Rabu, 31 Oktober 2012

MENJADI HAJI TANPA BERHAJI ~ TASAWUF HAJI (15-habis) ~

Di tulisan terakhir ini saya ingin merefleksikan seluruh uraian tentang hikmah haji di tanah suci itu ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahwa ritual haji itu sebenarnyalah menjadi pedoman perilaku kita dalam mendekatkan diri kepada Allah, dimana pun kita berada. Bukan hanya saat di tanah suci. Kita bisa ‘menjadi haji’ meskipun belum pernah pergi haji, tentu saja secara substansi. Karena kewajiban berhaji tetap melekat kepada siapa saja yang mampu pergi ke tanah suci.

Proses mendekatkan diri kepada Allah adalah sebuah keniscayaan bagi seorang muslim. Dan Allah dengan sangat jelas memerintahkan kepada kita untuk mencari jalan mendekatkan diri kepada-Nya. Bahkan, ‘melarang’ untuk ‘kedahuluan mati’ kecuali sudah dalam keadaan berserah diri kepada-Nya.

QS. Al Maa-idah (5): 35
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan CARILAH jalan yang MENDEKATKAN DIRI kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat kesuksesan.

QS. Ali Imran (3): 102
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan JANGANLAH sekali-kali kamu MATI melainkan dalam keadaan BERSERAH DIRI ( kepada Allah).

Bagaimanakah caranya mencari jalan untuk berserah diri kepada Allah itu? Jawabnya adalah menerapkan ritual haji dalam kehidupan kita sehari-hari. Mulai dari Wukuf, Lempar Jamrah, Tawaf, sampai Sa’i. Bukan dalam arti ritual fisik seperti saat di tanah suci. Melainkan secara substansi. Karena, sebenarnyalah situs-situs yang ada di tanah suci itu adalah simbol-simbol yang harus kita pahami secara substansial, dan kita jabarkan secara spiritual.
                
Wuquf dalam bahasa Arab berasal dari kata waqafa yang bermakna ‘berhenti, berdiri, bimbang & ragu-ragu, memahami, dan mengerti’. Sehingga makna kata wuquf itu memang merupakan perpaduan antara proses kebimbangan, keraguan, sampai benar-benar memperoleh kepahaman secara substansial terhadap suatu masalah. Dan semua itu akan sangat baik jika dilakukan dengan berhenti dari aktifitas sejenak agar bisa menjadi lebih fokus.

Yang demikian ini, bisa kita lakukan dimana saja. Bukan hanya saat di Arafah. Meskipun, saat berada di Arafah, mestinya seorang jamaah haji bisa melakukan dengan lebih baik disebabkan oleh atmosfer ibadah dan kesejarahan yang meliputinya. Tetapi, kita juga bisa melakukan wukuf itu di rumah, di tempat kerja, di dalam kendaraan, bahkan di tempat wisata. Substansinya adalah fokus melakukan perenungan sampai memperoleh keputusan yang strategis.

Kenapa wukuf ini menjadi penting? Karena, ternyata banyak diantara kita yang seringkali membuat keputusan secara tergesa-gesa, tanpa memahami masalahnya dengan baik. Ini adalah tipikal orang yang tidak sabaran. Sebuah akhlak yang sangat tidak dianjurkan oleh Islam, karena akan berujung pada penyesalan di belakang hari. Allah memberikan stressing dan motivasi yang sangat kuat kepada siapa saja yang bisa bersabar dalam menyikapi masalah: innallaaha ma’ash shaabiriin – Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.

Keputusan yang diperoleh dengan cara wukuf Insya Allah akan jauh lebih baik dibandingkan dengan yang tergesa-gesa. Karena di dalam wukuf itulah kita diajari untuk membuka pikiran dan hati seluas-luasnya dalam menerima petunjuk Allah. Mengintensifkan dzikir untuk membuka hijab yang menutupi jiwa, sehingga menjadi lebih jernih dalam memahami masalah. Mulai dari soal rumah tangga, rezeki, keilmuan, sosial kemasyarakatan, sampai masalah negara dan keumatan.

Namun demikian, tak jarang hasil wukuf memperoleh hambatan saat diimplementasikan. Terutama jika kepentingan egoistik terlalu dominan. Disinilah setan menunggangi ego kita untuk menggagalkan petunjuk yang kita peroleh saat wukuf. Kejernihan spiritual yang sudah terbentuk bisa menjadi kabur kembali, jika kita menuruti ego pribadi.

Inilah saatnya kita menerapkan filosofi Lempar Jamrah. Yakni, mengusir sifat-sifat setaniyah yang menjurus kepada kepentingan sempit dan egois. Yang benar adalah, harus bersifat sosial sekaligus spiritual. Seperti substansi ritual berkorban itu. Jika kita egoistik, yang sosial dan spiritual akan terlewatkan. Tetapi jika kita menjalaninya dengan landasan sosial-spiritual, maka kepentingan yang bersifat egoistik akan terpenuhi dengan sendirinya. Hasilnya akan lebih holistik.

Setan bukan hanya terdapat di tanah suci. Apalagi berupa tugu-tugu jamarat bikinan pemerintah Arab Saudi. Semua itu hanya simbol. Setan yang sesungguhnya telah berada di dalam diri kita sendiri. Maka, kita harus memahami substansi, dan bukan terjebak kepada sekedar tradisi yang tanpa isi. Filosofi lempar jamrah itulah yang mesti kita terapkan dalam realitas. Agar kita termasuk orang-orang yang berada di jalan lurus yang diridhai-Nya.

Berikutnya, Allah mengajari kita untuk selalu bertawaf di Arsy-Nya. Mengingat-Nya dalam segala kondisi, dalam segala peristiwa. Siapa saja mengingat Allah, maka Dia akan mengingatnya pula. Dia akan selalu bersama dengan orang-orang yang ingat kepada-Nya, yakni orang-orang yang pandai bersyukur dan bersabar dalam segala aktivitasnya.

QS. Al Baqarah (2): 152-153
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat kepadamu. Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari-Ku. Hai orang-orang yang beriman, minta tolonglah (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

Dan penutup dari semua rangkaian substansi haji itu adalah Sa’i. Yakni, perintah Allah agar umat Islam pantang putus asa dalam menjalani hidupnya. Jangankan kita, para Nabi dan sahabatnya pun semua mengalami ujian, sampai mereka benar-benar berserah diri hanya kepada Allah, sebagai bukti yang tak terbantahkan bahwa mereka memang pantas memperoleh kesuksesan sejati di dunia maupun di akhirat nanti.

QS. Al Baqarah (2): 214
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘’Kapankah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat (yaitu bagi orang-orang yang berserah diri hanya kepada-Nya).

Maka, seseorang yang bisa mengaplikasikan pelajaran haji di dalam hidupnya, ia tidak akan pernah terombang-ambing dalam ketidakpastian. Kualitas berserah dirinya luar biasa kukuhnya. Allah selalu hadir dalam seluruh kesadarannya, mendampingi mengatasi masalah yang sedang dihadapinya. Niatnya penuh keikhlasan, perbuatannya selalu berbingkai ketaatan, perjuangannya berhias kesabaran, dan hidupnya penuh pengorbanan untuk kebajikan. Ia benar-benar telah menjadi seorang muslim yang paripurna: berserah diri hanya kepada Allah, Sang Maha Pemurah lagi Maha Bijaksana..

QS. Az Zukhruf (43): 68
Wahai hamba-hamba-Ku, tidak ada lagi kekhawatiran terhadapmu pada hari ini. Dan tidak pula kamu bersedih hati. (Yaitu bagi) orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami dan orang-orang yang berserah diri.

Wallahu a’lam bishshawab.

MELATIH JIWA BERKORBAN ~ TASAWUF HAJI 2012 (14) ~

Pelajaran tertinggi di dalam amalan Islam adalah berkorban dalam kebajikan. Itulah yang menjadi inti ibadah haji. Niatnya berlandaskan keikhlasan. Menjalankannya dalam bingkai ketaatan. Perjuangannya mesti penuh kesabaran. Dan jika terjepit, sandarannya adalah bertawakal kepada Allah semata.

Seluruh sifat akhlaqul karimah itu jika dilebur menjadi satu akan menghasilkan puncak kualitas seorang muslim yang disebut sebagai berserah diri alias aslam. Dan kemudian, terlihat hubungan eratnya dengan nama agama ini: Islam. Allah menceritakan hal ini dalam sebuah ayat yang mengaitkan akhlak mulia tersebut dengan Nabi Ibrahim yang menjadi kesayangan-Nya.

QS. An Nisaa’ (4): 125
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas berserah diri kepada Allah? Sementara, dia juga banyak berbuat kebajikan. Dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Dan Allah pun mengambil Ibrahim sebagai kesayanganNya.

Jadi menurut ayat di atas, kriteria tertinggi dalam berislam adalah ketika seseorang bisa mempraktekkan ‘aslama wajhahu lillah – berserah diri kepada Allah’. Keberserahdirian itu tidak boleh dibiarkan hanya berada di wilayah internal belaka, melainkan harus segera diikuti dengan ‘wahuwa mukhsin – dan dia suka berbuat kebajikan’. Yang secara operasional dijelaskan lebih jauh dalam kalimat berikutnya: ‘wataba’a millata ibrahima hanifa - dan dia mengikuti agama Ibrahim yang lurus.’ Hasilnya, akan menjadikan ia disayang Allah sebagaimana Ibrahim menjadi khalilullah – kesayangan Allah.

Lantas, apakah inti pelajaran agama Ibrahim itu? Yakni, mempraktekkan jiwa berkorban untuk sesama. Itulah sebabnya, Hari Raya Idul Adha ini selain disebut sebagai Hari Raya Haji, juga disebut sebagai Hari Raya Kurban. Sebuah simbol yang sangat lugas dari puncak kualitas keislaman seseorang. Bukan hanya bersifat fisikal, seperti berkurban ternak untuk memberi makanan bergizi kepada orang-orang miskin. Melainkan lebih substansial dari itu, untuk meng-exercise atau melatih ketakwaan kita kepada Allah agar memperoleh sifat yang lebih sempurna: berserah diri hanya kepada-Nya. Itulah yang diajarkan dalam ayat berikut ini, bahwa substansi kurban itu bukan pada dagingnya melainkan pada ketulusan niatnya.

QS. Al Hajj (22): 37
Tidak akan sampai kepada Allah daging (kurban itu) dan tidak pula darahnya, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kalian supaya kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya kepadamu. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat kebajikan.

Maka menjadi jelaslah parameter kesuksesan bagi seseorang yang berhaji. Bahwa mereka yang sudah pulang dari tanah suci harus memiliki sifat berkorban yang lebih besar dari sebelumnya. Bukan hanya mengorbankan binatang ternak, melainkan yang lebih substansial adalah mengorbankan segala karunia Allah yang telah dimilikinya di jalan kebajikan. Mulai dari harta benda, ilmu pengetahuan, amanat kekuasaan, sampai kepentingan diri sendiri dengan segala yang dicintainya.

Bagaimana cara mengukur kualitas berkorban kita itu sudah baik atau belum? Ada empat parameter yang mesti dikenakan, yaitu: niat yang ikhlas, berbingkai ketaatan, sabar dalam menjalankan, dan tawakal kepada Allah ketika proses itu menemui hambatan.Tentang keikhlasan, Allah mengajarkan sebagai berikut ini.

QS. Al Insaan (76): 8-9
Dan mereka memberikan MAKANAN yang DISUKAINYA kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan RIDHA ALLAH, kami tidak menghendaki BALASAN dari kamu dan BUKAN pula (ucapan) TERIMA KASIH.

Atau, lebih substansial lagi, sebagaimana yang diajarkan dalam dalam QS. 28: 77 ~ wa ahsin kama ahsanallahu ilaika – dan berbuat baiklah (kepada siapa pun) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Sebuah pelajaran yang sangat mendalam, bahwa berbuat baik itu semata-mata karena kita mensyukuri begitu banyak kebaikan yang telah Allah karuniakan kepada kita. Tak ada pamrih lain. Jika kita sudah bisa berbuat ikhlas seperti ini, maka pengorbanan yang kita lakukan itu sudah on the right track – di atas jalan yang benar.

Jika niatan sudah benar, maka sempurnakanlah dengan ketaatan. Ketaatan adalah tindak lanjut dari keikhlasan. Keikhlasan baru berada di wilayah  niat, sedangkan ketaatan sudah berada di wilayah perbuatan. Ada kesungguhan dalam menjalankan pengorbanan. Bukan asal-asalan, melainkan ingin memberikan yang terbaik. Termasuk, memberikan apa yang kita cintai, bukan apa yang tidak kita sukai kepada orang lain. Begitulah Allah menyindir kita.

QS. Al Baqarah (2): 267
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu YANG BAIK-BAIK dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan JANGAN kamu memilih yang BURUK-BURUK lalu kamu menafkahkannya. Padahal KAMU sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan MEMICINGKAN MATA terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Dan jika kemudian pengorbanan itu terasa berat, maka bersabarlah. Karena yang namanya berkorban memang sudah seharusnya terasa berat. Kalau tidak berat, itu namanya belum berkorban. Justru disinilah exercise-nya. Minimal setiap tahun kita diminta oleh Allah untuk meningkatkan kualitas pengorbanan kita di Hari Raya Kurban. Syukur-syukur sudah bisa berkorban setiap saat demi kebajikan dan kemaslahatan umat.

QS. Al Mudatstsir (74): 6-7
Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu itu BERSABARLAH.

Akhirnya, jika kesabaran sudah mencapai puncaknya dan hambatan masih menghadang, itu artinya Allah sedang memberikan ujian tertingginya. Satu-satunya jalan hanya bertawakal, bersandar kepada-Nya. Insya Allah Dia akan membukakan jalan. Itulah yang disebut sebagai ‘Ilmu Pedang Ibrahim’: pertolongan Allah selalu datang kepada orang yang bertawakal, ketika pedang sudah menempel di leher..! Umat Islam pantang menyerah. Jangan belum apa-apa sudah give up. Karena kualitas kita di hadapan Allah adalah seiring dengan kualitas ketawakalan kita dalam memperjuangkan kebajikan...

QS. At Taubah (9): 51
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman bertawakal."

Wallahu a’lam bishshawab. (bersambung).

Senin, 29 Oktober 2012

SA’I, PERJUANGAN TIADA HENTI ~ TASAWUF HAJI 2012 (13)

oleh Agus Mustofa pada 29 Oktober 2012 pukul 8:17

Lebih dari 4000 tahun yang lalu Mekah masih berupa lembah tandus tanpa penghuni. Sekelilingnya gunung bebatuan yang tak menampakkan kehidupan. Sehingga, tak ada yang mau hidup di tempat ini karena tak ada air maupun tetumbuhan yang menjadikan manusia bisa bertahan. Tapi kini, lembah tandus itu telah menjadi kota yang sangat makmur, yang setiap tahunnya dikunjungi oleh berjuta-juta manusia dari seluruh penjuru bumi.

Siapakah pendirinya? Mereka adalah keluarga Nabi Ibrahim. Khususnya Siti Hajar dan anaknya, Nabi Ismail. Dua orang ibu dan anak inilah yang telah menjadikan kawasan mengerikan itu menjadi tempat yang menarik untuk disinggahi para pedagang karavan. Tentu saja, dengan seizin Allah Sang Sutradara Kehidupan, setelah Nabi Ibrahim berdoa kepada-Nya agar lembah itu menjadi negeri yang penuh rezeki dan sejahtera.

QS. Ibrahim (14): 37
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung (mengunjungi) mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.

Syahdan Ibrahim membawa anak istrinya dari Palestina untuk ditempatkan di lembah gersang itu atas perintah Allah. Berhari-hari mereka menempuh perjalanan sejauh 1.500 kilometer, sambil membawa Ismail yang masih bayi. Ibrahim tak bercerita kepada istrinya tentang perintah Allah itu sampai mereka berada di lembah cikal bakal kota Mekah.

Sesampai disana barulah Hajar mengetahui maksud Ibrahim membawanya dalam perjalanan jauh itu. Ia begitu kaget ketika Ibrahim menyampaikan bahwa ia dan anaknya yang masih bayi itu akan ditinggalkan disana. Sementara Ibrahim sendiri akan kembali ke kawasan Palestina untuk melanjutkan syiar agama Tauhid bersama istri pertamanya, Sarah. Karena, selama ini pusat penyebaran agama Ibrahim memang berada di sekitar tanah Kan’an itu. Diantaranya, Ibrahim juga masuk ke negeri Mesir yang bersebelahan dengan kawasan Palestina.

Sebagai tokoh agama yang disegani, Ibrahim pernah memperoleh hadiah seorang budak dari penguasa Mesir, yang kemudian dibebaskan dari perbudakan. Budak berkulit hitam bernama Siti Hajar itu lantas dijadikan sebagai bagian dari keluarganya. Dikarenakan berpuluh tahun tidak juga punya anak, maka Sarah yang menjadi istri Ibrahim menyarankan agar Ibrahim menikahi Siti Hajar yang sangat baik budi pekertinya itu. Ia berharap Allah memberikan keturunan darinya sebagai penerus risalah Ibrahim. Maka, Ibrahim pun menikahi Hajar dan lahirlah putra pertamanya: Ismail.

Begitulah, sesampai di lembah tandus di pedalaman jazirah Arab itu Ibrahim menyampaikan tujuannya membawa Hajar dan Ismail. Hajar pun memandang Ibrahim dengan rasa tak percaya, bahwa ia akan ditinggalkan berdua saja. Ia melihat ke sekelilingnya, tak ada pepohonan, tak ada sumber air, tak ada kehidupan. ‘’Benarkah, kami akan engkau tinggalkan di tempat seperti ini, Ibrahim?’’ Tanya Hajar. Ibrahim tak mampu menjawab pertanyaan istrinya dengan kata-kata. Ia hanya menganggukkan kepalanya, sambil membalikkan badan meninggalkan mereka.

Tentu saja Hajar tak puas dengan jawaban Ibrahim. Sambil menggendong anaknya ia mengikuti langkah Ibrahim yang meninggalkannya menuju ke atas bukit. Untuk kedua kalinya Hajar bertanya kepada Ibrahim, apakah ia benar-benar akan ditinggalkan di tempat yang tak ada kehidupan itu. Dan Ibrahim sekali lagi tak mampu menjawab dengan kata-kata, karena ia sendiri pun sebenarnya merasa berat meninggalkan anak semata wayang yang telah dirindukan selama puluhan tahun itu. Tapi ia menguatkan hatinya, dan kemudian menganggukkan kepalanya sambil mempercepat langkah meninggalkan anak istrinya.

Setengah berlari Hajar mengejar Ibrahim, sambil bertanya dengan nada sangat penasaran. Tapi kali ini dengan redaksi yang berbeda: ‘’Ibrahim, apakah ini perintah Allah?’’ Ibrahim semakin mempercepat langkahnya, dan lagi-lagi menganggukkan kepalanya.

Begitu Ibrahim mengiyakan bahwa ini adalah perintah Allah, sekonyong-konyong Hajar menghentikan langkahnya mengejar Ibrahim. Wanita yang dipuji-puji Sarah sebagai orang yang berbudi mulia itu mendekap erat-erat anaknya yang masih bayi. Dan, ia pun membalikkan badan menuju tempat dimana Ibrahim meninggalkannya pertama kali. Subhanallah..!

Membaca kisah ini hati saya selalu tercekat. Ada semacam sedu sedan yang naik ke kerongkongan dan menjalar ke mata, menyebabkannya terasa panas dan berkaca-kaca. Sedemikian hebatnya istri Ibrahim yang bernama Siti Hajar itu. Begitu mendengar bahwa semua ini adalah perintah Allah, mendadak sontak ia menaatinya. Sungguh sebuah keimanan yang luar biasa dahsyatnya. Mengalahkan segala ketakutan dan kekhawatiran yang mencekamnya. Ia begitu yakin, jika Allah yang menghendaki, pasti ada jaminan yang tak perlu diragukan lagi..!

Dan Ibrahim, Sang Khalilullah – Kesayangan Allah – itu pun melangkah dengan berat hati meninggalkan orang-orang yang disayanginya. Tetapi, sebelum menghilang di balik bukit dia membalikkan badannya menatap anak istrinya nun jauh di dasar lembah. Dan kemudian ia bermunajat kepada Allah dalam doa yang diabadikan di dalam kitab suci Al Qur’an sebagaimana saya kutipkan di atas. Doa bagi kesejahtean dan keselamatan istri, anak, dan keturunannya sampai di akhir zaman.

Tinggallah Siti Hajar dan Ismail yang harus berjuang mempertahankan hidupnya di padang tandus yang sangat panas itu. Maka, terjadilah apa yang tercatat dalam sejarah, bahwa Siti Hajar harus berlari-lari antara bukit Shafa dan Marwa untuk mencari jalan keluar atas ujian yang diberikan kepadanya. Sampai di kali yang ke tujuh, Hajar yang menggendong anaknya itu terduduk kelelahan di tempat semula. Dibaringkannya Ismail di pasir beralaskan kain seadanya. Ia merenungi keadaan sambil melihat anaknya yang mulai menangis kehausan. Tak ada lagi air minum yang dimilikinya. Demikian pula telah kering air susu di tubuhnya.

Di saat kritis itulah pertolongan Allah datang. Persis di tempat Ismail menendang-nendangkan kaki sambil menangis itu terlihat rembesan air yang semakin lama semakin banyak. Siti Hajar tercengang dan kemudian berteriak: zam..zam.. zam..zam..! Yang bermakna: berkumpullah.. berkumpullah..! Ia pun membuat bendungan kecil dari tanah pasir, sehingga ada air menggenang yang semakin jernih. Jadilah kolam mata air.

Genangan air itu menyebabkan burung-burung mulai berdatangan untuk ikut minum. Dan tak lama kemudian sejumlah pedagang karavan berdatangan pula disebabkan melihat rombongan burung yang beterbangan rendah. Mereka meminta air kepada Siti Hajar dengan menukar makanan dan segala apa yang dibutuhkan ibu dan anak itu. Subhanallah, ibu dan anak itu terselamatkan..!

Sejak itu, lembah yang tadinya sepi dan tandus sering didatangi oleh para pedagang karavan yang melintas di kawasan itu. Mereka kemudian berkemah dan bermalam berhari-hari disana. Sehingga kawasan yang tadinya mati menjadi semakin ramai, dan akhirnya menjadi kota yang sejahtera. Allah telah menunjukkan kebesaran-Nya lewat hamba-hamba yang saleh dan berserah diri hanya kepada-Nya. Sejak itu pula Mekah menjadi pusat syiar agama Ibrahim selain Palestina, khususnya ketika Ibrahim dan Ismail kelak mendirikan Baitullah disana. Perjuangan tanpa putus asa dan kepasrahan yang mendalam dari keluarga teladan ini telah menjadi bukti yang sangat mencerahkan bagi umat Islam sedunia..!

QS. Al Hijr (15): 56
Ibrahim berkata: "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang tersesat."

Wallahu a’lam bishshawab. (Bersambung)

TAWAF, BERPUTAR-PUTAR DI ‘ARSY ALLAH ~ TASAWUF HAJI 2012 (12) ~

oleh Agus Mustofa pada 28 Oktober 2012 pukul 11:09

Seorang ibu setengah baya bertawaf mengelilingi kakbah sambil menangis terisak-isak. Wajahnya terlihat kalut, matanya nanar, dan mulutnya berkomat-kamit menyebut nama Allah berulang-ulang. Tak ada kalimat lain yang terucap selain: Astaghfirullah, dan ya Allah.. ya Allah..! Wajahnya sering menengadah ke langit, dan tangannya gemetaran mengusap air mata yang berderai-derai membasahi wajahnya yang mulai keriput.

Sang ibu sedang melakukan Tawaf Ifadoh, yakni ritual mengitari baitullah sebanyak tujuh kali seusai melakukan lempar jumrah di Mina. Ini pula yang sedang dilakukan jamaah haji di hari-hari Tasyrik sekarang ini. Ibu yang berangkat haji seorang diri di tahun 2000 itu adalah jamaah satu rombongan dengan saya. Keesokan harinya, ia curhat kepada saya tentang ritual Tawaf Ifadoh yang menggetarkan seluruh sendi-sendi jiwanya itu.

Kebetulan, setiap pagi kamar saya memang dijadikan tempat berkumpul jamaah haji dalam rombongan kami untuk berbagi hikmah. Pagi itu kami memperoleh hikmah luar biasa yang terjadi pada sang Ibu. Dengan masih berurai air mata ia menceritakan pengalaman Tawaf Ifadohnya kepada kami. Bahwa, kemarin saat bertawaf itu hatinya benar-benar takut dan gelisah. Sampai-sampai semalaman ia tidak bisa tidur karenanya.

‘’Pak Agus, saya takut ibadah haji saya tidak diterima oleh Allah,’’ ia mulai menumpahkan kegelisahannya. ‘’Kenapa ibu?’’ saya berusaha memberikan perhatian yang serius untuk mengurangi kegundahannya. Ia pun bercerita bahwa saat melakukan tawaf kemarin ia sama sekali lupa akan doa tawaf yang selama ini telah ia hafalkan.

‘’Saya sudah sangat hafal pak Agus, karena sudah berbulan-bulan telah saya siapkan. Saya ingin haji saya yang hanya sekali seumur hidup ini tidak sia-sia,’’ tegasnya sambil berlinangan air mata. Keberangkatan hajinya itu diperoleh dari usaha mengumpulkan uang sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun. Dan karenanya, ia ingin menjalankan secara sempurna seperti yang ia pelajari dari buku manasik.

Karena merasa sudah hafal itu, ia pun tak membawa buku doa yang biasanya disandang oleh para jamaah haji saat bertawaf. Ia tak memerlukannya, dan berharap bisa bertawaf dengan penuh kekhusyukan tanpa dibingungkan membuka-buka bukunya. Tapi celaka, ternyata ia terlupa saat mengamalkannya dalam ibadah. Sesaat setelah mengucapkan kalimat: bismillahi Allahu Akbar sambil melambai ke Hajar Aswad, ia pun mulai melangkah bertawaf. Entah karena sangat gembira, atau terharu disebabkan cita-citanya pergi ke tanah suci tercapai, tiba-tiba saja ia tidak bisa mengingat doa yang sudah di hafalnya.

Putaran pertama dilaluinya dengan pikiran ‘blank’. Semakin berusaha diingat, doa yang sudah dihafal itu semakin tak bisa diucapkan. Rasanya sudah seperti di ujung lidah, tetapi tak ada kalimat yang terucap. Darahnya berdesir karena takut. Tapi, ia sudah telanjur melangkahkan kaki dalam pusaran tawaf. Sampai menjelang putaran pertama beakhir, ia tetap tak mampu berkata apa pun kecuali menyebut: Astaghfirullah, Ya Allaah .. ya Allaah..!

Hingga sampailah ia di sudut Hajar Aswad lagi, dimana ia harus memulai putaran kedua dengan mengucapkan: bismillahi Allahu Akbar. Sang ibu melangkahkan kaki diputaran kedua dengan penuh harap bisa mengingat doa yang harus diucapkan. Tapi celaka, doa-doa itu tak ada yang muncul di benaknya. Semakin jauh ia melangkah semakin kacau pikirannya. Dan lagi-lagi ia hanya bisa beristighfar memohon ampun kepada Allah: astaghfirullah... ya Allah.. yaa Allaah...! Keringat dingin kepanikan mulai membasahi keningnya sampai putaran kedua selesai.

Selanjutnya, ia semakin kalut. Tawaf di putaran ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh dilaluinya tanpa ada doa yang bisa diingat dan diucapkannya. Ia pun menangis tersedu-sedu. Sang ibu benar-benar lupa doanya. Yang diingat dan diucapkannya kini hanya: Allah, Allah dan Allah..!Kegelisahan hatinya pun sedemikian hebat, dan ia tak tahu harus berbuat apa kecuali pasrah dan berserah diri kepada Allah. Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Bijaksana.

Dijalaninya sisa putaran tawaf itu dengan tubuh gemetar dan derasnya air mata yang tumpah di wajahnya. Mulutnya terus berkomat-kamit menyebut nama Tuhannya. Perhatiannya terhadap sekitar menjadi nanar. Dan seluruh kesadarannya hanya terisi oleh kepasrahan total, serta rasa berdosa atas kebodohannya. Ia berharap Allah memaafkan segala kekhilafannya...

‘’Apakah tawaf saya sah Pak Agus? Apakah ibadah haji saya diterima oleh Allah, Pak?,’’ ia bertanya menumpahkan harapan kepada saya. Sambil tersenyum saya pun menatap matanya yang gelisah dan menjawab pertanyaannya dengan mantap: ‘’Insya Allah tawaf Anda sah, ibu’’. Saya melihat tebersit sinar kelegaan di matanya yang lelah. Tapi ia ingin tahu: ‘’kenapa tawaf saya sah? Bukankah saya sama sekali tidak bisa membaca doa yang mestinya saya baca?’’

Sambil masih tersenyum saya katakan kepadanya, bahwa selama tawaf itu dilakukannya dengan memenuhi syarat dan rukunnya, maka secara syariat ia telah menjalaninya dengan sah. Yaitu, dia melakukan tawaf dengan mengenakan baju ihram. Juga dalam keadaan berwudhu. Memulai putarannya dari sudut Hajar Aswad dengan berucap bismillahi Allahu Akbar. Dan mengitarinya sampai tujuh kali putaran. ‘’Insya Allah, tawaf Anda sah,’’ saya ulangi lagi ucapan saya dengan mantap. Ia pun tersenyum lega.

Sedangkan mengenai doa yang terlupa itu, lanjut saya, sama sekali tidak membatalkan ibadahnya. Karena dzikir dan doa dalam ritual haji lebih bersifat maknawi sebagai pengisi substansi. Berbeda dengan shalat yang tidak membaca Al fatihah, misalnya, akan menjadi batal. ‘’Saya justru melihat ibu sedemikian khusyuknya saat bertawaf. Sambil terus menyebut-nyebut nama Allah. Jauh lebih khusyuk dibandingkan dengan orang-orang yang sibuk membuka-buka buku doanya, tetapi lupa mengingat Tuhannya..!’’

QS. Al Anbiyaa' (21): 90
''...Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam perbuatan baik. Dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh HARAP dan CEMAS. Dan mereka adalah orang-orang yang KHUSYU' kepada Kami.''

***

Bertawaf adalah berputar-putar di Baitullah. Substansinya mengisi seluruh kesadaran kita dengan menyebut-nyebut nama-Nya, dan menjadikan Allah sebagai pusat dari seluruh aktivitas yang sedang kita jalani. Gerakan tubuh fisikal, kesadaran nafsiyah, dan potensi ruhiyah semuanya melebur menjadi satu dalam realitas tunggal: merasakan kehadiran-Nya..!

Karena sesungguhnyalah, Dia sudah hadir meliputi semesta. Mulai dari mikrokosmos yang menyusun tubuh kita maupun seluruh benda di sekitar, sampai pada jagat raya yang tak ketahuan batasnya. Gerakan abadi di dunia atomik, sub atomik sampai di tingkat kuantum adalah manifestasi dari kehadiran Allah di alam mikro. Semua sedang bertasbih kepada-Nya dalam gerak abadi tiada henti. Demikian pula, alam semesta di skala makrokosmos, tak ada yang tidak bergerak dan bertasbih. Langit berlapis tujuh dan semua yang ada di dalamnya sedang bergerak dalam pusaran abadi mengelilingi Arsy Allah Sang Penguasa jagat semesta: melakukan tawaf abadi, hanya kepada Ilahi Rabbi..!

QS. Al Israa’ (17): 44
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya (sedang) bertasbih kepada Allah. Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih memuji-Nya. Tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.

QS. Az Zumar (39): 75
Dan kamu akan melihat para malaikat bergerak berkeliling di seputar 'Arsy (Allah). (Mereka) bertasbih sambil memuji Tuhannya. Dan diberi putusan diantara hamba-hamba Allah dengan adil serta diucapkan: "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam."

Wallahu a’lam bishsawab. (Bersambung).

Sabtu, 27 Oktober 2012

LEMPAR JUMRAH, MENGUSIR SIFAT-SIFAT SETANIYAH ~ TASAWUF HAJI 2012 (11) ~

oleh Agus Mustofa pada 27 Oktober 2012 pukul 8:34

Tiga hari ke depan ini jamaah haji di tanah suci sedang menggenapkan ritual ibadahnya. Di hari tasyrik – sampai tanggal 13 Dzulhijjah – seusai wuquf di Arafah jamaah haji melakukan lempar jumrah di Mina atau Tawaf dan sa’i di Mekah. Tertunainya keempat ritual itu menjadi tanda sempurnanya ibadah haji secara syariat. Meskipun, boleh jadi, tak sedikit jamaah yang tak mampu menyelami substansi hajinya.

Sebagaimana telah saya sampaikan di tulisan sebelumnya, Nabi Ibrahim memperoleh kemantapan iman saat berwuquf di Padang Arafah. Namun, hal itu baru menjadi awal ujian kesabaran yang sebenarnya. Beragama tidak cukup hanya bersifat internal di dalam keyakinan diri, melainkan harus sampai mengimbas keluar, dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Seberapa mantap Ibrahim memenuhi ujian Allah itu, setan pun memperoleh peran untuk menghadang perjalanan Ibrahim menuju Jabal Qurban.

Jabal Qurban adalah sebuah bukit yang ada di kawasan Mina. Dimana seusai menjalani wuquf, Ibrahim bersama istri dan anaknya berjalan menuju ke Mekah melewati kaki bukit itu. Ibrahim yang sudah mantap untuk menjalani ujian Allah, meminta istrinya menunggu di bawah bukit. Ia mengajak Ismail yang tak tahu apa yang akan dilakukan ayahnya ke atas bukit.

Di lereng bukit itulah Ibrahim dan Ismail dihadang oleh setan dengan segala rayuannya, agar membatalkan niat mengorbankan anaknya. Sebuah rayuan maut, yang seakan-akan membela Ibrahim dan menyodok perasaan cinta kepada anak yang dikasihinya. Tapi keimanannya telah menghunjam jiwa, hatinya telah terbuka dari hijab yang menutupinya. Ia bisa melihat dengan jernih bahwa yang menghadangnya adalah setan yang menunggangi kesadaran egoistiknya sebagai manusia. Sementara, kesadaran ilahiah telah memancar ke dalam relung-relung jiwa yang paling dalam, mencahayai segala perbuatannya.

Dengan tegar Ibrahim melangkah ke atas bukit sambil menggandeng Ismail. Setan yang menghadang dengan rayuan itu tak digubrisnya, bahkan dilemparinya dengan bebatuan. Bukan hanya sekali si setan merayu Ibrahim, melainkan sampai tiga kali, hingga menjelang puncak bukit. Ibrahim kukuh dengan keimanannya. Peristiwa melempar setan itulah yang kemudian diabadikan secara simbolik menjadi ‘lempar jumrah’: jumratul Aqobah, jumratul Wustha, dan jumratul ‘Ula di kota Mina, yang hari-hari ini sedang dilakukan jamaah haji di tanah suci.

Tak terbayangkan, sebenarnya, betapa berat pergulatan batin Ibrahim saat menuju ke puncak Jabal Qurban itu. Tetapi, keimanannya telah memenangkan pertarungan melawan setan yang merayunya dengan segala cara. Sesampai di atas bukit, barulah Ibrahim menyampaikan maksudnya mengajak Ismail. Di atas bukit di kawasan Mina itulah drama keikhlasan dan kesabaran antara dua orang hamba yang saleh dipertontonkan. Dan kisah ini lantas diabadikan Allah di dalam kitab suci Al Qur’an Al Karim. Serta, diwariskan sebagai ajaran puncak dalam berislam kepada Allah, Tuhan Jagat Semesta Raya, kepada umat Islam sampai akhir zaman.

QS. Ash Shaaffaat (37): 102
Maka ketika anak itu (Ismail) sampai (pada usia sanggup) berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."

Betapa mengharukan dialog antara dua orang yang sangat santun dan saling menyayangi ini. Sang Bapak tak melakukan pemaksaan apa pun kepada Anaknya, melainkan menyampaikan ‘perintah Allah’ itu dengan penuh kehati-hatian. Panggilan yaa bunayya dalam ayat di atas adalah ‘panggilan kesayangan’ kepada seorang anak, yang diterjemahkan sebagai: ‘wahai anakku tersayang’. Berbeda dengan yaa ibniy, yang meskipun juga diterjemahkan sebagai: ‘hai anakku’, tetapi bermakna lugas.

Panggilan kesayangan semacam itu menunjukkan, betapa trenyuhnya Nabi Ibrahim ketika akan menjalankan perintah Allah tersebut. Dan kemudian ia melanjutkan dengan kalimat yang sangat lembut untuk ‘meminta pendapat’ kepada Ismail tentang mimpinya yang aneh itu dengan pertanyaan: fikirkanlah apa pendapatmu? Tak ada kesan otoriter sama sekali. Tak ada kekejaman dan kebengisan seorang ayah kepada anaknya, meskipun itu atas nama perintah Tuhan.

Dan yang membuat air mata saya menetes tak tertahan adalah saat membaca jawaban sang anak. Ia membalas kalimat penuh sayang yang ‘mengancam jiwanya’ itu dengan kalimat santun dan penuh hormat: yaa abati if’al maa tu`maru. Satajiduniy insyaa Allaah minash shaabiriin – wahai ayahanda lakukanlah yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.

Ini bukan tentang peristiwa seorang ayah yang mengorbankan anaknya, dimana sang ayah menjadi subyek dan sang anak menjadi obyek, tetapi sebuah drama keikhlasan dan kesabaran dari dua orang hamba Allah yang luar biasa mendalamnya. Kedua-duanya paham betul bahwa cobaan tersebut diberikan Allah kepada mereka berdua, bukan hanya salah satunya. Tak ada paksaan sama sekali di dalamnya. Juga tak ada rasa terpaksa pada sang anak, meskipun Ismail menjadi anak yang akan ‘dikorbankan’. Semua dijalani dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Sebuah kualitas ketaatan yang paripurna, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang terbuka hijabnya. Sehingga setan pun tak mampu mempengaruhinya.

Sampai disini tak terbendung lagi air mata saya, yang tumpah berderai-derai di wajah. Tak mampu lagi saya mengukur suasana kebatinan dua Nabi teladan itu dalam mempraktekkan ikrar berserah dirinya kepada Allah..!

QS. Ash Shaaffaat (37): 103-110
Tatkala keduanya telah BERSERAH DIRI dan Ibrahim membaringkan anaknya pada pelipis(nya), (terbuktilah kesabaran dan keikhlasan mereka). Maka Kami seru dia: "Hai Ibrahim (cukup)..! Sungguh kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya begitulah Kami memperlakukan orang-orang yang berbuat baik.

Sesungguhnya ini benar-benar suatu UJIAN yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor binatang sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim (peristiwa) itu di kalangan orang-orang yang hidup di zaman kemudian. "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim." Demikianlah Kami membalas orang-orang yang berbuat kebajikan.

Inilah simbolisasi keikhlasan dan kesabaran yang luar biasa. Yang dicapai dengan perjuangan dan kesengajaan dalam mencari ridha Allah. Yang dilakukan oleh orang-orang yang telah mencapai kejernihan spiritual, dengan menghalau sifat-sifat setaniyah yang telah menunggangi egonya. Sebuah kesadaran ilahiyah yang telah mampu menaklukkan kesadaran nafsiyah, sebagai puncak perjalanan spiritualitasnya: Ikhlas BERSERAH DIRI hanya kepada Allah.

Wallahu a’lam bishshawab.(Bersambung).

Kamis, 25 Oktober 2012

WUQUF DI ARAFAH MEMBUKA HIJAB JIWA ~ TASAWUF HAJI 2012 (10) ~

oleh Agus Mustofa pada 25 Oktober 2012 pukul 7:02

Jutaan jamaah haji dari seluruh penjuru dunia hari ini sudah berada di Padang Arafah. Sebuah padang bebatuan dimana mereka akan memulai seluruh rangkaian ibadahnya dengan perenungan suci. Yakni sejak Zhuhur sampai tenggelamnya matahari. Inilah puncak ibadah haji, yang kata Rasulullah SAW tidak sah haji seseorang jika tidak melakukan wuquf.

Sayang, kebanyakan jamaah haji lantas hanya berusaha memenuhi sahnya haji secara syariat belaka. Yakni, berdiam di Arafah selama waktu siang sampai sore hari. Asal tidak meninggalkan Arafah di waktu tersebut, maka hajinya pun menjadi sah. Sehingga, saya melihat, tak sedikit jamaah haji yang lantas menghabiskan waktu wuquf hanya dengan tidur-tiduran, ngobrol ke tenda sebelah, dan kegiatan-kegiatan tak bermakna lainnya.

‘’Toh tidak membatalkan ibadah haji,’’ begitu barangkali pikirnya. Padahal, di tempat inilah Nabi Ibrahim memahami substansi ibadah hajinya. Yakni setelah beliau meyakini kebenaran mimpinya, sebagai ujian kesabaran yang diberikan Allah kepada keluarganya.

Di Padang Arafah itulah keyakinan Ibrahim menjadi mantap, dikarenakan bisa menangkap pesan mimpi anehnya: menyembelih anak yang dikasihinya. Padahal dia sendiri adalah penentang praktek agama pagan yang mengorbankan manusia kepada dewa-dewi. Kini ia malah memperoleh perintah untuk mengorbankan anaknya. Tapi, dengan ritual ini, kelak Ibrahim justru tahu bahwa berkurban yang benar adalah menyembelih ternak yang bermanfaat untuk banyak orang. Bukan seperti yang dilakukan oleh penganut agama pagan itu.

Ibrahim tahu betul bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Bijaksana. Sehingga, hati kecilnya tetap yakin semua ini hanya bersifat ujian untuk mengetahui seberapa besar tingkat berserah dirinya kepada Allah. Agar terbukti ikrar kepasrahan yang selalu ia lantunkan setiap hari:‘’sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah semata...’’

Saya membayangkan betapa dahsyat pergulatan batin Ibrahim untuk memperoleh keyakinan bahwa mimpi itu adalah perintah Allah. Bukan bisikan setan. Pada orang awam yang kejernihan batinnya belum setingkat Nabi, pasti sangat sulit untuk membedakan antara perintah Allah dan bujukan setan. Tetapi, dengan cara wuquf itu Nabi Ibrahim lantas memperoleh kemantapan. Apakah yang terjadi ketika itu?

Intinya adalah terbukanya hijab alias tabir dalam jiwa Ibrahim. Sebuah proses menjernihkan hati, yang dilakukan dengan sepenuh jiwa lewat dzikir-dzikir yang intensif. Inilah yang secara umum telah saya sampaikan di tulisan-tulisan sebelumnya, dan lebih khusus di buku ‘Ma’rifat Di Padang Arafah’. Bahwa dzikir adalah proses untuk menyambungkan jiwa kita kepada Allah. Mengisi seluruh kesadaran hanya dengan nama-Nya. Dan kemudian merasakan kehadiran-Nya.

Semua itu terjadi di dalam inner-cosmos yang meleburkan kesadaran nafsiyah ke dalam kesadaranruhiyah. Kesadaran nafsiyah adalah kesadaran ego sebagai manusia, sedangkan kesadaran ruhiyahadalah kesadaran akan hadirnya Tuhan dalam diri. Karena ruh kita memang sudah membawa sifat-sifat ketuhanan. Itulah sebabnya Allah mengatakan Dia telah hadir begitu dekat dengan kita, lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Sehingga bisa mengetahui seluruh bisikan jiwa setiap manusia.

QS. Qaaf (50): 16
Dan sesungguhnya Kami-lah yang telah menciptakan manusia. Dan Kami mengetahui segala yang dibisikkan oleh jiwanya. Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.

Bagaimanakah Anda memahami sebuah ‘jarak’ yang lebih dekat daripada sesuatu yang ‘tak berjarak’? Bukankah urat leher itu sudah di dalam diri kita, yang dengan kata lain sudah tak berjarak? Tetapi Allah masih mengatakan lebih dekat daripada yang tak ada jaraknya itu. Kesimpulannya, kita ini sebenarnya sudah berada di dalam Diri-Nya. Sudah diliputi-Nya.

Nah, dengan dzikir saat wuquf itulah seseorang akan merasakan kehadiran Allah dalam seluruh kesadarannya. Meleburkan sifat-sifat yang egoistik ke dalam sifat-sifat ruh yang universal. Sifat-sifat kemakhlukan ke dalam sifat-sifat ketuhanan.

Hubungan antara ego manusia dengan Ego Tuhan itu ibarat timbangan. Jika ego kita membesar, maka Ego Tuhan akan mengecil dalam kesadaran kita. Sebaliknya, jika Ego Tuhan kita hadirkan sebesar-besarnya dalam kesadaran, ego kita akan mengecil bahkan bisa hilang sama sekali. Itulah substansi dari kalimat laa ilaaha illallah – tidak ada lagi yang mendominasi kesadaran kita kecuali Dia.

Orang yang bisa menghadirkan rasa ini di dalam dzikirnya, dia telah menghilangkan hijab yang membatasi jiwanya terhadap ruhnya sendiri. Energi ruhiyah akan memancar menerangi jiwa. Dan menerobos sampai kepada ucapan, serta tingkah lakunya. Menjadi rahmat bagi seluruh alam. Itulah yang diperoleh Nabi Ibrahim saat wuquf di Padang Arafah.

Kemantapan yang dia peroleh itu disebabkan telah terbukanya hijab antara jiwa yang egoistik dengan ruhnya yang universal. Kekhawatirannya menjadi sirna seketika. Karena kekhawatiran itu memang bersumber dari jiwa yang terkungkung oleh ego pribadi. Dengan wuqufnya, Ibrahim bisa memusnahkan kekhawatiran berganti dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. Bahwa, mimpinya itu adalah wahyu ilahiah untuk menguji keimanan dan kesabarannya. Dan akan menjadi skenario besar yang diwariskan kepada umat Islam sampai ribuan tahun kemudian.

Tidak mudah untuk mencapai kesadaran spiritual semacam ini. Dan tidak sembarang orang bisa mencapainya. Tetapi, kita bisa mengusahakannya sampai tingkat tertentu, supaya hijab antara jiwa dan ruh kita tidak sedemikian tebalnya sehingga menghalangi informasi-informasi ilahiyah sebagai petunjuk kehidupan. Sesungguhnya segala macam petunjuk itu memang sudah ada di dalam diri kita sendiri. Bersumber di dalam ruh. Sedangkan, informasi dari luar diri – outer cosmos – tak lebih hanya bersifat menstimulasi atau mengaktifkan sifat-sifat ketuhanan yang sudah inheren itu.

Maka, sebanyak apa pun seseorang melakukan interaksi dengan dunia luar – termasuk membaca ayat-ayat Qur’an – jika sifat-sifat ketuhanan yang ada di dalam dirinya tidak terbangkitkan, orang tersebut tidak akan memperoleh petunjuk. Kita menyebut: hatinya belum terbuka. Tertutup oleh hijab. Meskipun bacaanya setiap hari adalah Al Qur’an Al Karim..!

Jadi, wuquf yang baik adalah perenungan yang bisa membuka hijab itu. Perbanyaklah dzikir saat wuquf di Arafah. Maupun saat berpuasa Arafah di tanah air. Dan dzikir yang paling baik adalah dengan mengerjakan shalat sebagaimana Allah ajarkan di dalam Al Qur’an. Maka, saat berwuquf, saya mengisinya dengan shalat dua rakaat berulang-ulang sejak tergelincirnya matahari di siang hari, sampai tenggelam di senja hari. Mudah-mudahan Allah berkenan membukakan hijab jiwa kita, dan mengaruniakan hidayah kepada siapa saja yang mengikhlaskan hidupnya hanya untuk Allah semata..!

QS. Thaahaa (20): 14
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain Aku. Maka sembahlah Aku dan dirikanlah SHALAT untuk BERDZIKIR kepada-Ku.

QS. Az Zumar (39): 11
Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam beragama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri (hanya kepada-Nya)."

Wallahu a’lam bishshawab. (Bersambung)

Rabu, 24 Oktober 2012

UJIAN BERAT ITU DIMULAI DI MINA ~ TASAWUF HAJI 2012 (09) ~

oleh Agus Mustofa pada 24 Oktober 2012 pukul 8:00

Hari ini, 8 Dzulhijjah, jamaah haji di tanah suci sedang bersiap-siap memulai seluruh rangkaian ibadahnya. Mereka berkumpul di kota Mina, sebuah kawasan yang berjarak sekitar 8 kilometer dari Mekah, menuju ke Arafah. Diharapkan malam ini jutaan jamaah dari seluruh penjuru dunia itu sudah bisa berkemah di Arafah – yang masih berjarak 14 kilometer lagi. Karena, besok siang mereka mesti melakukan wuquf sebagai awal sekaligus puncak ibadah hajinya.

Lebih dari 4000 tahun yang lalu, Nabi Ibrahim bersama Istri dan anaknya – Siti Hajar dan Ismail – juga sedang berada di tempat yang sama: Mina. Sebuah lembah yang diapit perbukitan dimana keluarga Ibrahim sering menggembalakan ternaknya, sampai di kawasan Arafah. Di tempat inilah Ibrahim mulai diuji oleh Allah dengan ujian yang sangat berat, yang kemudian menjadi ritual haji.

Waktu itu, Ibrahim sedang melepas rindu karena bertahun-tahun tidak bertemu istri dan anaknya. Sejak bayi memang Ismail telah ditinggalkan oleh Ibrahim di sebuah lembah tandus, cikal bakal kota Mekah. Ismail tinggal di Mekah bersama ibundanya, Siti Hajar hingga masa remaja. Sedangkan Ibrahim pulang ke Palestina, dan tinggal bersama istri dan anaknya yang lain – Sarah dan Ishak. Kota Palestina berjarak sekitar 1.500 kilometer dari Mekah.

Sejak meninggalkan mereka belasan tahun yang lalu itulah Ibrahim melepas rindu untuk pertama kalinya, dengan mengunjungi Hajar dan Ismail di kota Mekah. Ia begitu bangga dengan istrinya yang telah berhasil membesarkan Ismail menjadi anak yang saleh dan penyabar. Ia juga bangga dengan Ismail yang telah tumbuh sebagai remaja yang sangat penyantun dan taat kepada Allah serta orang tuanya. Maka, Ibrahim pun mulai melibatkan Ismail dalam syiar agama Islam. Dan lantas, mengajaknya untuk meninggikan pondasi Kakbah menjadi sebuah rumah ibadah, pusat penyebaran agama Islam di Jazirah Arabiyah.

QS. Al Baqarah (2): 127-128
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim membangun pondasi Baitullah bersama Ismail. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah (amal ibadah) kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".

Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang berserah diri kepada-Mu. Demikian pula (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang berserah diri kepada-Mu. Dan tunjukkanlah kepada kami cara dan tempat-tempat ibadah haji kami. Dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

Maka Allah pun menunjukkan tatacara ibadah haji kepada keluarga Ibrahim. Mereka diperintahkan untuk berjalan ke arah Arafah, sebuah padang berjarak sekitar 22 kilometer dari tempat tinggal mereka di Mekah, dimana Hajar dan Ismail biasa menggembalakan ternak mereka. Nah, pada tanggal 8 Dzulhijjah itu sampailah mereka di Mina, lantas beristirahat disana.

Dalam tidurnya Ibrahim bermimpi aneh, yakni disuruh menyembelih anaknya – Ismail. Ia tergeragap, terbangun karenanya. Sebuah mimpi yang sangat jelas, dan menggetarkan hatinya. Ia termenung memikirkan mimpi itu. Tetapi, tidak bercerita kepada istri dan anaknya. Ia pun mengajak mereka untuk meneruskan perjalanan ke Arafah yang masih belasan kilometer lagi. Di Arafah itulah Ibrahim ingin berkemah untuk memperoleh petunjuk Allah tentang tatacara ibadah haji.

Ibrahim dan keluarganya sampai di Arafah menjelang malam hari, memasuki tanggal 9 Dzulhijjah. Mereka pun berkemah disana. Malam itu, Ibrahim bermimpi kembali dengan sangat jelas: lagi-lagi diperintahkan untuk menyembelih anak yang sangat dicintainya. Hatinya semakin gemetar, ia gundah jangan-jangan ini adalah perintah Allah terkait dengan ibadah haji yang sedang dimintakan petunjuk kepada-Nya.

Sampai keesokan harinya, Ibrahim terpanggang dalam kegelisahan. Hatinya ragu-ragu dengan mimpi yang aneh itu. Tetapi, mau bercerita kepada istri dan anaknya ia tidak sampai hati. Akhirnya Ibrahim memutuskan untuk bermunajat kepada Allah seusai Zhuhur. Ia berdiam di dalam kemahnya melakukan wuquf – menghentikan segala kegiatannya untuk memfokuskan diri berdzikr dan berdoa kepada-Nya memohon petunjuk.

Wuquf itu dilakukannya sampai menjelang matahari terbenam. Di dalam wuqufnya itulah Ibrahim memperoleh keyakinan, bahwa mimpi yang dialaminya itu adalah perintah dari Allah. Sebuah proses terbukanya hijab jiwa, yang membuatnya bisa menangkap informasi kebenaran yang ditunjukkan Allah kepadanya. Maka ia pun menyudahi wuqufnya, dan mengajak keluarganya melanjutkan perjalanan untuk kembali ke Mekah.

Menjelang tengah malam, keluarga Ibrahim sampai di suatu tempat bernama Muzdalifah. Di tempat ini keluarga Ibrahim beristirahat, dan untuk ketiga kalinya Ibrahim bermimpi dengan isi yang sama: diperintahkan mengorbankan Ismail. Hatinya pun menjadi mantap, bahwa ini memang perintah dari Allah untuk menguji keimanannya.

Tiba-tiba terlintas di benaknya tentang janji yang pernah diucapkannya puluhan tahun yang lalu. Sejak muda Ibrahim suka melakukan qurban. Puluhan kambing dan unta disembelihnya untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang miskin dan kelaparan. Sekaligus untuk mencontohkan kepada manusia bahwa praktek berkurban yang diajarkan oleh sejumlah agama pagan adalah tidak benar, dikarenakan mereka membuang daging-daging ternak secara mubazir, bahkan kadang-kadang diselingi mengorbankan manusia untuk dipersembahkan kepada para dewa. Berkurban ala Ibrahim adalah memadukan keikhlasan untuk Allah sekaligus menebarkan manfaat untuk orang-orang yang membutuhkan pertolongan.

QS. Al Hajj (22): 36
Dan telah Kami jadikan untukmu unta-unta itu sebagian dari syi'ar (agama) Allah. Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya. Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri. Kemudian apabila telah roboh, maka makanlah sebagian (daging)nya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk makan orang-orang miskin yang tidak meminta-minta. Dan (juga) untuk orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.

Nah, sesaat setelah berkurban dalam jumlah besar itulah Ibrahim sempat berkata, bahwa seandainya Allah menghendaki dia untuk berkurban lebih banyak lagi ia pasti akan melakukannya. Termasuk apa saja yang paling dicintainya. Begitulah memang keikhlasan Ibrahim dalam bertuhan kepada Allah sebagaimana doanya yang sering kita baca dalam shalat: ‘’sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah semata...’’

Ternyata ucapan Ibrahim waktu masih muda itu kini ‘ditagih’ oleh-Nya. Ibrahim diminta untuk mengorbankan Ismail yang sangat dikasihinya. Anak yang diharapkan akan meneruskan syiar agama Tauhid yang sedang diperjuangkannya. Betapa berat beban jiwa Ibrahim ketika itu. Tetapi, karena ini adalah perintah Allah, maka dengan kesabaran dan kepasrahan yang sangat mendalam ia pun bertekat untuk menjalankannya..!

Wallahu a’lam bishshawab. (Bersambung).