Selasa, 09 November 2010

SALAH KAPRAH TENTANG ‘SANTUN & MENGKULTUSKAN'


oleh Agus Mustofa pada 9 November 2010 pukul 4:26

Ternyata masih ada yang bingung membedakan antara makna kata ‘santun’ dan ‘mengultuskan’. Sehingga, memunculkan 'tanda tanya' di hati saya: apakah diskusi ini bisa diteruskan ke bagian yang ‘lebih dalam’? Karena, ternyata ada setumpuk persepsi yang ‘tidak klop’. Khawatir hanya akan menjadi debat yang kontraproduktif.

Allah memuji-muji Rasulullah sebagai orang yang santun dan berbudi pekerti tinggi. Jangan-jangan, nanti dipersepsi sebagai: Allah mengultuskan Rasul-Nya. Apalagi sampai memuji-mujinya di dalam Kitab Suci yang dibaca oleh miliaran manusia. Masih ditambahkan pula, memerintahkan kepada malaikat dan kita semua untuk bershalawat kepada beliau. Bisa-bisa dipersepsi dengan salah kaprah nantinya...

QS. Al Qalam [68]: 4
Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.

QS. Al Ahzab [33]: 56
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.

Nabi Ibrahim pun dipuji-puji oleh Allah karena kesantunannnya. Dengan sangat terbuka Allah menyebut beliau sebagai manusia yang sangat santun dan berhati lembut. Bahkan kepada orang tuanya yang jelas-jelas musyrik pun. Jangan-jangan pula, nabi Ibrahim disimpulkan mengultuskan orang tuanya yang musyrik.

QS. At Taubah (9): 114
Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu memusuhi Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.

QS. Huud [11]: 75
Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah.

Lebih jauh, Al Qur’an mengajari kita semua untuk menjadi orang yang santun. Apalagi kepada sesama saudara muslim. Sehingga dalam ayat berikut ini Allah menunjukkan kepada kita, para sahabat Rasul saling mendoakan, sambil memohon untuk tidak dihinggapi rasa dengki kepada para pendahulunya. Dan doa itu disampaikan kepada Allah, Dzat Yang Maha Penyantun.

QS. Al Hasyr [59]: 10
Dan orang-orang yang dating sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), berdoa: "Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".

Maka, ajaran dari manakah yang diambil oleh seseorang yang mengaku dirinya muslim tetapi ungkapannya setiap saat adalah kata-kata kasar, sumpah serapah, caci maki, dan penghinaan kepada sesama saudara dalam agama? Masih layakkah ia mengaku dirinya pengikut nabi Muhammad yang demikian santun dan berbudi pekerti tinggi?

Juga masih layakkah dia mengaku dirinya Islam, sebagaimana Nabi Ibrahim yang dijadikan contoh keteladanan tertinggi dalam agama ini, sehingga puncak rukun Islam adalah meneladani dan menapaktilasi keluarga beliau yang santun dan lemah lembut, dengan cara berhaji?

Juga masih pantaskah ia menyebut dirinya sebagai hamba Allah yang Maha Penyantun, dan selalu mengajarkan kesantunan kepada siapa saja? Jangan-jangan, ia hanya pura-pura saja jadi orang Islam. Untuk menebarkan bibit-bibit kebencian di dalam agama Islam yang sempurna ini? Yang kasih sayang menjadi landasan utama di dalamnya...

QS. Ali Imran [3]: 108
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.

Sungguh, santun berbeda jauh dengan mengultuskan. Mengultuskan adalah ’mendewa-dewakan’. Sedangkan santun adalah menghargai dengan tulus dan penuh kasih sayang. Jauh dari kebencian. Mengultuskan adalah menjadikan seseorang itu sebagai ’bagian’ dari unsur ketuhanan. Dan ini, tentu saja sangat 'tidak disukai' oleh Allah. Jangankan mengultuskan orang seperti saya. Mengultuskan Rasul saja dilarang oleh Allah. Padahal, jelas-jelas beliau adalah utusan Allah. Sebagaimana terjadi pada nabi Isa, yang kemudian dikoreksi lewat turunnya Rasul berikutnya, Nabi Muhammad SAW. Beliau pun mengatakan, bahwa dirinya adalah manusia biasa.

QS. AL Kahfi [18]: 110
Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia (biasa) seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

Sehingga dalam kesempatan lain beliau diperintahkan oleh Allah untuk menegaskan bahwa beliau tidak menguasai perbendaharaan ciptaan Allah, atau pun hal-hal gaib, dan bukan pula seorang malaikat. Sepenuhnya manusia biasa. Sebuah statemen yang mengombinasikan ‘kesantunan’ dan ‘ketinggian budi pekerti’, sekaligus tidak mengultuskan sang Nabi.

QS. Al An’aam [6]: 50
Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?" Maka apakah kamu tidak (bisa) berpikir?

Maka, segala yang saya lakukan adalah sekedar meniru Rasulullah dalam menyampaikan wahyu-Nya kepada sesama pencari jalan menuju Allah. Meminjam istilah ayat di atas: Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan (al Qur’an)...

Karena itu, Anda akan ‘dengan jelas’ melihat dan membaca dalam buku-buku saya: isinya penuh dengan ayat-ayat Qur’an. Bukan karya ilmiah dari ulama-ulama terdahulu yang justru dikultuskan oleh para pengikutnya sampai kini. Yang kitab-kitabnya disetarakan dengan al Qur’an. Yang ijtihadnya dianggap sebagai sebuah kebenaran mutlak yang tidak boleh diutak-atik lagi. Yang kalau dikritisi sedikit saja, para pengikutnya ’mencak-mencak’ sambil mengucapkan sumpah serapah dan caci maki...(?!)

Oh, siapa mengultuskan siapa...?

Kenapa saya yang dituding jadi sumber pengultusan? Sementara, saya justru sedang mengritisi pengultusan yang berlebih-lebihan kepada para ulama - yang saya yakin - mereka tidak ingin dikultuskan. Meminjam istilah ayat di atas: Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?" Maka apakah kamu tidak (bisa) berpikir?

Saya justru sedang mengajak kawan-kawan muslim, sesama ’pencari jalan’ untuk hanya ‘mengultuskan’ Allah saja, dan menghormati setinggi-tingginya Rasulullah dengan bershalawat kepada manusia agung yang berbudi sangat mulia itu. Dan, menyejajarkan saudara-saudara sesama muslim - siapa pun dia - selain Allah dan Rasul-Nya. Kok, malah saya dituduh jadi sumber pengultusan?

Lha wong buku-buku saya selalu saya labeli: Serial Diskusi Tasawuf Modern. Tanpa ada pretensi sedikit pun untuk mengklaim sebuah kebenaran. Melainkan sekedar ajakan untuk berdiskusi secara egaliter – sejajar – dan penuh prasangka baik untuk mencari petunjuk Allah.

Saya juga mencoba ‘mengeliminasi’ dominasi ‘guru’ - dalam pengertian konvensional - yang selama beratus tahun dijadikan sebagai ‘panutan mutlak’, dan menjadi sumber pengultusan. Yang kalau tidak diikuti, sang guru lantas mengatakan: siapa saja belajar agama tanpa guru, maka gurunya adalah setan... (?) Sehingga saya sendiri pun tidak mau dan ‘risih’ disebut sebagai guru, ustad, kiai, syech, dan lain sebagainya. Saya cuma ingin meniru Rasulullah, yang tidak pernah mengangkat dirinya sebagai guru. Beliau menyebut umat Islam yang hidup sezaman dengan beliau sebagai sahabat. Anda tidak akan pernah mendengar Rasulullah Muhammad punya murid. Dan statemen seperti ini, bisa Anda baca dalam banyak buku-buku yang telah saya terbitkan.

Saya juga mencoba membongkar ‘paradigma-paradigma’ lama yang mengatakan bahwa belajar agama harus ‘manut’ saja kepada mereka yang disebut sebagai ‘’kiai, syech, habib, ustad, ustadah, guru, prof, doktor, atau apa pun sebutannya’’. Saya sedang ‘berjuang’ untuk membongkar pengultusan, lha kok malah dapat ‘hadiah’ predikat sumber pengultusan... :(

Sampai-sampai, ada kawan yang bilang begini: ”makanya pak Agus, jangan merebut lahan tetangga...! Nanti banyak yang marah lho...’’

Oh, demi Allah saya melakukan semua ini hanya karena Allah semata...

Wallahu a’lam bishshawab.

~ salam ~

SALAH KAPRAH TENTANG ‘CARA BERDAKWAH’

oleh Agus Mustofa pada 9 November 2010 pukul 4:12

Betapa prihatinnya melihat sebagian saudara seagama kita yang berdakwah secara salah kaprah. Berdakwah itu kan mengajak orang lain untuk menuju kepada kebaikan. Lha kok, ada orang mengajak kebaikan sambil melakukan ketidakbaikan. Mulai dari sumpah serapah, caci maki, kata-kata kotor, muka merah padam penuh kebengisan, sampai ungkapan penuh dendam dan kebencian. Bahkan tak jarang sambil melakukan kekerasan yang tergolong sebagai tindak kejahatan..?!

Realitasnya memang bisa terjadi dalam berbagai skala. Mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat.
Yang ringan itu, misalnya: berdakwah sambil memendam perasaan ’tidak suka’ kepada orang yang sedang didakwahi. Ketidaksukaan semacam itu pasti akan terasa oleh orang yang sedang dihadapinya, meskipun sudah ’dibungkus’ rapat dan rapi.

Yang lebih berat tingkatannya adalah, berdakwah sambil ’melotot’ dan ’tersenyum sinis’. Dakwah yang begini ini juga pasti kurang efektif. Masa, berdakwah sambil pelotat-pelotot, dan ’menyeringai sinis’ sebagai simbol merendahkan orang lain begitu. Apa ya betah, orang yang berada di depannya?

Yang lebih berat lagi, selain melotot dan menyeringai sinis, masih ditambahi dengan ’ngomel-ngomel’ dan berkata-kata kasar, mencaci maki, serta sikap tidak santun. Wah, yang begini ini bakal menjadikan jamaahnya seperti duduk di atas bara api. Pingin segera meninggalkan ruangan aja.

Yang semakin berat, adalah ditambahi menuding-nuding dan menunjuk-nunjuk hidung lawan bicara. Seakan-akan orang-orang selain dia salah semua. Dijamin, sebelum selesai acara, jamaah sudah pada pulang semua. Pikir mereka, lebih enakan nonton ceramah di TV, atau di VCD, atau mendengar lagu-lagu qasidah saja, bisa sambil goyang-goyang kaki menikmatinya.

Yang lebih berat dari semua itu, adalah dakwah yang ditambahi ancaman-ancaman fisik. Dan hukuman-hukuman bagi siapa yang melanggar doktrin. Yang begini ini mulai masuk dalam lingkaran radikalisme. ’Mana tahan’ mendengarkan dakwah seperti ini, kecuali orang-orang yang telah mengalami indoktrinasi secara khusus oleh pimpinannya.

Dan yang yang paling berat klasifikasinya, adalah orang yang berdakwah sambil merusak properti atau apa saja milik orang lain. Kadang-kadang saya bertanya-tanya dalam hati: mereka ini sedang berdakwah ataukah sedang melakukan teror..?! Berdakwah kok sambil menghancurkan sendi-sendi dakwahnya sendiri. Mana mungkin berhasil? Dia sedang membangun Islam ataukah merusak Islam ya..?!

Saya mencoba flash back ke zaman Rasulullah dan para sahabat.
Pernahkah Rasulullah SAW mengajarkan cara dakwah seperti itu kepada umatnya? Tidak pernah sekalipun. Tidak ada ceritanya, beliau melakukan dakwah dengan cara menyakiti orang-orang yang sedang didakwahi. Bukannya diikuti, bisa-bisa malah ditinggal pergi.

QS. Ali Imran [3]: 159
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Kalau kita perhatikan firman Allah di atas, dakwah Islamiyah itu harus dilandasi sejumlah karakter dasar, yaitu: lemah lembut, tidak bersikap keras dan kasar, penuh maaf, bermusyawarah alias mendengarkan pendapat orang lain, dan kemudian bertawakal kepada Allah akan hasilnya.
Tugas kita hanya menyampaikan, kok. Jangankan kita, Rasulullah pun tugasnya cuma menyampaikan. Ma ’ala rasuli ilal balagh ~ Tidak ada tugas rasul itu kecuali sekedar menyampaikan. Soal apakah seseorang akan dapat petunjuk ataukah malah ingkar, itu urusan sepenuhnya orang tersebut dengan Allah.

Nah, yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Banyak pendakwah yang berdakwah dengan arogan, diiringi kata-kata kasar, sambil mengumbar kebencian, memaksakan kehendak dan mau menang sendiri. Jika, semua itu tidak terjadi seperti yang dimaui, mereka bakal melakukan pemaksaan dengan cara mengancam dan merusak. Masa pantas, seseorang yang mengaku dirinya muslim melakukan perbuatan seperti itu. Berkata kasar saja Allah melarang apalagi berbuat kerusakan.

Oh, cara-cara siapakah yang dipakai ini? Sementara Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mengajari begini. Saya membayangkan betapa sedihnya Nabi, jika beliau menyaksikan semua ini.

Atau, boleh jadi, ini adalah sebuah ’skenario besar’ dari kalangan munafik untuk merusak image Islam sebagai agama damai dan santun. Jika benar, maka sungguh kita harus mewaspadainya. Karena biasanya, mereka masuk dengan cara berpura-pura, dan memakai identitas palsu untuk menarik simpati. Lantas, ujung-ujungnya menebar perpecahan pada umat...

Pelajaran yang kedua, menurut al Qur’an, dakwah harus dirupakan dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar ~ mengajak kebaikan, mencegah kejahatan. Bukan terbalik: nahi munkar amar ma’ruf. Artinya, yang harus didahulukan itu adalah mengajak pada kebaikan, barulah kemudian ’mencegah terjadinya kejahatan’.

Dengan kata lain, pencegahan kejahatan tidak akan efektif selama umat ini belum diberi tahu harus melakukan bentuk-bentuk kebaikan. Tahunya mereka cuma dilarang saja, tetapi tidak ditunjukkan jalannya harus kemana. Maka, tunjukkanlah terlebih dahulu, umat ini mau dibawa kemana. Setelah itu, cegahlah hal-hal negatif yang akan menggangu tercapainya tujuan baik tersebut. Begitulah semestinya cara berdakwah sesuai al Qur’an.

Yang ketiga, cara berdakwah yang baik adalah mengikuti koridor ayat berikut ini.

QS. An Nahl [16]: 125
Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan berdiskusilah dengan mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Bahwa ajakan atau dakwah itu harus berlandaskan:
1). Hikmah, yakni kedalaman substansi yang disampaikan dengan cara yang bijak ~ penuh hikmah. Karena, pada dasarnya, manusia suka diajak untuk memahami sesuatu yang mendalam, dan mengantarkannya kepada kedamaian spiritualnya.

2). Mauidhatul hasanah, alias pelajaran yang disampaikan dengan sistematika dan metode yang baik. Jika cara penyajiannya amburadul, tentu tidak akan efektif.

3). Diskusi dan adu argumentasi, saling menghargai pendapat secara kritis & obyektif. Bukan subyektif menyerang orangnya, melainkan mendiskusikan materinya.

4). Tidak melakukan klaim kebenaran, karena kebenaran hanyalah milik Allah.

Oh, betapa nikmatnya melakukan dakwah dengan cara demikian..! Yang menyampaikan dan mendengarkan sama-sama memperoleh manfaat. Tidak ada guru, tidak ada murid. Karena, semuanya adalah sesame pencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sesungguhnyalah, Rasulullah pun tidak pernah mengangkat dirinya sebagai guru atas sahabat-sahabatnya...!

Wallahu a’lam bishshawab


~ salam ~

SALAH KAPRAH TENTANG ‘AS SUNNAH & AL HADITS’

oleh Agus Mustofa pada 8 November 2010 pukul 10:13

Banyak diantara kita yang masih rancu dalam memahami As Sunnah dan Al Hadits. Mengira sama, padahal keduanya adalah hal yang sangat berbeda.

As Sunnah adalah segala ucapan dan perbuatan Rasulullah, saat beliau masih hidup.

Sedangkan Al Hadits adalah catatan para ulama hadits, yang baru dilakukan setelah Rasulullah wafat.

Saat Rasulullah masih hidup, beliau justru melarang para sahabat untuk mencatat ucapan dan perbuatan beliau. Karena dikhawatirkan akan mengacaukan catatan Al Qur’an yang sedang dalam masa penulisan. Yakni, selama 23 tahun masa kenabian. Hal itu diungkap, salah satunya, dalam muqadimah Al Qur’an keluaran Arab Saudi, dalam bab penyusunan al Qur’an.

Bersabda Rasulullah SAW: Janganlah kalian tuliskan ucapan-ucapanku! Siapa yang (telanjur) menuliskan ucapanku selain al Qur’an hendaklah dihapuskan. Dan kamu boleh meriwayatkan (secara lisan) perkataan-perkataan ini. Siapa yang dengan sengaja berdusta terhadapku, maka tempatnya adalah di neraka.
(HR Muslim dari Abu Al Khudri).

Hadits baru mulai ditulis dan dibukukan di zaman khalifah Umar bin Abdul Azis (717-720 M) dan khalifah-khalifah penerusnya. Meskipun, Rasulullah sudah melarang untuk menulisnya, dan tidak pernah memberikan perintah untuk membukukannya. Tetapi, sang Khalifah memutuskan berijtihad untuk melakukannya dengan sejumlah pertimbangan.

Peristiwa itu terjadi, setelah lebih dari 100 tahun wafatnya Rasulullah SAW. Sang Khalifah memerintahkan untuk melakukan penelusuran kepada orang-orang yang dianggap bisa dipercaya, sambung-menyambung dari generasi saat itu ke generasi bapaknya, ke bapaknya lagi, ke bapaknya lagi, sampai ke zaman para sahabat yang hidup bersama Rasulullah. Karena itu redaksi hadits adalah: katanya si A, dari si B, dari si C, dan seterusnya.

Jadi, penulisan Hadits tidak dilakukan atas perintah Rasul (bahkan dilarang di zaman beliau masih hidup) dan dengan sendirinya tidak berada di bawah pengawasan beliau, sebagaimana Al Qur’an. Hadits adalah murni karya ilmiah para ulama. Yang tentu saja keotentikannya sangat jauh di bawah Al Qur’an, yang dikodifikasi langsung di bawah pengawasan Rasulullah, serta dijamin keotentikannya oleh Allah.

QS. Al Hijr [15]: 9
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

Maka, bermunculanlah para ulama hadits dengan berbagai karyanya. Diantaranya adalah Imam Malik bin Anas, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah, At Turmudzi, Abu Dawud, dan An Nasai. Mereka adalah para ilmuwan hadits yang karyanya banyak dirujuk oleh umat Islam sesudahnya. Tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Hadits itu bukanlah As sunnah itu sendiri. Melainkan sebuah upaya untuk menelusuri As sunnah.

Sehingga adalah salah kaprah kalau ada yang menuduh orang yang tidak menggunakan hadits disebut-sebut sebagai inkar sunnah. Bahkan inkar Rasul (?) Orang itu pasti tidak paham beda antara al hadits dan as sunnah. Dan ’lupa’, bahwa wasiat yang ditinggalkan oleh Rasulullah kepada umat Islam bukanlah Al Qur’an dan Al Hadits, melainkan Al Qur’an dan As Sunnah.

As Sunnah adalah keteladanan beliau yang bisa diceritakan dalam berbagai bentuk. Ada yang lewat riwayat lisan sebagaimana zaman 100 tahun pertama setelah beliau wafat. Saat itu, memang belum ada hadits yang dituliskan. Atau, bisa juga dalam bentuk tertulis seperti karya-karya para ulama hadits. Atau, bisa juga berupa tradisi turun temurun lintas generasi seperti dicontohkan Rasulullah dalam bentuk shalat lima waktu, puasa Ramadan, zakat, dan ibadah haji-umroh. Semua itu, langsung merujuk kepada praktek yang dicontohkan nabi dan di tradisikan secara lintas generasi, sampai sekarang.

Mengenai penggunaan hadits, memang tidak harus. Melainkan adalah sebuah pilihan. Boleh menggunakan, boleh juga tidak. Jika hadits dirasa bisa memberikan tambahan penjelasan terhadap ayat-ayat Qur’an yang sedang dibahas, maka kita dianjurkan untuk menggunakannya. Tetapi, jika hadits itu dianggap malah merancukan pemahaman terhadap ayat Qur’an, sebaiknya tidak usah digunakan.

Imam Syafi’i pun tidak pernah menggunakan hadits Imam Bukhari, misalnya. Kenapa? Ya, karena Imam syafi’i hidup di zaman sebelum imam Bukhari. Jadi, hadits-hadits imam Bukhari itu memang belum ada di zaman beliau masih hidup.

Selain itu, yang perlu dimengerti adalah hal berikut ini. Hadits dimaksudkan untuk menjelaskan As Sunnah. Sedangkan As Sunnah dimaksudkan untuk menjelaskan Al Qur’an. Maka, sudah seharusnya hadits tidak boleh bertentangan dengan Al Qur’an. Bahkan harus bersumber dari al Qur’an. Cara mengutip hadits yang benar adalah dengan mengutip ayat Qur’an terlebih dahulu, baru kemudian mengutip haditsnya. Sayang sekali, diantara kita ada yang suka megutip hadits tanpa mengutip sumber ayat di dalam Al Qur’an. Dan tetap memaksakan hadits itu, meskipun tidak ada rujukannya di dalam al Qur’an. Padahal, bukankah fungsi hadits dimaksudkan untuk menjelaskan ayat Qur’an?

Hal berikutnya lagi yang perlu diketahui, bahwa ternyata tidak semua ayat Qur’an ada penjelasannya di dalam hadits. Hanya sekitar sepertiga saja dari jumlah ayat Qur’an yang ada asbabun nuzul-nya berupa penjelasan hadits. Selebihnya, yang lebih banyak, tidak ada penjelasan haditsnya. Jadi, bagaimana mungkin kita bias diharuskan untuk menggunakan hadits, sementara haditsnya tidak ada?

Sangat banyak contoh yang bisa dikemukakan. Terutama ayat-ayat ilmu pengetahuan. Ambillah beberapa ayat berikut ini.

QS. Al Ghasiyah [88]: 17-20
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan  bumi bagaimana ia dihamparkan?

Anda tidak akan menemui penjelasan haditsnya, tentang bagaimana Allah menciptakan unta, langit, gunung-gunung, dan bumi. Karena, penjelasannya memang ada di ilmu pengetahuan alam: Biologi, Astronomi, dan Geologi. Bisa dipastikan, Anda tidak akan menemukannya di hadits. Lha wong di al Qur’an saja tidak dijelaskan. Kenapa? Karena ayat itu dimulai dengan kalimat: afala yanzhurun ~ apakah mereka tidak mengamati/ meneliti (langsung di lapangan). Jadi, ini adalah perintah untuk melakukan penelitian secara scientific. Dalam tataran ini Al Qur’an bukan dijelaskan oleh hadits, melainkan dijelaskan oleh ilmu pengetahuan dan data-data empirik-nya.

Jangankan ayat-ayat ilmu pengetahuan, surat Al Fatihah pun tidak ada catatan asbabun nuzul-nya. Sehingga, Anda tidak akan menemui penjelasan hadits tentang makna kata per kata yang sangat mendalam di surat yang disebut ummul kitab itu. Misalnya: Apa makna bismillahirrahmanirrahim. Apa makna alhamdulillahirrabbil alamin. Apa makna Ar rahman Ar Rahim, dst.

Justru, di dalam al Qur’an-lah Allah memberikan petunjuk-Nya. Bahwa yang bisa mempelajari ayat-ayat Qur’an itu adalah para ulul albab ~ orang-orang yang mempunyai akal kecerdasan. Yakni, mereka yang memaksimalkan fungsi hati untuk merasakan kehadiran Allah dan fungsi pikiran untuk menganalisa ilmu-ilmu yang dihamparkan di alam semesta raya ini, secara simultan.

QS. Ali Imran [3]: 191
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah (dzikrullah) sambil berdiri, duduk dan dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan (tafakur) tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Maka, sudah seharusnya umat Islam meletakkan sumber-sumber hukum Islam secara proporsional. Bahwa sumber dari segala sumber hukum yang bersifat mutlak adalah Firman Allah, al Qur’an al Karim. Setelah itu, adalah As Sunnah, ketika Rasulullah masih hidup. Setelah itu, adalah buku-buku Hadits, ijtihad para ulama, dan bukti-bukti empiris ilmu pengetahuan, yang terus berkembang ke masa depan.

Wallahu a’lam bishshawab


~ salam ~

SALAH KAPRAH TENTANG ‘METODE TAFSIR’

oleh Agus Mustofa pada 8 November 2010 pukul 9:53

Meskipun sudah beberapa kali saya jelaskan di beberapa buku saya ~khususnya buku ‘MEMBELA ALLAH~ maupun di forum online ini, ternyata ada saja yang masih mempersoalkan hal ini: bahwa saya dianggap menyebarkan ‘ajaran sesat’ hanya karena cara memahami AlQur’annya tidak mengikuti ‘metode’ yang mereka pakai dan seringkali tidak menggunakan hadits.

Maka, secara ringkas saya ingin menyampaikan beberapa hal dalam note ini. Bahwa metode yang dipakai oleh para ahli tafsir selama ini adalah metode buatan manusia alias para ulama tafsir yang akan terus berkembang sesuai zamannya, sebagaimana juga terjadi dalam sejarah Islam, sesudah zaman Rasulullah.

1). Di zaman setelah wafatnya Rasulullah, jika ada masalah terkait dengan pemahaman al Quran, umat Islam menanyakan kepada para sahabat yang pernah bersinggungan langsung dengan beliau. Dan jika ada istilah yang kurang mereka pahami, mereka mengambil pemahamannya dari karya-karya sastra yang ada di zaman itu atau sebelumnya. Karena, memang ada sejumlah kata yang digunakan oleh al Qur’an yang bukan berasal dari bahasa Arab umumnya. Yakni, diambil dari bahasa yang berkembang di sekitar Jazirah Arab.

2). Seiring dengan banyaknya sahabat yang meninggal, maka penafsiran al Qur’an lantas bergeser menggunakan ’Metode Ma’tsur’ alias metode periwayatan. Yakni dengan cara menelusuri kembali sunnah Rasul lewat orang-orang yang dianggap mengetahui secara langsung dari Rasulullah, secara turun temurun. Metode ini lantas bersandar pada penuturan hadits dan asbabun nuzul. Sayangnya, terbukti kemudian, bahwa tidak semua ayat Al Qur’an ada penjelasan hadits dan asbabun nuzulnya. Kira-kira cuma sepertiganya saja yang ada penjelasannya. Sedangkan dua pertiganya, tidak ada. Itupun masih ditambah lagi dengan sumber periwayatan yang berbeda, sehingga banyak terjadi perselisihan antara ulama satu dengan lainnya dalam hal redaksi periwayatan maupun isi. Maka, seringkali pengambilan hadits sebagai sumber hukum memunculkan pertikaian yang terlalu melebar dari pokok masalah. Yang paling sengit terjadi antara golongan Syi’I dan Sunni dalam bidang sosial, politik sampai pada teologinya.

3). Permasalahan dalam ’Metode Periwayatan’ itu memunculkan metode yang lebih maju lagi, yakni ’Metode bil Ra’yi’ alias metode yang menggunakan ’pemikiran-pemikiran’ lanjutan. Yang paling terkenal dari metode ini adalah: ’Metode Tahlili’ dan ’Metode Maudhu’i’.

Metode Tahlili, adalah metode yang membahas makna ayat-ayat al Qur’an sesuai urutan surat yang tertulis dalam Mushaf. Metode ini akhirnya mengalami ’masalah’ juga, karena ternyata untuk memahami ayat-ayat Qur’an tidak bisa dilakukan secara ’urut kacang’ begitu. Sebab, banyak sekali ayat-ayat yang membutuhkan penjelasan dari ayat lain yang terdapat dalam surat yang berbeda, yang urutannya jauh di belakang.

Maka muncullah ’Metode Maudhu’i’, alias Metode Tematik. Yakni, memahami ayat-ayat al Qur’an dengan mengumpulkan semua ayat yang terkait dengan tema yang sedang dipelajari. Inilah yang saya rumuskan dalam buku ’MEMAHAMI AL QUR’AN DENGAN METODE PUZZLE’. Untuk memahaminya, tentu Anda perlu membacanya secara detil dalam buku tersebut. Atau, setidak-tidaknya baca ringkasannya dalam buku ’MEMBELA ALLAH’. Karena akan terlalu panjang jika dibahas disini.

Dalam metode ini al Qur’an disandingkan langsung dengan tantangan zaman. Bukan ditempatkan dalam bingkai kajian-kajian yang bersifat teoritis, kesusastraan, periwayatan, dan urutan-urutan penulisan mushaf, melainkan sebagai petunjuk untuk melakukan problem-solving. Maka, disinilah terjadi dialog intensif antara dinamika kehidupan dengan al Qur’an sebagai tuntunan untuk bersikap dalam zaman yang sedang bergerak. Sehingga, tafsir tematik lebih membumi dibandingkan metode-metode tafsir sebelumnya.

Jadi, yang menjadi fokus saya disini adalah, bahwa semua metode dalam memahami al Qur’an itu bukan diteladankan oleh Nabi SAW, melainkan ijtihad ulama yang telah, sedang, dan akan terus berkembang seiring dengan zaman. Janganlah memvonis seseorang sesat hanya karena tidak menggunakan metode sebagaimana yang Anda gunakan. Lha wong Rasulullah SAW yang menjadi panutan kita saja tidak pernah menggunakan semua metode-metode itu. Bahkan juga tidak menganjurkan untuk menggunakan salah satu dari metode itu. Beliau menggunakan ’metode’ yang diajarkan langsung oleh Allah di dalam firman-Nya, yang sebaiknya juga kita ikuti sekarang. Untuk detilnya, saya anjurkan Anda membaca buku MEMBELA ALLAH yang memang disusun untuk menjawab berbagai pertanyaan yang mengritisi pemikiran saya itu.

QS. Al ’Alaq [96]: 1-5
Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan,
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
Yang mengajari (manusia) dengan perantaraan pena.
Dia mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tidak diketahuinya.

Allah memerintahkan kepada nabi Muhammad dan kita semua, bahwa memahami ilmu Allah itu mesti mengikuti ‘metode’ yang dijelaskan dalam wahyu tersebut:

1). Banyak-banyaklah membaca. Lakukan berulang-ulang, sebagaimana pengulangan yang ditegaskan dalam runtutan ayat tersebut. Membaca apa? Membaca ciptaan Allah yang dihamparkan di alam semesta. Salah satu contohnya adalah al ‘alaq sebagai cikal bakal janin manusia. Kita diperintahkan untuk mencocokkan antara ayat-ayat Qauliyah yang ada di dalam al Qur’an ~ masih berupa teori/petunjuk ~ dengan ayat-ayat Kauniyah yang ada di alam semesta ~ bukti-bukti ~ yang terus berkembang sebagai ilmu pengetahuan.

2). Allah mengajari manusia dengan mekanisme tulis menulis menggunakan pena (yang konvensional maupun digital) yang menjadi dasar peradaban manusia modern. Karena itu jangan alergi untuk membaca dan menulis. Lakukan semua itu dengan sikap kritis. Karena ini akan menjadi media pembelajaran dan peningkatan kualitas kepahaman dan keimanan kita.

3). Jika kita melakukan mekanisme itu, maka perhatikanlah dampaknya sebagaimana dijelaskan dalam penutup rangkaian wahyu pertama itu: Allah sendiri yang akan mengajari kita tentang segala sesuatu yang sebelumnya tidak kita ketahui. Bagaimana caranya? Terserah Allah, karena Dia adalah Dzat yang Maha Berilmu dan Maha Bijaksana. Bisa berbentuk inspirasi, bisa berupa intuisi, ilham atau muncul dari balik wahyu al Qur’an yang kita baca. Atau, bahkan langsung dari berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar kita..!

Lebih jauh, di ayat yang berbeda Allah menjelaskan metode pembelajaran al Qur’an dengan begitu indahnya. Yang pada intinya, pemahaman atas firman-firman Allah itu terserah kepada Yang Memiliki Firman. Karena itu, sepenuhnya menjadi tanggungan Allah untuk memasukkannya ke dalam jiwa orang-orang yang berniat mempelajarinya. Sebab, sesungguhnya Allah saja yang tahu, apakah kita ini sedang ingin belajar memahami Firman-Nya atau sekedar mau pamer-pamer metodologi. Sehingga dengan pongahnya mengatakan: “Susahnya bicara dengan orang-orang yang tidak mengerti ‘ulumul Qur’an...’’

QS. Al Qiyamah [75]: 16-19
Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai)-nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.

Wallahu a’lam bishshawab


~ salam ~