oleh Agus Mustofa pada 8 November 2010 pukul 9:53
Meskipun sudah
beberapa kali saya jelaskan di beberapa buku saya ~khususnya buku ‘MEMBELA
ALLAH~ maupun di forum online ini, ternyata ada saja yang masih
mempersoalkan hal ini: bahwa saya dianggap menyebarkan ‘ajaran sesat’ hanya
karena cara memahami AlQur’annya tidak mengikuti ‘metode’ yang mereka pakai
dan seringkali tidak menggunakan hadits.
Maka, secara ringkas
saya ingin menyampaikan beberapa hal dalam note ini. Bahwa metode yang dipakai
oleh para ahli tafsir selama ini adalah metode buatan manusia alias para ulama
tafsir yang akan terus berkembang sesuai zamannya, sebagaimana juga terjadi
dalam sejarah Islam, sesudah zaman Rasulullah.
1). Di zaman setelah wafatnya Rasulullah, jika ada masalah terkait
dengan pemahaman al Quran, umat Islam menanyakan kepada para sahabat yang
pernah bersinggungan langsung dengan beliau. Dan jika ada istilah yang kurang
mereka pahami, mereka mengambil pemahamannya dari karya-karya sastra yang ada
di zaman itu atau sebelumnya. Karena, memang ada sejumlah kata yang digunakan
oleh al Qur’an yang bukan berasal dari bahasa Arab umumnya. Yakni, diambil dari
bahasa yang berkembang di sekitar Jazirah Arab.
2). Seiring dengan banyaknya sahabat yang meninggal, maka
penafsiran al Qur’an lantas bergeser menggunakan ’Metode Ma’tsur’ alias
metode periwayatan. Yakni dengan cara menelusuri kembali sunnah Rasul lewat
orang-orang yang dianggap mengetahui secara langsung dari Rasulullah, secara
turun temurun. Metode ini lantas bersandar pada penuturan hadits dan asbabun
nuzul. Sayangnya, terbukti kemudian, bahwa tidak semua ayat Al Qur’an ada
penjelasan hadits dan asbabun nuzulnya. Kira-kira cuma sepertiganya saja yang
ada penjelasannya. Sedangkan dua pertiganya, tidak ada. Itupun masih ditambah
lagi dengan sumber periwayatan yang berbeda, sehingga banyak terjadi
perselisihan antara ulama satu dengan lainnya dalam hal redaksi periwayatan
maupun isi. Maka, seringkali pengambilan hadits sebagai sumber hukum
memunculkan pertikaian yang terlalu melebar dari pokok masalah. Yang paling
sengit terjadi antara golongan Syi’I dan Sunni dalam bidang
sosial, politik sampai pada teologinya.
3). Permasalahan dalam ’Metode Periwayatan’ itu memunculkan metode
yang lebih maju lagi, yakni ’Metode bil Ra’yi’ alias metode yang menggunakan
’pemikiran-pemikiran’ lanjutan. Yang paling terkenal dari metode ini adalah: ’Metode
Tahlili’ dan ’Metode Maudhu’i’.
Metode Tahlili, adalah
metode yang membahas makna ayat-ayat al Qur’an sesuai urutan surat yang
tertulis dalam Mushaf. Metode ini akhirnya mengalami ’masalah’ juga, karena
ternyata untuk memahami ayat-ayat Qur’an tidak bisa dilakukan secara ’urut
kacang’ begitu. Sebab, banyak sekali ayat-ayat yang membutuhkan penjelasan dari
ayat lain yang terdapat dalam surat yang berbeda, yang urutannya jauh di
belakang.
Maka muncullah ’Metode
Maudhu’i’, alias Metode Tematik. Yakni, memahami ayat-ayat al Qur’an dengan
mengumpulkan semua ayat yang terkait dengan tema yang sedang dipelajari. Inilah
yang saya rumuskan dalam buku ’MEMAHAMI AL QUR’AN DENGAN METODE PUZZLE’. Untuk memahaminya,
tentu Anda perlu membacanya secara detil dalam buku tersebut. Atau,
setidak-tidaknya baca ringkasannya dalam buku ’MEMBELA ALLAH’. Karena akan
terlalu panjang jika dibahas disini.
Dalam metode ini al
Qur’an disandingkan langsung dengan tantangan zaman. Bukan ditempatkan dalam
bingkai kajian-kajian yang bersifat teoritis, kesusastraan, periwayatan, dan
urutan-urutan penulisan mushaf, melainkan sebagai petunjuk untuk melakukan problem-solving.
Maka, disinilah terjadi dialog intensif antara dinamika kehidupan dengan al
Qur’an sebagai tuntunan untuk bersikap dalam zaman yang sedang bergerak.
Sehingga, tafsir tematik lebih membumi dibandingkan metode-metode tafsir
sebelumnya.
Jadi, yang menjadi
fokus saya disini adalah, bahwa semua metode dalam memahami al Qur’an itu bukan
diteladankan oleh Nabi SAW, melainkan ijtihad ulama yang telah, sedang, dan akan terus berkembang
seiring dengan zaman. Janganlah memvonis seseorang sesat hanya karena tidak
menggunakan metode sebagaimana yang Anda gunakan. Lha wong Rasulullah SAW yang menjadi panutan kita
saja tidak pernah menggunakan semua metode-metode itu. Bahkan juga tidak
menganjurkan untuk menggunakan salah satu dari metode itu. Beliau menggunakan
’metode’ yang diajarkan langsung oleh Allah di dalam firman-Nya, yang sebaiknya
juga kita ikuti sekarang. Untuk detilnya, saya anjurkan Anda membaca buku
MEMBELA ALLAH yang memang disusun untuk menjawab berbagai pertanyaan yang
mengritisi pemikiran saya itu.
QS. Al ’Alaq [96]: 1-5
Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan,
Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
Yang mengajari (manusia) dengan perantaraan pena.
Dia mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tidak
diketahuinya.
Allah memerintahkan
kepada nabi Muhammad dan kita semua, bahwa memahami ilmu Allah itu mesti
mengikuti ‘metode’ yang dijelaskan dalam wahyu tersebut:
1). Banyak-banyaklah membaca.
Lakukan berulang-ulang, sebagaimana pengulangan yang ditegaskan dalam runtutan
ayat tersebut. Membaca apa? Membaca ciptaan Allah yang dihamparkan di alam
semesta. Salah satu contohnya adalah al
‘alaq sebagai cikal bakal janin
manusia. Kita diperintahkan untuk mencocokkan antara ayat-ayat Qauliyah yang
ada di dalam al Qur’an ~ masih berupa teori/petunjuk ~ dengan ayat-ayat
Kauniyah yang ada di alam semesta ~ bukti-bukti ~ yang terus berkembang sebagai
ilmu pengetahuan.
2). Allah mengajari manusia dengan mekanisme tulis menulis
menggunakan pena (yang konvensional maupun digital) yang menjadi dasar
peradaban manusia modern. Karena itu jangan alergi untuk membaca dan menulis.
Lakukan semua itu dengan sikap kritis. Karena ini akan menjadi media
pembelajaran dan peningkatan kualitas kepahaman dan keimanan kita.
3). Jika kita melakukan mekanisme itu, maka perhatikanlah dampaknya
sebagaimana dijelaskan dalam penutup rangkaian wahyu pertama itu: Allah sendiri yang akan mengajari kita tentang segala sesuatu yang sebelumnya tidak kita
ketahui. Bagaimana caranya? Terserah Allah, karena Dia
adalah Dzat yang Maha Berilmu dan Maha Bijaksana. Bisa berbentuk inspirasi,
bisa berupa intuisi, ilham atau muncul dari balik wahyu al Qur’an yang kita
baca. Atau, bahkan langsung dari berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar
kita..!
Lebih jauh, di ayat
yang berbeda Allah menjelaskan metode pembelajaran al Qur’an dengan begitu
indahnya. Yang pada intinya, pemahaman atas firman-firman Allah itu terserah
kepada Yang Memiliki Firman. Karena itu, sepenuhnya menjadi tanggungan Allah untuk memasukkannya ke dalam jiwa
orang-orang yang berniat mempelajarinya. Sebab, sesungguhnya Allah saja yang
tahu, apakah kita ini sedang ingin belajar memahami Firman-Nya atau sekedar mau pamer-pamer metodologi. Sehingga dengan pongahnya
mengatakan: “Susahnya bicara
dengan orang-orang yang tidak mengerti ‘ulumul Qur’an...’’
QS. Al Qiyamah [75]:
16-19
Janganlah kamu
gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur'an karena hendak cepat-cepat
(menguasai)-nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya.
Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian,
sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.
Wallahu a’lam
bishshawab
~ salam ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar