oleh Agus Mustofa pada 7 November 2010 pukul 8:06
Patut disayangkan, sejumlah
anak muda sudah kemasukan doktrin 'keras kepala' dalam mempertahankan akidah
(keyakinan)-nya. Padahal, jelas-jelas Allah mengajari umat Islam untuk
memperoleh keimanan dan mempertahankannya dengan cara menggunakan akal kecerdasan dan bukti-bukti.
Berikut ini saya kutipkan
lebih lengkap firman Allah tentang proses keimanan, yang diajarkan oleh-Nya kepada
umat Islam.
1). Allah tidak pernah memaksa manusia untuk beriman. Meskipun akan sangat mudah bagi-Nya untuk melakukan itu. Sehingga, Allah
mempertanyakan kewenangan kita, jika kita mengajak manusia beriman dengan
cara main paksa. Atau, berkeras
kepala dengan mengatakan 'pokoknya'.
2). Beriman tidaknya seseorang adalah atas izin Allah, karena Dia adalah
Dzat Yang Maha Mengetahui isi hati kita. Benarkah seseorang itu sedang ingin beriman,
ataukah sekedar karena alasan lain, misalnya.
3). Allah ’mengancam’ akan menimpakan kemarahan kepada orang-orang yang tidak menggunakan akal dalam proses keimanannya.
QS. Yunus [10]: 99-100
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya (apa sulitnya buat Allah?). Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang
beriman semuanya?
Dan tidak ada seorang pun
akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemarahan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akal-nya.
Jadi keimanan itu satu garis lurus atau paralel dengan mekanisme akal. Dengan kata lain, jika
tidak menggunakan akal dijamin seseorang itu tidak akan memperoleh keimanan. Karena,
sebagaimana saya sampaikan di note sebelumnya, orang yang tidak menggunakan akal
tidak akan bisa memperoleh pelajaran dari Allah. QS. 3:7.
Padahal, proses keimanan
adalah sebuah proses yang dimulai dari ’menggunakan akal’ untuk belajar sampai paham
kemudian yakin. Itu pun masih ada tingkatannya, sesuai dengan kadar keyakinannya.
Ilmul yaqin : yakin karena paham dan menguasai teorinya
Ainul yaqin : yakin karena mengalami
sendiri dalam praktek
Haqqul yaqin: yakin seyakin-yakinnya
karena berulang-ulang memperoleh bukti
Orang yang tidak menjalani
proses ini tidak akan mencapai tingkat keyakinan alias akidah yang dimaksudkan oleh
Allah dalam firman-firman-Nya. Yaitu, keimanan yang menggetarkan hati dan jiwanya.
Yang membuatnya bisa tersungkur bersujud sambil menangis. Melainkan hanya sekedar
’ikut-ikutan yakin’ seperti dikatakan oleh orang lain kepadanya. Mungkin oleh temannya,
mungkin oleh orang tuanya, mungkin oleh gurunya, dlsb. Tanpa menggunakan akal untuk
menyaring dan mengkritisinya. Kalau yang demikian ini bukan Iman namanya, tetapi
’taklid buta’. Dan Allah melarang cara beragama yang demikian.
QS. Al Israa’ [17]: 36
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
ilmu tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung-jawabannya.
QS. Al Baqarah [2]: 170
Dan apabila dikatakan kepada
mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak),
tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapatkan dari bapak-bapak kami". "(Apakah mereka akan mengikuti
juga), walaupun bapak-bapak mereka itu tidak
berakal (la ya’qilun) tidak mengetahui
apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?"
QS. Luqman [31]: 21
Dan apabila dikatakan kepada
mereka: "Ikutilah apa yang
diturunkan Allah". Mereka menjawab:
"(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati pada bapak-bapak kami". Dan apakah mereka (akan mengikutinya)
walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa neraka?
QS. Yusuf [12]: 108
Katakanlah: "Inilah
jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan hujjah (argumentasi & bukti) yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada
termasuk orang-orang yang musyrik".
QS. Al Anbiyaa’ [21]: 56
Ibrahim berkata: "Sebenarnya
Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu".
Ringkas kata, proses beragama bukanlah sebuah proses yang ikut-ikutan. Harus menggunakan akal kecerdasan
berdasar petunjuk Allah. Karena, setiap diri akan dimintai pertanggungjawaban. Tidak
bisa disandarkan kepada orang lain, meskipun itu adalah orang tua, guru, sahabat,
atau siapa pun. Dan ketika kita salah, kita tidak bisa beralasan: ’’ya Allah,
saya kan cuma mengikuti kiai ini, ustadz itu, profesor dan doktor lulusan universitas
yang terkemuka...’’ dst, dlsb. Oh,
alasan semacam itu tidak akan diterima. Yang ditanya, tetap saja, adalah: bagaimana
kamu bisa memutuskan dan melakukan hal yang menjadi keyakinanmu ini..?!
QS. Yunus [10]: 35
... Mengapa kamu (berbuat
demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?
QS. Al Mudatstsir [74]: 37-38
Bagi siapa saja di antaramu
yang berkehendak akan maju atau mundur (mengambil petunjuk atau tidak). Setiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya,
Wallahu a’lam bisshawab.
~ salam ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar