Selasa, 15 Februari 2011

BISAKAH KITA HIDUP BAHAGIA? JAWABNYA: BISA!

oleh Agus Mustofa pada 14 Februari 2011 pukul 8:38

Rupanya hidup bahagia semakin langka. Sehingga tidak sedikit yang bertanya: bisakah kita mencapai hidup bahagia? Sebuah pertanyaan yang mencerminkan sikap pesimistik dalam mencapai kebahagiaan hidup. Atau jangan-jangan malah menggambarkan sikap apatis alias keputusasaan.

Sebagian orang lagi menaruh harapan dengan mengatakan, meskipun tidak bisa memperoleh kebahagiaan di dunia mereka bakal memeroleh kebahagiaan di akhirat. Yang ini, menggambarkan sikap orang yang terlalu PeDe, seakan-akan dia sudah pasti akan menjadi penghuni surga. Jangan-jangan yang terjadi adalah tidak kedua-duanya. Di dunia tidak bahagia, di akhirat pun tidak masuk surga... :(

Disinilah pentingnya kita memahami ajaran Islam secara utuh, substansial dan praktis. Bukan hanya teoritis. Karena sesungguhnyalah kebahagiaan itu bisa diperoleh di dunia dan di akhirat secara simultan. Tentu saja, kita harus membenahi dulu pemahaman kita tentang makna bahagia. Bahwa bahagia bukanlah terpenuhinya segala keinginan, karena sudah pasti keinginan kita tidak akan pernah terpenuhi semuanya.

Kebahagiaan juga bukan hidup ’tenang-tentram’ tanpa masalah, karena sesungguhnya hidup ini adalah aliran masalah setiap hari. Dan, bahagia pun bukanlah datangnya cinta dari semua orang, sebab hal itu adalah sesuatu yang tidak mungkin disebabkan adanya perbedaan kepentingan. Kebahagiaan adalah akumulasi kenikmatan dari sejak bangun tidur sampai tidur kembali. Juga sejak lahir sampai mati. Bahkan sejak di dunia sampai di akhirat kelak.

Kebahagiaan ’tidak perlu’ dan ’tidak bisa’ dikejar. Apalagi dengan materi. Semakin dikejar, dia akan semakin menjauh. Kebahagiaan muncul sebagai anugerah bagi orang-orang yang bersikap baik terhadap kehidupan. Yang bersikap jahat kepada kehidupan, meskipun serba berkecukupan secara materi, tidak akan pernah menemukan kebahagiaan. Justru penderitaan.

Adalah salah besar orang-orang yang berpendapat kebahagiaan adalah identik dengan uang, misalnya. Dia pasti orang yang belum punya uang. Atau setidak-tidaknya, belum lama punya uang. Atau, terjebak kepada ’kesenangan’ terhadap uang. Dan mengira dengan uang itu ia bisa membeli segala-galanya.

Seperti telah saya sampaikan, kawan saya yang sudah memiliki ’segala-galanya’ pun ternyata hanya menemukan ’kekosongan hidupnya’ justru setelah sampai di puncak 'kesuksesannya'. Ternyata kebahagiaan bukan terkait secara langsung dengan kesuksesan meraih hal-hal yang bersifat material.

Sebanyak apa pun uang yang dimiliki seseorang tidak akan bisa ’membeli’ nikmatnya makan, ketika sikap hatinya salah. Juga tidak bisa 'membeli' nikmatnya minum. Atau pulasnya tidur. Atau, teduhnya kasih sayang. Atau, damainya persahabatan. Atau, harmonisnya rumah tangga. Dan berbagai sumber-sumber kenikmatan lainnya. Banyak sekali orang yang tidak merasakan kebahagiaan dalam hidupnya, ketika punya banyak uang. Sebaliknya, tidak sedikit orang yang bahagia justru ketika dia tidak punya uang, tetapi bisa ’berdamai’ dengan masalahnya.

Ini menjadi bukti keadilan Allah dan ajaran Islam. Bahwa kebahagiaan ternyata bukan hanya milik orang-orang kaya, para penguasa, tokoh-tokoh terkemuka, dan sejumlah elit tertentu saja. Banyak orang kaya raya dan 'mapan' hidupnya, setiap hari pekerjaannya ’memegangi kepala’ karena dipusingkan oleh berbagai masalah. Sebaliknya, banyak rakyat jelata yang seperti ’tidak punya’ apa-apa setiap hari tergelak dalam tawa bahagia.

Cobalah tengok sejarah, kapankah Rasulullah mengatakan: baiti jannati ~ rumahku adalah surgaku? Apakah saat beliau kaya raya sebagai bangsawan dan hartawan di Mekah, atau saat beliau menjadi Rasul di Madinah yang rumahnya sangat sederhana? Ternyata, justru ketika beliau sudah hidup apa adanya secara sederhana. Itu menunjukkan bahwa surga dunia bukan terletak di harta benda, melainkan di sikap hati yang berdamai dengan setiap masalah.

Dan, itu sekaligus, membuktikan bahwa ’surga’ kebahagiaan bisa diraih sejak masih di dunia. Tidak perlu biaya. Hanya dengan mengubah mindset beserta akhlak mulia yang diterapkan dalam kehidupan nyata. Bukan hanya yang bersifat teoritis, misalnya dengan mengatakan: ’jika Anda dekat dengan Allah maka segalanya akan beres’. Memang, tetapi harus ada penjabaran praktis, bagaimanakah yang dimaksud dekat dengan Allah itu. Kita sih sudah yakin seyakin-yakinnya, jika seseorang telah dekat dengan-Nya, segala persoalan bakal beres semua. Tetapi, bagaimana caranya? Karena beragama tidak terletak di tataran teori melainkan pada tataran praktek.

Akhlak Rasulullah dipuji-puji Allah di dalam al Qur’an. Dan akhlak itu pula yang mengantarkan Rasulullah memperoleh surga: dunia maupun akhirat. Ada beberapa akhlak mulia yang jika diterapkan bakal mengantarkan setiap manusia kepada surganya. Dan ini menjadi landasan utama setiap pribadi yang mengaku dirinya Islam.

Yang pertama adalah sikap sabar. Orang sabar adalah kandidat penerima kebahagiaan. Menurut al Qur’an, ’sabar’ itu bermakna dua. Yakni: tidak tergesa-gesa dalam melakukan segala hal dan tahan uji ketika menghadapi masalah. Orang yang seperti ini akan memeroleh nikmat yang luar biasa, baik dalam prosesnya maupun hasil akhirnya.

Orang yang sabar selalu bersikap tenang dalam menyikapi segala masalah. Bukan ditenang-tenangkan. Bukan pula disabar-sabarkan. Melainkan paham betul, bahwa orang sabar memang selalu ’didampingi’ Allah dalam mencari solusi. Ia pun telah melihat bukti, bahwa kesabaran selalu membuat dia bisa mengontrol diri untuk tidak tergesa-gesa dalam membuat keputusan, dan jernih dalam memandang persoalan. Orang yang demikian menjadi sangat kuat jiwanya, dan nikmat hidupnya. Tidak ada gelombang sebesar apa pun yang bisa menggoyahkannya.

QS. Al Baqarah [2]: 155
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,

QS. Al Baqarah [2]: 153
Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

Yang kedua adalah orang yang ikhlas. Semakin ikhlas seseorang dalam menjalani kehidupan, semakin nikmatlah hidupnya. Sayang, keikhlasan juga tidak bisa dipaksakan. Keikhlasan hanya bisa diperoleh dengan kepahaman dan latihan. Hanya orang-orang yang sudah makan asam garam kehidupan saja yang bisa menjalani hidupnya dengan penuh keikhlasan. Selebihnya, hanyalah teori keikhlasan. Atau, kadang-kadang diikhlas-ikhlaskan alias terpaksa ikhlas.

Tapi, keikhlasan itu sebenarnya seperti apa? Seringkali kita tahu jawabnya, tetapi tidak tahu prakteknya. Secara teoritis kita akan menjawab begini: ikhlas itu adalah berbuat tanpa pamrih, karena Allah semata. Lillahi taala. Tetapi, sebenarnya kita juga 'tidak tahu' bagaimana penerapan dari kalimatlillahi taala itu. Apa cukup dengan mengatakan: ’’semua ini saya lakukan karena Allah’’...?

Al Qur’an dengan sangat indah menceritakan secara sederhana, bahwa Ikhlas yang benar-benar lillahi taala itu adalah ketika kita bisa meniru perbuatan Allah. Berbuat kebajikan kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat kebajikan kepada kita. Menolong orang lain sebagaimana Allah menolong kita. Mencukupi orang lain sebagaimana Allah mencukupi kita. Membahagiakan orang lain sebagaimana Allah telah membahagiakan kita.

QS. Al Qashash [28]: 77
’’...berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu...’’

Konkretnya, ketika seseorang merasa telah diberi rezeki oleh Allah, maka ia lantas menjadi ingin menolong orang lain dengan rezeki itu. Saat dia merasa telah diberi kekuasaan oleh Allah maka dia bakal memanfaatkan kekuasaannya untuk kemaslahatan orang lain. Pada waktu ia merasa telah banyak diberi ilmu oleh Allah, maka ia memberikan ilmu yang bermanfaat untuk orang lain. Dan seterusnya.

Setiap saat, yang ada di hatinya adalah rasa ’berkelimpahan’ karena telah menerima demikian banyak karunia Allah dalam hidupnya. Dan lantas, ia menularkan perasaan itu kepada orang lain sebagai bentuk rasa syukur, dengan memberikan apa saja yang telah ia miliki untuk orang yang membutuhkan.

Hidup orang ini sungguh bahagia, karena dia menerima dua sumber kebahagiaan sekaligus. Yang pertama, ia menerima kebahagiaan dari perasaan syukurnya. Rasa keberlimpahannya. Persis seperti firman Allah dalam

QS. ‘Ibrahim [14]: 7
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.

bahwa barangsiapa bersyukur maka Allah akan menambahkan nikmat kepadanya. Dan, yang kedua, dia akan memperoleh kebahagiaan karena bisa menolong orang lain yang sedang membutuhkan. Praktek akhlak semacam ini akan memberikan efek yang sangat sangat riil, dan membuat jiwa seseorang menjadi berbunga-bunga.

Keikhlasan yang seperti ini pula yang bakal melipatgandakan efek kesabaran. Orang-orang yang bisa menjalankan kesabaran sekaligus ikhlas, nikmatnya luar biasa. Kesabaran memberikan kekuatan dan kejernihan. Sedangkan keikhlasan menghasilkan rasa lapang dalam kehidupan. Dua sifat itu adalah sebagian dari akhlak mulia yang bakal mengantarkan seorang muslim memeroleh kebahagiaannya..!

Selanjutnya, bagaimanakah langkah-langkah operasionalnya. Bagaimana pula peran ikhtiar dan takdir dalam meraih kebahagiaan? Mmm.., kayaknya kita bahas di note berikutnya aja ya...?!

Wallahu a’lam bishshawab

~ salam ~

Minggu, 13 Februari 2011

ANTARA KESENANGAN, KENIKMATAN & KEBAHAGIAAN ~ APA YANG KAU CARI (3)

Ada tiga tingkatan kebahagiaan manusia. Yang pertama adalah kesenangan. Yang kedua, kenikmatan. Dan yang ketiga, kebahagiaan. ’Kesenangan’ bersifat materi. ’Kenikmatan’ terkait dengan menata hati. Dan ’kebahagiaan’ adalah perasaan nikmat yang terus menerus kita alami.

Contoh konkretnya begini. Jika kepada Anda diajukan sebuah pertanyaan: ’’SENANG manakah Anda, mobil yang berharga Rp 100 juta dengan mobil yang berharga Rp 1 miliar?’’ Maka, hampir bisa dipastikan jawaban Anda akan seragam, yakni menyenangi mobil yang berharga Rp 1 miliar. Karena, ia ’menjanjikan’ kenikmatan yang sudah Anda bayangkan.

Tetapi, ketika mobil itu sudah Anda miliki, dan kemudian pertanyaannya diganti begini: ’’NIKMAT manakah naik mobil yang Rp 100 juta ataukah yang Rp 1 miliar?’’ Tiba-tiba jawaban Anda berbeda-beda. Ada yang masih menjawab: ’’nikmat yang Rp 1 miliar’’. Tetapi, ada pula yang menjawab: ’’nikmat yang Rp 100 juta, karena tidak punya hutang kredit mobil’’. Ada pula yang memberikan jawaban:’’bergantung...’’.

Cobalah perhatikan, ketika ditanya tentang ’kesenangan’ jawabannya seragam, seiring dengan ’kualitas materi’ yang ditawarkan. Tetapi, ketika ditanya tentang ’kenikmatan’, jawabannya beraneka ragam seiring dengan ’kualitas hati’ masing-masing. Ya kesenangan bersifat obyektif, sedangkan kenikmatan bersifat subyektif.

Anda pasti bisa membayangkan, betapa ’tersiksanya’ orang yang baru memiliki mobil seharga Rp 1 miliar. Tiap hari dia kepikiran terus. Mau parkir di tempat sembarangan ragu-ragu, takut ada anak-anak yang main corat-coret di bodi mobil. Mau bepergian ke tempat ramai tidak berani, takut kebaret atau terserempet. Mau mengajak anak-anak atau keponakan, takut jok mobilnya kotor. Dan seterusnya. Orang yang demikian berhasil memeroleh kesenangan, tetapi gagal memeroleh kenikmatan. Sementara, orang yang naik mobil lebih murah, hatinya tenang-tenang saja dalam mengendarai mobilnya. Dan bisa menikmatinya dengan tanpa beban.

Pertanyaan senada, bisa kita ajukan dengan obyek yang berbeda. Misalnya, ditanyakan kepada Anda: lebih SENANG manakah punya istri yang cantik ataukah yang sedang-sedang saja? Jawabannya, kurang lebih seragam: pilih yang cantik. Tetapi, ketika pertanyaannya diganti: lebih NIKMAT manakah punya istri yang cantik ataukah sedang-sedang saja, jawabannya bisa: bergantung...! Kalau punya istri cantik tapi menjengkelkan dan bikin masalah terus, ya lebih baik yang sedang-sedang saja tapi menentramkan... :)

Pertanyaan lain lagi: lebih SENANG manakah Anda, makan di hotel bintang lima atau di kaki lima? Barangkali jawabannya cenderung seragam lagi, yakni: bintang lima. Tetapi, ketika ditanya soal kenikmatan jawabannya pasti beragam. Sangat boleh jadi, banyak diantara kita yang lantas mengatakan: lebih NIKMAT di kaki lima..!

Maka, jangan keliru memilih ’kesenangan’. Yang harus dipilih adalah KENIKMATAN. Kesenangan bisa cepat hilang seiring dengan rusaknya materi, sedangkan ’kenikmatan’ akan bertahan lama seiring dengan bagaimana Anda menyikapi. Al Qur’an sendiri menyebut ’kesenangan’ sebagai ’tipuan’. Dan menyebut ’kenikmatan’ sebagai suatu ’anugerah’.

QS. Al Hadiid (57): 20
...dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

QS. Ash Shaaffaat (47): 148
Lalu mereka beriman, karena itu Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu yang tertentu.

’Kesenangan’ bagaikan fatamorgana yang tidak akan pernah terpuaskan. Karena yang berada di balik kesenangan adalah hawa nafsu. Dan Allah menegaskan bahwa hawa nafsu tidak akan pernah terpuaskan, meskipun seluruh langit dan bumi rusak semua dikarenakan olehnya.

QS. Al Mukminuun (23): 71
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti rusaklah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya...

Sementara itu, yang berada di balik kenikmatan adalah 'keimanan', sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas. Maka, yang diajarkan agama bukanlah mencari kesenangan, melainkan memperoleh kenikmatan. Itulah yang kita baca setiap hari di dalam shalat: ’’ihdinash shirathal mustaqim, shirathalladziina an’amta ’alaihim ~ ’’tunjukilah kami jalan yang lurus, jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat...’’

Kenikmatan bukan untuk dikejar, melainkan untuk diterima sebagai anugerah. Semakin dikejar, ia semakin menjauh. Karena, sebenarnya kenikmatan bukanlah ’tujuan’, melainkan reward alias ’hadiah’. Ia adalah pemberian Allah kepada orang-orang yang bisa ’menata’ hatinya. Bukan kepada orang-orang yang ’meliarkan’ hatinya.

Karena itu, yang diajarkan Allah kepada kita bukanlah meminta kenikmatan melainkan memohon ditunjuki ’jalan yang lurus’ ~ shirathal mustaqim. Kalau sudah berada di jalan yang lurus, insya Allah kenikmatan akan datang sendiri sebagai anugerah. Ia hanya dampak saja dari sesuatu yang kita lakukan, sesuai dengan fitrah keilahian yang ada di dalam diri kita. Kenikmatan bukan bergantung kepada benda, melainkan kepada proses. Cara beragama yang baiklah yang bakal melahirkan kenikmatan, bukan sekedar hasilnya.

Ketika cara-cara beragama sudah dilakukan secara benar dan substansial, kenikmatan akan berdatangan dengan sendirinya. Nah, kenikmatan yang datang terus menerus itulah yang akan melahirkan kebahagiaan. Bangun tidur nikmat, mandi nikmat, sarapan pagi nikmat, bekerja nikmat, bertemu sahabat-sahabat nikmat, ibadah-ibadahnya nikmat, dan seterusnya sampai tidur kembali nikmat. Itulah orang yang hidupnya bahagia. Dan itu sangat terkait dengan cara serta kemampuan kita dalam menata hati, bukan sekedar keberhasilan memperoleh materi.

Sebaliknya, ada orang yang hidupnya penuh dengan ’penderitaan’ karena tidak bisa menata hati. Bangun tidur mengeluh, masuk kamar mandi mengomel, sarapan pagi memprotes, ketemu jalanan macet mengumpat, bekerja merasa tertekan, beribadah karena terpaksa, ketemu kawan bertengkar, dan seterusnya dan sebagainya, sampai tidur kembali hidupnya penuh dengan masalah. Jika ditambah lagi dengan keserakahan, kompletlah hidup orang itu dengan penderitaan... :(

Lantas, bagaimanakah cara praktis memeroleh kebahagiaan itu..?
Ternyata kebahagiaan hanyalah milik orang-orang yang bisa menjalani hidupnya dengan akhlak tinggi. Kok bisa, bagaimana penjelasannya? Tentu saja baca note berikutnya... :)
 
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 12 Februari 2011 pukul 9:44


Sabtu, 12 Februari 2011

MENCARI KESENANGAN ATAUKAH KEBAHAGIAAN ~ APA YANG KAU CARI (2)

Banyak orang yang belum bisa membedakan antara ’senang’ dan ’bahagia’. Padahal, sudah sangat jelas bahwa orang yang mengejar kesenangan belum tentu bisa memeroleh kebahagiaan. Meskipun, juga bisa saja memperoleh kedua-duanya dalam sekali usaha. Kesenangan adalah urusan materi, sedangkan kebahagiaan adalah urusan psikologi.

Kita bisa saja senang pada mobil, tetapi belum tentu mobil itu bisa membahagiakan kita. Kita bisa juga senang kepada rumah, jabatan, karier, istri, suami, anak, teman, popularitas, dan lain sebagainya. Tetapi, semua kesenangan itu tidak menjamin hidup kita bahagia. Banyak sekali orang yang sudah menggapai semua yang diinginkan dan disenanginya, tetapi hidupnya tidak bahagia.

Hidupnya seperti mengejar fatamorgana. Semua yang ada di luar dirinya dianggap sebagai sumber kesenangan. Tetapi setelah sampai pada apa yang diinginkannya, dia tidak menemukan apa yang diharapkannya. Membosankan. Dan biasanya, hanya bertahan beberapa minggu atau beberapa bulan saja. Setelah itu, dia bakal mengejar lagi sesuatu yang belum didapatkannya. Mobil tetangga selalu tampak lebih bagus. Rumah tetangga selalu kelihatan lebih mewah. Istri tetangga selalu terkesan lebih cantik.

Saya punya seorang kawan yang sudah memiliki ‘segala-galanya’. Dia orang yang sukses dalam bisnis. Sukses juga berumah tangga. Istrinya cantik, anak-anaknya baik, lulusan luar negeri semua, sudah berkeluarga dan memberinya cucu yang lucu-lucu. Teman dan koleganya sangat banyak. Mobil dan rumahnya beberapa. Karyawannya puluhan ribu. Entah, apalagi yang belum dia punyai. Tetapi hidupnya gelisah.

Suatu ketika dia menelpon saya untuk mengajak diskusi tentang agama. Padahal dia non muslim. Dia ingin menumpahkan kegelisahan hidupnya. Dia merasa ada sesuatu yang belum dia dapatkan. Padahal, dulu dia mengira semua yang kini telah dicapainya itu adalah sumber segala kebahagiaan yang ingin diraihnya. Ternyata tidak.

Setelah semua itu diraihnya, ia malah merasakan kekosongan dalam hidupnya. Masih mending dulu, sebelum semua itu diraihnya, ia masih memiliki ‘harapan’ untuk memperoleh semua yang dianggapnya sebagai sumber kebahagiaan. Kini setelah semua itu diperolehnya, ia malah kebingungan sendiri mau mengejar apa. Dia benar-benar tidak tahu, apakah yang menyebabkan rasa ’kosong’ di dalam jiwanya.

Dia baru menyadari bahwa apa yang dia peroleh itu ternyata bukan sumber kebahagiaan. Melainkan sekedar sumber kesenangan. Dia senang mobil-mobil bagus, dan sudah mendapatkannya. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, dia merasa semua itu menjadi biasa kembali. Tak ada yang istimewa. Kesenangan terhadap mobil itu dia rasakan hanya beberapa saat setelah dia bisa mencapai apa yang diinginkannya. Setelah itu, tak ada beda dengan sebelumnya.

Dia lantas membeli mobil lebih bagus, lebih mahal, dan lebih mewah. Namun, perasaan itu muncul lagi. Dilakukan lagi, begitu lagi. Diulang lagi, bosan lagi, diulang lagi bosan lagi, begitu seterusnya. Sampai akhirnya, ia tak ingin memperoleh kesenangan dari mobil lagi, karena ternyata hanya ’begitu-begitu’ saja.

Rumah yang dulu dikiranya bisa membahagiakan, juga memberikan suasana batin yang sama kepadanya. Mulai dari rumah kecil yang dimilikinya, sampai kini memiliki rumah besar dan mewah di tengah kota Surabaya. Masih ditambah sejumlah hotel dan tempat hiburan terkenal, semua itu tak kunjung membahagiakannya. Dia malah merasa lebih bahagia saat muda. Ketika, ia baru bisa membeli sebuah rumah kecil, setelah sekian lama bercita-cita. Kini, rumahnya besar dan mewah, tetapi rasa bahagianya kalah dengan waktu muda itu.

Untuk mengejar kebahagiaan ia bahkan sempat bertualang dengan wanita, meskipun dia punya isteri yang sah. Dia bisa memperolehnya kapan saja, dimana saja, karena dia mendirikan tempat-tempat hiburan untuk itu. Tetapi kesimpulan yang dia peroleh sama. Begitu-begitu saja. Membosankan dan malah memunculkan masalah. Akhirnya dia bingung sendiri, tentang apa yang sedang dia cari dalam hidup ini. Padahal usianya sudah tidak muda lagi, yakni 68 tahun. Dia merasa sudah hampir sampai waktu menutup usia, tetapi belum menemukan apa yang dia cari.

Ya, dia sudah sampai di FATAMORGANA. Dia sudah membuktikan bahwa semua yang dia bayangkan ternyata adalah SEMU belaka. Hanya orang-orang yang belum sampai di fatamorgana itulah yang mengatakan bahwa semua yang didapatkannya itu sebagai kesuksesan yang membahagiakan.

Menurutnya, hanya orang yang belum kaya saja, yang menganggap kekayaan itu sebagai sebuah kebahagiaan. Hanya orang yang belum berkuasa saja yang menganggap kekuasaan sebagai sumber kebahagiaan. Hanya orang yang belum ‘memiliki’ saja, yang menganggap ‘kepemilikan’ itu sebagai kebahagiaan. Persis seperti sebuah fatamorgana yang dikiranya air, ternyata setelah sampai disana ia tidak menemukan air itu. Justru, ia selalu melihat air berada di kejauhan pandangannya..!

‘’Oh, apakah kebahagiaan itu..?!’’ keluhnya.

Dari beberapa silang sengkarut pendapat tentang ’bahagia’, ada beberapa pendapat yang dikemukakan. Yang pertama, ada orang berpendapat bahwa kebahagiaan adalah ketika semua kebutuhan dan keinginan kita tercapai? Tetapi, benarkah kita bisa memperoleh semua yang kita inginkan? Bukankah begitu banyaknya keinginan kita yang tidak bisa kita capai, karena berbagai alasan?

Sehingga, kalau kebahagiaan itu didefinisikan sebagai ‘terpenuhinya segala keinginan’, sudah bisa dipastikan tidak akan ada seorang pun yang bakal bisa mencapai kebahagiaan..! Karena pada kenyataannya tidak ada orang yang bisa memenuhi segala keinginannya. Keinginan manusia selalu bertumbuh, sampai menjadi jauh lebih besar dari alam semesta sekalipun.

Yang kedua, ada yang berpendapat bahwa kebahagiaan adalah ketika kita bisa hidup tenang dan tentram. Tapi bisakah kita hidup tenang dan tentram itu? Terhindar dari semua masalah yang melingkupi hidup kita? Bukankah hidup ini adalah aliran masalah? Mulai bangun tidur sampai tidur kembali, masalah selalu berdatangan. Mulai dari masalah kesehatan, rezeki, keluarga, tetangga, masyarakat dan negara.

Sehingga kalau kebahagiaan didefinisikan sebagai hidup tenang dan tentram bebas dari masalah, sepertinya tidak akan ada orang yang bisa hidup bahagia..! Sudah pasti, selama kita masih hidup di dunia masalah akan selalu datang untuk dicarikan solusinya.

Yang ketiga, ada juga yang berpendapat bahwa hidup bahagia adalah ketika kita dicintai oleh semua orang yang ada di sekitar kita. Oh, lagi-lagi kita tidak akan bisa memperolehnya. Mana mungkin kita dicintai oleh semua orang, karena sesungguhnya hidup ini penuh dengan perbedaan kepentingan..!

Lantas, apakah itu ‘bahagia’? Dan bagaimana memperolehnya..?!

QS. Al Hadiid (57): 20
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 11 Februari 2011 pukul 9:09


Jumat, 11 Februari 2011

BIARKAN HIDUP SEPERTI AIR MENGALIR? ~ APA YANG KAU CARI (1)

Seorang kawan saya mengatakan: ’’biarkanlah hidup ini menggelinding seperti roda. Saya akan ikuti kemana saja ia bergerak’’. Kawan yang lain mengatakan: ’’hidup adalah seperti aliran air, maka biarkan saja kemana ia mengalir?’’

Saya setuju, tapi hanya sebagian saja. Sebagiannya lagi saya tidak sependapat. Memang, kalau kita rasa-rasakan, hidup ini seperti sebuah gerakan atau aliran yang memiliki arah tertentu. Tetapi, kita tidak boleh membiarkan saja kemana ia bergerak. Kalau Anda punya roda sedang menggelinding, maka Anda tidak boleh membiarkan saja kemana ia bergerak menggelinding. Harus diarahkan. Kalau tidak, bisa membahayakan. Misalnya, kecemplung jurang.

Demikian pula aliran air. Saya setuju air sudah punya arah untuk mengalir, yakni ke bawah. Tetapi, jangan biarkan aliran air itu bergerak semau-maunya. Bisa-bisa membawa korban jiwa. Dan, kita tidak bisa mengambil manfaat darinya. Padahal kalau aliran air itu dikelola dengan baik, ia akan memberikan manfaat yang besar buat kehidupan manusia. Bisa untuk minum, mandi, memasak, mencuci, dan sebagainya, sampai membangkitkan tenaga listrik.

Maka, menurut saya kurang bijak kalau kita hanya mengikuti aliran kehidupan tanpa mengelolanya dengan baik. Justru disinilah bedanya manusia dengan binatang dan tumbuhan. Kita diberi akal untuk memanfaatkan segala potensi yang ada di sekitar kita.

Itulah kenapa Adam sebagai nenek moyang manusia modern diberi akal dan ilmu pengetahuan oleh Allah. Karena, ia dan anak cucunya disuruh MENGELOLA bumi. Mengelola kehidupan. Justru nilai utama seorang manusia adalah pada kemampuannya untuk mengelola kehidupannya. Yang bisa mengelola hidupnya, akan memperoleh pahala besar. Sedangkan yang gagal mengelola hidupnya akan memperoleh penderitaan.

Maka, segala yang diciptakan Allah di muka Bumi ini disediakan Allah bagi manusia untuk dikelola dengan baik. Mulai dari udara, sinar matahari, air, pepohonan, binatang, dan berbagai sumber daya alam. Termasuk segala peristiwa yang menyertainya.

QS. Al Baqarah (2): 29
Dia-lah Allah, yang menjadikan SEGALA yang ada di bumi UNTUK KAMU dan Dia berkehendak menuju langit (atmosfer), lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

Nah, setelah ayat diatas, barulah Allah menyusulinya dengan ayat di bawah ini, yaitu yang bercerita tentang misi manusia diciptakan di muka bumi: sebagai khalifah alias PENGELOLA kehidupan planet biru yang indah ini.

QS. Al Baqarah (2): 30
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah (pengelola) di muka bumi"...

Maka, keberadaan seorang manusia di bumi ini tidak bisa dipisahkan dari visi utamanya sebagai Sang Pengelola. Dan, tanggungjawab setiap diri adalah pada seberapa besar dia telah melaksanakan tugas untuk mengelola apa yang ada di sekitarnya. Yang itu berarti adalah mengelola hidupnya sendiri, untuk memberi efek pada tatanan kehidupan masyarakat bumi secara global. Itulah yang disebut al Qur’an sebagai tatanan masyarakat yang rahmatan lil alamin.

Jadi, menurut saya, adalah sebuah kesalahan besar jika ada seorang muslim yang mematok hidupnya sebagai air mengalir atau roda menggelinding, tanpa berusaha untuk mengelola gerakan atau aliran itu. Hasilnya bukan manfaat, tetapi malah membawa banyak mudharat. Kalau, ’roda’ itu melindas dan mencelakakan orang lain maka Anda akan dimintai pertanggungjawabannya. Demikian pula jika ’aliran air’ yang tidak kita kelola itu menjadi air bah yang menenggelamkan pemukiman, kita benar-benar akan ikut menanggung akibatnya.

Maka, adalah sangat jelas bagi seorang muslim untuk memenejemeni hidupnya. Bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan supaya bermanfaat buat orang banyak. Bukan hanya untuk hari ini, melainkan untuk hari esok. Dan bukan hanya di dunia, melainkan juga di akhirat kelak...

QS. Al Hasyr (59): 18
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri MEMPERHATIKAN apa yang telah DILAKUKANNYA untuk (memperoleh sukses) hari ESOK, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 10 Februari 2011 pukul 10:09


Rabu, 26 Januari 2011

KETIKA SIFAT ILAHIAH MERESONANSI JIWA

Barangkali tulisan ini akan menjadi penutup serial note tentang ’Hati dan Diri’ manusia yang telah kita bahas berhari-hari. Saya yakin, masih sangat banyak pertanyaan yang bergelayutan di benak Anda, tentang eksistensi manusia terkait perjalanan spiritualnya. Tetapi, rupanya kita harus membatasi pembahasan karena beberapa alasan. Diantaranya agar tidak membosankan. Selain itu, saya memang mau izin untuk beberapa hari ke depan tidak aktif dalam forum diskusi ini, karena ada agenda lain yang harus saya selesaikan.

Dalam kesempatan ini saya ingin merangkum pembahasan yang sudah kita lakukan, sambil memberikan point pentingnya dalam perjalanan spiritual seorang muslim.

1). Bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang luar biasa, sehingga disebut sebagai ciptaan terbaik alias ahsanu taqwim. Selain itu, dalam berbagai ayat Qur’an kita juga bisa menemui firman-firman Allah yang mengangkat manusia dalam derajat sedemikian tingginya. Sehingga, malaikat dan iblis pun diperintahkan untuk bersujud kepadanya. Meskipun, kemudian Iblis menolak, dan hanya malaikat yang bersujud.

2). Manusia diciptakan mengikuti fitrah Allah, QS. Ar-Rum (30): 30, dibentuk dengan badan & jiwa yang ditiupi ruh ilahiah, sehingga menjadi hidup. Badan manusia adalah ’benda mati’ yang tersusun dari zat-zat biokimiawi, dengan struktur dan desain luar biasa canggih. Yang, sampai sekarang masih menyisakan misteri dahsyat bagi ilmu pengetahuan modern. Bahkan, saya yakin, sampai berakhirnya dunia sekalipun.

Jiwa manusia adalah badan halus yang berada di balik badan fisik. Ia tersusun dari energi, yang dalam ilmu kedokteran jiwa disebut sebagai bioplasma. Badan energi kita itu memiliki bentuk seperti badan materi yang meliputinya. Ia punya tangan energial, punya kaki energial, punya kepala energial, otak energial, mata, telinga, hidung, dan seluruh organ energial. Karena itu, jika organ materialnya mengalami kerusakan, jiwanya juga akan mengalami gangguan energial. Terutama, adalah jika otak materialnya mengalami kerusakan, maka otak energialnya pun terganggu. Dalam ilmu kedokteran disebut sebagai mengalami penyakit jiwa.

Selain badan dan jiwa, manusia memiliki ruh. Yakni, ’daya hidup’ yang berasal dari Sang Pencipta. Inilah sifat-sifat Tuhan yang diresonansikan kepada badan dan jiwa saat penciptaan di dalam rahim seorang ibu. Karena ditiupi sebagian ruh Allah, maka badan dan jiwa yang tadinya mati menjadi hidup. Teresonansi oleh Sifat Maha Hidup Allah. Selain itu, badan dan jiwa itu menjadi memiliki kehendak, karena teresonansi oleh sifat Allah yang Maha Berkehendak. Juga menjadi terimbas sifat-sifat lainnya seperti mendengar, melihat, berkata-kata, berkreasi, berbuat, dan lain sebagainya, yang merupakan sifat-sifat Allah.

3). Jiwa menempati posisi sentral dalam kehidupan seorang manusia. Dialah yang bertanggungjawab atas segala perbuatan manusia. Dia juga yang bisa merasakan suka, duka, sedih, bahagia, marah, kecewa, dendam, benci, cinta, ikhlas, sabar, ingkar dan berserah diri. Bukan badan, dan bukan ruh. Sebab, badan hanya ’alat’ saja bagi jiwa. Sedangkan ruh hanya ’daya hidup’ yang ditularkan Allah kepada manusia.
Maka, berpuluh ayat di dalam al Qur’an menganjurkan kita untuk meningkatkan kualitas jiwa. Kutubnya ada dua, yaitu badan dan ruh. Jiwa bakal menuju kualitas terendahnya ketika terseret kepada hal-hal yang bersifat materialistik ’badaniyah’ semata, sehingga lupa kepada nilai-nilai ketuhanan yang ada di dalam ruhnya. Kehidupannya hanya mengurusi kebutuhan dan kesenangan badaniyah belaka. Tiap hari yang dipikirkan cuma makan, minum, pakaian, harta benda, jabatan, seksualitas, popularitas, dan sebagainya yang bertumpu pada kepentingan ego semata. Orang yang demikian bakal terjebak pada keserakahan yang melalaikannya terhadap tujuan dan misi hidup yang lebih penting sebagai makhluk mulia.

Sebaliknya, ia akan mencapai derajat tertinggi jika memanfaatkan seluruh potensinya untuk melakukan hal-hal yang menuju nilai-nilai ruhiyah. Nilai-nilai ketuhanan yang diajarkan oleh agama. Yakni, yang terangkum dalam mekanisme hablum minallah dan hablum minannas untuk menuju visi tatanan hidup yang rahmatan lil alamin, bermanfaat buat seluruh makhluk Allah.

4). Di dalam al Qur’an, manusia diajari untuk meningkatkan kualitas jiwanya seiring dengan akal kecerdasan. Dimana ini sangat terkait dengan fungsi otak manusia beserta segala mekanismenya. Meningkatkan kemampuan otak, sama saja dengan meningkatkan kualitas jiwa. Karena itu, umat Islam harus melatih fungsi otaknya untuk mencapai jiwa berkualitas tinggi.
Mekanisme otak itu melibatkan dua fungsi dasar yang membentuk akal, yakni kecerdasan intelektual yang bekerja secara ilmiah lewat rasio, logika dan analisa, serta kecerdasan emosional yang bekerja pada sistem limbik dengan memanfaatkan Hipocampus sebagai memori rasional dan Amygdala sebagai memori emosional. Seorang manusia harus melatih diri agar fungsi Hipocampus dan Amygdalanya bekerja secara seimbang, sehingga menghasilkan ’emosi yang rasional’ atau ’rasio yang emosional’. Sebab, di sistem limbik inilah terjadinya pertarungan antara kecerdasan rasional dan emosional. Dan seringkali rasionalitas kalah oleh emosi yang cenderung tanpa perhitungan.

5). Mekanisme sistem limbik tecermin pada getaran jantung. Jika sistem limbik sedang dalam kondisi ’emosi yang tidak rasional’, maka jantung akan bergetar tidak stabil, sehingga mengalami disharmoni dengan frekuensi otak. Ini menyebabkan ketidakseimbangan di seluruh tubuh. Baik yang bekerja secara sarafi maupun hormonal. Sebaliknya, jika sistem limbik sedang dalam keadaan ’emosi yang rasional’, maka jantung akan bergetar lembut dan menghasilkan frekuensi yang sinkron dengan otak. Saat itu, seluruh tubuh akan ikut harmonis.

Maka, ’kelembutan’ getaran jantung bisa dijadikan tolok ukur bagi optimal tidaknya kerja sistem limbik di dalam otak. Sekaligus, menunjukkan keseimbangan kondisi kejiwaan seseorang. Disinilah terjadi sinkronisasi antara fungsi badan dan fungsi jiwa. Badannya sehat, jiwanya tenteram. Sebaliknya, jika tidak sinkron, akan memunculkan penyakit yang dalam istilah kedokteran disebut sebagai psychosomatis. Yaitu, penyakit tubuh yang disebabkan oleh jiwa yang sakit.

Selain itu, kini juga berkembang ilmu yang disebut Psycho-neuro-imunology. Yaitu, ilmu yang menjelaskan eratnya hubungan antara fungsi jiwa, fungsi sarafi, dan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Ternyata orang-orang yang menata hidupnya secara religius menuju kepada nilai-nilai spiritual memiliki daya tahan tubuh yang lebih baik dan hidup lebih sehat sampai ajal datang menjemputnya.

6). Dalam ranah spiritual, jiwa digambarkan memiliki ’arsy atau tingkatan energi yang semakin halus untuk mencapai kualitas tertingginya. Dimulai dari ’arsy material berupa pengalaman fisikal sehari-hari, dilanjutkan ke ’arsy energial yang memunculkan pengalaman-pengalaman kejiwaan yang khas, sampai ’arsy ruhiyah yang memunculkan pengalaman spiritual tertinggi dalam hubungannya dengan Allah.

Pencapaian ’arsy yang lebih tinggi itu terjadi seiring dengan penghalusan sifat alias akhlaknya. Semakin tinggi akhlaknya, semaki tinggi pula perjalanan spiritualnya. Kenapa bisa demikan? Karena, sesungguhnya perjalanan spiritual adalah sebuah perjalanan menuju Sifat-Sifat Allah, yang telah diimbaskan dalam bentuk ruh ke dalam diri manusia.

Maka, semakin tinggi tingkat spiritual seorang hamba, akan terlihat dari semakin tingginya akhlak yang dijalaninya. Akhlak adalah ’emosi rasional’ yang sudah tertanam sebagai sifat dan kebiasaan. Itu pula yang ditunjukkan oleh para Nabi. Semakin tinggi akhlaknya, semakin tinggi tingkat spiritualnya, dan semakin dekat ia dengan Sang Maha Penyantun, Allah Azza wajalla...

Akhlak mulia adalah sifat-sifat ilahiah yang merembes ke dalam jiwa seorang manusia bersumber dari sifat-sifat Allah di dalam ruhnya. Resonansi itu terjadi disebabkan adanya sinkronisasi getaran antara badan, jiwa dan ruh. Semakin sinkron semakin harmonilah frekuensinya, dan secara energial tergambar di poros jantung-otak yang semakin lembut.

7). Maka, secara sederhana, proses pencapaian tingkat spiritual yang tinggi bisa dilakukan dengan cara menata akhlak. Melatih kejujuran, melatih kesabaran, melatih keikhlasan, melatih ketaatan, melatih sifat pengorbanan, dan melatih sifat berserah diri hanya kepada Allah. Jika ini sukses, maka dengan sendirinya, Arsy jiwa kita akan naik tingkat mendekati sifat-sifat ilahiah yang ada di dalam ruh kita sendiri.Apa yang kita lakukan sehari-hari adalah cerminan dari sifat-sifat ilahiah tersebut...!

Bagaimana prakteknya? Cobalah mulai melakukan dengan melatih kejujuran. Inilah ’akhlak dasar’ yang dipersyaratkan oleh Rasulullah kepada seseorang yang ingin menjalankan agama Islam secara substansial. Cobalah menjadi orang dengan kepribadian ’terbuka’. Baik terhadap diri sendiri, terhadap orang lain dan terhadap Allah. Cobalah berkata tanpa kepura-puraan.

Apa yang ada di mulut, sinkronkan dengan yang ada di hati (pikiran dan perasaan), sinkron dengan perbuatan sehari-hari. Jangan mengatakan sesuatu yang tidak sama dengan yang ada di hati. Lebih-lebih, jangan berbuat sesuatu yang berbeda dengan bisikan hati. Jika Anda bisa melakukan ini selama setahun saja, insya Allah Anda sudah akan ’naik kelas’ ke tingkat yang lebih tinggi.

Setelah itu, cobalah untuk mengendalikan amarah. Menjadi orang yang ’sulit marah’, tapi gampang memaafkan. Karena, ini menjadi tanda-tanda orang yang bertakwa, QS. 'Ali 'Imran (3) : 133-135. Bukan ’menahan’ amarah, melainkan ’mengendalikan’ amarah. Seseorang bisa mengendalikan amarah, hanya jika ia mampu menata sistem limbiknya menjadi bersifat ’emosi yang rasional’. Jika tidak, maka yang ada hanyalah ’menahan’ amarah, sehingga bakal meledak di waktu yang lain saja.

Jika Anda mampu menajalaninya setahun saja, maka Anda bisa melanjutkan dengan melatih sifat ikhlas. Yaitu, berkorban sebanyak-banyaknya untuk kepentingan orang lain. Merendahkan ego, meninggikan kemaslahatan bersama.

Berikutnya, jika sudah semakin ikhlas, Anda bisa melatih sifat sabar. Yakni, tidak ’tergesa-gesa’ dalam mencapai suatu tujuan, serta ’tahan’ menghadapi ujian. Yang ini, juga cukup setahun saja secara terus menerus alias istiqomah. Dan setelah itu yang terakhir adalah latihan untuk taat kepada Allah.

Bukan ketaatan yang ditaat-taatkan, melainkan ketaatan yang penuh ‘kejujuran’, ‘keikhlasan’ dalam pengorbanan, dan ‘kesabaran’ dalam menjalankan segala perintah Allah. Jika Anda bisa melakukan ini ‘sinkron’ antara bisikan ruh, jiwa, dan perbuatan , maka insya Allah, Anda sudah berada di level tertinggi di dalam Islam, yaitu: berserah diri hanya kepada Allah semata. Anda telah menjadi muslim yang paripurna. Dan bakal menjadi kesayangan Allah, sebagaimana Nabi ibrahim sang khalilullah..!

QS. An Nisaa’ (4): 125
Dan siapakah orang yang paling baik agamanya daripada orang yang ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.
 
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 25 Januari 2011 pukul 18:49


Senin, 24 Januari 2011

‘ARSY JIWA BERTINGKAT MENUJU ’ARSY ALLAH

Sebagaimana saya sampaikan di note sebelumnya, bahwa secara garis besar kita bisa membagi diri manusia ke dalam tiga kelompok, yakni: badan, jiwa dan ruh. Badan mewakili materi, jiwa mewakili energi, dan ruh mewakili sifat-sifat Allah yang tidak bisa dijelaskan substansinya. Ketiga entitas itu tidak bisa dipisahkan, karena bersifat kontinum di dalam diri manusia. Kecuali, telah mati.

Di dalam al Qur’an memang tidak ada ayat yang menyebutkan secara eksplisit tentang pembagian itu, apalagi dengan menyebutkan angka pengelompokannya, 3 atau 7. Yang ada ialah penyebutan secara terpisah-pisah, bahwa manusia memiliki badan yang terbuat dari saripati tanah, sehingga bisa dikategorikan sebagai materi.

Di ayat lain lagi, Allah menyebut ‘jiwa’ dengan istilah yang beragam. Satu ketika disebut Nafs, yang diterjemahkan sebagai 'diri', atau kadang 'nafsu'. Di kali lain disebut dengan istilah Hati – Qalb maupunFuad. Di kali lain lagi disebut dengan istilah ‘Aql dan Lubb. Maka, di kalangan para pelaku spiritual lantas muncul pemetaan terhadap istilah-istilah itu, yang dipersepsi sebagai tingkatan kualitas jiwa.

Tujuannnya adalah sebagai ‘panduan’ atau ‘jalan’ atau ‘metode’ bagi upaya melatih tingkat kehalusan jiwa. Dimulai dari yang bersifat materialistik menuju ke nilai-nilai ruhiyah di tingkatan tertinggi yang sulit digambarkan lagi. Berdasar pemeringkatan kualitas jiwa itulah para pelaku spiritual menyusun metode-metode pencapaian, yang kemudian dikenal sebagai Thoriqoh, yang dalam bahasa Arab bermakna ‘jalan’ alias ‘cara’. Setiap penganut tarekat bisa memiliki metode yang berlain-lainan dalam upaya meningkatkan kualitas jiwanya, bergantung kepada mursyid alias pembimbingnya.

Yang demikian ini, dikarenakan di dalam al Qur’an tidak ada penjelasan eksplisitnya. Sehingga, metode itu lantas menjadi sangat beragam bergantung kepada background masing-masing mursyid tarekat. Dan ini bukan hanya terjadi pada pelaku spiritual Islam, melainkan juga pada para spiritualis non muslim. Termasuk para pelaku meditasi. Dan menariknya, mereka mengarah kepada pemeringkatan 7 kualitas perjalanan jiwa secara universal.

Oleh sebab itu, saya menyebut dalam note sebelumnya: ‘entah ini kebetulan atau tidak’, karena memang demikianlah pada tataran prakteknya. Namun, saya termasuk yang yakin bahwa tidak ada sesuatu yang kebetulan di alam semesta ini. Permasalahannya, hanya pada detil-detil penjelasan yang belum terungkap saja.

Saya mencoba menghubungkan perjalanan kualitas jiwa ini dengan dimensi langit, yang di dalam al Qur’an ‘kebetulan’ disebut ada tujuh. Dalam perjalanan Isra’ Mi’raj, Rasulullah pun digambarkan ‘naik’ sampai ke langit ke tujuh untuk memperoleh suasana kebatinan yang membuat ‘penglihatan spiritualnya’ terbuka luas. Sampai-sampai beliau digambarkan 'terpesona' di puncak dimensi alam semesta yang bernama Sidratul Muntaha itu, QS. An Najm: 14-18.

Dimanakah puncak langit yang bernama Sidratul Muntaha itu? Saya meyakininya tidak jauh dari kita. Yakni, sudah meliputi kita semua. Tetapi, berada di dimensi yang berbeda. Setiap kita, sebenarnya sudah diliputi oleh Sidratul Muntaha itu. Karena, ia berada di langit ke tujuh yang luasnya mencakup langit-langit di bawahnya.

Saya sering mengumpamakan dengan cara penyederhanaan, bahwa susunan langit itu seperti sebuah bola di dalam bola, di dalam bola, di dalam bola sampai tujuh lapis. Artinya, langit pertama dimana kita berada ini, sebenarnya ‘terendam’ di dalam bola yang lebih besar bernama langit kedua. Sedangkan ‘bola’ langit kedua juga ’terendam’ di dalam bola langit ketiga yang lebih besar. Langit ketiga di dalam langit keempat, di dalam langit kelima, keenam, sampai ke tujuh. Dan yang ketujuh, terendam di dalam Dzat Allah yang tidak terikat dimensi.

Sehingga, ketika Rasulullah sampai di langit ketujuh, sebenarnya beliau tidak beranjak kemana-mana. Yaitu, masih di sekitar Palestina saja – setelah melakukan Israa’. Sebab, meskipun posisi keberadaannya di langit ke satu, sebenarnya beliau secara bersamaan sedang 'terendam' di dalam langit kedua, sekaligus terendam di langit ketiga, keempat sampai ke tujuh.

Dan itu, bukan hanya berlaku bagi Rasulullah, melainkan kita semua. Bahkan seluruh makhluk yang berada di alam semesta ini, sedang 'terendam' di dalam lapisan-lapisan langit seperti itu. Lantas apa yang membedakannya? Kenapa Rasulullah sampai di puncak langit, sedangkan kita tidak? Itu terkait dengan kualitas jiwa. Apakah jiwa kita sedang terikat di langit pertama, ataukan sudah sinkron dengan langit kedua, atau harmoni dengan langit ketiga, dan seterusnya sampai langit ketujuh. Itulah yang saya sebuat sebagai ’arsy jiwa. Alias tingkat kualitas jiwa.

Jika ’kualitas jiwa’ kita masih berada di alam materi, maka kita hanya akan berkutat di langit pertama saja. Tetapi jika kualitas jiwa kita ’naik’ ke frekuensi energi yang lebih tinggi, maka jiwa kita akan berada di ’arsy yang lebih tinggi pula, yakni di tataran kualitas ’energi gerak’ – mekanik.

Frekuensi jiwa yang lebih tinggi adalah ketika meningkat ke ’arsy gelombang elektromagnetik di getaran kulit atom, lantas menuju ke getaran inti atom yang lebih ke dalam, kemudian lebih halus lagi ke partikel-partikel kuantum, lebih lanjut ke getaran ’partikel dasar’ penyusun alam semesta, dan akhirnya berada pada tataran 'arsy tertinggi setiap manusia yakni: ruh kita sendiri. Di tingkat ini, jiwa seorang manusia sudah sedemikian ’dekat’ dengan ’Arsy Allah, karena Ruh adalah sifat-sifat Allah itu sendiri, yang ditularkan kepada manusia.

Tentang partikel dasar penyusun alam semesta, saya memang berharap banyak agar bisa terungkap lebih gamblang. Saya sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Abdussalam yang memprediksi alam semesta ini sebenarnya tersusun dari ’sesuatu’ yang tunggal saja. Untuk itu, dia memperoleh penghargaan Nobel di bidang Fisika Teori.

Pada dasarnya, dia mengajukan teori bahwa seluruh gaya-gaya yang menyusun alam semesta ini hanya satu saja. Yang kadang tampak sebagai gaya listrik dan gaya magnet, gaya nuklir lemah dan kuat, serta gaya gravitasi. Dia meramalkan seluruh gaya itu kelak akan terbukti sebagai satu kesatuan tunggal belaka. Dan sebagiannya sudah terbukti, yakni gaya listrik dan gaya magnet yang dulu dianggap terpisah, ternyata bisa disatukan menjadi gaya elektromagnetik.

Demikian pula di tingkat kuantum, dengan gaya nuklir kuat dan lemah, serta gaya gravitasi, kelak diprediksi akan menyatu dalam sebuah formula universal. Di tingkat inti atom, ’gaya nuklir kuat’ menghasilkan gaya penyatuan proton, neutron, dan partikel lainnya untuk membentuk inti. Sedangkan ’gaya nuklir lemah’ lebih berperan pada tingkat partikel yang lebih halus. Gaya gravitasi berperan pada ’gaya ikat’ antar benda raksasa pengisi alam semesta.

Saya berharap, penelitian god-particle yang dilakukan di CERN itu akan mengantarkan para ilmuwan kepada apa yang diprediksikan oleh Prof Abdussalam, yakni munculnya suatu ’partikel dasar’ yang mewakili ’ketauhidan’ alam semesta. Ini akan menjadi bukti, bahwa partikel-partikel kuantum itu ternyata masih ’tersusun dari’ sesuatu yang lebih substansial di ’arsy paling halus eksistensi alam semesta. Dimana, ini akan menjadi tataran frekuensi tertinggi sebelum menyentuh alam ruh, yang sudah sulit untuk dijelaskan lagi.

Jadi bagaimanakah kesimpulannya, tentang  lapisan badan yang tujuh di dalam diri manusia? Pada intinya, manusia tersusun dari bahan dasar yang kontinum mulai dari ’arsy yang paling kasar berupa materi, menuju ’arsy yang lebih halus berupa energi, dan lebih halus lagi berupa ruh.

Peningkatan kualitas jiwa itu mirip dengan meningkatnya ’arsy energi di dalam eksistensi alam semesta, yakni mulai dari materi yang ’berubah eksistensinya’ menjadi energi gerak, kemudian masuk ke kedalaman atom menjadi energi elektromagnetik, menukik masuk lagi ke inti atom menjadi energi nuklir kuat, merambah ke partikel-partikel kuantum, dan membuncah di sosok partikel dasar penyusun alam semesta.

Disinilah kontinum ’arsy materi-energi itu berinteraksi dengan sifat-sifat ketuhanan berupa ruh ilahiah. Arsy kemanusiaan bergetaran di sekitar Arsy Allah. Dan, semua itu terjadi di dalam diri kita sendiri. Di kedalaman susunan triliunan sel-sel yang dikoordinasikan oleh otak sebagai organ komando aktifitas kehidupan kita. Itulah saat-saat 'badan energial' kita 'melebur' di dalam ruh kita sendiri..! Bersambung ... :)

QS. Al Insyiqaaq (84): 19-20
Sesungguhnya kamu melalui (kualitas) tingkat demi tingkat. Mengapa mereka tidak beriman (yakin)?

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 23 Januari 2011 pukul 20:28


Minggu, 23 Januari 2011

MENGENAL TUJUH LAPIS ’BADAN’ MANUSIA

Kita mencoba masuk lebih dalam ke diri manusia. Semakin ke dalam semakin halus tingkatannya, semakin tinggi frekuensinya, dan semakin dahsyat energinya. Sekaligus, semakin abstrak bentuknya. Secara umum, ’tubuh’ manusia bisa dibagi menjadi 3 eksistensi dasar, yaitu: badan, jiwa, dan Ruh. Badan adalah eksistensi paling kasar, jiwa lebih halus, dan ruh adalah yang paling halus. Tetapi, karena Jiwa memiliki tingkatan-tingkatan lagi, maka secara keseluruhan diri manusia lantas terdiri dari 7 lapisan, yang semakin ke dalam semakin tinggi kualitasnya.

Badan tersusun dari zat-zat biokimiawi seperti C, H, O, N, S, P, Ca, Na, dan lain sebagainya. Unsur-unsur itu ’dilebur’ dan disenyawakan oleh Sang Pencipta menjadi susunan tubuh yang terdiri dari susunan atom-atom. Kemudian, menjadi susunan molekul, menjadi susunan sel, menjadi jaringan sel, organ-organ, dan akhirnya menjadi tubuh seutuhnya. Inilah karya terbaik yang disebut al Qur’an sebagai ahsani taqwim ~ ’sebaik-baik bentuk’ makhluk hidup.

Seluruh tubuh itu dikoordinasikan oleh organ komando yang sangat hebat fungsinya, yakni Otak. Organ berbentuk bubur di dalam kepala ini mengomando tubuh lewat mekanisme sarafi dan hormonal, sehingga tubuh kita menjadi satu kesatuan koordinasi yang luar biasa canggihnya.

Otak juga dibantu 6 macam ’radar’ dalam bentuk alat pengindera, yakni: mata, telinga, hidung, perasa, peraba, dan hati. Semua itu, secara global sudah kita bahas serba sedikit, agar memperoleh pemetaan masalahnya secara holistik. Dan, semua yang telah kita bahas itu ternyata baru 'badan kasar' yang berada di lapis pertama eksistensi manusia.

Badan kasar manusia adalah ’alat’ atau fasilitas yang berfungsi untuk menjembatani alam dunia dengan sosok yang lebih halus di dalamnya. Itulah yang dikenal sebagai jiwa. Atau bioplasma, dalam istilah kedokteran jiwa. Inilah sosok halus badan manusia yang tersusun dari energi. Ada sejumlah lapisan energi di dalam tubuh manusia yang membentuk badan lebih halus, lebih halus, dan semakin halus, sampai menuju ke inti eksistensi seorang manusia.

Entah kebetulan atau tidak, banyak kalangan spiritual ~ yang Islam maupun non ~ memiliki persepsi yang mirip satu sama lain. Bahwa tubuh manusia ini terdiri dari 7 lapisan badan. Mulai dari yang kasar sampai yang terhalus. Sebutannya berbeda-beda, tetapi mengacu ke sesuatu yang kurang lebih sama. Ada yang menyebutnya: nafs, qalb, ruh, sirr, sirr as sirr, khafi dan akhfa. Ada pula yang meminjam istilah-istilah dalam al Qur’an dengan menyebut urutan: Jism, Nafs, Aql, Qalb, Fuad, Lubb, dan Ruh.

Di kalangan meditasi juga dikenal istilah: cakra dasar, cakra seks, cakra solar pleksus, cakra jantung, cakra tenggorok, cakra mata ketiga, dan cakra mahkota. Dan beberapa lagi istilah yang digunakan oleh beberapa kalangan yang berbeda, tetapi uniknya mengacu ke jumlah 'tujuh', mirip dengan jumlah langit yang diceritakan al Qur’an. Saya sendiri mencoba melihat realitas lapisan tubuh manusia ini dari sisi pemahaman yang berbeda, yakni dalam sudut pandang sains yang menjadi ’kacamata’ pendekatan Tasawuf Modern.

Selain badan kasar yang berupa material, badan manusia memiliki lapisan yang lebih halus. Yakni yang kita kenal sebagai jiwa. Sifatnya energial. Dalam sains dipahami, bahwa energi adalah suatu kuantitas dan kualitas yang terdapat pada materi secara inheren. Jika di situ ada materi, maka di situ pula ada energi.

Kualitas dan besarnya energi, seiring dengan kualitas susunan materinya. Sebagai contoh, sebuah kayu memiliki energi yang tersimpan di dalam kayu itu. Sepotong besi juga memiliki energi di dalamnya. Tetapi, kualitas energi kayu dan besi berbeda dikarenakan susunan atom-atom dan molekulnya berbeda. Tentu saja besi lebih kuat dari pada kayu, karena struktur penyusunnya yang lebih bagus.

Demikian pula dengan tubuh manusia. Setiap kita memiliki susunan tubuh yang berbeda, sehingga kualitas jiwa kita juga berbeda. Semakin hebat struktur tubuhnya, terutama otak, maka semakin hebat pula kualitas jiwanya. Semua manusia memiliki jiwa berupa ’badan energial’ itu di dalam badan kasarnya.

Susunannya sama dengan badan kasarnya, tetapi dalam bentuk energial. Dia punya otak energial, punya jantung energial, punya mata energial, telinga energial, dan anggota badan energial lainnya. Jika badan kasarnya mengalami kerusakan, maka badan energialnya juga mengalami kerusakan. Jika otak materialnya mengalami kerusakan, dengan sendirinya, otak energialnya juga mengalami kerusakan. Itulah sebabnya, kenapa orang gila mengalami kerusakan otak fisik, sekaligus psikologisnya.

Secara fisika dan sufistik, kita lantas bisa menggambarkan lapisan badan-badan manusia itu mengikuti tingkat kehalusan energinya. Lapisan pertamanya adalah material dengan susunan fisikal yang sudah kita bahas. Lapisan kedua, adalah jiwa energial yang paling rendah kualitasnya, yakni setingkat getaran mekanik.

Lapisan ketiga, yang lebih halus, adalah setingkat energi elektromagnetik yang bersumber dari getaran atomik. Lapisan keempat, lebih halus lagi, setara dengan energi inti atom, atau yang kita kenal sebagai energi nuklir. Lapisan kelima adalah energi yang bersumber dari partikel di tingkat kwantum. Lapisan ke enam adalah energi yang muncul dari partikel penyusun paling dasar, yang kini sedang diteliti. Dan, lapisan yang ketujuh adalah Ruh, yang berisi sifat-sifat ketuhanan.

Secara energial, jiwa itu semakin ke dalam semakin tinggi kualitasnya. Dan semakin besar kekuatannya. Energi mekanik kalah besar dibandingkan energi elektromagnetik. Tapi, energi elektromagnetik kalah hebat dibandingkan energi nuklir. Dan energi nuklir, kalah dahsyat dibandingkan energi kuantum.

Semakin ke dalam semakin halus, tetapi semakin dahsyat. Eksistensi materialnya semakin hilang dan bergeser ke eksistensi energial. Jika energi mekanik masih sangat material, maka yang namanya 'kuantum' itu eksistensi materialnya sudah bisa dikatakan hampir lenyap. Ia disebut sebagai ‘pilinan energi’.

Kalau ini kita paralelkan dengan tingkat-tingkat langit secara inner-cosmos ~ dalam jiwa setiap manusia ~ maka kita akan memperoleh tingkatan demikian: materi berada di langit pertama, getaran energi mekanik di langit kedua. Getaran energi elektromagnetik berada di langit ke-3. Getaran energi nuklir ada di langit ke-4. Dan getaran energi kuantum berada di langit ke-5.

Di balik energi kuantum ini masih ada satu level energi lagi, yaitu getaran partikel yang disebut sebagai ‘god-particle’ dan kini sedang diselidiki keberadaannya dengan menggunakan mesin pemecah partikel -Large Hadron Collider (LHC). Mesin raksasa dengan panjang sekitar 27 km itu diinstal di perbatasan negara Prancis dan Swiss. Partikel yang sedang diteliti itu diperkirakan adalah partikel yang menjadi asal muasal penyusun alam semesta. Lebih tua dari energi kuantum yang sekarang dianggap sebagai penyusun segala jenis benda.

Jika partikel itu diketemukan, maka partikel kuno itu akan menjadi getaran paling halus di level energi penyusun alam semesta. Partikel itu kini sudah semakin jelas 'sosok'nya, meskipun masih butuh waktu untuk mengungkapnya secara lebih gamblang. Maka, inilah getaran energi paling halus yang sejajar dengan langit ke-6.

Sedangkan langit ke-7 sudah bukan berada di level-level energi itu, melainkan berada di dimensi Ruh. Apakah Ruh? Dia bukan energi, melainkan sifat-sifat ketuhanan. Substansi dasarnya tidak diketahui, karena itu Allah memberikan semacam warning ketika bicara tentang Ruh: tidaklah kalian diberi ilmunya, kecuali cuma sedikit...!

QS. Al Israa’ (17): 85
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan SEDIKIT".

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 22 Januari 2011 pukul 17:14