Rabu, 31 Oktober 2012

MELATIH JIWA BERKORBAN ~ TASAWUF HAJI 2012 (14) ~

Pelajaran tertinggi di dalam amalan Islam adalah berkorban dalam kebajikan. Itulah yang menjadi inti ibadah haji. Niatnya berlandaskan keikhlasan. Menjalankannya dalam bingkai ketaatan. Perjuangannya mesti penuh kesabaran. Dan jika terjepit, sandarannya adalah bertawakal kepada Allah semata.

Seluruh sifat akhlaqul karimah itu jika dilebur menjadi satu akan menghasilkan puncak kualitas seorang muslim yang disebut sebagai berserah diri alias aslam. Dan kemudian, terlihat hubungan eratnya dengan nama agama ini: Islam. Allah menceritakan hal ini dalam sebuah ayat yang mengaitkan akhlak mulia tersebut dengan Nabi Ibrahim yang menjadi kesayangan-Nya.

QS. An Nisaa’ (4): 125
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas berserah diri kepada Allah? Sementara, dia juga banyak berbuat kebajikan. Dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Dan Allah pun mengambil Ibrahim sebagai kesayanganNya.

Jadi menurut ayat di atas, kriteria tertinggi dalam berislam adalah ketika seseorang bisa mempraktekkan ‘aslama wajhahu lillah – berserah diri kepada Allah’. Keberserahdirian itu tidak boleh dibiarkan hanya berada di wilayah internal belaka, melainkan harus segera diikuti dengan ‘wahuwa mukhsin – dan dia suka berbuat kebajikan’. Yang secara operasional dijelaskan lebih jauh dalam kalimat berikutnya: ‘wataba’a millata ibrahima hanifa - dan dia mengikuti agama Ibrahim yang lurus.’ Hasilnya, akan menjadikan ia disayang Allah sebagaimana Ibrahim menjadi khalilullah – kesayangan Allah.

Lantas, apakah inti pelajaran agama Ibrahim itu? Yakni, mempraktekkan jiwa berkorban untuk sesama. Itulah sebabnya, Hari Raya Idul Adha ini selain disebut sebagai Hari Raya Haji, juga disebut sebagai Hari Raya Kurban. Sebuah simbol yang sangat lugas dari puncak kualitas keislaman seseorang. Bukan hanya bersifat fisikal, seperti berkurban ternak untuk memberi makanan bergizi kepada orang-orang miskin. Melainkan lebih substansial dari itu, untuk meng-exercise atau melatih ketakwaan kita kepada Allah agar memperoleh sifat yang lebih sempurna: berserah diri hanya kepada-Nya. Itulah yang diajarkan dalam ayat berikut ini, bahwa substansi kurban itu bukan pada dagingnya melainkan pada ketulusan niatnya.

QS. Al Hajj (22): 37
Tidak akan sampai kepada Allah daging (kurban itu) dan tidak pula darahnya, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kalian supaya kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya kepadamu. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat kebajikan.

Maka menjadi jelaslah parameter kesuksesan bagi seseorang yang berhaji. Bahwa mereka yang sudah pulang dari tanah suci harus memiliki sifat berkorban yang lebih besar dari sebelumnya. Bukan hanya mengorbankan binatang ternak, melainkan yang lebih substansial adalah mengorbankan segala karunia Allah yang telah dimilikinya di jalan kebajikan. Mulai dari harta benda, ilmu pengetahuan, amanat kekuasaan, sampai kepentingan diri sendiri dengan segala yang dicintainya.

Bagaimana cara mengukur kualitas berkorban kita itu sudah baik atau belum? Ada empat parameter yang mesti dikenakan, yaitu: niat yang ikhlas, berbingkai ketaatan, sabar dalam menjalankan, dan tawakal kepada Allah ketika proses itu menemui hambatan.Tentang keikhlasan, Allah mengajarkan sebagai berikut ini.

QS. Al Insaan (76): 8-9
Dan mereka memberikan MAKANAN yang DISUKAINYA kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan RIDHA ALLAH, kami tidak menghendaki BALASAN dari kamu dan BUKAN pula (ucapan) TERIMA KASIH.

Atau, lebih substansial lagi, sebagaimana yang diajarkan dalam dalam QS. 28: 77 ~ wa ahsin kama ahsanallahu ilaika – dan berbuat baiklah (kepada siapa pun) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Sebuah pelajaran yang sangat mendalam, bahwa berbuat baik itu semata-mata karena kita mensyukuri begitu banyak kebaikan yang telah Allah karuniakan kepada kita. Tak ada pamrih lain. Jika kita sudah bisa berbuat ikhlas seperti ini, maka pengorbanan yang kita lakukan itu sudah on the right track – di atas jalan yang benar.

Jika niatan sudah benar, maka sempurnakanlah dengan ketaatan. Ketaatan adalah tindak lanjut dari keikhlasan. Keikhlasan baru berada di wilayah  niat, sedangkan ketaatan sudah berada di wilayah perbuatan. Ada kesungguhan dalam menjalankan pengorbanan. Bukan asal-asalan, melainkan ingin memberikan yang terbaik. Termasuk, memberikan apa yang kita cintai, bukan apa yang tidak kita sukai kepada orang lain. Begitulah Allah menyindir kita.

QS. Al Baqarah (2): 267
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu YANG BAIK-BAIK dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan JANGAN kamu memilih yang BURUK-BURUK lalu kamu menafkahkannya. Padahal KAMU sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan MEMICINGKAN MATA terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Dan jika kemudian pengorbanan itu terasa berat, maka bersabarlah. Karena yang namanya berkorban memang sudah seharusnya terasa berat. Kalau tidak berat, itu namanya belum berkorban. Justru disinilah exercise-nya. Minimal setiap tahun kita diminta oleh Allah untuk meningkatkan kualitas pengorbanan kita di Hari Raya Kurban. Syukur-syukur sudah bisa berkorban setiap saat demi kebajikan dan kemaslahatan umat.

QS. Al Mudatstsir (74): 6-7
Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu itu BERSABARLAH.

Akhirnya, jika kesabaran sudah mencapai puncaknya dan hambatan masih menghadang, itu artinya Allah sedang memberikan ujian tertingginya. Satu-satunya jalan hanya bertawakal, bersandar kepada-Nya. Insya Allah Dia akan membukakan jalan. Itulah yang disebut sebagai ‘Ilmu Pedang Ibrahim’: pertolongan Allah selalu datang kepada orang yang bertawakal, ketika pedang sudah menempel di leher..! Umat Islam pantang menyerah. Jangan belum apa-apa sudah give up. Karena kualitas kita di hadapan Allah adalah seiring dengan kualitas ketawakalan kita dalam memperjuangkan kebajikan...

QS. At Taubah (9): 51
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman bertawakal."

Wallahu a’lam bishshawab. (bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar