Rabu, 02 Januari 2013

FAKTA ILMIAH SAMA, KESIMPULAN BISA BERBEDA ~ CUPLIKAN DTM-35: ‘IBRAHIM Pernah ATHEIS’

Berikut ini adalah cuplikan dari buku DTM-35 yang baru terbit. Ada beberapa kasus yang saya angkat di Bab 2, diantaranya adalah pembahasan tentang substansi realitas alam semesta dalam sudut pandang Theis dan Atheis. Semoga bermanfaat.

KASUS PERTAMA: Substansi Materi.
Ribuan tahun para ahli Fisika mencoba memahami eksistensi alam semesta. Mulai dari eksistensi benda, eksistensi energi, eksistensi ruang, eksistensi waktu, dan eksistensi informasi. Hasilnya, sampai sekarang masih jauh dari kata ‘final’.

Apakah yang disebut ‘benda’? Orang dulu menyebut benda sebagai segala yang tampak oleh mata dan atau bisa dipegang oleh tangan kita. Begitulah sederhana definisinya. Maka, kita bisa menyebut segala yang kita namai benda itu, mulai dari bebatuan, pepohonan, pegunungan, air, udara, sampai benda-benda langit nun jauh disana.

Seiring dengan kemajuan sains, manusia mulai mempertanyakan, apakah substansi benda itu. Apakah ia berupa ‘gumpalan’ seperti yang kita lihat, ataukah tersusun dari substansi yang lebih mendasar. Maka, mulailah berkembang berbagai penelitian yang menghasilkan teori-teori ilmiah untuk mendefinisikan benda atau materi secara lebih substansial.

Bahwa, ternyata semua benda tersusun dari gumpalan-gumpalan yang lebih kecil yang masih memiliki sifat sama dengan gumpalan besarnya. Maka, disebutlah ia sebagai molekul. Ada molekul air, molekul udara, molekul bebatuan, dan sebagainya.

Lebih jauh, molekul-molekul itu ternyata juga tersusun dari bagian lebih kecil, yang lebih mendasar, yang disebut sebagai atom, berasal dari kata Yunani atomos yang bermakna tidak bisa dibagi lagi. Di tingkat atom ini para peneliti menemukan sifat lebih mendasar yang bisa berbeda dengan gumpalan benda asalnya. Bahwa benda alias materi itu ternyata tersusun dari kumpulan ‘sesuatu’ yang berbeda-beda yang membentuk sebuah komposisi khas. Air misalnya, ternyata adalah kumpulan atom hidrogen dan oksigen dalam komposisi yang khas, yakni 2 atom Hidrogen dan 1 atom oksigen. Sehingga diformulasikan sebagai H2O.

Kumpulan atom-atom itu membentuk benda-benda dalam berbagai skala, mulai dari yang sederhana dalam bentuk molekul unsur seperti Hidrogen, Oksigen, Nitrogen, Besi, Belerang, dan sebagainya sampai persenyawaan kompleks seperti molekul gula, protein, lemak, kayu, bebatuan, minyak, berbagai macam mineral, dan sebagainya.

Dalam skala molekul, manusia kini sudah bisa ‘melihat’ dengan peralatan seperti mikroskop elektron atau teknik kristalografi lainnya. Tetapi di skala atomik yang lebih kecil, pemahaman atas realitas benda sudah sedemikian sulit, sehingga harus menggunakan permodelan lewat cara-cara tak langsung. Meskipun pengamatannya sudah lebih dari dua ratus tahun.

Bentuk benda dalam skala atom, hanyalah berupa kebolehjadian yang diteorikan belaka, dimana setiap permodelan bisa menunjukkan hasil yang berbeda. Pendapat tentang bentuk atom itu berkembang terus mulai dari model Atom Dalton (1803) yang menganggap atom sebagai bola pejal.

Lantas, disempurnakan oleh JJ Thomson (1897) dengan mengatakan: atom adalah bola pejal yang bermuatan positif, dan di dalamnya tersebar muatan negatif elektron. Perkembangan selanjutnya diperoleh Rutherford (1911) yang mengajukan model, bahwa Atom terdiri dari inti atom yang sangat kecil dan bermuatan positif, dikelilingi oleh elektron yang bermuatan negatif.

Lebih jauh, Niels Bohr (1913) mengajukan model atom semacam tatasurya, yang intinya dikelilingi oleh elektron-elektron pada lintasan-lintasan tertentu sebagai kulit atom atau tingkat energi.

Dan akhirnya, model atom modern diajukan oleh Fisikawan Erwin Schrodinger (1926) berdasar teori kuantum. Ternyata, model ini tetap tidak bisa memberikan kepastian bentuk atom. Karena mesti dijelaskan dengan menggunakan mekanika kuantum, yang bertumpu pada ‘teori ketidak-pastian’ Heisenberg.

Bahwa, atom adalah penyusun benda paling kecil yang berisi inti positif dengan dikelilingi oleh awan elektron bermuatan negatif, dimana posisinya tidak bisa ditentukan secara tepat. Jadi, teori modern malah semakin mengukuhkan ketidakpastian bentuk atom.

Dengan kata lain, manusia tidak bisa menentukan secara persis bentuk benda dalam skala atom. Apalagi di bagian-bagian yang lebih kecil lagi, kondisinya menjadi sedemikian abstrak. Dan, kemudian hanya berkutat pada simbol-simbol belaka, tanpa bisa menyaksikan sosoknya.

Jadi, kenyataannya, manusia tidak bisa melihat atom. Juga tidak bisa melihat inti maupun elektron yang berputaran di sekelilingnya itu. Tapi kenapa kita percaya akan keberadaannya? Ya, karena kita bisa melihat efeknya. Bisa merasakan ‘hasil perbuatannya’. Sehingga, kita mengatakan ia ‘ada’.

Tetapi, kalau kemudian ada yang meminta bukti, dengan mengatakan: ‘’mana itu yang disebut atom? Tolong tunjukkan bukti keberadaannya secara kasat mata kepada saya.’’  Seseorang mungkin hanya akan garuk-garuk kepala. Karena dia tidak bisa menunjukkan langsung bendanya. Kecuali hanya ‘sifat-sifat’ yang terpantul dari berbagai peristiwa yang terjadi padanya.

Jadi, bagaimana cara membuktikan keberadaan atom-atom yang tak bisa dijangkau oleh indera manusia itu? Ya, selidiki dan simpulkan saja ‘bekas-bekas’ keberadaannya dalam berbagai peristiwa. Karena, dijamin, Anda tidak akan bisa melihatnya. Kalau kemudian itu ditanggapi dengan skeptis bahkan nggak percaya, bahwa jejak-jejak itu mewakili ‘keberadaannya’, ya sudah. Mau diapakan lagi, wong pemahamannya memang baru segitu.

Nah, yang demikian ini semakin kritis pada wilayah yang semakin halus. Misalnya pada tingkat partikel-partikel subatomik seperti elektron, proton, neutron bahkan neutrino, dimana jejak-jejaknya semakin samar untuk dilacak. Apalagi bentuknya.

Para ilmuwan, selain menggunakan perangkat ilmiah, lantas menggunakan perangkat ‘keimanan’ dalam melacak keberadaan partikel-partikel tersebut. Jika mereka skeptis dan tidak percaya akan keberadaannya, mereka bakal betul-betul tidak menemukannya. Asumsinya harus dimulai dari rasa percaya terlebih dahulu. Dan ‘berharap’ bisa bertemu dengannya. Barulah dikerjakan penelitian ilmiahnya.

Kalau kemudian ada yang menyebut ini menyalahi metode ilmiah, dan tidak bisa menerima, ya silakan saja. Bahwa, proses ilmiah kok dimulai dengan ‘mempercayai’ sesuatu yang belum terbukti. Dan, bahkan ‘berharap’. Ini sikap yang ‘diharamkan’ oleh para penganut skeptisisme.

Tetapi itulah yang terjadi pada proses penemuan-penemuan ilmiah selama ini. Bahwa asumsi ternyata seringkali dimulai secara ‘tidak ilmiah’ terlebih dulu, agar memperoleh ‘kebenaran ilmiah’ di fase selanjutnya. Bagaimana bisa menemukan sesuatu, kalau ia tidak pernah percaya pada sesuatu itu? Mereka hanya akan berputar-putar di dalam keragu-raguan dan skeptisisme. Para peneliti tidak pernah meletakkan dasar skeptisisme dalam hidupnya. Mereka adalah orang yang selalu positive thinking dan open mind dalam memahami dan menggali realitas.

Kenapa Stephen Hawking meragukan keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta? Karena dia bukan peneliti. Dia hanya teoritisi yang tidak mengamati langsung realitas ciptaan Tuhan yang membuat para peneliti terkagum-kagum. Hawking hanya utak-atik simbol-simbol matematis di dalam benaknya sendiri, di dalam persepsinya sendiri, yang sudah skeptis terhadap keberadaan Allah. Tentu, dia tak bisa merasakan kehadiran-Nya.

Pertanyaan tentang substansi materi bukan hanya berhenti di level partikel subatomik, tetapi telah menyentuh partikel penyusun yang disebut sebagai quark. Semakin jelas, para peneliti tidak bisa ‘menangkap’ bentuknya, kecuali hanya bemain-main dengan ‘keimanan’ yang diilmiahkan.

Bahwa quark ini adalah partikel paling dasar yang tidak bisa dipecah lagi. Bahwa ia berbentuk seperti pilinan energi. Padahal, kita semua tidak tahu bentuk energi itu seperti apa. Karena, energi memang bukanlah kuantitas yang berbentuk, melainkan sebuah kualitas. Jadi, bagaimana Anda bisa ‘percaya’ dengan keberadaan penyusun paling dasar dari materi ini?

Hal itu mirip dengan sifat dualitas elektron yang sangat ‘membingungkan’. Bahwa elektron memiliki sifat materi dan gelombang sekaligus. Padahal, materi bukanlah gelombang, dan sebaliknya gelombang bukan materi. Yang satu kuantitas, yang lainnya kualitas. Ini fakta ataukah opini? Dan, kenapa Anda percaya saja? Para ilmuwan, akhirnya hanya bisa bersikap ‘beriman’ dengan mengatakan: ya sudah kita terima saja realitas ini.

Pada level yang semakin halus dari sebuah eksistensi, memang ‘fakta’ semakin tak bisa dibedakan dan dipisahkan dengan ‘kepercayaan’ atau ‘keimanan’. Kenapa? Karena kita tidak memiliki perangkat yang memadai untuk membuktikannya. Kecuali harus mencampurnya dengan kepercayaan, bahkan harapan.

Orang-orang yang tak punya ‘kepercayaan’, ‘keimanan’ dan ‘harapan’ tidak akan pernah bisa ‘merasakan’ kehadiran eksistensi yang sedemikian halus itu. Karena telah ada mental block yang menghalangi kecerdasannya terhadap realitas.

Begitulah Al Qur’an mengajari kita untuk merasakan kehadiran Allah, Tuhan yang Maha Halus. Orang-orang yang tidak memiliki kepercayaan dan harapan untuk bertemu dengan-Nya, tidak akan pernah bisa membuktikan keberadaan-Nya. Karena, mereka tidak memiliki perangkat yang cukup untuk ‘merasakan’ kehadiran-Nya. Karena eksistensi-Nya jauh Lebih Halus dari eksistensi apa pun yang sudah sedemikian halus itu. Karena Dia memang Dzat Yang Maha Halus.

QS. Al An’aam (6): 103
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan. Dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.

~ wallahu a'lam bishshawab ~

KASUS KEDUA: Substansi Energi.
Tak jauh beda dengan kasus pertama, pemahaman manusia terhadap energi mengalami perkembangan menuju substansi yang penuh misteri.

Awalnya, manusia hanya merasakan keberadaan ‘kekuatan’ yang berada di balik setiap benda dan peristiwa. Bahwa benda-benda itu bisa bergerak dan berdinamika karena adanya dorongan kekuatan pada benda itu. Maka, para peneliti pun mengeksplorasi sumber-sumber energi.

Mulai dari yang paling sederhana, seperti energi yang terjadi pada benda yang sedang bergerak. Bahwa setiap yang bergerak ternyata menghasilkan tenaga, meskipun ia juga membutuhkan tenaga. Misalnya, kuda yang berlari akan menghasilkan tenaga, tapi ia juga mesti diberi sumber tenaga berupa makanan. Kalau tidak diberi makanan, maka kuda itu pun tidak akan mempunyai tenaga gerak.

Dari tenaga yang diberi nama energi mekanik ini kemudian merambah ke segala jenis gerakan benda di sekitar kita, di alam semesta. Manusia mempelajari berbagai gerakan benda-benda langit di alam makro, dan kemudian juga mengamati gerakan-gerakan partikel di alam mikro, yang lantas memunculkan teori-teori energi yang semakin kompleks. Seperti energi kimiawi, energi listrik, energi magnetik, energi nuklir dan energi gravitasi.

Secara umum energi-energi itu lantas dikelompokkan menjadi empat energi dasar alam semesta yang kita kenal sebagai energi elektromagnetik, energi gravitasi, energi nuklir kuat dan energi nuklir lemah. Energi-energi itu lantas menghasilkan gaya-gaya yang sesuai dengan energi penggeraknya, yakni gaya elektromagnetik, gaya gavitasi, gaya nuklir kuat dan gaya nuklir lemah.

Dari manakah semua gaya itu bermunculan? Kenapa kok bisa ada energi yang menghasilkan gaya yang menggerakkan dinamika alam semesta? Sebab, tanpa adanya gaya-gaya itu, alam semesta ini sudah runtuh, tak sempat terbentuk.

Tidak akan ada kuda yang berlarian. Tidak ada gajah, macan, kijang, dan binatang-binatang yang berkejaran. Tidak ada burung-burung yang berkicau. Tidak ada suara angin, ombak dan hujan. Tidak ada kehidupan. Tidak ada gerakan. Tidak ada dinamika.

Bahkan tidak ada benda, tidak ada ruang, tidak ada waktu, tidak ada apa-apa. Karena, semua itu terbentuk oleh dinamika materi yang digerakkan oleh energi. Jadi energi adalah daya gerak yang membuat alam semesta dengan segala peristiwanya ini terbentuk. Tanpa adanya energi itu nothing would exist.

Jangankan di skala makrokosmos, di skala mikro pun tidak akan ada partikel yang terbentuk. Padahal kalau tidak ada partikel, berarti tidak ada atom, tidak ada molekul, dan tidak ada benda apa pun. Sehingga planet-planet, matahari, galaksi dan benda-benda langit tidak akan pernah ada.

Dari manakah energi itu bersumber, dan faktor apa yang menyebabkannya menyumber atau bergerak? Karena tanpa ada inisiatif awal, energi benda akan tetap tersimpan sebagai energi potensial yang tak menghasilkan gerakan. Memang, setiap kali ada materi, di dalamnya tersimpan energi. Tapi, sekali lagi, ia hanya akan tersimpan sebagai potensi. Dan baru akan berdinamika ketika ada yang memunculkan ketidak-seimbangan awal.

Boleh saja Stephen Hawking mengasumsikan seluruh dinamika alam semesta itu disebabkan oleh adanya ‘fluktuasi kuantum’, yang secara acak lantas menggerakkan dinamika alam. Tetapi asumsi itu secara ilmiah cacat, karena hanya bersifat ‘pesanan’ agar hasilnya tidak memunculkan ‘faktor Tuhan’. Atau, setidak-tidaknya ‘kurang ilmiah’, karena sudah berbekal ‘keimanan’ dan ‘harapan’ dalam menentukan asumsi. Menolak eksistensi Tuhan yang dianggap ‘tidak ilmiah’, dengan asumsi yang tidak ilmiah.

Lha wong ketika ditanya, dari mana atau apa yang menyebabkan terjadinya ‘fluktuasi kuantum’ itu, dia tidak bisa menjawab secara lugas, kecuali hanya mengatakan itu sebagai efek keseimbangan hukum gravitasi yang sudah menjadi sifat alam semesta. Lagi-lagi dia mengandalkan ‘keimanan’.

Padahal kita tahu, gravitasi baru akan ada jika ada materi yang bermassa. Dan materi itu tidak bisa muncul dengan sendirinya kalau tidak ada inisiatif awal yang memunculkannya. Hawking, menghindari pertanyaan sulit ini dan tidak mau masuk ke dalamnya. Lantas, mendefinisikan alam semesta sebagai sekedar ruang dan waktu tanpa mengutak-atik variable materi dan energi. Tentu saja hasilnya sudah bisa ditebak..!

Begitulah proses yang terjadi, sehingga menghasilkan kesimpulan yang sebenarnya ‘cacat bawaan’. Jika dikejar terus, para atheis akan menjadi reaktif dan kemudian mengatakan kepada orang-orang beragama sebagai memaksa mereka untuk mengakui keberadaan Tuhan. ‘’Setiap tidak bisa menjawab fenomena alam, orang beragama selalu menyodorkan peran Tuhan. Dan selesai. Itulah yang menyebabkan umat beragama menjadi bodoh. Yang semestinya dilakukan adalah ini: lets do better science - mari belajar sains lebih baik, agar menemukan jawabannya’’.

Ungkapan di atas adalah alasan klise untuk menghindari faktor Tuhan. Padahal jawaban semacam itu sudah diulang-ulang sejak dulu, tanpa menemukan ujung pangkalnya. Dan sains memang tidak pernah menemukan jawaban tuntas atas misteri di balik realitas alam semesta. Apalagi, jika jawaban itu dikombinasikan dengan skeptisisme yang ada pada kalangan atheis. Hasilnya sudah bisa ditebak, mereka tidak akan pernah menemukan Tuhan, karena mereka memang ‘tidak ingin’ bertemu Tuhan.

Sampai disini sebenarnya sudah jelas persoalannya bahwa menjadi atheis atau theis itu sebenarnya adalah sebuah pilihan, tanpa harus menjadikan alasan ilmiah sebagai senjata pembenar. Orang-orang yang skeptis menjadi penganut ateisme bukan karena mereka memperoleh kesimpulan valid atas tidak adanya Tuhan, melainkan karena mereka telah memilih untuk menjadi atheis. Sama saja bagi mereka, ada bukti atau tidak, mereka tetap saja tidak bertuhan.

QS. Al Baqarah (2): 6
Sesungguhnya orang-orang yang ingkar, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.

~ wallahu a'lam bishshawab ~

KASUS KETIGA - Substansi Ruang & Waktu.
Sebenarnya, alam semesta bukan hanya terdiri dari ruang dan waktu. Karena, ruang dan waktu itu hanya sebagai akibat saja dari variabel yang lebih substansial yaitu materi dan energi yang telah kita bahas di bagian sebelum ini.

Ruang dan waktu adalah konsekuensi dari materi yang berdinamika mengembang ke segala penjuru alam semesta. Karena proses merenggang antar materi itulah, maka terbentuk ruang. Dengan kata lain, jika materi tidak merenggang, tidak akan terbentuk ruang. Alias tidak ada ruang. Nol. Dan para ilmuwan pun ‘kebingungan’ memahami paradoks ini. Karena tanpa ruang, berarti materi tidak memiliki tempat untuk eksis. Termasuk materi kuantum yang diasumsikan Hawking mengalami fluktuasi di awal waktu itu. Jika materi kuantum sudah bisa berfluktuasi, itu artinya sudah ada ruangan. Jadi, kenapa dia menyebut ruang dan waktu terbentuk dari fluktuasi kuantum? Sebuah asumsi yang sangat rancu.

Demikian pula dengan variabel ‘waktu’, ia terbentuk dikarenakan materi-materi penyusun alam semesta ini bergerak. Jika materi-materi itu tidak bergerak, alias diam, maka tidak ada waktu. Semua isi alam semesta menjadi statis. Tidak ada peristiwa. Tidak ada dinamika. Tidak ada ‘waktu’, karena ‘waktu’ adalah penanda dinamika peristiwa.

Kerancuan asumsi Hawking juga terjadi ketika menyebutkan fluktuasi kuantum bisa menyebabkan munculnya waktu - bersamaan dengan ruang. Padahal, yang namanya fluktuasi itu adalah besaran yang bergerak seiring waktu. Artinya, jika materi kuantum sudah bisa berfluktuasi, dengan sendirinya sudah ada waktu. Lha, definisi ‘fluktuasi’ itu kan‘ perubahan keadaan seiring waktu’? Bagaimana bisa terjadi fluktuasi jika tidak ada waktu? Sehingga, asumsi fluktuasi kuantum sebagai penyebab terciptanya alam semesta dengan sendirinya adalah asumsi yang rancu dan dipaksakan.

Ruang dan waktu mestinya bukan muncul dari fluktuasi kuantum, melainkan sebelum itu. Dua variabel penyusun alam semesta itu muncul seiring dengan materi dan energi. Begitu muncul materi, secara bersamaan muncul juga energi yang menjadi daya penggerak dinamika alam semesta. Dan seiring dengan dinamika, terbentuklah ruang dan waktu. Sehingga setelah 13,7 miliar tahun kemudian kita bisa menyaksikan alam semesta berbentuk seperti sekarang ini.

Ilmu pengetahuan atau sains, masih kebingungan untuk menjelaskan dari mana asal muasal materi yang jumlahnya sangat besar di alam semesta ini. Dan darimana pula energi raksasa yang menjadi daya penggerak benda-benda langit secara kolosal itu bersumber, sehingga terbentuk ruang dan waktu. Maka saya mengusulkan adanya variabel kelima sebagai pembentuk alam semesta itu, yakni variabel Informasi, sebagaimana telah saya bahas dalam buku-buku saya terdahulu, diantaranya DTM-21 yang berjudul: MEMBONGKAR TIGA RAHASIA.

Di setiap bagian materi ternyata selalu tersimpan informasi. Sejak awal keberadaan alam semesta. Sehingga variabel informasi itu layak disebut sebagai variabel dasar pembentuk alam semesta. Mulai dari quark sebagai penyusun dasar materi alam semesta, partikel-partikel subatomik, partikel-partikel kuantum, sampai pada sistem atomik, molekuler, dan seterusnya yang membentuk benda-benda skala besar dalam dunia makrokosmos, di dalamnya selalu terdapat infomasi secara inheren.

Karena ada variabel informasi itulah maka setiap partikel menjadi memiliki fungsi yang khas. Proton berbeda dengan neutron, berbeda dengan elektron, berbeda dengan neutrino, berbeda dengan foton, berbeda dengan gluon, dengan W-Z Boson, dengan graviton dan sebagainya. Semua itu dikarenakan ada informasi pembeda yang inheren.

Jadi, informasi-informasi itulah yang sebenarnya lebih mendasar dan berperan memunculkan dinamika alam semesta. Memunculkan materi, memunculkan energi, memunculkan ruang dan waktu. Dan memunculkan alam semesta dengan segala peristiwanya. Semua itu dipengaruhi oleh sistem informasi yang berdinamika di dalam segala variabel alam semesta.

Sistem informasi itu berisi perintah-perintah khas untuk melakukan sesuatu. Partikel kuantum W-Z Boson ‘diperintahkan’ untuk mengikat sejumlah quark menjadi partikel-partikel subatomik seperti proton dan neutron.

Partikel kuantum Gluon diperintahkan untuk mengikat sejumlah proton dan neutron itu untuk membentuk sistem atomik dengan variasi komposisi yang khas. Sehingga di alam semesta ada lebih dari seratus unsur yang menjadi pondasi dari segala macam benda dan peristiwa.

Partikel kuantum Foton ditugasi untuk melakukan interaksi antar atom, antar molekul dan benda-benda supaya terjadi reaksi-reaksi kimia, reaksi kelistrikan, reaksi kemagnetan, dan reaksi-reaksi gerakan dalam skala menengah. Disinilah peristiwa kehidupan sehari-hari terjadi.

Dan akhirnya partikel graviton yang sekarang masih dalam penyelidikan diberi tugas untuk mengikat benda-benda langit dalam skala raksasa untuk tetap berada di dalam sistem universal. Yang jika tugas ini ‘dilalaikan’ oleh partikel graviton, alam semesta bakal kacau dan runtuh kembali. Partikel Higgs Bosson yang menjadi trending topic beberapa waktu yang lalu dipersepsi sebagai partikel Graviton ini, yang bertanggungjawab atas munculnya materi bermassa di awal terbentuknya alam semesta.

Menarik juga, sebuah partikel dipersepsi sebagai aktor yang bertanggungjawab atas munculnya materi awal di alam semesta. Yang jika materi itu tidak muncul, akibatnya tidak akan ada gaya gravitasi. Dan jika gaya gravitasi tidak ada, maka alam semesta tidak akan ada pula. Karenanya ruang dan waktu tidak akan pernah terbentuk.

Padahal Higgs Bosson adalah benda mati, yang tak punya tujuan apa-apa. Tidak punya kehendak sedikit pun. Meskipun di dalamnya memang ada program berupa komposisi informasi yang menyebabkan dia memiliki fungsi khas memunculkan gravitasi.

Pertanyaannya, siapa yang menulis program itu? Siapa yang berada di balik ‘perintah’ yang menjadikan setiap partikel memiliki tugas sendiri-sendiri tersebut? Ini mengingatkan kita pada penelitian genetika yang dikemukakan oleh Kazuo Murakami.

Bahwa gen-gen tak lebih adalah benda mati yang tersusun secara khas. Tapi, susunan benda mati itu ternyata memiliki makna alias informasi yang berfungsi sebagai perintah untuk membentuk sistem yang lebih besar. Bukankah mustahil, benda mati bisa memberikan perintah sedemikian kompleks dan teratur? Siapakah aktor di balik molekul-molekul yang sedang memberikan perintah itu? Karena, susunannya sedemikian indah dan menakjubkan. Dan lantas menghasilkan tatanan yang luar biasa mempesona, mengarah kepada sistem yang sangat kompleks dalam drama kehidupan manusia.

Ya, siapakah yang sedang ‘berkirim surat’ lewat segala macam partikel penyusun alam semesta ini? Para atheis menghindari suasana yang sangat mempesona itu, dengan memutus penelusuran lebih dalam kepada ‘Sesuatu’ yang Maha Agung di baliknya.

Semua variabel alam semesta yang empat itu - ruang, waktu, materi, energi - semata-semata benda mati yang tidak punya tujuan. Tidak punya program. Dan tidak punya kehendak. Sistem informasi itulah yang telah menginisiasi empat variabel untuk bergerak secara terprogram mengarah pada tujuan tertentu.

Bagi orang semacam Murakami, hal ini sudah cukup menjadi bukti adanya Tuhan. Dan bagi Ibrahim, itu pun sudah cukup untuk menggetarkan sendi-sendi jiwanya, menyambut ‘uluran tangan’ dari Sang Maha Cerdas, Maha Berkuasa, lagi Maha Bijaksana..!

QS. Fushshilat (41): 53-54
Kami akan memperlihatkan kepada mereka (orang-orang yang percaya kepada Allah) tanda-tanda (keberadaan) Kami di seluruh penjuru Bumi dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Quran itu benar. Tidak cukupkah (bagimu) bahwa sesungguhnya Tuhanmu menyaksikan segala sesuatu?

Ketahuilah, sesungguhnya mereka (orang-orang yang tidak percaya Tuhan itu) berada di dalam keraguan tentang pertemuan dengan-Nya. (Padahal) ingatlah, sesungguhnya Dia (sudah hadir) meliputi segala sesuatu.

~ wallahu a'lam bishshawab ~

KASUS KEEMPAT: substansi kehidupan.
Misteri besar lainnya yang menyelimuti kehidupan manusia adalah tentang munculnya makhluk hidup di planet Bumi. Sebuah drama kolosal yang sangat menakjubkan, sehingga muncullah berbagai kisah hidup yang mengharu biru jiwa kita. Termasuk munculnya pro-kontra dalam menyikapi kehidupan itu sendiri.

Orang-orang atheis menyebutnya sebagai peristiwa yang terjadi dengan sendirinya lewat seleksi alam secara evolutif. Sedangkan orang-orang beragama menyebutnya sebagai hasil ciptaan Tuhan. Yang satu menyebutnya by natural selection, yang lain menyebutnya sebagai by design. Pemikiran orang atheis diwakili oleh Richard Dawkins, sedangkan ‘pemikiran’ orang beragama masih berbeda-beda antara satu agama dengan agama lainnya, yang kemudian menjadikan perdebatan antara kedua kelompok theis-atheis ini menjadi bias.

Diantaranya, karena Dawkins tak bisa menghindar dari penyamarataan konsep by design itu, dengan mengambil mainstream penciptaan ala konsep Kristen, yang tentu saja berbeda dengan konsep Islam. Meskipun, dia sudah memberikan kata pengantar bahwa Tuhan dalam berbagai agama adalah berbeda-beda. Karena itu, ketika pemikiran evolusi ala atheis itu disandingkan dengan konsep penciptaan dalam Islam, kita harus mendefinisikan kembali secara lebih khusus agar tidak memunculkan bias.

Secara garis besar, Dawkins menggunakan pendapat umum dalam teori evolusi Darwinian yang telah disesuaikan dengan perkembangan teori genetika. Bahwa makhluk hidup di planet Bumi ini terbentuk secara bertahap alias evolutif lewat mekanisme seleksi alam. Siapa yang bisa bertahan dari kondisi ekstrim, maka merekalah yang akan bisa tetap eksis di alam, hingga kini.

Tidak ada campur tangan dari ‘pihak lain’ dalam proses ini, karena campur tangan hanya akan menjadikan proses evolusi menjadi semakin kompleks, dan sulit dijelaskan secara ilmiah. Diantaranya ia memberikan argumentasi, jika makhluk hidup diciptakan oleh Tuhan maka semestinya semua peristiwa berjalan dengan sempurna. Tidak ada yang terlahir cacat. Jika masih ada yang terlahir cacat, berarti Sang Desainer tidak Maha Sempurna. Bahkan tidak adil terhadap makhluk-Nya. Pada kenyataannya, beragam makhluk hidup di muka Bumi memiliki berbagai kondisi yang tak sempurna. Sehingga lebih cocok, semua realitas ini terbentuk secara natural lewat seleksi alam saja.

Tuhan tidak perlu ada dan terlibat di dalamnya. Meskipun, Dawkins tidak berani meniadakan sama sekali tentang kemungkinan adanya Tuhan. Sehingga di dalam bukunya The God Delusion, bab 4, ia hanya berani mengatakan ‘Hampir Pasti Tidak Ada Tuhan’, sambil menyodorkan konsep munculnya kehidupan itu sebagai akibat dari proses seleksi alam murni.

Mirip dengan yang dikemukakan oleh Hawking dalam The Grand Design, Dawkins berusaha ‘menghindari kesulitan’ dalam menetapkan asumsi awal, agar konsep seleksi alamnya cocok dengan yang diharapkan. Menurutnya, keterlibatan Tuhan dalam seleksi alam hanya akan menimbulkan kompleksitas, maka dia pun menetapkan asumsi: sebaiknya tidak usah ada Tuhan saja dalam proses kemunculan makhluk hidup ini.

Itulah sebabnya, dia lantas berkesimpulan bahwa teori alam semesta tanpa Tuhan adalah lebih baik dibandingkan dengan teori penciptaan yang melibatkan Tuhan. Alasannya, manusia lebih suka yang sederhana daripada yang kompleks. Yang disebutnya sebagai metode ‘Pisau Cukur Ockham’.

Tentu saja, alasan semacam ini seharusnya tidak dijadikan dasar atau pijakan membuat kesimpulan yang pasti dalam menyikapi seleksi alam. Masa, hanya karena kita lebih suka yang sederhana dan menjauhi yang kompleks, lantas mengorbankan kebenaran realitas. Atau, setidak-tidaknya menghalangi upaya untuk menemukan kebenaran lebih tinggi.

Ini sangat berbeda dengan Kazuo Murakami, yang merupakan peneliti andal tanpa pretensi terselubung. Seorang peneliti sejati tidak akan memiliki mental seperti itu dalam menyikapi realitas. Kazuo Murakami tidak pernah menolak kompleksitas realitas yang dihadapinya. Bahkan malah menikmatinya. Karena dia berhadapan dengan fakta dan realitas yang memang demikian adanya. Dan itulah yang lantas membuatnya merasa kecil dan minder di hadapan alam semesta yang demikian dahsyat dengan segala kompleksitasnya.

Bisa kita bayangkan, jika para peneliti memiliki mental menghindari kompleksitas seperti yang dikemukakan oleh Dawkins, pemetaan genom di dalam genetika manusia mungkin tidak akan terjadi. Ada sekitar 3-4 miliar kode-kode genetika yang ditemukan di dalam inti sel tubuh manusia, yang semuanya membentuk komposisi sangat rumit dalam mengendalikan kehidupan, dan belum sepenuhnya dipahami mekanismenya.

Justru, kompleksitas itulah yang membuat jiwa Murakami bergetar, merasakan hadirnya Dzat yang Maha Agung di balik rumitnya realitas. Sehingga, menurutnya, tidak bisa tidak, mesti ada ‘Kecerdasan Super’ melampaui kecerdasan manusia mana pun, yang mengendalikan dan merancang alam semesta. Khususnya kode-kode genetika di dalam makhluk hidup, yang menjadi penyebab munculnya drama kehidupan yang jauh lebih kompleks lagi.

Di dalam buku The Selfish Gene, Dawkins juga berpendapat bahwa gen adalah kode-kode yang tidak bisa berubah. Yang bisa berubah itu adalah komposisi pasangannya, sehingga membentuk kromosom yang berbeda, dan lantas menghasilkan individu yang berbeda-beda pula. Gen bakal ada selamanya.

Berikut ini adalah ungkapan Dawkins dalam buku tersebut, yang berasumsi bahwa gen adalah satuan terkecil kehidupan yang tak bisa berubah:

“Individuals are not stable things, they are fleeting. Chromosomes too are shuffled to oblivion, like hands of cards soon after they are dealt. But the cards themselves survive the shuffling. The cards are the genes. The genes are not destroyed by crossing-over; they merely change partners and march on. Of course they march on. That is their business. They are the replicators and we are their survival machines. When we have served our purpose we are cast aside. But genes are denizens of geological time: genes are forever.”

‘’Individu-individu bukanlah sesuatu yang stabil, mereka terus berubah. Kromosom juga diacak sampai tak bisa diingat lagi, ibarat sekumpulan kartu yang telah dibagi-bagikan. Namun kartu-kartu itu sendiri tidak berubah oleh pengacakan. Kartu-kartu tersebut adalah gen. Gen tidak hancur melalui penyilangan. Gen hanya mengubah pasangannya dan akan terus ada. Tentu saja gen akan terus ada. Karena, itulah tugas mereka. Gen adalah replikator dan kita adalah mesin pertahanan hidupnya. Ketika kita telah menunaikan tugas, kita dikesampingkan. Namun gen merupakan penghuni waktu geologis: gen akan ada selamanya’’

Berbagai penelitian mutakhir menunjukkan, bahwa gen sebenarnya bukanlah makhluk hidup. Ia hanya bagian saja di dalam sistem sel sebagai unit terkecil kehidupan. Gen tak lebih hanya kumpulan molekul-molekul mati, yang tersusun secara khas, sehingga membentuk informasi. Cuma, anehnya, kumpulan ‘benda mati’ itu bisa memunculkan informasi yang justru memunculkan kehidupan sel. Sel bisa hidup karena diperintah oleh genetika dari dalam inti sel itu, sehingga muncul proses-proses biokimiawi dan kelistrikan yang menyebabkan sel bisa hidup berkelanjutan. Inti sel adalah pusat pemerintahan genetik di dalam bagian terkecil tubuh manusia itu.

Ibarat sebuah buku cerita, di dalam inti sel kita ada pesan-pesan pembentuk kehidupan, baik yang bersifat anatomis maupun perilaku. Buku cerita itu disebut GENOM. Isinya ada 23 bab, yang disebut sebagai KROMOSOM. Di dalam kromoson itu ada ribuan cerita, yang disebut sebagai GEN.

Di dalam gen ada paragraf-paragraf yang disebut EKSON, dengan diselingi cerita-cerita tak terkait yang disebut sebagai intron. Paragraf tersebut tersusun dari kata-kata yang disebut sebagai KODON. Dan kata-kata itu tersusun dari huruf-huruf yang disebut BASA.

Nah, huruf-huruf yang disebut Basa itu berbentuk molekul-molekul kimiawi yang mati, dari senyawa Adenin (A), Guanin (G), Cytosin (C), dan Timin (T). Komposisi empat huruf A-C-G-T itulah yang akan memunculkan kode-kode berupa kata (Kodon), menjadi paragraf (ekson), menjadi gen, membentuk kromosom, dan akhirnya membentuk 'buku cerita' kehidupan bernama Genom. Jika A-C-G-T mengalami masalah, maka kode-kode itu tentu akan bermasalah juga. Dan mengganggu proses kehidupan sel.

Akan terjadi penyimpangan pembentukan Kodon, yang mempengaruhi Ekson, dan lantas menghasilkan penyimpangan genetika. Jadi genetika bukanlah unit terkecil kehidupan. Karena unit terkecil itu sebenarnya berada pada level sel yang bisa melakukan aktivitas sebagai makhluk hidup. Sedangkan inti sel dengan genetikanya adalah sekumpulan ‘benda mati’ belaka, tetapi berisi sistem informasi yang sangat canggih sehingga mampu mengendalikan jalannya kehidupan sel.

Tentu saja ini sangat aneh. Karena, molekul-molekul itu tidak memiliki kehendak dan tidak punya tujuan. Sehingga, proses yang terjadi di dalamnya tak beraturan alias acak. Tapi kondisi acak itu tenyata bisa menghasilkan cerita lebih kompleks ‘dari bab ke bab’ dalam bentuk kromosom yang sangat unik, dan kemudian memunculkan ‘buku genom’ yang sangat khas pada setiap spesies. Sebuah ‘buku cerita’ yang merangkum seluruh karakter sesosok makhluk hidup, baik karakter fisik maupun perilakunya.

Disinilah saya memberikan kritik atas kesimpulan Dawkins bahwa kehidupan bisa muncul dengan sendirinya, tanpa ada campur tangan sesuatu di luar sel. Ada missing link yang tidak bisa dijelaskan, saat peralihan dari molekul-molekul yang ‘benda mati’ itu menjadi unit terkecil kehidupan yang disebut sel.

Dawkins tidak ingin memperoleh kesulitan atau kerumitan di level yang lebih kecil dari genetika. Sehingga meletakkan asumsinya disini. Bahwa genetika adalah sesuatu yang abadi, dan tak berubah. Karena yang berubah itu cuma level-level setelah gen yang disebut sebagai kromosom dan individu-individu.

Dia mengansumsikan gen sebagai unit terkecil kehidupan yang tidak perlu dipermasalahkan lagi. Atau, digali lagi. Padahal, kalau kita gali lagi, masalahnya akan menjadi rumit dan kompleks, sebagaimana dihadapi oleh Kazuo Murakami.

Kok bisa-bisanya, molekul-molekul yang benda mati itu berkehendak dan mengeluarkan perintah yang sedemikian sistematis dan terstruktur, untuk mempertahankan kehidupan sel. Dia mesti melakukan proses metabolisme, mesti menyediakan energi kelistrikan agar proses biokimiawi itu terjadi, mesti menyaring bahan-bahan baku dari luar sel yang tidak bersifat meracuni sel, dan sebagainya. Dan kemudian, sel-sel itu bisa mereplikasi dirinya, sehingga berkembang biak bertambah banyak.

Dan bukan main, jumlah kode-kode genetika di dalam genom kita itu lebih dari 3 miliar, yang berkolaborasi membentuk sistem informasi yang sangat canggih. Yang menyebabkan seluruh proses biokimiawi dalam makhluk hidup bisa berjalan secara berkesinambungan. Sehingga ada dinamika kromosom dan individu-individu yang terlihat seperti mengalami seleksi alam.

Padahal, kuncinya bukan pada faktor eksternal makhluk hidup itu, melainkan berada pada sistem genetika, di internal makhluk hidup itu sendiri. Sehebat apa pun seleksi alam yang muncul di eksternal, jika sistem genetika di internalnya tidak memiliki sistem informasi yang cerdas, sel itu tidak akan bisa bertahan hidup. Ada sustainable mechanism yang luar biasa canggih di dalamnya.

Dawkins tidak mau ‘ribet’ memasuki area ini, karena dia bakal bertemu ‘Kecerdasan Super’ yang sangat menakjubkan, tetapi menyulitkannya. Karena ia lantas tidak bisa berkesimpulan bahwa ‘makhluk hidup muncul dengan sendirinya tanpa ada campur tangan Tuhan’.

Ya, dia telah memutuskan untuk berhenti saja pada skala gen yang sudah dianggapnya memiliki ‘kecerdasan bawaan’ dari sono-nya. Sudah given, dan bawaan alam. Oke, boleh saja. Itu adalah sebuah pilihan, agar kesimpulannya sesuai dengan yang diprediksikannya.

Tetapi, tentu saja tidak fair kalau kesimpulan semacam ini lantas digeneralisasikan sebagai ‘kebenaran’ dan ‘fakta ilmiah’ bahwa makhluk hidup memang bisa memunculkan dirinya sendiri. Dan kemudian menganggap semua yang berbeda dari kesimpulannya sebagai tidak ilmiah. Karena sesungguhnya dia telah berlaku unfair dengan meletakkan asumsi yang bersifat ‘pesanan’ itu dalam skala genetika, demi menghindari ‘Kompleksitas’ yang berada diluar jangkauan kemampuannya. Padahal di kompleksitas itulah sebenarnya ia berpotensi untuk ‘bertemu’ dengan Allah, Tuhan Sang Maha Pencipta lagi Maha Berilmu..!

QS. Al An'aam (6): 95
Sesungguhnya Allah-lah yang menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang) demikian itu adalah Allah. Maka mengapa kamu masih berpaling (tak mengakui-Nya)?

~ wallahu a'lam bishshawab ~

KASUS KELIMA - Substansi Kesadaran.
Sebagai pakar neuroscience yang atheis, Sam Harris membangun kesimpulan yang senada dengan kawan-kawannya. Bahwa Tuhan itu tidak ada. Karena secara neuro-science tidak bisa dibuktikan.

Tuhan hanyalah sebuah konsekuensi dari ‘keharusan kognitif’ untuk mencari kejelasan dari sesuatu yang tidak diketahui. Dan kemudian manusia mencoba menghubung-hubungkan dengan asal-usulnya, asal-usul kehidupan, serta kemana perginya kelak sesudah kematian.       

Semua itu, menurutnya, adalah sesuatu yang tidak jelas dan tidak pasti. Tapi karena kita butuh jawaban, maka dibuatlah jawaban yang bersifat transendental atau supranatural. Menurutnya semua itu hanya ilusi belaka. Atau, delusi seperti disimpulkan oleh Dawkins.          

Ia meyakini, di masa depan Agama akan kehilangan posisi seiring dengan semakin menguatnya argumentasi sains. Manusia akan lebih meyakini bukti-bukti yang empiris daripada yang transendental. Karena itu keyakinan terhadap Tuhan dan agama sudah selayaknya diakhiri, sebagaimana judul bukunya: The End of Faith.

Sebenarnya, kalau kita mau menengok sistem kerja otak manusia dalam memahami realitas ini kita akan berpikir ulang untuk membuat kesimpulan semacam itu. Sebuah kesimpulan yang menurut saya tergesa-gesa, untuk mengatakan Tuhan adalah sekedar kebutuhan kognitif belaka. Bahkan, sekedar delusi.

Otak kita adalah mesin canggih yang menjadi interface alias media penghubung antara ‘dunia luar’ yang kita sebut sebagai realitas, dengan ‘dunia dalam’ yang kita sebut sebagai kognisi atau kesadaran. Pada orang-orang atheis, mereka menyebut kesadaran itu sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari otak. Atau, bahkan otak itu sendirilah yang disebut sebagai ‘kesadaran’, atau setidak-tidaknya sebagai ‘sumber kesadaran’.

Sedangkan orang beragama, menyebut otak hanya sebagai media atau pintu gerbang saja untuk memasuki alam kesadaran. Karena, kesadaran itu bersumber pada sesuatu yang lebih dalam, yakni ruh. Kesadaran yang identik dengan otak adalah kesadaran rendah yang disebut sebagai jiwa. Sedangkan kesadaran yang lebih tinggi disebut sebagai kesadaran ruh yang bersumber pada Kesadaran Semesta, atau kesadaran Ilahiah yang terkait dengan keberadaan Tuhan yang transendental.

Orang-orang atheis membuat kesimpulan  bahwa ‘kesadaran identik dengan otak’ berdasar pada bukti empiris, dimana seseorang yang otaknya mengalami kerusakan, akan mengalami gangguan kesadaran. Alias gangguan jiwa. Dan sebaliknya, orang yang mengalami gangguan jiwa juga mengalami kerusakan pada struktur otaknya. Sehingga, mereka menyimpulkan otak = jiwa, dan jiwa = otak.

Tidak ada istilah ruh dalam kamus mereka. Karena, kehidupan bukan disebabkan oleh adanya ruh, melainkan muncul sebagai konsekuensi dari sistem alamiah yang ada di dalam tubuh makhluk hidup. Dengan demikian, kematian dianggap sebagai terminal terakhir dari perjalanan makhluk hidup. Tidak ada yang namanya kehidupan sesudah mati. Atau alam berdimensi lebih tinggi sebagai kelanjutan kehidupan dunia. Semua itu menjadi satu paket dari ketidak percayaan mereka terhadap Tuhan.

Tetapi, kalau mereka mau membuka sedikit saja jendela pemikirannya, mereka akan bisa merasakan adanya sesuatu di balik otak. Bahkan di balik susunan saraf-saraf otak. Atau, lebih kecil lagi di dalam sel-sel  saraf itu, yang kemudian akan memasuki wilayah genetika sebagai pengendali mekanisme kerja saraf otak manusia.

Pertanyaannya, sebenarnya ‘kesadaran’ itu berada hanya di wilayah otak sebagai organ, ataukah sudah ada di tingkat sel, ataukah malah sudah ada di tingkat inti sel dan genetikanya? Bahkan, lebih jauh kita masih bisa menelisik lebih ke dalam lagi.

Memang di dalam tubuh manusia, kesadaran kemanusiaan kita berada di wilayah otak. Sehingga, seakan-akan kesadaran identik dengan otak. Tetapi, kalau kita mau mencermati lebih jauh, fungsi otak sebagai pusat kesadaran itu hanya berhenti pada skala organik.

Otak mengendalikan berbagai aktivitas tubuh dalam skala organik, seperti mengendalikan jantung, paru-paru, ginjal, organ pencernaan, dan berbagai kelenjar dalam sistem endokrinologi. Namun, dia tidak mengendalikan aktivitas di tingkat seluler. Karena, di wilayah ini yang menjadi ‘otaknya’ bukan lagi otak yang berada di dalam tempurung kepala itu, melainkan sistem kecerdasan di dalam inti sel dalam bentuk mekanisme genetika itu.

Termasuk di dalam ‘otak kepala’ sendiri. Para ahli neuroscience masih perlu meneliti lebih mendalam, apakah kesadaran itu berada di tingkat organik ataukah di tingkat seluler, ataukah lebih mendalam ada di tingkat genetika, ataukah malah besumber dari balik semua yang materialistik itu?

Karena, sebagaimana kita ketahui, jika sosok materi ‘dihaluskan’ kuantitasnya sampai menjadi kualitas, ia akan berubah menjadi energi, mengikuti rumus Einstein, E=mc2. Pemusnahan materi akan menghasilkan energi. Sebaliknya, ‘pengkristalan’ energi akan menghasilkan materi.

Artinya, ada realitas kontinum yang bisa mewujudkan materi sebagai kuantitas, menjadi energi sebagai kualitas. Ibarat deret angka yang memanjang dari sisi positif di sebelah kanan, dan negatif di sebelah kiri, perubahan keduanya akan melewati angka nol alias ketiadaan. Atau pemusnahan.

Sehingga perubahan dari suatu keadaan ‘positif’ berupa materi menjadi suatu keadaan ‘negatif’ berupa energi harus ‘melangkahi’ pemusnahan terlebih dahulu. Itulah yang terjadi pada proses annihilasi materi menjadi energi.

Maka, kalau kita kaitkan realitas itu dengan organ otak dan fungsi kesadaran, kita bisa melihat korelasinya dengan jelas. Bahwa otak adalah materi, sedangkan fungsi kesadaran adalah kualitas atau energi. Perubahan dari ‘otak materi’ menjadi ‘otak energi’ itu menjadi penjelas terjadinya kesadaran di dalam otak kita.

Bahwa, kesadaran manusia bukan hanya disebabkan oleh sistem sarafi dalam skala organ belaka, melainkan lebih mendalam dari itu, terhubung dengan proses annihilasi materi menjadi energi kesadaran. Sehingga, sebenarnya, kesadaran itu sudah ada di level yang lebih halus dibandingkan otak sebagai organ. Dan itulah yang kita lihat dalam skala seluler maupun biomolekuler di sistem informasi genetika.

‘Kesadaran’ sudah muncul di level yang lebih kecil dari otak. Sehingga kesadaran otak hanyalah ‘akumulasi kesadaran’ di tingkat yang lebih halus saja. Bagaimana mungkin sel bisa hidup, jika sel-sel itu tidak memiliki ‘kesadaran’ untuk mempertahankan kehidupannya?

Bagaimana mungkin juga, sistem genetika itu bisa memberikan perintah-perintah terstruktur, kalau mereka tidak memiliki kesadaran untuk mencapai tujuan tertentu, yakni membentuk sel, mempertahankannya, dan bahkan mengembangkan untuk bisa menjadi lebih banyak lagi. Semua itu dikontrol oleh sebuah ‘kesadaran’.

Adalah sebuah ketergesa-gesaan jika menyimpulkan kesadaran identik dengan otak belaka. Dan tidak ada sumber kesadaran yang lebih dalam di balik itu. Karena sesungguhnya, setiap benda dalam skala wujud materialistiknya memiliki kesadaran sesuai dengan levelnya. Di level organisme, manusia memiliki kesadaran kemanusiaannya. Di level organ tubuh, setiap organ kita juga memiliki level kesadaran organiknya. Di level jaringan sel, juga demikian. Di level seluler, di level genetika, di level molekuler, atomik, partikel-partikel subatomik, sampai pada quark dan energi, semuanya memiliki kesadaran dalam level yang sesuai tingkatannya.

Itulah sebabnya, meskipun kesadaran kemanusiaan kita ‘tidak menyadari’ fungsi jantung, sang jantung tetap saja bekerja untuk menghidupi tubuh. Demikian juga, berbagai organ seperti ginjal, liver, paru, dan berbagai organ vital, semuanya bekerja atas dasar kesadarannya sendiri.

Bahkan juga di level jaringan sel. Mereka, juga tanpa harus diperintah oleh kesadaran kemanusiaan kita, tetap saja bekerja menjaga koordinasi jaringan sel. Kalau sampai sel-sel itu tidak bekerja membentuk jaringan yang sesuai, tubuh manusia ini sudah amburadul sejak awal kejadiannya.

Bukan otak yang memerintah sel-sel untuk membentuk jaringan sel kulit, jaringan sel tulang, jaringan sel rambut, sel mata, sel darah, dan sekitar 200 jenis sel yang berbeda, melainkan karena adanya kesadaran di tingkat seluler itu sendiri.

Dan seterusnya, semakin ‘halus’ kita masih selalu menemui tingkat-tingkat kesadaran itu. Bahkan sampai di level perubahan antara materi dan energi, atau lebih halus lagi antara ‘ada’ dan ‘tiada’, antara yang wujud dan tak berwujud, selalu ada ‘kesadaran’ yang mengendalikan proses untuk mencapai tujuan tertentu.

Para ilmuwan atheis membantah adanya ‘tujuan’ dalam setiap proses alamiah. Tetapi, faktanya setiap level proses dalam realitas ini memiliki tujuan. Masa, sistem genetika yang jelas-jelas bertujuan untuk mempertahankan eksistensi sel agar tetap hidup dan bahkan berkembang biak itu dianggap sebagai tanpa tujuan, dan berproses secara acak?

Masa, jaringan sel yang jelas-jelas bisa berkelompok sehingga mereka tidak keliru membentuk jenis sel yang dibutuhkan itu disebut berjalan secara acak? Kenapa sel tulang tidak keliru menjadi sel darah, tidak keliru menjadi sel rambut, tidak keliru menjadi sel mata dan sebagainya?

Padahal tulang bersebelahan dengan darah, bersebelahan dengan sel rambut, bersebelahan dengan sel mata, dan seterusnya. Sudah sangat jelas, mereka mempunyai tujuan. Apa tujuannya? Ya, tentu saja untuk membentuk jaringan-jaringan sel yang sesuai. Serta menahan diri untuk tidak keliru. Dan bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu. Bahkan, membiakkan diri dalam skala yang terkontrol sesuai ‘pesanan’ dari sistem informasi yang ada di dalam genetikanya.

Dan untuk itu, dibutuhkan ‘kesadaran’. Bukan kesadaran yang dikendalikan otak, karena kesadaran otak itu sendiri dibentuk dari kesadaran-kesadaran yang lebih halus di tingkat seluler, di tingkat nukleus dan genetika, di tingkat molekuler, di tingkat atomik, di tingkat partikel quark dan kuantum, di tingkat energial, serta di tingkat yang lebih halus dari itu semua. Sebuah ‘Kesadaran Universal’ yang telah meliputi segala eksistensi di alam semesta..!

Begitulah fakta yang kita amati dari sekitar kita. Sehingga, sekali lagi, adalah kesimpulan yang terlalu tergesa-gesa dan ‘gegabah’ jika keberadaan Tuhan hanya dikaitkan dengan kebutuhan kognisi manusia di level otak. Yang jika kognisi kita tidak mampu menjangkaunya, maka kita anggap Tuhan hanya sebagai ilusi belaka.

Kata Al Qur’an, hanya ada dua kemungkinan bagi orang yang demikian. Yang pertama, ilmu mereka memang belum sampai. Atau, yang kedua, mereka sengaja menyembunyikan fakta dengan meletakkan asumsi yang ‘bersifat pesanan’, agar mereka tidak perlu mengakui adanya Tuhan, Sang Pencipta yang Maha Pemurah lagi Maha Bijaksana...

QS. An Naml (27): 65-66
Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yanggaib, kecuali Allah”, dan (temasuk) mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.

Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat (dan hal-hal yang gaib) tidak sampai, bahkan  mereka ragu-ragu tentang akhirat (dan yang gaib) itu, lebih-lebih lagi mereka buta daripadanya.

QS. Al Ankabuut (29): 44
Allah menciptakan langit dan bumi dengan benar. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda keberadaan Allah bagi orang-orang yang beriman.

~ wallahu a'lam bishshawab ~

KASUS KEENAM - Substansi Realitas Sosial.
Serangan keras lainnya terhadap agama oleh tokoh-tokoh atheis adalah tentang fakta sosial. Hal ini dikemukakan oleh Christopher Hitchens. Jurnalis yang mengaku telah meliput berbagai peristiwa di berbagai negara konflik itu mengemukakan kesimpulannya dalam buku best seller-nya: ‘god is not Great’.

Menurutnya Tuhan  tidak Maha Besar, bahkan tidak perlu ada, karena terbukti membiarkan saja segala keburukan dalam realitas sosial. Banyaknya ketimpangan dan penderitaan yang dialami manusia menunjukkan bahwa Tuhan memang tidak ada.

Apalagi, menurutnya, ternyata negara-negara yang menganut agama secara taat ternyata banyak dilanda oleh peperangan, kriminalitas, penyakit, kemiskinan, korupsi, dan lain sebagainya. Untuk itu, ia memproklamirkan dirinya sebagai orang yang tidak percaya adanya Tuhan.

Sepintas saja, kita sudah bisa mengerti kenapa Hitchens mengambil kesimpulan yang ‘serampangan’ seperti itu. Yang pertama, ia rupanya merasa sakit hati dengan agama atau dengan Tuhan. Inilah yang dalam terminologi pembahasan atheis disebut sebagai angry disbeliever - orang yang menjadi atheis karena kecewa. Mereka, pada dasarnya, tidak benar-benar meyakini tentang tidak adanya Tuhan, melainkan dengan sengaja meniadakan keberadaan Tuhan dalam hidupnya karena kecewa dan marah.

Dan yang kedua, Hitchens lantas membuat kesimpulan yang distortif dengan menyamaratakan antara ajaran agama dengan pemeluknya. Inilah yang saya sebut sebagai kesimpulan yang serampangan itu. Bahwa, jika penganutnya jahat, maka berarti ajarannya juga jahat.

Hanya ada dua kemungkinan untuk orang yang bersikap demikian dalam pengambilan kesimpulan. Yang pertama dia tidak tahu bagaimana cara berpikir ilmiah. Dan yang kedua, dia sengaja melakukan hal itu karena kecewa.

Tentu saja, tidak ada agama yang mengajarkan kejahatan. Apa pun agamanya. Sehingga, kalau ada seorang penganut agama melakukan pencurian, tidak bisa lantas disimpulkan agamanya yang mengajari mencuri. Atau, kalau mereka melakukan pembunuhan, berarti agamanya juga yang mengajari membunuh, mengajari korupsi, mengajari miskin, dan seterusnya. Tentu, kita tidak terlalu sulit untuk menolak kesimpulan yang semacam itu.

Termasuk, ketika Hitchens membuat kesimpulan bahwa agama adalah racun bagi segala sesuatu termasuk peradaban manusia. Sebagaimana dia tulis dalam sub judul bukunya: ‘God is not Great, How Religion Poisons Everything’.

Maka, adalah tidak berlebihan jika kita menyebut Hitchens sebagai angry disbeliever. Bahwa kesimpulan dia tentang tidak adanya Tuhan bukan sebuah kesimpulan ilmiah melainkan sekedar luapan kemarahan dan sakit hati belaka. Karena itu, rasanya kita tidak perlu membuat ulasan lebih mendalam tentang pemikiran Hitchens di buku ini. Apalagi, secara lebih detil saya sudah membahasnya dalam buku DTM-20: ‘Beragama dengan Akal Sehat’.

Yang perlu kita tegaskan adalah, bahwa Islam merupakan agama fitrah yang bersifat universal. Ajaran-ajarannya sesuai dengan sifat-sifat dasar kemanusiaan. Sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, keadilan, kesejahteraan, kebersamaan, kasih sayang, dan berbagai akhlak mulia dalam menata umat manusia. Yang kemudian secara utuh digambarkan oleh Al Qur’an sebagai misi ‘rahmatan lil alamin’. Yakni, menebar rahmat dan kasih sayang bagi seluruh alam.

Kalaupun masih banyak orang Islam yang miskin, ada yang berbuat kriminal, ada yang suka membuat kerusuhan, merugikan orang lain, dan sebagainya, maka itu menjadi tugas kita bersama untuk membimbing mereka mengikuti jalan Tuhan. Karena agama ini memang diturunkan untuk membimbing umat manusia agar selalu di jalan kebaikan dan meninggalkan segala kejahatan.

QS. Fushshilat (41): 33-35
Siapakah yang lebih baik tutur katanya dibandingkan dengan orang yang mengajak ke jalan Allah, (sambil) mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (hanya kepada-Nya)?"

Dan tidaklah sama antara kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang sebaik-baiknya, sehingga orang-orang yang bermusuhan itu (seakan-akan) menjadi teman setia.

Sifat-sifat yang baik tidak dianugerahkan, kecuali kepada orang-orang yang sabar. Dan tidak dianugerahkan, kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.

QS. Al Anbiyaa’ (21): 107
Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

~ Wallahu a’lam bishshawab ~

(Mohon maaf, karena beberapa hari ke depan ada agenda yang harus saya tangani, saya cukupkan sampai disini notes cuplikan buku DTM-35: ‘IBRAHIM Pernah ATHEIS’ ini. Selanjutnya, bagi yang berminat memahami lebih mendalam materi buku terkait dengan perjalanan spritualitas Ibrahim dalam menemukan Tuhan Allah, silakan membaca langsung dari bukunya. Salam.)