaina) kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif". dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.

QS. Al Maa-idah (5): 111
Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan (auhaitu) kepada pengikut 'Isa yang setia: "Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku". Mereka menjawab: "Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)".

QS. Al Qashash (28): 7
Dan Kami ilhamkan (auhaina) kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.

QS. An Nahl (16): 68
Dan Tuhanmu mewahyukan (auha) kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia".

QS. Fush shilat (41): 12
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan (auha) pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.

Maka, kita harus mengembalikan makna bahasa sesuai fungsi dalam bahasa aslinya, supaya tidak terjadi pergeseran makna yang terlalu jauh. Penggunaan kata ’Kami’ dan ’Aku’ sebagai kata ganti Allah adalah hal yang paling banyak dipertanyakan. Ada yang berpendapat bahwa penggunaan kata ’Kami’ oleh Allah adalah bermaksud untuk menghaluskan bahasa. Menurut saya ini kurang tepat. Masa, Allah menghaluskan bahasa kepada hamba-Nya. Mestinya, yang benar adalah hamba yang menghaluskan bahasa kepada Allah. Dari ’aku’ menjadi ’saya’ atau menjadi ’kawula’ (bhs Jawa).

Dan sebaliknya, mestinya seorang hamba menyebut Allah dengan ’antum’ sebagai pengganti kata ’anta’, jika memang konsisten dengan alasan penghalusan bahasa itu. Atau, ’Panjenengan’ untuk berkata-kata kepada Allah. Tetapi, para nabi tetap saja menggunakan kata ’anta’ untuk Allah. Dan al Qur’an sendiri pun menggunakan kata ganti tersebut secara egaliter, apa adanya dalam berbagai ayatnya.

Lantas, apa alasan penggunaan kata ’Kami’ dan ’Aku’ dalam al Qur’an? Menurut saya, kedua kata itu tetap berfungsi untuk menjelaskan kertelibatan pelaku secara ’jamak’ dan ’tunggal’. Dalam berbagai ayat-Nya, kita bisa merasakan, bahwa ketika Allah menggunakan kata ’Aku’, Dia memang sedang menunjukkan Otoritas tunggal-Nya. Tidak ada aktor lain, selain Diri-Nya. Bahkan, malaikat yang membantah pun ’tidak digubris-Nya’.

QS. Thaahaa (20): 14
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.

QS. Al Baqarah (2): 30
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

QS. Al Baqarah (2): 33
Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"

QS. Al Baqarah (2): 40
Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).

Betapa kuatnya ’karakter’ yang Allah tampilkan dalam ayat-ayat di atas, untuk menunjukkan otoritas tunggal-Nya. Sedangkan penggunaan kata ’Kami’ menunjukkan Allah melibatkan makhluk dalam proses yang sedang diceritakan itu. Misalnya dalam menurunkan wahyu dan memelihara al Qur’an. Karena, Allah melibatkan malaikat untuk menyampaikan wahyu itu kepada para Rasul. Ataupun, ketika memelihara keotentikan Al Qur’an, Allah melibatkan para sahabat Nabi, para hafizh Qur’an, dan umat Islam yang peduli padanya.

QS. Al Baqarah (2): 23
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.

QS. Al Hijr (15): 9
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

Atau ketika Allah menurunkan rezeki untuk hamba-Nya. Ada proses yang sangat kompleks yang melibatkan banyak faktor di sekitarnya. Allah tidak menurunkan rezeki kepada seseorang dengan cara langsung tanpa perantara. Selalu dilewatkan orang lain atau makhluk lain sebagai penyampai rezeki kepadanya.

QS. Al Hijr (15): 20-22
Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezki kepadanya. Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu. Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.

Ataupun, saat menciptakan manusia, Allah juga menggunakan kata ’Kami’. Karena pada proses penciptaan manusia itu Allah menggunakan ’jasa’ orang tua kita, dokter dan bidan, serta ahli gizi, misalnya.

QS. Al Mukminun (23): 12-14
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan alaqoh (yang menempel di dinding rahim), lalu alaqoh itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.

Namun, yang perlu kita pahamkan lebih jauh adalah dari sisi ketauhidan. Bahwa penggunaan kata ’Kami’ itu sama sekali tidak bermakna ’Allah banyak’. Karena, sebenarnya segala keanekaragaman isi alam semesta ini adalah sekedar tanda-tanda keberadaan Diri-Nya belaka. Bukankah Allah adalah Dzat yang Maha Meliputi segala? Bahkan yang paling kontradiksi sekali pun, semuanya berada di dalam Diri-Nya.

Sehingga semua Nama dan ’kata ganti’ untuk menyebut Diri-Nya sama sekali tidak memecah Dzat-Nya menjadi beberapa. Karena segala yang ada ini tidak lain adalah Dia semata. Laa ilaaha illallaah ~ Tidak ada segala ini, kecuali hanya Dia...!

QS. Al Hasyr : 22-23
Dia-lah Allah Yang tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Dia-lah Allah Yang tidak ada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persepsikan.

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 8 Desember 2010 pukul 13:17