oleh Agus Mustofa pada 9 November 2010 pukul 4:12
Betapa prihatinnya melihat
sebagian saudara seagama kita yang berdakwah secara salah kaprah. Berdakwah itu kan mengajak
orang lain untuk menuju kepada kebaikan. Lha
kok, ada orang mengajak kebaikan sambil melakukan ketidakbaikan. Mulai dari sumpah serapah,
caci maki, kata-kata kotor, muka merah padam penuh kebengisan, sampai ungkapan penuh
dendam dan kebencian. Bahkan tak jarang sambil melakukan kekerasan yang tergolong
sebagai tindak kejahatan..?!
Realitasnya memang bisa
terjadi dalam berbagai skala. Mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat.
Yang ringan itu, misalnya:
berdakwah sambil memendam perasaan ’tidak suka’ kepada orang yang sedang didakwahi.
Ketidaksukaan semacam itu pasti akan terasa oleh orang yang sedang dihadapinya, meskipun
sudah ’dibungkus’ rapat dan rapi.
Yang lebih berat tingkatannya
adalah, berdakwah sambil ’melotot’ dan ’tersenyum sinis’. Dakwah yang begini ini
juga pasti kurang efektif. Masa, berdakwah sambil pelotat-pelotot, dan ’menyeringai sinis’
sebagai simbol merendahkan orang lain begitu. Apa ya betah, orang yang berada di depannya?
Yang lebih berat lagi,
selain melotot dan menyeringai sinis, masih ditambahi dengan ’ngomel-ngomel’ dan berkata-kata kasar, mencaci maki, serta
sikap tidak santun. Wah, yang begini
ini bakal menjadikan jamaahnya seperti duduk di atas bara api. Pingin segera meninggalkan
ruangan aja.
Yang semakin berat, adalah
ditambahi menuding-nuding dan menunjuk-nunjuk hidung lawan bicara. Seakan-akan orang-orang
selain dia salah semua. Dijamin, sebelum selesai acara, jamaah sudah pada pulang
semua. Pikir mereka, lebih enakan nonton ceramah di TV, atau di VCD, atau
mendengar lagu-lagu qasidah saja, bisa sambil goyang-goyang kaki menikmatinya.
Yang lebih berat dari semua
itu, adalah dakwah yang ditambahi ancaman-ancaman fisik. Dan hukuman-hukuman bagi
siapa yang melanggar doktrin. Yang begini ini mulai masuk dalam lingkaran radikalisme.
’Mana tahan’ mendengarkan dakwah seperti ini, kecuali orang-orang yang telah mengalami
indoktrinasi secara khusus oleh pimpinannya.
Dan yang yang paling berat
klasifikasinya, adalah orang yang berdakwah sambil merusak properti atau apa saja
milik orang lain. Kadang-kadang saya bertanya-tanya dalam hati: mereka ini sedang
berdakwah ataukah sedang melakukan teror..?! Berdakwah kok sambil
menghancurkan sendi-sendi dakwahnya sendiri. Mana mungkin berhasil? Dia sedang membangun Islam ataukah merusak Islam ya..?!
Saya mencoba flash back ke zaman Rasulullah dan para sahabat.
Pernahkah Rasulullah SAW
mengajarkan cara dakwah seperti itu kepada umatnya? Tidak pernah sekalipun. Tidak
ada ceritanya, beliau melakukan dakwah dengan cara menyakiti orang-orang yang sedang
didakwahi. Bukannya diikuti, bisa-bisa malah ditinggal pergi.
QS. Ali Imran [3]: 159
Maka disebabkan rahmat
dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Kalau kita perhatikan firman
Allah di atas, dakwah Islamiyah itu harus dilandasi sejumlah karakter dasar, yaitu:
lemah lembut, tidak bersikap keras dan kasar, penuh maaf, bermusyawarah alias mendengarkan
pendapat orang lain, dan kemudian bertawakal kepada Allah akan hasilnya.
Tugas kita hanya menyampaikan,
kok. Jangankan kita, Rasulullah pun tugasnya cuma menyampaikan. Ma ’ala rasuli ilal balagh ~ Tidak
ada tugas rasul itu kecuali sekedar menyampaikan. Soal apakah seseorang akan
dapat petunjuk ataukah malah ingkar, itu urusan sepenuhnya orang tersebut dengan
Allah.
Nah, yang terjadi sekarang
justru sebaliknya. Banyak pendakwah yang berdakwah dengan arogan, diiringi kata-kata
kasar, sambil mengumbar kebencian, memaksakan kehendak dan mau menang sendiri. Jika,
semua itu tidak terjadi seperti yang dimaui, mereka bakal melakukan pemaksaan dengan
cara mengancam dan merusak. Masa pantas, seseorang yang mengaku dirinya muslim
melakukan perbuatan seperti
itu. Berkata kasar saja Allah melarang apalagi berbuat kerusakan.
Oh, cara-cara siapakah
yang dipakai ini? Sementara Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mengajari begini. Saya
membayangkan betapa sedihnya Nabi, jika beliau menyaksikan semua ini.
Atau, boleh jadi, ini adalah
sebuah ’skenario besar’ dari kalangan munafik untuk merusak image Islam
sebagai agama damai dan santun. Jika benar, maka sungguh kita harus mewaspadainya.
Karena biasanya, mereka masuk dengan cara berpura-pura, dan memakai identitas palsu untuk menarik simpati. Lantas, ujung-ujungnya
menebar perpecahan pada umat...
Pelajaran yang kedua, menurut al Qur’an, dakwah harus dirupakan dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar ~ mengajak kebaikan,
mencegah kejahatan. Bukan terbalik: nahi
munkar amar ma’ruf. Artinya, yang harus didahulukan itu adalah mengajak pada kebaikan, barulah kemudian
’mencegah terjadinya kejahatan’.
Dengan kata lain, pencegahan
kejahatan tidak akan efektif selama umat ini belum diberi tahu harus melakukan bentuk-bentuk
kebaikan. Tahunya mereka cuma dilarang saja, tetapi tidak ditunjukkan jalannya harus
kemana. Maka, tunjukkanlah terlebih dahulu, umat ini mau dibawa kemana. Setelah
itu, cegahlah hal-hal negatif yang akan menggangu tercapainya tujuan baik tersebut.
Begitulah semestinya cara berdakwah sesuai al Qur’an.
Yang ketiga, cara berdakwah yang baik adalah mengikuti koridor ayat berikut ini.
QS. An Nahl [16]: 125
Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan berdiskusilah dengan mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.
Bahwa ajakan atau dakwah
itu harus berlandaskan:
1). Hikmah, yakni kedalaman substansi yang disampaikan dengan cara yang bijak ~ penuh hikmah. Karena, pada dasarnya,
manusia suka diajak untuk memahami sesuatu yang mendalam, dan mengantarkannya kepada
kedamaian spiritualnya.
2). Mauidhatul hasanah, alias pelajaran yang
disampaikan dengan sistematika dan metode yang baik. Jika cara penyajiannya amburadul,
tentu tidak akan efektif.
3). Diskusi dan adu argumentasi, saling menghargai pendapat secara kritis & obyektif. Bukan subyektif
menyerang orangnya, melainkan mendiskusikan materinya.
4). Tidak melakukan klaim
kebenaran, karena kebenaran hanyalah
milik Allah.
Oh, betapa nikmatnya melakukan
dakwah dengan cara demikian..! Yang menyampaikan dan mendengarkan sama-sama memperoleh
manfaat. Tidak ada guru, tidak ada murid. Karena, semuanya adalah sesame pencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sesungguhnyalah, Rasulullah
pun tidak pernah mengangkat dirinya sebagai guru atas sahabat-sahabatnya...!
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar