oleh Agus Mustofa pada 8 November 2010 pukul 10:13
Banyak diantara kita
yang masih rancu dalam memahami As
Sunnah dan Al Hadits. Mengira sama,
padahal keduanya adalah hal yang sangat berbeda.
As Sunnah adalah
segala ucapan dan perbuatan Rasulullah, saat beliau masih hidup.
Sedangkan Al Hadits
adalah catatan para ulama hadits, yang baru dilakukan
setelah Rasulullah wafat.
Saat Rasulullah masih
hidup, beliau justru melarang para sahabat untuk mencatat ucapan dan
perbuatan beliau. Karena dikhawatirkan akan mengacaukan catatan Al Qur’an yang
sedang dalam masa penulisan. Yakni, selama 23 tahun masa kenabian. Hal itu
diungkap, salah satunya, dalam muqadimah Al Qur’an keluaran Arab Saudi, dalam
bab penyusunan al Qur’an.
Bersabda Rasulullah
SAW: Janganlah kalian tuliskan ucapan-ucapanku! Siapa yang (telanjur) menuliskan
ucapanku selain al Qur’an hendaklah dihapuskan.
Dan kamu boleh meriwayatkan (secara lisan) perkataan-perkataan ini. Siapa yang
dengan sengaja berdusta terhadapku, maka tempatnya adalah di neraka.
(HR Muslim dari Abu Al
Khudri).
Hadits baru mulai
ditulis dan dibukukan di zaman khalifah Umar bin Abdul Azis (717-720 M) dan
khalifah-khalifah penerusnya. Meskipun, Rasulullah sudah melarang untuk menulisnya, dan tidak pernah memberikan perintah untuk
membukukannya. Tetapi, sang Khalifah memutuskan berijtihad untuk melakukannya dengan sejumlah
pertimbangan.
Peristiwa itu terjadi,
setelah lebih dari 100 tahun wafatnya Rasulullah SAW. Sang Khalifah
memerintahkan untuk melakukan penelusuran kepada orang-orang yang dianggap bisa
dipercaya, sambung-menyambung dari generasi saat itu ke generasi bapaknya, ke
bapaknya lagi, ke bapaknya lagi, sampai ke zaman para sahabat yang hidup
bersama Rasulullah. Karena itu redaksi hadits adalah: katanya si A, dari si B,
dari si C, dan seterusnya.
Jadi, penulisan Hadits tidak dilakukan atas perintah Rasul (bahkan
dilarang di zaman beliau masih hidup) dan dengan sendirinya tidak berada di
bawah pengawasan beliau, sebagaimana Al Qur’an. Hadits
adalah murni karya ilmiah para ulama. Yang tentu saja keotentikannya
sangat jauh di bawah Al Qur’an, yang dikodifikasi langsung di bawah pengawasan
Rasulullah, serta dijamin keotentikannya oleh Allah.
QS. Al Hijr [15]: 9
Sesungguhnya Kami-lah
yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
Maka, bermunculanlah
para ulama hadits dengan berbagai karyanya. Diantaranya adalah Imam Malik bin
Anas, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah, At
Turmudzi, Abu Dawud, dan An Nasai. Mereka adalah para ilmuwan hadits yang
karyanya banyak dirujuk oleh umat Islam sesudahnya. Tetapi, yang perlu
digarisbawahi adalah bahwa Hadits
itu bukanlah As sunnah itu sendiri. Melainkan sebuah upaya untuk menelusuri As sunnah.
Sehingga adalah salah
kaprah kalau ada yang menuduh orang yang tidak menggunakan hadits disebut-sebut
sebagai inkar sunnah. Bahkan
inkar Rasul (?) Orang itu pasti tidak paham beda antara al hadits dan as
sunnah. Dan ’lupa’, bahwa wasiat yang ditinggalkan oleh Rasulullah kepada
umat Islam bukanlah Al Qur’an dan Al Hadits, melainkan Al Qur’an dan As Sunnah.
As Sunnah adalah
keteladanan beliau yang bisa diceritakan dalam berbagai bentuk. Ada yang lewat
riwayat lisan sebagaimana zaman 100 tahun pertama setelah beliau wafat. Saat
itu, memang belum ada hadits yang dituliskan. Atau, bisa juga dalam bentuk
tertulis seperti karya-karya para ulama hadits. Atau, bisa juga berupa tradisi
turun temurun lintas generasi seperti dicontohkan Rasulullah dalam bentuk
shalat lima waktu, puasa Ramadan, zakat, dan ibadah haji-umroh. Semua itu,
langsung merujuk kepada praktek yang dicontohkan nabi dan di tradisikan secara lintas generasi, sampai sekarang.
Mengenai penggunaan
hadits, memang tidak harus. Melainkan adalah sebuah pilihan. Boleh menggunakan,
boleh juga tidak. Jika hadits dirasa bisa memberikan tambahan penjelasan
terhadap ayat-ayat Qur’an yang sedang dibahas, maka kita dianjurkan untuk
menggunakannya. Tetapi, jika hadits itu dianggap malah merancukan pemahaman
terhadap ayat Qur’an, sebaiknya tidak usah digunakan.
Imam Syafi’i pun tidak pernah menggunakan hadits Imam Bukhari, misalnya. Kenapa? Ya, karena
Imam syafi’i hidup di zaman sebelum imam Bukhari. Jadi, hadits-hadits imam
Bukhari itu memang belum ada di zaman beliau masih hidup.
Selain itu, yang perlu
dimengerti adalah hal berikut ini. Hadits dimaksudkan untuk menjelaskan As
Sunnah. Sedangkan As Sunnah dimaksudkan untuk menjelaskan Al Qur’an. Maka,
sudah seharusnya hadits tidak boleh bertentangan dengan Al Qur’an. Bahkan harus bersumber dari al Qur’an. Cara mengutip hadits yang
benar adalah dengan mengutip ayat Qur’an terlebih
dahulu, baru kemudian mengutip haditsnya. Sayang sekali, diantara kita ada
yang suka megutip hadits tanpa mengutip sumber ayat di dalam Al Qur’an. Dan
tetap memaksakan hadits itu, meskipun tidak ada rujukannya di dalam al Qur’an.
Padahal, bukankah fungsi hadits dimaksudkan untuk menjelaskan ayat Qur’an?
Hal berikutnya lagi
yang perlu diketahui, bahwa ternyata tidak semua ayat Qur’an ada penjelasannya
di dalam hadits. Hanya sekitar sepertiga saja dari jumlah ayat Qur’an yang ada asbabun nuzul-nya berupa penjelasan
hadits. Selebihnya, yang lebih banyak, tidak ada penjelasan haditsnya. Jadi,
bagaimana mungkin kita bias diharuskan untuk menggunakan hadits, sementara
haditsnya tidak ada?
Sangat banyak contoh
yang bisa dikemukakan. Terutama ayat-ayat ilmu pengetahuan. Ambillah beberapa
ayat berikut ini.
QS. Al Ghasiyah [88]:
17-20
Maka apakah mereka
tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
Anda tidak akan
menemui penjelasan haditsnya, tentang bagaimana Allah menciptakan unta, langit,
gunung-gunung, dan bumi. Karena, penjelasannya memang ada di ilmu pengetahuan
alam: Biologi, Astronomi, dan Geologi. Bisa dipastikan, Anda tidak akan
menemukannya di hadits. Lha wong di al Qur’an saja tidak dijelaskan. Kenapa?
Karena ayat itu dimulai dengan kalimat: afala
yanzhurun ~ apakah mereka tidak mengamati/ meneliti (langsung di lapangan). Jadi, ini adalah
perintah untuk melakukan penelitian secara scientific.
Dalam tataran ini Al Qur’an bukan dijelaskan oleh hadits, melainkan dijelaskan oleh ilmu pengetahuan dan data-data empirik-nya.
Jangankan ayat-ayat
ilmu pengetahuan, surat Al Fatihah pun tidak ada catatan asbabun nuzul-nya. Sehingga, Anda
tidak akan menemui penjelasan hadits tentang makna kata per kata yang sangat
mendalam di surat yang disebut ummul
kitab itu. Misalnya: Apa makna bismillahirrahmanirrahim. Apa makna alhamdulillahirrabbil alamin. Apa
makna Ar rahman Ar Rahim, dst.
Justru, di dalam al
Qur’an-lah Allah memberikan petunjuk-Nya. Bahwa yang bisa mempelajari ayat-ayat
Qur’an itu adalah para ulul albab ~ orang-orang yang mempunyai akal
kecerdasan. Yakni, mereka yang memaksimalkan fungsi hati untuk merasakan
kehadiran Allah dan fungsi pikiran untuk menganalisa ilmu-ilmu yang dihamparkan
di alam semesta raya ini, secara simultan.
QS. Ali Imran [3]: 191
(yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah (dzikrullah) sambil berdiri, duduk
dan dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan (tafakur) tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Maka, sudah seharusnya
umat Islam meletakkan sumber-sumber hukum Islam secara proporsional. Bahwa
sumber dari segala sumber hukum yang bersifat mutlak adalah Firman Allah, al
Qur’an al Karim. Setelah itu, adalah As Sunnah, ketika Rasulullah masih hidup.
Setelah itu, adalah buku-buku Hadits, ijtihad para ulama, dan bukti-bukti
empiris ilmu pengetahuan, yang terus berkembang ke masa depan.
Wallahu a’lam
bishshawab
~ salam ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar