Senin, 24 Oktober 2011

MAKNA DAN HIKMAH DALAM IBADAH HAJI

Oleh Syekh Subakir pada 24 Oktober 2011 pukul 4:32

Sahabat JERNIH yang (mudah-mudahan) dirahmati oleh Allah..

Bulan ini, kembali kota suci Makkah dan Madinah akan dikunjungi jutaan mukmin dari seluruh penjuru dunia untuk menunaikan salah satu kewajiban Islam yaitu Ibadah Haji.

Saya tidak pernah berhenti untuk mengingatkan bahwa dalam berislam kita jangan sampai terjebak kepada ritual dan simbol  belaka, melainkan harus dapat memahami makna dan hikmah di balik ritual ibadah yang kita jalankan. Kegagalan memahami makna dan hikmah dalam ritual ibadah, akan menjadikan apa yang kita lakukan itu tidak banyak berarti. Sebagaimana kita lihat bahwa setiap tahun jemaah haji asal Indonesia selalu mencapai jumlah terbanyak, namun sekembalinya mereka dari Tanah Suci ternyata tidak terlalu membawa dampak positif bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama di Tanah Air.

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang makna dan hikmah dalam Ibadah Haji, maka saya ingin bertanya kepada anda semua tentang tujuan berhaji.

Ya, apa sebenarnya tujuan anda dalam berhaji?

Demi memenuhi kewajiban agama saja? Ingin berdoa sepuasnya dan mendapatkan berkah dari Allah? Ingin memperoleh gelar haji? Atau ingin berjalan-jalan saja? Ataukah masih ada maksud-maksud lain di balik ibadah haji itu seperti tujuan politis, misalnya?

Jika tujuan anda berhaji masih seputar dari hal-hal di atas, maka anda mungkin belum akan mendapatkan manfaat dari ibadah haji tersebut. Al Qur’an telah dengan jelas menerangkan apa tujuan dari ibadah haji :

QS Al Baqarah [2] : 197
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan HAJI, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekal lah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah TAKWA dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”

QS Al Baqarah [2] : 125
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada IBRAHIM dan ISMAIL: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud".

Tujuan dari ibadah haji adalah untuk meraih ketakwaan, dengan menapaktilasi perjalanan Nabi Ibrahim dan keluarganya.

Ritual dalam Ibadah Haji mencakup lima hal :

1. Ihram.
2. Wuquf di Padang Arafah.
3. Lempar Jumrah di Mina.
4. Tawaf di sekeliling Ka’bah.
5. Sa’i di antara bukit Shafa dan Marwa.

Mari kita bahas lima ritual dalam Ibadah Haji ini secara garis besarnya!

1. IHRAM

Ihram adalah pakaian bagi jamaah Haji yang merupakan kain putih yang tidak berjahit. Baik orang Indonesia, Amerika, Arab, kulit putih, kuning, hitam, kaya, miskin, pejabat, rakyat jelata, semua diwajibkan mengenakan pakaian Ihram. Ini mengandung maksud bahwa di hadapan Allah semua derajat manusia adalah sama, sedangkan yang membedakan adalah kualitas ketakwaannya. Ini sekaligus menegaskan prinsip egalitarian atau persamaan derajat sesama manusia dalam Islam.

QS Al Hujuraat [49] : 13
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu SALING MENGENAL. Sesungguhnya orang yang paling MULIA di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling BERTAKWA di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

2. WUQUF

Wuquf adalah kegiatan berdiam diri di Padang Arafah. Pertanyaannya : berdiam diri untuk apa? Hanya menghabiskan waktu untuk bengong tanpa tujuan? Atau “berdiam” sambil makan-makan mewah di tenda-tenda haji tersebut?

Tentu tidak demikian. Bahwa berdiam diri di Padang Arafah itu mengandung maksud untuk introspeksi diri. Mempertanyakan kepada diri sendiri, sejauh mana komitmen kita sebagai makhluk yang diciptakan Allah hanya untuk beribadah kepada-Nya. Merenung dan mencoba untuk mengenali jati diri yang sebenarnya dan memahami makna kehidupan. Sehingga ia akan selalu mengingat apa yang telah dilakukannya di masa-masa lalu. Memohon ampun atas segala dosa yang telah diperbuat, seraya berjanji untuk melangkah menuju masa depan yang lebih baik.

3. LEMPAR JUMRAH

Lempar Jumrah di Mina, adalah kegiatan melempar batu kerikil sebanyak tujuh kali ke arah tugu sebagai simbolisasi perlawanan terhadap godaan setan. Nabi Ibrahim melakukannya (melempari setan dengan tujuh batu kerikil), ketika setan berusaha membujuknya untuk membatalkan ujian dari Allah untuk mengorbankan putranya, Ismail.

Maka lakukanlah Lempar Jumrah itu dengan segenap hati, untuk mengusir sifat-sifat setan dalam diri kita, akan tetapi lakukanlah dengan tenang dan tertib. Jangan sampai maksudnya ingin mengusir setan, tapi diri kita malah kesetanan seperti yang sering terjadi bila jemaah melempari tugu itu dengan membabi buta sehingga mengenai jemaah yang lain. Lakukanlah dengan baik, karena sesungguhnya tugu itu bukanlah setan itu sendiri, akan tetapi adalah simbolisasi dari setan. Setan yang sesungguhnya ada di dalam hawa nafsu yang tidak terkendali dan menjelma menjadi perbuatan yang jahat.

4. TAWAF

Tawaf adalah ritual haji mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali dengan berlawanan arah jarum jam. Ada dua makna penting dalam Tawaf ini, yaitu:

(i) Bahwa segala sesuatu di alam semesta ini sebenarnya adalah pusaran energi tanpa henti yang selalu digerakkan oleh Sang Konduktor alam semesta yang tidak lain dan tidak bukan adalah Allah Yang Maha Besar. Allah adalah Dzat Yang Maha Meliputi Segala Sesuatu, yang tidak pernah berhenti memainkan orkestra mulai dari peredaran gugus galaksi yang super luas hingga orkestra terkecil dalam sel tubuh makhluk hidup.

Maka dalam bertawaf, kita sebenarnya sedang meleburkan diri ke dalam orkestrasi Allah dalam pusaran energi Ka’bah, dengan selalu mengingat dan memuji nama-Nya. Setiap putaran selalu dimulai dengan bacaan, “Bismillahi Allahu Akbar” yang artinya “Dengan Nama Allah Yang Maha Besar“. Seperti itulah seharusnya kita menjalani hidup dalam setiap hembusan nafas, dengan mengingat Allah Yang Maha Besar, sehingga potensi kesombongan dalam diri ini bisa diredam.

(ii) Bahwa dalam bertawaf itu kita sekaligus menceburkan diri ke dalam realita hidup di dunia ini yaitu menghadapi berbagai macam karakter manusia.

Coba lihat! Ada jamaah yang bertawaf dengan tergesa-gesa, main tubruk sana tubruk sini seolah-olah tidak mempedulikan jamaah yang lain. Ada juga yang bertawaf sambil berteriak-teriak bangga. Ada yang sangat berhati-hati, saking berhati-hatinya ingin menyelamatkan diri sehingga malah lupa berdzikir kepada Allah. Maka sebaik-baik Tawaf adalah mereka yang mampu melakukannya dengan dzikir khidmat kepada Allah, akan tetapi tetap pada kesadarannya memperhatikan manusia di sekelilingnya. Itulah konsep Islam yaitu ‘habluminallah’ dan ‘habluminannas’, yaitu hubungan vertikal dan horizontal.

5. SA’I

Sa’i adalah berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa sebanyak tujuh kali. Ini merupakan napak tilas perjuangan Hajar, istri Nabi Ibrahim, ketika berusaha mencari mata air untuk putranya Ismail yang kehausan.

Ritual Sa’i ini bermakna perjuangan tanpa henti. Usaha dan kerja keras untuk meraih hasil. Maka biasanya, jamaah haji seusai melakukan Sa’i bisa meminum air Zamzam sebagai simbol hasil yang didapat dari jerih payahnya.


Nah, setelah kita mengetahui makna dan hikmah dalam ritual ibadah haji dengan cara menapaktilasi perjuangan Nabi Ibrahim dan keluarganya, mudah-mudahan kita bisa memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya seusai menjalankan ibadah haji.

Pakaian Ihram akan menjadikan kita sebagai seorang yang tidak membeda-bedakan manusia karena suku, ras, agama, pangkat, kekayaan, akan tetapi saling berbagi kasih sayang dan saling mendorong agar kita menjadi orang yang bertakwa.

Wuquf akan menjadikan kita sebagai manusia yang optimis menapak masa depan dengan penuh kebaikan dengan tidak mengulangi kesalahan di masa lalu.

Lempar Jumrah akan menjadikan kita lebih kuat dan gigih dalam memerangi nafsu setan dalam diri kita.

Tawaf akan menjadikan kita selalu mengingat bahwa kita adalah bagian yang sangat kecil yang selalu melebur dalam kekuasaan Allah, dan kita akan siap menghadapi realita kehidupan ini.

Sa’i akan menjadikan kita sebagai pribadi yang pantang menyerah dan giat dalam berusaha.

Mudah-mudahan semangat dalam haji kita akan terus menyala tidak hanya pada saat kita berada di Tanah Suci, melainkan akan terus dinyalakan hingga akhir hayat kita, Sehingga kita akan meraih derajat takwa, dan pada akhirnya akan menjadi orang yang benar-benar berserah diri kepada Allah, sebagaimana diteladankan Nabi Ibrahim

QS Al An’am [6] : 161-163)
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik". Katakanlah: "Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".”

Allahu’alam …

Semoga bermanfaat!


Minggu, 16 Oktober 2011

MENGKAJI SURAT AL-MAA’UUN

QS Al Maa'uun [107] : 1-7

" Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?

.. Itulah orang yang menghardik anak yatim,

.. dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.

.. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,

.. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,

.. orang-orang yang berbuat riya,

.. dan enggan (menolong dengan) barang berguna."

Sahabat JERNIH yang (semoga) dirahmati oleh Allah...

Surat Al Maa’uun adalah salah satu surat yang populer di dalam Al Qur’an. Ada sebuah pernyataan menarik di dalamnya yaitu “Pendusta Agama.” Siapakah yang disebut sebagai pendusta agama itu? Apakah kita termasuk di dalamnya? Semoga tidak! Mari kita mengkaji secara singkat surah 107 ini.

Kata “pendusta agama” menjadi titik sentral di dalam surat ini. Mengapa Allah menggunakan kata pendusta dan agama? Tentu saja maksudnya adalah orang-orang yang “berjubah agama” akan tetapi perilakunya jauh dari ajaran agama Islam.

Apa itu orang yang berjubah agama?

Ya.. Mereka adalah orang yang rajin dalam “beribadah”. Shalat lima waktu, pintar doa dan dzikir, puasa tidak pernah bolong, naik haji berkali-kali, bahkan penampilannya pun sangat “agamis”, mungkin dengan mengenakan sorban, jubah, peci, dsb. Namun ternyata semua itu di mata Allah hanyalah “dusta” belaka.

Dusta? Bagaimana bisa begitu?

“ Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”

Sahabatku... Tentu kita paham bahwa masyarakat kita sebagian besar adalah masyarakat religius. Mulai dari pejabat, ulama, pengusaha, dan segenap lapisan masyarakat lainnya. Maka agak mengherankan jika angka kemiskinan di negeri ini masih sangat tinggi. Jika saja semua umat Islam memiliki kesadaran untuk berempati kepada anak yatim dan orang miskin, seharusnya angka kemiskinan tidak setinggi itu.

Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya :

Pertama, bahwa sebagian umat Islam tidak terketuk hati nuraninya melihat fakir miskin dan anak-anak terlantar. Ajaran agama Islam tidak benar-benar merasuk ke dalam pikiran dan hati mereka, karena agama itu sebatas KTP atau ritual-ritual belaka yang tanpa makna. Maka dari itu mereka tidak menganggap penting tentang nasib fakir miskin dan anak-anak terlantar. Bagi mereka jauh lebih penting menumpuk harta sebanyak mungkin, memikirkan jabatan, kekuasaan, dan popularitas. Itulah mengapa Pasal 34 UUD’45 hingga kini kian tidak jelas jluntrungannya. Padahal coba perhatikan! Hampir semua ayat yang berbicara tentang shalat selalu diikuti dengan perintah zakat!

Kedua, karena perintah zakat hanya dipahami sebagai ritual alias formalitas belaka. Zakat 2,5% dari penghasilan setahun sekali dirasa sudah cukup. Padahal seharusnya tidak begitu. Zakat dan sedekah seharusnya menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari, bukannya hanya dikeluarkan pada saat Idul Fitri dan Idul Adha saja. Itu pun sebaiknya kita juga memiliki kesadaran untuk mengeluarkan harta kita lebih dari standar minimal yaitu 2,5%. Saya sendiri agak heran ketika melihat sebagian orang yang penghasilannya bisa miliaran rupiah, akan tetapi ketika berzakat menggunakan standar minimal 2,5%. Saya pikir orang-orang itu tetap bisa hidup bahagia bahkan dengan 70% dari penghasilannya tersebut, meskipun ia harus menyisihkan, katakanlah, 30% saja untuk membantu fakir miskin dan anak-anak terlantar.

“ Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya....”

Luar biasa! Allah memberikan ancaman kepada orang-orang yang shalat!

Lho, apakah berarti shalat itu ibadah yang tidak direstui oleh Allah?

Tentu tidak!

Al Qur’an menjelaskan tentang orang-orang yang “lalai” dari shalatnya. Apa maksudnya lalai? Yaitu orang-orang yang tidak benar-benar shalat dari hati nuraninya. Mereka yang tidak benar-benar berkomunikasi dengan Allah dalam shalatnya. Shalatnya hanya menjadi olah raga dan rutinitas harian saja. Ayat demi ayat dibaca cepat-cepat, tanpa mengerti artinya, apalagi memahami maknanya.
Maka shalat mereka tidak berdampak pada perilaku mereka sehari-hari. Hati nuraninya tidak tersentuh oleh hikmah ayat-ayat Al Qur’an. Tentu saja pada akhirnya mereka lalai kepada “paket wajib” yang selalu menyertai perintah shalat, yaitu zakat untuk menyantuni fakir miskin dan anak-anak terlantar!

“ orang-orang yang berbuat riya (pamer), dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”

Apalagi orang-orang yang shalat hanya untuk pamer alias riya. Shalat karena ingin dianggap alim. Shalat karena kewajiban setor muka di hadapan atasannya, dan sebab-sebab lain yang menjadikan shalatnya bukan karena Allah.

Orang-orang semacam ini jelas akan merasa enggan dalam hal tolong-menolong. Kalaupun ia menolong seseorang, tentu karena maksud-maksud yang bermuatan kepentingan pribadi, dan bukan menolong karena kewajiban sebagai hamba Allah.

Mari kita renungkan kembali!

Sudahkah shalat kita menjadi media untuk berkomunikasi dengan Allah? Curhat dengan Allah? Meresapi kata demi kata yang kita ucapkan dalam shalat, sehingga hati kita bergetar ketika membaca ayat-ayat Allah?

Sudahkah shalat kita menjadikan kita berkepribadian Qur’ani? Yang hatinya selalu tersentuh sehingga “meneteskan air mata” ketika melihat anak-anak yatim dan orang-orang miskin yang kurang beruntung? Saya ingatkan sekali lagi! Hampir semua ayat tentang perintah shalat, selalu diikuti dengan perintah zakat!

Sudahkah shalat kita hanya untuk Allah? Bukan untuk siapa pun?

Sudahkah kita tolong-menolong semata-mata karena fitrah kita sebagai makhluk Tuhan di bumi yang memang diwajibkan untuk saling tolong-menolong agar tercipta kehidupan yang penuh harmoni, tanpa memandang status sosial, suku bangsa, dan agama?

Jika iya.. Insya Allah kita bukan termasuk “para pendusta agama.”

Sesungguhnya ajaran Islam itu sederhana, namun universal dan mendalam. Maka dari itu saya agak sedih ketika umat Islam sering meributkan hal-hal kecil yang tidak pernah diperintahkan di dalam Al Qur’an, sehingga menjadikan kita tidak lagi menjadi makhluk yang humanis, yang selalu menebar kasih sayang dan persaudaraan kepada sesama manusia, dan berbuat baik kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya.

Ibadah hanya kepada Allah, berempati kepada kaum miskin dan anak yatim, serta menjaga sikap saling tolong-menolong ..

Tidak sulit bukan?

Allahu’alam ..


Semoga bermanfaat!

Minggu, 09 Oktober 2011

SUDAHKAH KITA MENJADI KHALIFAH DI BUMI

Oleh Hanya Copas Tulisan Bermutu pada 8 Oktober 2011 pukul 11:42
SUDAHKAH KITA MENJADI KHALIFAH DI BUMI
--------------------------------------------------------------------------

Oleh : Agus Mustofa dalam buku MEMBONSAI ISLAM


Coba kita tengok diri sendiri: keteladanan apa yang telah kita bisa – umat Islam –tawarkan kepada dunia dan seisinya?

Apakah kita telah berjasa membangun peradaban manusia global yang maju? Apakah kita telah berjihad membangun Sains dan Teknologi untuk mengelola Planet Bumi bagi kesejahteraan masyarakat dunia? Atau, apakah kita telah berperan penting dalam mengamankan Bumi dari kehancuran yang semakin nyata di masa depan? Ataukah kita telah terlibat secara aktif untuk membentuk tata dunia yang mengantarkan manusia di planet Bumi ini menuju kedamaian dan keadilan?

Dalam bahasa agama : sudahkah kita menjadi ‘khalifatu fil ardhi’ sebagaimana desain penciptaan kita sebagai manusia?

Marilah kita tengok kembali Al Qur’an, bahwa umat Islam sebenarnya adalah umat teladan. Umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Yang tujuan hidupnya adalah membentuk masyarakat dunia yang penuh dengan kema’rufan dan jauh dari kemungkaran. Serta mengorientasikan kehidupannya hanya kepada Allah.

Inilah umat yang didesain Sang Pencipta untuk menjadi pemimpin planet Bumi, dan menyejahterakan penduduknya dalam arti yang sebenar-benarnya. Menebarkan kasih sayang dan kesejahteraan secara adil dan merata, untuk manusia dan kemanusiaan. ‘Rahmatan lil’alamiin ..’

Kayaknya, perlu kita coba untuk bercermin. Sudahkah tujuan penciptaan kita itu terwujud dalam kehidupan kita? Kalau belum, dan kita semua tahu itu belum, pertanyaannya adalah : kenapa?

Kenapa “umat terbaik” yang didisain menjadi ‘khalifatu fil ardhi’ ini belum menjadi khalifah? Kenapa sang pemimpin belum juga menjadi pemimpin? Dan kenapa Sang Teladan belum menjadi teladan di muka bumi ciptaan Allah?

Sebagian kawan menjawab, bahwa kita sudah pernah menjadi teladan di jaman-jaman keemasan Islam. Kita pernah memunculkan tokoh-tokoh menonjol dalam dunia internasional. Dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan beberapa, juga dalam bidang politik. Tetapi, semua itu kini lenyap seperti tidak berbekas.

Umat Islam, kini berada dalam suatu posisi yang kurang menguntungkan. Baik dalam bidang politik, sains, teknologi, ekonomi, militer, maupun kualitas SDM secara keseluruhan. Bahkan umat Islam kini seperti terpojok dalam sebuah ‘Image Building’ yang serba sulit dan sangat merugikan performa secara keseluruhan.

Suatu ketika ada seorang tamu ‘bule Eropa’ datang ke rumah saya. Selama sekitar 2-3 jam kami berdiskusi tentang Islam dan keislaman. Sampai suatu saat ia menyoroti betapa tidak menguntungkannya posisi Islam dan Umat Islam di mata dunia internasional sekarang ini.
Tanpa ada maksud memojokkan, ia berkata begini: “Saya dan kawan-kawan saya sering mendengar yang tidak enak-enak dari dunia Islam. Yang paling sering adalah isu teror dan bunuh membunuh, seperti yang sering terjadi di Indonesia, Philipina, Timur Tengah, bahkan di Eropa dan AS. “

Yang kedua, katanya, adalah isu korupsi. Negara-negara Islam atau yang mayoritas berpenduduk Islam seperti Indonesia memiliki ‘budaya korupsi’ yang luar biasa. Hampir setiap hari, media massa, cetak maupun elektronik memuat berita tentang korupsi.

Yang ketiga, cerita tentang kemiskinan dan ketidakadilan dalam bidang kesejahteraan. Begitu banyak cerita orang kelaparan, sakit busung lapar, dan berbagai penyakit lainnya, akibat dari ketidakadilan dan salah urus terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang tidak mampu, lemah atau dilemahkan oleh keadaan.

Yang keempat, katanya, ia seringkali mendengar dan melihat demikian banyaknya cerita bencana yang terus menerus mengguncang. Mulai dari gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, banjir dan tanah longsor, dengan korban yang mengerikan ..!

Sampai di sini sebenarnya saya sudah sangat resah dan hampir tak tahan, mendengarkan celotehan tamu saya itu. Hati saya menjadi miris mendengarnya. Karena semua yang dia gambarkan itu seperti terpampang nyata di depan mata saya. Dia bukan sedang membual, tapi sedang menginventarisasi masalah ..!!

Namun, ia seperti tidak tahu kegelisahan saya. Dia masih meneruskan celotehannya. Dia paparkan panjang lebar, soal budaya sehari-hari kalangan umat Islam. Setidak-tidaknya di Indonesia yang mayoritas muslim.  Banyak yang menurutnya “kurang enak”. Misalnya, dalam soal makan dan perilaku hidup boros.

Dia sering melihat orang kita, kalau makan suka mengambil porsi berlebihan. Nasinya banyak, lauknya menggunung. Tapi setelah dimakan ternyata tidak habis. Lantas dibuang! Padahal banyak orang yang kelaparan di sekitar kita ...

“Berbeda dengan kami”, katanya. Kami terbiasa mengambil makan secukupnya. Jika kurang , mengambil lagi secukupnya. Selalu habis dimakan. Tidak pernah membuang-buang makanan. Kami selalu teringat banyak negara miskin yang kekurangan makanan, karena itu kami tidak tega untuk membuang-buang makanan seperti itu.

Dan ini yang lebih menusuk hati saya, ia mengatakan begini : “saya kira negara kami lebih kaya dari di sini, tetapi kenapa orang-orang di sini lebih boros dibandingkan masyarakat kami?”
Saya tercenung beberapa lama, tak ingin memberi tanggapan apa pun. Karena, semua itu memang terpampang di sekitar kita. Sebuah realitas, yang harus saya pahami dengan hati besar. Sekaligus keprihatinan.

Sebenarnya masih banyak lagi obrolan kami yang memiriskan hati, tapi tak perlu saya kemukakan di sini. Cukup kami yang merasakan. Saya bisa menerima ungkapan kritis itu dengan lapang hati, meskipun terasa sakit.

“Untungnya”, bule Eropa itu adalah seorang muslim. Sehingga saya tidak begitu malu. Meskipun ia tergolong mualaf. Baru masuk Islam. Jadi, sebenarnya waktu itu, kami sedang sama-sama melakukan ‘autocritic’. Mengkritik diri sendiri. Kami sama-sama tahu, bahwa semua itu bukan salah ajaran Islam. Tetapi perilaku umatnya yang memang belum Islami ..!
Meskipun, sungguh ini sangat memilukan hati. Kenapa umat yang didesain untuk menjadi umat terbaik ini kondisinya begini rupa.

Kenapa tidak kita ciptakan kondisi yang baik-baik, enak-enak, dan menyejukkan hati. Misalnya kenapa tidak muncul penemuan-penemuan sains dan teknologi yang bermanfaat buat masyarakat dunia oleh ilmuwan-ilmuwan muslim? Atau, kenapa tidak kita munculkan jihad untuk memperbaiki kembali ekosistem dan lingkungan hidup yang semakin rusak, dan menyengsarakan penduduk bumi?

Atau bagaimana kita bisa menciptakan SDM-SDM berkualitas dunia lewat sistem pendidikan yang Islami dan berwawasan masa depan yang sarat dengan sains dan teknologi. Bagaimana pula membangun solidaritas terhadap kaum miskin dan mengentas anak-anak terlantar dalam kerangka yang diajarkan oleh Al Qur’an.

Atau, bagaimana kita bisa menyatukan kembali persaudaraan Islam atas kelompok-kelompok yang terpecah belah di berbagai belahan dunia Islam termasuk di Indonesia sebagai negara yang umat Islamnya terbesar di dunia. Dan sebagainya ..

Mari kita mengkritisi diri sendiri lebih jauh. Kita coba bercermin ke segala penjuru untuk memahami wajah kita dewasa ini. Ke masa lalu, ke masa depan, maupun ke sekitar kita, kini. Untuk apa? Untuk mencari tahu, kenapa wajah kita yang seharusnya mempesona, tidak lagi menarik seperti yang seharusnya ..

Dan jika, kemudian kita menemukan wajah kita banyak noda atau bahkan bopeng-bopeng, janganlah cermin itu yang kita pecah. Marilah bersama-sama kita obati diri dan wajah ini, kita berupaya mencari jalan keluarnya dengan besar hati dan penuh kesabaran, sambil memohon petunjuk kepada-Nya ..

Mudah-mudahan Allah berkenan mengampuni dosa-dosa kita, dan membimbing kita semua untuk menjadi umat teladan, sebagaimana di jaman Rasulullah SAW. Ya, menjadi umat terbaik di muka Bumi, seperti yang telah digambarkan oleh Allah di dalam Al Qur’an Al Karim ..

Kamis, 15 September 2011

MENGKAJI SURAT AL-FATIHAH

Oleh Syekh Subakir di JERNIH (Berkas)
15 September 2011 pukul 6:55 

Surat Al-Fatihah (Surat Pembuka) adalah surah yang paling populer bagi umat Islam, dikarenakan surat ini adalah bacaan wajib di saat kita shalat, dan juga surat yang paling sering dibaca pada saat berdoa. Surah Al-Fatihah disebut juga sebagai induk dari segala surat dalam kitab suci Al Qur'an, dikarenakan surat ini memuat pokok-pokok isi dalam keseluruhan Al Qur'an.

Saya yakin 90% pemeluk agama Islam hafal luar kepala ketujuh ayat dalam Al-Fatihah. Pertanyaannya: Sudahkah kita mengaji (baca: mengkaji) secara sungguh-sungguh isi dari surat Al-Fatihah ini? Mengaji dalam arti tidak hanya menghafal atau membaca ayat-ayat tersebut dengan lantang dan cepat, melainkan benar-benar mengerti dan mendalami isi surat yang luar biasa ini. 

Saya khawatir bahwa sebagian dari umat Islam kurang mendalami isi dari surat ini. Jangankan mendalami, mengerti terjemahannya saja mungkin tidak! Jadilah ketujuh ayat itu meluncur dari bibir kita pada setiap shalat dan do'a, namun tanpa makna. Tidaklah heran juga ketika melihat betapa sesungguhnya umat kita jauh dari pesan-pesan Al Qur'an. Padahal jika kita memahami, sesungguhnya surat Al-Fatihah adalah doa yang sangat indah, dan merupakan dasar bagi kita untuk mendalami hikmah dalam Al Qur'an, yang insya Allah akan membawa dampak yang baik bagi kehidupan kita!

Berikut terjemahan Indonesia pada Surat Al-Fatihah :

1. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam
3. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
4. Yang menguasai hari pembalasan.
5. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan
6. Tunjukilah kami jalan yang lurus,
7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Mari kita mengaji sejenak surat dalam Al Qur'an yang begitu "familiar" ini!

1. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Bahwa hidup ini adalah untuk mengenal-Nya dengan baik, dan untuk kembali kepada-Nya dengan baik. Maka dari itu kita sebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang pada setiap hembusan nafas kita. Kita berbuat karena Allah. Kita berucap karena Allah. Kita belajar karena Allah. Kita bekerja karena Allah. Kita berperang karena Allah. Segala sesuatu yang kita lakukan adalah demi mengharapkan ridha-Nya semata.
Maka jika kita menyadari hal ini, insya Allah kita akan benar-benar menjaga pikiran, ucapan, perbuatan, dan perilaku kita dalam jalan Allah, sehingga menghasilkan manusia yang berkepribadian baik dan bermanfaat bagi alam semesta.

2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Penegasan akan keberadaan Allah sebagai Tuhan semesta alam. Bahwa alam semesta ini tercipta atas kekuasaan-Nya. Dan tidak ada penguasa alam semesta ini melainkan Allah semata. Maka dari itu kita diperintahkan untuk terus mengamati dan mempelajari rahasia alam semesta, sehingga kita akan mengerti tanda-tanda kekuasaan-Nya.
Semakin kita mengerti rahasia alam semesta, maka semakin kita mengagumi kebesaran-Nya. Ungkapkan kekaguman anda dengan memuji-Nya dan bersyukur kepada-Nya, atas segala nikmat yang telah dianugerahkan kepada kita semua. 

3. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Penegasan sekali lagi sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang!
Luar biasa bukan, kalimat ini ditegaskan hingga dua kali dalam satu surat pendek ini! Apa artinya? Bahwa alam semesta ini ada di dalam kekuasaan Dzat Maha Besar yang memiliki sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Allah adalah Dzat Maha Tinggi yang senantiasa akan melimpahkan kasih sayang dan ampunan kepada manusia yang bodoh dan lemah.
Oleh karena itu, jika pemahaman agama kita sampai pada kesimpulan bahwa Allah adalah Tuhan yang pemarah, penghukum, dan kejam, maka anda perlu berpikir ulang terhadap pemahaman anda! Ketika kita menyadari bahwa Allah sangat mengutamakan sifat kasih sayang, maka sebagai makhluk-Nya, kita wajib menebar kasih sayang kepada alam semesta ini. Berikan kasih sayang kepada orang tua kita, anak-anak kita, istri kita, keluarga kita, sahabat kita, tetangga kita, sesama manusia, sesama makhluk hidup, kepada lingkungan. Itulah hakikat Islam yang sebenarnya yaitu damai. 

4. Yang menguasai hari pembalasan.

Kita diingatkan oleh Allah akan adanya hari pembalasan setelah peristiwa kebangkitan. Meskipun Allah Maha Pengasih dan Penyayang, tentu Dia Maha Adil. Hakim seadil-adilnya! Kebaikan akan dibalas dengan nikmat surga, dan kejahatan akan dibalas dengan azab neraka.
Oleh karena itu Allah memperingatkan kita untuk berhati-hati dalam menjalani hidup di dunia ini. Jangan berlebihan, jangan sewenang-wenang, jangan berbuat jahat karena hidup kita tidak benar-benar berakhir dengan adanya kematian! Semua akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak!

5. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.

Bahwa tidak ada yang patut disembah melainkan Allah dalam arti yang sebenar-benarnya. Tidak hanya menyembah selain Allah dalam konteks ibadah ritual, akan tetapi dalam kehidupan kita sehari-hari. Masih banyak di antara kita yang shalatnya rajin, akan tetapi dalam keseharian memilih untuk bertuhan kepada ego, uang, jabatan, dan popularitas.
Memohon pertolongan hanya kepada Allah semata. Bukan berarti kita harus menolak pertolongan dari manusia, makhluk hidup lain, atau alat-alat bantu. Akan tetapi segala pertolongan itu harus kita pahami sebagai kepanjangan tangan Allah. Sehingga dalam setiap pertolongan yang kita dapatkan tidak pernah lupa kita bersyukur kepada Allah dengan menebar kebaikan yang lebih luas lagi.  

6. Tunjukilah kami jalan yang lurus.

Manusia diciptakan Allah untuk mengarungi kehidupan dunia dengan berbagai godaan dan gangguan. Tentunya kita berharap dapat menjalani kehidupan itu di jalan yang benar, yang akan mengantar kita kepada Allah dalam keadaan baik. Tidak henti-hentinya kita panjatkan doa ini, sebagai bukti kelemahan kita ini di hadapan-Nya. Allah akan selalu membuka kebenaran demi kebenaran kepada hamba-Nya yang tulus ikhlas. Kita akan menyadari bahwa kebenaran yang kita pahami tidaklah mutlak, maka dari itu kita akan selalu haus mencari kebenaran.
Dengan demikian insya Allah kita akan terhindar dari sifat sombong, yang merasa paling tahu dan paling mengerti kebenaran, sehingga meremehkan yang lain bahkan menganggap sesat. 

7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Sebagian ahli tafsir menafsirkan kaum yang dimurkai adalah Yahudi, sedangkan kaum yang tersesat adalah Nasrani. Saya kurang sependapat dengan tafsir yang cenderung menyederhanakan permasalahan. Mudah saja tafsir ini digugurkan. Saya akan bertanya, bagaimana dengan umat Buddha? Umat Hindu? Atheis? Apakah Tuhan tidak menyadari masih ada umat-umat lain? Kenapa hanya Yahudi dan Nasrani? Maka dari itu mungkin ada penafsiran yang lebih tepat. Kaum yang dimurkai Allah berkaitan dengan perilaku buruk dan sewenang-wenang di dunia ini. Ini bisa termasuk umat Islam sendiri, yang mengaku Islam tapi perangainya sangat buruk. Tentu Allah akan murka terhadap orang-orang semacam ini. Begitu pula dengan orang-orang yang tersesat. Kesesatan bisa terjadi oleh karena kesombongan dan keengganan menggunakan akal pikirannya dengan baik sehingga menjadi bodoh. Sombong dan bodoh menjadikan orang mudah terjerumus pada kesesatan. Kesesatan pada manusia bisa dilihat dari buahnya. Ia akan merasa jauh dari Tuhan, bahkan menambah kedurhakaannya dengan mengingkari adanya Tuhan.
Maka dari itu orang yang dikatakan diberikan kenikmatan di sini adalah orang-orang yang benar-benar mengerti hakikat dalam berislam. Bukan Islam kulit luarnya saja, bukan pula orang yang hanya "berilmu Islam". Dengan demikian efeknya akan luar biasa. Ia akan menjadi merasa dekat dengan Allah. Hatinya akan tenteram damai. Pikirannya terbuka, kecerdasannya terasah. Sifatnya penyabar dan suka tolong menolong. Jujur, adil, dan tegas dalam melawan kejahatan di dunia ini. Itulah nikmat yang akan kita rasakan jika kita benar-benar tahu pesan Islam yang sesungguhnya, dan tentu saja.. menjalaninya dengan sepenuh hati karena rasa cinta kepada Dzat Yang Maha Mencintai umat manusia.. Allah Yang Maha Besar!

Mudah-mudahan dengan penjelasan yang singkat dan sederhana ini, kita bisa menyadari dan memahami petunjuk-petunjuk Allah, sehingga kita benar-benar menjadi manusia yang bermanfaat bagi semesta alam!

Allahu'alam ..


Semoga bermanfaat!

Jumat, 09 September 2011

SIAPA YANG BOLEH MENAFSIRKAN AL QURAN?

9 September 2011 pukul 3:04

Sahabat JERNIH yang (mudah-mudahan) dirahmati Allah ..

Dalam berbagai forum kajian keagamaan, saya seringkali menemui sebuah perdebatan yang terkait tentang siapa yang berwenang menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an. Biasanya dimulai dari seseorang yang mengutip ayat-ayat Al Qur’an, kemudian dibalas dengan tafsiran menurut ulama tertentu. Berlanjut terus demikian, sehingga terjadi perang “copy paste” pendapat para ulama. Setiap orang saling membenarkan pendapat ulama yang ditaatinya, dan menyalahkan pendapat ulama yang ditaati lawan bicaranya. Apalagi kalau ada orang awam yang mengutip sebuah ayat, langsung saja diganjar ejekan bahwa orang tersebut tidak berhak menafsirkan sebuah ayat.

Pertanyaannya:
Apakah orang awam tidak boleh membaca dan menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an?
Apakah para ulama saja yang boleh menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an?
Kalau begitu kitab suci ini kurang tepat dijadikan petunjuk bagi umat manusia, karena begitu sulit dipahami, dan harus menguasai 1001 ilmu terlebih dahulu untuk bisa memahami Al Qur’an.

Betulkah begitu?

Al Qur’an Mudah Dipelajari

Jika anda berpendapat bahwa hanya para ulama yang boleh membaca, memperoleh hikmah, dan mengajarkan isi Al Qur’an, maka berarti anda telah mengharamkan sesuatu hal yang tidak pernah diharamkan oleh Allah!

Al Qur’an adalah petunjuk bagi semua orang yang berproses dalam bertakwa, tidak terkecuali anda-anda yang merasa awam!

QS Al Baqarah [2] : 2
Kitab (Al Qur'an) ini TIDAK ADA KERAGUAN padanya; PETUNJUK bagi mereka yang bertakwa“.

Perhatikan ayat-ayat berikut ini, bahwa Allah sebenarnya telah mendesain Al Qur’an agar mudah untuk dipelajari!

QS Al Qamar [54] : 17, 22, 32, dan 40
Dan sesungguhnya telah Kami MUDAHKAN Al Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang MENGAMBIL PELAJARAN?”.

QS Ad Dukhaan [44] : 58
Sesungguhnya Kami MUDAHKAN Al Qur'an itu dengan bahasamu supaya mereka MENDAPAT PELAJARAN."

Anda masih bisa menemukan ayat-ayat lain yang menegaskan bahwa ayat-ayat Al Qur’an itu mudah untuk dipelajari.

Subhanallah! Allah sendiri yang menjamin bahwa Al Qur’an itu mudah untuk dipelajari, sementara banyak dari kita yang bersikeras mengatakan bahwa Al Qur’an itu sulit untuk dipelajari, sehingga butuh tafsiran dari banyak kitab lain, yang secara tidak sadar telah kita “kitab sucikan.”

Ingat bahwa saya mengatakan bahwa Al Qur’an itu mudah untuk DIPELAJARI, bukan untuk DIPAHAMI.
Karena untuk mengerti makna kandungan Al Qur’an secara keseluruhan adalah susah-susah gampang. Karena Allah telah berfirman bahwa ayat-ayat Al Qur’an itu sebagian tersurat dan sebagian tersirat. Tapi insya Allah, Tuhan akan mempermudah kita dalam memahami isi Al Qur’an, asalkan anda mau untuk belajar!

QS Ali Imran [3] : 7
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat (TERSURAT) itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat (TERSIRAT). Adapun orang-orang yang dalam hatinya CONDONG kepada KESESATAN, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk MENIMBULKAN FITNAH dan MENCARI-CARI TAKWILNYA, padahal TIDAK ADA yang MENGETAHUI takwilnya MELAINKAN Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari isi Tuhan kami." Dan TIDAK DAPAT MENGAMBIL PELAJARAN (daripadanya) melainkan orang-orang yang BERAKAL.”

Ayat Muhkamaat (Tersurat)

Ayat-ayat Muhkamaat adalah ayat-ayat yang sudah jelas dan terang benderang maksudnya. Seperti pokok-pokok keimanan, kemudian larangan-larangan yang ada dalam Al Qur’an.

Ayat-ayat semacam ini hampir semua manusia pasti tahu maksudnya. Maka dari itu agak janggal jika ada yang beranggapan bahwa semua ayat harus dijelaskan oleh kitab-kitab lain terlebih dahulu. Apanya yang harus dijelaskan? Lha wong sudah jelas.. Inilah kadang-kadang ayat yang sudah jelas maksudnya dalam Al Qur’an, setelah “dijelaskan” oleh kitab-kitab lain jadi tidak jelas jluntrungannya.

Misalkan saja, Allah HANYA mengharamkan daging babi, bangkai, dan darah, serta hewan yang mati dengan tidak disembelih (QS. Al-Baqarah [2]:173, QS. Al-Ma’idah [5]:3, QS. Al-‘An’am [6]:145). Kemudian dilanjutkan dengan larangan Allah untuk mengada-adakan kebohongan tentang halal dan haram (QS. An-Nahl [16]: 116). Namun setelah ayat-ayat tersebut “dijelaskan” oleh kitab-kitab lain, jadilah daging kodok haram, anjing haram, kepiting haram, bekicot haram, dll.

Contoh lain adalah bagaimana persoalan agama itu tidak boleh dipaksakan (QS. Al-Baqarah [2]:256). Ayat tersebut sudah AMAT SANGAT JELAS, bahwa agama dan ibadah itu tidak boleh dipaksakan. Akan tetapi setelah ayat tersebut “dijelaskan” oleh ulama tertentu, maka jadilah santri-santrinya turun ke jalan untuk memaksa orang-orang untuk beribadah menurut pemahaman mereka. Dengan kekerasan lagi!

Ayat Mutasyabihaat (Tersirat)

Ayat Mutasyabihaat adalah ayat yang membutuhkan kedalaman ilmu untuk mengetahui. Sehingga anda tidak akan langsung mengerti maksud dari ayat itu jika hanya bersandarkan pada tekstual saja.

QS. Ali Imron [3] : 190
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,”

Tanda-tanda bagi orang yang berakal seperti apakah yang dimaksud dalam penciptaan langit dan bumi oleh ayat ini? Anda tentu akan bingung jika hanya berpegang pada ayat ini. Maka dari itu ketika Allah menyentil kata “langit dan bumi”, maka tidak sulit untuk menemukan jawabannya. Ya, anda akan menemukan tanda-tanda kebesaran Allah jika anda paham ilmu astronomi dan geologi!

Betul sekali para sahabat.. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang ayat-ayat mutasyabihaat, anda bisa menggunakan ilmu-ilmu Allah yang terhampar di alam semesta. Ilmu biologi, ilmu fisika, ilmu antropologi, ilmu sejarah, ilmu hadits, ilmu sosial, dan ilmu-ilmu lainnya. Silakan saja gunakan jika memang ilmu-ilmu tersebut bisa memudahkan kita memahami makna yang terkandung dalam ayat-ayat mutasyabihaat. Karena ayat-ayat Allah terhampar di alam semesta. Kok bisa? Ya bisa... Al Qur’an kok yang bilang.

QS Yusuf [12] : 105
Dan banyak sekali AYAT-AYAT ALLAH di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya. “

Gunakan akal, akal, dan akal!

Allah telah menganugerahkan kepada kita akal untuk memetik berbagai macam hikmah dan pelajaran dalam Al Qur’an. Maka dari itu sangat bertolak belakang jika kita mengharamkan akal dalam memahami ilmu Allah.

QS Ali Imran [3] : 7
“ ......Dan TIDAK DAPAT MENGAMBIL PELAJARAN (daripadanya) melainkan orang-orang yang BERAKAL.”

QS Yunus [10] : 100
“ ..... dan Allah menimpakan KEMURKAAN kepada orang-orang yang TIDAK mempergunakan AKALNYA.”

Kalau begitu, apa bisa kita menjamin bahwa akal kita telah menuntun kita ke jalan yang benar? Tentu saja tidak. Tapi setidaknya berusahalah untuk memaksimalkan potensi akal kita! Jangan pernah takut salah. Selalu ada proses trial-error bagi sebuah pembelajaran. Bukan berarti anda hanya menggunakan “otak” anda sendirian kemudian membolak-balik ayat-ayat tersebut. Bukan. Gunakan alat bantu otak dengan berbagai macam fasilitas yang akan memudahkan kita. Termasuk buku-buku agama, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya, termasuk nasihat para ulama. Nah, baru otak kita maksimalkan untuk menelaah kebenaran ilmu-ilmu tersebut.

Bagaimana jika kita dibilang sesat akibat salah tafsir? Lho, memangnya yang paling tahu masalah sesat atau tidaknya orang itu manusia ya? Kita tidak akan tahu kebenaran mutlak! Yang bisa kita lakukan hanyalah mendekat dan semakin mendekat pada kebenaran mutlak tersebut.

QS An-Nahl [16] : 125
“ ..... Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang LEBIH MENGETAHUI tentang siapa yang TERSESAT dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat PETUNJUK.“ ()

Intinya, jangan takut untuk belajar Al Qur’an. Salah tafsir adalah sebuah proses menuju kesempurnaan. Insya Allah Tuhan akan memudahkan jika kita memang benar-benar berniat untuk belajar Al Qur’an!

Allah Sedang Berbicara Lewat Al Qur’an

Pernahkah kita menyadari, bahwa sebenarnya Allah sedang mengajak bicara pada umat-Nya, melalui ayat-ayat Al Qur’an? Sayangnya kita sering tidak menyadari hal itu. Sehingga Al Qur’an tetap tersimpan rapi di rak lemari kita, atau hanya kita gunakan huruf-hurufnya saja untuk “mengusir kesialan.” Pun demikian kita sebenarnya sedang mengasingkan diri dari Al Qur’an jika kita selalu beranggapan dalam menafsirkan Al Qur’an itu harus melalui tafsiran para ulama. Lha wong Allah sedang “mengajak bicara” kita! Betapa sombongnya kita ini ketika mengacuhkan Allah yang sedang berbicara kepada kita.

QS Al Alaq [96] : 1-5
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia MENGAJARKAN kepada manusia apa yang tidak diketahuinya".

Belajarlah kepada Sang Guru Sejati! Allah, Sang Maha Memiliki Ilmu! Biarkan ayat-ayat Al Qur’an itu berinteraksi dengan anda! Pahami ayat-ayat Allah dengan seksama, jangan tergesa-gesa, jangan takut pula salah, karena Allah Maha Memaklumi kekurangan kita!

Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “ Biarkan Al Qur’an berbicara sendiri kepadamu! “ Jangan sampai sebaliknya, Al Qur’an disuruh mengikuti keinginan kita, atau mengikuti kitab-kitab lain.

Sudahkah Kita Menjadikan Al Qur’an Sebagai Petunjuk?

Jika anda bertanya kepada umat muslim, sebagian besar pasti menjawab “Iya!”. Akan tetapi kenyataannya tidak! Mereka lebih suka menggunakan kitab-kitab lain untuk “menjelaskan” Al Qur’an. Dan yang lebih berbahaya, mereka mengira bahwa mereka sedang mendapat petunjuk dari kitab-kitab yang mereka pegang!

QS Az Zukhruf [43] : 36-37
“ Barang siapa yang BERPALING dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Qur'an), Kami adakan baginya SETAN (yang menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar MENGHALANGI mereka dari JALAN yang BENAR dan mereka MENYANGKA bahwa mereka mendapat PETUNJUK.”

Saya sering tertawa dalam hati, ketika dalam sebuah khutbah Jum’at, pengajian, maupun forum keagamaan, ketika menghitung betapa sedikitnya ayat-ayat Al Qur’an yang disebutkan, sementara dalil-dalil dari kitab lain dengan lancar mereka lantangkan di forum itu. Bahkan ada sebuah debat di forum FB, di mana yang mereka perdebatkan itu adalah kitab-kitab para ulama. Bukankah jika mereka berpegang pada Al Qur’an akan selesai perkaranya?

Maka dari itu, Allah telah memperingatkan bahwa umat Islam akan mengabaikan kitab suci ini yaitu Al Qur’an, dan menyangka mereka sedang mendapat petunjuk!

QS Al Furqan [25] : 30
Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan AL QUR’AN ini suatu yang TIDAK DIACUHKAN."

Bahkan masih banyak di antara umat kita yang merasa tidak senang jika hanya ayat Al Qur’an yang dijadikan pegangan. Allah telah memperingatkan!

QS Al Israa’ [17] : 45-46)
Dan apabila kamu membaca Al Qur'an niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup. dan Kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya. Dan APABILA kamu menyebut Tuhanmu saja (hanya) dalam AL QUR’AN, niscaya mereka BERPALING ke belakang karena bencinya.”

Masya Allah! Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang mengabaikan Al Qur’an, sedangkan kita merasa sedang mendapatkan petunjuk!

Sekali lagi, Al Qur’an tidak sulit untuk dipelajari. Nabi Muhammad dan para sahabat yang buta huruf pun mampu belajar Al Qur’an. Para ulama pendahulu kita pun bisa belajar Al Qur’an. Apalagi kita yang hidup di zaman modern, yang sudah ada banyak referensi buku, internet, VCD, dsb. Perjuangan kita tidak akan seberat orang-orang muslim di zaman dahulu. Maka dari itu, amat sangat rugilah kalau kita sudah menyerah dahulu dengan mengatakan bahwa kita sebagai orang awam tidak akan mengerti isi kandungan Al Qur’an!

Jadikanlah Al Qur’an sebagai cahaya di hati kita. Biarkanlah Allah berbicara kepada kita lewat ayat-ayatnya. Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, jadi jangan pernah takut untuk mendekat kepada-Nya! Pembelajaran terhadap ilmu-ilmu Allah adalah sebuah pencarian yang tidak akan pernah selesai, hingga ajal menjemput. Jadikan ayat-ayat Al Qur’an sebagai penghias kehidupan kita.

Selamat belajar Al Qur’an yang penuh hikmah!

Allahu’alam .. Semoga bermanfaat!



Kamis, 08 September 2011

TREN TUNDUK BUTA UMAT ISLAM

Sungguh mencengangkan membaca buku berjudul Jihad Terlarang ‘cerita dari bawah tanah’. Sebuah buku yang menceritakan kegiatan organisasi terlarang dalam tujuannya mendirikan negara Islam di Indonesia, yang ditulis oleh mantan aktivisnya sendiri (mataharitimoer.blogsome.com).

Tercengangnya gue adalah masih ada pemahaman tentang bagaimana perlunya diagungkannya seorang imam atau pentingnya melakukan tunduk mutlak (taat) pada seorang imam (pemimpin) dalam organisasi relijius ini…gak habis pikir kok masih ada orang Islam yang masih bisa menyebarkan pemikiran-pemikiran kuno seperti itu…

Perhatikan kutipan berikut, mengenai salah satu pimpinannya bernama Abu Qital yang memarahi anak buahnya karena mempunyai seklompok anak buah yang sangat kritis.

“ Dari 12 anak buahmu, tak bisa menerima apa yang kusampaikan. Mereka bisanya hanya protes. Seumur hidup setiap aku bicara belum pernah ada yang berani memprotesku, apalagi sampai mempertanyakan dalil-dalil yang absah tentang apa yang kusampaikan…boleh kamu tanya pada asistenku, semua anak buahku adalah orang-orang yang taat pada pemimpinnya”

“Kita ini adalah harakah dakwahtul islamiyah! Kita ini fundamentalis! Kita ini pejuang Islam! Kita akan mengakkan Kalimatullah, Negara Islam bukan forum diskusi!

Intinya pimpinan sesat ini meminta anak buahnya untuk mempunyai ketaatan mutlak kepada pemimpinnya! Keputusan pemimpin harus dianggap suci dan absah!

Kalo sudah gini mah apa bedanya dengan zaman batu…kalau ketua adat kasih batu lalu minta kita percaya batu itu sakti…yaa kita harus percaya batu itu memang sakti gak usah kritis dan pakai banyak tanya segala!

Itu esensi dari zaman kebodohan, yang terjadi di abad kegelapan Eropa…yang terjadi di zaman jahiliyah pra Islam. Menegakkan Islam memakai cara ini sama saja memfitnah Islam! Lebih jauh membawa islam dalam bentuk kebodohan!

Bagi gue ini jelas bertolak belakang dengan semangat islam! Alasan gue…

(Pertama), Ia menjadikan adanya manusia suci sebagai perantara antara hubungan manusia dan Tuhan, dan ini jelas bertentangan dengan semangat islam yang meletakkan hubungan manusia dan Tuhan khusus dan sangat dekat sekali, tanpa perlu perantaraan macam-macam, apakah itu berupa benda, binatang atau manusia-manusia suci itu sendiri!

QS. Qaf [50]:16
“…Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”

Allah melihat fenomena ini sebagai usaha untuk mengganti Tuhan dengan manusia. Tentu ini sesuatu yang sangat dibenci Allah!

QS. At-Tawbah [9]:31
“Mereka menjadikan pimpinan agama dan pendidiknya sebagai tuhan”

(Kedua), ini jelas bertentangan dengan Esensi fungsi dari Alqur’an.

Perhatikan ayat ini

QS. Yasin [36]:69
“Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (muhammad) dan bersyair itu tidak layak baginya. Alqur’an itu tidak lain hanyalah PELAJARAN dan kitab yang memberi PENERANGAN”

Perhatikan peletakkan kata-kata dalam ayat tersebut kata pelajaran diletakkan sebelum kata terang. Artinya apa? Dalam memahami Al Qur’an diperlukan suatu proses belajar agar mampu memahaminya dengan terang! Jadi jelas Allah meminta adanya suatu proses …yang berarti ada suatu ruang dialog yang kritis, suatu ruang tanpa ketundukan. Karena bagi Islam ketundukan terjadi apabila telah mencapai pemahaman (ilmu). Kita tidak akan terima (tunduk) teorinya Newton kalau secara ilmiah tidak mampu dibuktikan atau dipahami bukan?

QS. ‘Ali ‘Imran [3]:19
“Tidaklah berselisih orang yang beriman kecuali setelah mereka memperoleh ilmu”

QS Saba’ [34]:6
“…dan orang-orang yang berilmu mengetahui apa yang diturunkan dari Tuhanmu adalah benar dan menunjuki kepada jalan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”

Ini semua menunjukkan bahwa Allah sangat membenci umatnya yang mengikuti sesuatu tanpa tahu alasannya terlebih dahulu! Maka mengikuti hanya karena pimpinan atau imam mengatakan atau meyakininya…yaaa itu adalah suatu kebodohan yang bertolak belakang dengan esensi Islam.

(Ketiga), Allah telah memberikan sebuah perangkat untuk manusia guna memahami sesuatu. Jelas jika kita tunduk secara buta itu berarti kita manusia mengabaikan pemberian perangkat ini.

Perhatikan ayat berikut ini

QS. An Nahl [16]:78
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu Pendengaran, Penglihatan, dan Hati, agar kamu bersyukur”

Perhatikan kata Pendengaran, Penglihatan, dan Hati selalu diurutkan dengan sama di semua ayat-ayat yang mengangkat kalimat ini. Bagi gue ini sebuah keajaiban dari Qur’an yang menerangkan sebuah perangkat untuk memahami.

*Pendengaran bagi gue mewakili tahap pernyataan dia bisa berupa hipotesis, statement, misi dsb.
*Penglihatan bagi gue mewakili tahap uji coba atau pembuktian (menyaksikan pengujian).
Terakhir *Hati mewakili tahap pemahaman dan pengertian.

Untuk mencapai tahap pemahaman memang tidak mudah, proses dari pendengaran ke penglihatan bisa berulang-ulang kembali lagi, hingga pada akhirnya mencapai keakuratan kebenaran yang tinggi (hati)!

Dalam film detektif jika ada peristiwa pembunuhan, seorang detektif akan membuat berbagai statement-statement hipotesis (pendengaran), kemudian masing-masing statement hipotesis tersebut akan diuji kebenarannya (penglihatan). Dalam pengujian tersebut tidak tertutup kemungkinan statement hipotesis akan berubah atau berkembang, yang pada akhirnya akan menyempit atau jadi lebih spesifik, menuju kepada kebenaran sejati (hati) dalam hal ini mengetahui siapa pembunuhnya!

Nah jadi keinginan para petinggi-petinggi organisasi fundamentalis Islam ini untuk mempunyai ketaatan mutlak dari anak buahnya, berarti telah menghilangkan unsur penglihatan dalam urutan kalimat tersebut…dengan kata lain manusia diminta hanya memanfaatkan pendengarannya untuk langsung bisa dipahami (hati) sebagai kebenaran! Tanpa perlu diuji, atau dibuktikan kebenarannya (penglihatan)!

Maka tidak heran kalau peristiwa umat diatas disebut sebagai umat Islam yang tunduk buta bukan? Umat seperti ini potensi membawa bencana, dimana ada mereka, bencana menanti!