Tampilkan postingan dengan label Agus Mustofa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agus Mustofa. Tampilkan semua postingan

Kamis, 05 Maret 2020

JANGAN SEPERTI ORANG BUTA MELIHAT GAJAH ~ LEBIH JAUH TENTANG TAKDIR & KEHENDAK (1) ~

oleh Agus Mustofa pada 27 Maret 2012 pukul 9:57

Saya kira, Anda sudah familiar dengan anekdot ‘Tujuh Orang Buta yang Berusaha Memahami Gajah’. Sebuah anekdot yang menggambarkan tentang ‘lucunya’ atau mungkin ‘memprihatinkannya’ proses pemahaman tentang sesuatu yang ‘besar’ oleh kemampuan yang ‘sangat terbatas’. Menjadi lucu, atau sekaligus memprihatinkan, karena ketujuh orang buta itu membangun pemahamannya yang terbatas dengan penuh ‘kesombongan’, tanpa mau mendengarkan pendapat yang lebih holistik.

Si A mengatakan gajah itu makhluk yang mirip ular, karena dia hanya bisa meraba belalainya. 
Si B mengatakan gajah mirip cambuk, karena hanya bisa meraba ekornya. 
Si C berpendapat gajah itu mirip kipas, karena hanya bisa meraba telinganya. 
Si D mengatakan gajah mirip batang pohon, karena hanya bisa meraba kakinya. 
Si E bersikukuh dengan pendapatnya bahwa gajah itu mirip tembok, karena meraba bagian perutnya. 
Dan seterusnya, mereka bertengkar mempertahankan pendapat masing-masing dengan ‘sombong’, seakan-akan pendapatnya paling benar.

Padahal pemahaman mereka itu terbentuk oleh keterbatasan mereka dalam mempersepsi gajah. Bukankah lebih bijak, jika ketujuh orang buta itu ‘duduk bareng’ saling sharing pengalaman tanpa melakukan ‘penghakiman’ terhadap pendapat yang lain? Bahwa, gajah adalah makhluk yang memiliki bentuk: ada mirip ularnya, sekaligus ada mirip cambuknya, sekaligus ada mirip pohonnya, ada mirip kipasnya, dan seterusnya. Tentu, hasilnya akan lebih holistik jika semua informasi itu dipadukan secara simultan. Meskipun, tentu masih ada juga diantara orang buta itu yang kebingungan dalam menyimpulkannya.

Maka, kalau ada yang berbicara tentang Takdir, kata Rasulullah: ‘diamlah’. Bukan karena disuruh menelan mentah-mentah tanpa boleh membantah, melainkan cernalah dengan mendalam dan bijaksana, sehingga memperoleh kesimpulan yang lebih holistik. Karena, ‘takdir’ ini telah menjadi perennial issue alias 'misteri abadi' sejak zaman dulu.

Kalau pengennya hanya menggunakan ‘alat penglihatan’ model Newtonian yang paling sederhana, ya monggo-monggo saja. Yakni memandang segala peristiwa di alam semesta ini sebagai suatu ketetapan atau konstanta yang tidak berubah. Bahwa, ‘ruang’ alam semesta dipandang sebagai sesuatu yang konstan. Sedangkan ‘waktu’ dipandang sebagai variable. Kevariabelan 'waktu' dalam konteks ini hanya dikarenakan ia ‘bergerak’ dari T = nol sampai waktu tak berhingga. Bukan, karena waktu bisa 'mulur mungkret' secara relatif.

Sehingga, seluruh peristiwa Takdir yang terjadi di alam semesta ini dianggap sebagai ‘kejadian baru’ yang terpisah dan bahkan mandiri dari dimensi ruang & waktu. Yakni, ‘ruang’ dipandang sebagai 'wadah steril' yang tak terlibat sedikit pun dengan kejadian. Entah ada kejadian ataupun tidak, ruang ya tetap ruang yang tak terpengaruh apa pun. Sedangkan ‘waktu’ hanya dipandang sebagai tolak ukur ‘urutan kejadian’. Yang juga ‘bersifat steril’ dari kejadian. Yakni, ada kejadian atau tidak ada kejadian, waktu tetap berjalan dengan mandiri. Jika sudut pandang kita seperti ini, maka kita adalah orang-orang yang penginnya membatasi diri dengan sudut pandang Newtonian. Apakah tidak boleh? Oh, ya boleh-boleh saja. Apakah salah? Oh, ya tidak semuanya salah. Ada benarnya, meskipun ada juga kadar kesalahannya.. ;)

Dalam contoh yang sederhana, ini sama dengan menjawab pertanyaan: air mendidih dalam suhu berapa derajat Celsius? Ada yang menjawab: pada suhu 100 derajat Celsius. Apakah salah? Ya bisa salah, bisa benar. Kalau Anda memasak air di tepi pantai, maka Anda akan mendapati air itu akan mendidih pada suhu 100 derajat Celsius.

Tetapi, kalau Anda memasak air di puncak gunung, air Anda akan mendidih sebelum 100 derajat Celsius. Bisa pada 95, 90, atau bahkan 80 derajat Celsius. Kenapa? Ya, karena, titik didih itu 'bukan konstanta', yang dimana pun akan mendidih pada suhu 100. Titik didih itu variable terhadap tekanan udara. Semakin tinggi tekanannya semakin tinggi pula titik didihnya, sebaliknya semakin rendah tekanannya, semakin rendah pula titik didihnya. Jadi, kalau begitu, mana yang benar dong?! Hhehe.., jangan keukeuh pada keterbatasan Anda. Nanti, menjadi seperti orang buta melihat gajah..! :)

TAKDIR air mendidih pada 100 derajat Celsius itu bukan konstanta..! Takdir titik didih itu VARIABLE. Bakal terjadi seiring dengan perubahan ruang dan waktu. Apakah, Allah sudah menakdirkan air mendidih pada suhu 100? Jawabnya: ya, sudah. Sejak dulu, bersamaan dengan penciptaan alam semesta. Tetapi, disertai dengan kondisi, yakni: KALAU air itu dimasak pada tekanan 1 atmosfer. Kalau tidak 1 atm, ya tidak mendidih di angka 100 itu. Bergantung pada USAHA Anda dalam memperlakukan air yang dimasak itu. Mau dimasak di gunung, atau dimasak di pantai. Atau, dalam press-cooker dengan tekanan tinggi, yang tulang sapi maupun duri bandeng bisa menjadi lunak, karena titik didih airnya meningkat tajam.

Contoh kecil ini bisa Anda kembangkan dalam kehidupan Anda sehari-hari. Ataupun, dalam pengamatan-pengamatan sains yang lebih rumit. Bahwa, segala kejadian atau peristiwa ternyata tidak bebas ruang-waktu. Setiap peristiwa selalu ditakdirkan BERSAMAAN dengan ruang-waktu dimana kejadian tersebut berlangsung. Ini menjadi argumentasi penjelas secara sederhana, tentang kelemahan pandangan klasik ala Newtonian bahwa ruang & waktu adalah konstanta.

Lantas, apakah Newtonian tidak bermanfaat? Oh, jangan berlebihan. Pendapat klasik ini sangat bermanfaat. Meskipun, tidak bisa menjelaskan semua fenomena. Terutama untuk menjelaskan fakta-fakta yang lebih rumit. Titik didih air yang 100 derajat itu adalah benar, hanya bagi orang-orang yang tidak pernah memasak di gunung. Alias, bagi orang-orang yang tahunya hanya memasak di pantai. Kalau pingin tahu tentang titik didih air yang 80 derajat Celsius, tanyakanlah kepada orang gunung.. ;)

Suatu ketika saya sedang mengikuti kuliah Fisika Inti yang diajarkan oleh dosen saya yang lulusan Rusia: Prof Sumihar Hutapea. Dia bercerita tentang perilaku aneh partikel-partikel sub atomik bermuatan positive yang ada di dalam inti atom. Menurut hukum Coulomb, jika partikel-partikel bermuatan sama berada berdekatan, maka akan terjadi gaya tolak-menolak yang semakin besar secara kuadrat, seiring dengan kedekatannya.

Jadi, kalau ada electron didekatkan dengan electron (sama-sama bermuatan negative), mereka akan menghasilkan gaya tolak yang berbanding lurus dengan kuadrat jarak. Demikian pula, antara proton dengan proton yang sama-sama bermuatan positive. Semakin dekat, akan semakin besar gaya tolaknya, sehingga dalam skala tertentu bisa menghasilkan ledakan yang sangat dahsyat.

Tetapi anehnya, kata pak Hutapea, proton-proton yang berada di dalam inti atom itu tidak menghasilkan gaya tolak-menolak. Malah menghasilkan gaya tarik menarik. Saya spontan bertanya kepada beliau: 'kenapa bisa demikian? Bukankah itu ‘menyalahi’ hukum Coulomb?' Dia tertawa lepas, dan menjawab: Entah kenapa, ketika partikel-partikel sub atomic itu berada pada jarak lebih dekat dari 10^(-13), gaya tolaknya berubah menjadi gaya tarik..!  :(

Saya langsung tercenung oleh dahsyatnya desain yang diciptakan oleh Sang Maha Berilmu dan Maha Bijaksana. Hheheh.., Betapa runyamnya, kalau sampai gaya Coulomb itu bekerja di inti atom. Antara proton dengan proton akan terjadi gaya tolak menolak yang sedemikian dahsyatnya yang menghancurkan inti atom itu sendiri. Dan dengan sendirinya pula, alam semesta ini tidak akan pernah terbentuk seperti yang kita lihat sekarang. Tidak ada atom-atom yang memiliki jumlah proton lebih dari satu seperti He, Li, Be, dan ratusan unsur lainnya di alam, yang membentuk benda-benda. Yang ada hanyalah atom Hidrogen yang inti atomnya hanya memuat 1 proton. Tubuh Anda pun tidak akan pernah bisa terbentuk karenanya.

Lantas, kalau begitu yang benar yang mana? Apakah muatan sejenis akan menghasilkan tolak menolak ataukah tarik menarik. Hhehe.., jangan ngeyel ta, nanti kayak orang buta yang tidak bisa memahami bentuk gajah itu lho. Hukum Coulomb itu tetap benar dan berlaku kok. Tetapi, ya itu, hanya terbatas di kulit atom. Bukan di inti atom. Kalau ada yang tetap ngeyel, ya biarkan saja, karena pengetahuannya yang memang baru segitu.

Maka, yang benar itu 'takdir tolak-menolak' ataukah 'takdir tarik-menarik'? Ya, tentu benar kedua-duanya, sesuai kondisi yang menyertainya. Karena ternyata takdir itu berjalan seiring dengan terpenuhinya kondisi yang dipersyaratkan. Dan 'perbedaan kondisi' itu terjadi karena 'ruang' dan 'waktu' bukan konstanta, melainkan variable. Apakah, ketentuan alias takdir bahwa air mendidih itu bisa beragam: 80, 90, 100 derajat itu sudah ada sejak dulu? Jawabnya: tentu saja. Tetapi, untuk bisa terjadi, ya harus berada di dalam kondisi yang melingkupinya. Begitulah Takdir Anda terjadi.

Nah, kembali pembahasan awal. 
Hukum-hukum Newtonian yang sederhana dalam memandang realitas alam semesta ini juga tidak salah kok. Cuma, tidak bisa digunakan untuk menjelaskan kompleksitas realitas alam semesta secara lebih menyeluruh. Jika ingin lebih canggih, gunakan teori-teori Einstein yang sudah memandang dimensi ruang dan waktu sebagai variable yang mempengaruhi sudut pandang kita dalam memahami realitas.

Dan lebih jauh, teori-teori Einstein juga tidak bisa menjelaskan realitas yang lebih kompleks terkait dengan adanya interaksi real-time antar benda-benda yang berjarak jauh. Karena, hasil prediksi Einstein akan menghasilkan kontradiksi bagi teorinya sendiri, yakni memunculkan kecepatan lebih tinggi dari cahaya. Teori yang lebih canggih dalam memahami kompleksitas alam semesta ini adalah teori Holografik yang sudah saya jelaskan dalam notes terdahulu. Karena itu, kalau ada yang mengatakan bahwa teori Einstein dan teori Holografik tidak bisa digunakan untuk memahami realitas, kayaknya dia terlalu memaksakan kehendaknya. Mirip dengan anekdot orang buta yang memahami gajah...!  ;)

Allah menggambarkan orang-orang yang ilmunya 'belum sampai' tentang suatu hal, sebagai orang yang buta. Yang ragu-ragu tentang apa yang disampaikannya. Dan hanya bersumber pada 'dugaan-dugaan parsial' belaka. Ayat-ayat qauliyah di dalam Al Qur'an akan menjadi rujukan yang holistik ketika dipadukan dengan ayat-ayat kauniyah di alam semesta. Petunjuk yang dipadukan dengan evidence (bukti) ..

QS. An Naml (27): 66
Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat (hal-hal yang dianggap gaib) tidak sampai. Bahkan, mereka ragu-ragu tentangnya, dan mereka pun buta daripadanya.

QS. Yunus (10): 36
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.

Wallahu a’lam bishshawab
  
~ Salam ‘Memahami Gajah’ ~


Senin, 13 Juni 2016

[9] – ISLAM KTP vs KEIMANAN


DIMANAKAH posisi keimanan dalam proses spiritualitas beragama kita?
Lebih lugas lagi, apakah “keimanan” itu menjadi penanda seorang muslim sudah mencapai tingkat tertinggi dalam spiritual Islam? Dan kemudian dijamin masuk surga?

Ketika Anda ingin memahami Islam secara strategis, maka pemahaman akan fase-fase spiritual semacam ini menjadi penting. Dengan memahami ini, kita bisa memperoleh roadmap - peta jalan - menuju puncak spiritual yang diajarkan Islam. Sebaliknya, orang yang tidak memahaminya akan kehilangan arah, kemana seharusnya dia melangkah dalam proses beragamanya. Dan kemudian terjebak ke dalam ritual dan seremonial belaka.

Dari sekian banyak ayat yang menginformasikan hal ini, saya menemukan ada empat tingkatan proses spiritual dalam Islam. Yang pertama adalah “Islam KTP”. Inilah fase paling awal dari proses spiritual seseorang dalam menjalani kedalaman ajaran Islam. Bisa juga disebut sebagai “Islam administratif”.

Seseorang telah bisa disebut sebagai seorang muslim, ketika dia sudah membaca dua kalimat syahadat. Yang di era modern ini, khususnya di Indonesia, lantas dicatat secara administratif dan dicantumkan di KTP sebagai orang yang beragama Islam. Orang yang demikian ini baru Islam secara formalitas. Keimanan belum masuk ke dalam jiwanya. Persis apa yang diceritakan dalam ayat berikut ini.

Qs. Al-Hujurat (49) : 14
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman”. Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk (islam)', karena keimanan itu belum masuk ke dalam hatimu. Namun jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Keimanan adalah keyakinan yang dibangun atas kepahaman, dan kemudian menghasilkan komitmen. Pada orang Badui itu, dia sudah berkomitmen lewat syahadatnya. Namun, sesungguhnya dia belum paham terhadap ajaran Islam ini. Sehingga komitmennya masih sangat rapuh. Dan gampang goyah. Keimanan adalah komitmen yang tidak tergoyahkan dikarenakan sudah memahami masalahnya.

Ketika keislaman dipraktekkan ke dalam ibadah sehari-harinya, akan kelihatan dan terasa perbedaan antara seseorang yang “berislam administratif” dengan yang sudah “berislam karena iman”. Keislaman yang administratif akan menghasilkan ibadah yang bersifat administratif pula, sedangkan yang karena iman akan meresap ke dalam jiwanya.

Sholatnya orang yang Islam KTP cenderung administratif. Yakni, sekedar sudah “tercatat oleh malaikat” dan orang-orang di sekitarnya bahwa dia sudah menjalani sholat –amilush sholah-. Bukan menegakkan shalat -aqimush sholah- dimana ia menjiwainya sampai meresap ke dalam jiwa.

Demikian pula puasanya adalah puasa administratif. Yakni puasa yang sekedar tidak makan dan minum atau yang membatalkannya, mulai dari fajar sampai maghrib. Tapi tidak mempuasakan jiwanya untuk memproses keimanannya supaya naik kelas menjadi bertakwa.

Termasuk pula, ibadah-ibadah lainnya seperti dzikir, zakat-sedekah, umroh-haji, dan lain sebagainya pun hanya bersifat administratif. Menggugurkan kewajiban belaka. Tak ada penghayatan yang menggetarkan jiwa dalam proses keberagamaannya.

Maka, inilah pentingnya “ngaji teori” sebelum kita ngaji praktek di dalam kehidupan nyata. Meskipun nilai beragama kita berada di tataran praktek, tetapi kalau tidak paham teorinya kita bakal “kesasar” alias tersesat. Setidak-tidaknya, prakteknya hanya akan berkualitas permukaan yang bersifat administratif belaka.

Bagaimana menurut Anda?


Sumber : http://agusmustofa.com/?page=ngaji&id=20

Minggu, 12 Juni 2016

[8] – BENARKAH ANDA MEYAKINI ALLAH?

Kadang kita perlu mengubah kalimat pertanyaan untuk meng-crosscheck keyakinan kita. Supaya dapat sudut pandang yang berbeda. Dan lantas yakin bahwa kita benar-benar yakin akan suatu masalah. Dalam hal ini terkait dengan pertanyaan di sesi sebelum ini:
Apakah Anda termasuk dalam kategori orang yang beriman?"

Jawaban“iya” yang saya sampaikan atas pertanyaan itu ternyata masih dianggap sebagai sebuah kesombongan. Adalah sombong, orang-orang yang memasukkan dirinya sendiri ke dalam golongan orang-orang beriman. Karena itu, saya merasa perlu membahas dan menegaskan kembali soal ini dengan sudut pandang yang berbeda. Agar tidak terjadi mispersepsi dan misleading dalam memahaminya.

“Apakah Anda meyakini Keberadaan Allah?”
Bagaimana Anda menjawab pertanyaan ini?
Kalau pertanyaan itu diarahkan kepada saya, maka saya akan menjawabnya dengan mantap: “tentu, sangat yakin!” Dengan kata lain, saya “sangat beriman” atas keberadaan Allah.
Lantas, apakah saya akan “dinilai sombong” dengan jawaban ini? Sehingga, saya sebaiknya mengatakan saja: “hanya Allah yang tahu”? Bagaimana menurut Anda?

Iman adalah komitmen. Maka, ketika saya mengatakan bahwa saya beriman kepada Allah, itu adalah komitmen saya untuk menjadikan Allah sebagai Tuhan satu-satunya dalam kehidupan saya. Tentu yang demikian ini bukan “sombong”. Melainkan “ikrar” untuk memasuki dan menjalani agama ini dengan benar.

Tanpa ikrar ini, proses keberagamaan kita menjadi kehilangan arah. Tidak ada komitmen. Bersyahadat adalah berkomitmen: hanya menuhankan Allah sebagai satu-satunya Tuhan, dan menjadikan Rasulullah sebagai teladan kehidupan. Itu artinya kita beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Lantas, apakah seseorang dikatakan “sombong” ketika menyatakan diri: “saya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?”

Ketika kita sudah berkomitmen seperti ini, maka dengan sendirinya kita sudah termasuk dalam barisan orang-orang yang beriman. Jadi, sekarang apakah jawaban Anda ketika diberi pertanyaan: “Apakah Anda termasuk golongan orang-orang yang beriman?”

Mudah-mudahan jawabannya kini sudah lebih mantap: “Ya, saya termasuk dalam barisan orang-orang yang beriman”. Beriman kepada Allah. Beriman kepada Rasulullah. Beriman kepada para malaikat-Nya. Beriman kepada kitab-kitab-Nya. Beriman kepada Takdir. Dan beriman kepada hari Akhir. Alhamdulillah, kini Anda sudah termasuk ke dalaman golongan orang-orang yang beriman..

Itulah justru yang dikehendaki oleh Allah.

Qs. Al Baqarah (2) : 136
“(Hai orang-orang mukmin) katakanlah:"Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”.

Qs. Al Baqarah (2) : 3-4
“Mereka beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka (juga) beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka meyakini akan adanya (kehidupan) akhirat.”

Jadi, sekali lagi, keimanan adalah komitmen. Dan komitmen atas keyakinan itulah yang kemudian kita perjuangkan sepanjang hidup. Di dalamnya kita akan mengalami fase-fase keimanan, yang lantas menjadi nilai kita di hadapan Allah.

Memang, “nilai keimanan” itu hanya Allah yang tahu. Tetapi, “keimanan” itu sendiri adalah komitmen yang harus kita deklarasikan, agar proses spiritual keagamaan kita memperoleh arah yang jelas. Yang dalam ayat di atas, justru diperintahkan untuk “mengatakan” secara eksplisit, sebagai ikrar dalam beragama.

Bagaimana menurut Anda?

Sumber : http://agusmustofa.com/?page=ngaji&id=19

Sabtu, 11 Juni 2016

[7] – APAKAH ANDA TERMASUK KATEGORI ORANG BERIMAN?

Seorang kawan bertanya: “Apakah Anda termasuk kategori orang beriman?
Dengan tegas saya jawab: “iya”.
Kawan yang lain nyeletuk: “Hanya Allah yang tahu, apakah Anda beriman ataukah tidak”.

Manakah yang benar, kita harus “mengusahakan” proses keimanan kita ataukah “memasrahkan” proses keimanan itu kepada Allah?
Dua-duanya benar. Keimanan adalah proses yang harus disengaja. Bukan sekedar pemberian dari Allah. Dimana kita hanya “pasrah bongkokan” menunggu datangnya keimanan.

Keimanan adalah keyakinan. Keyakinan adalah hasil dari proses pembelajaran dan pemahaman yang panjang. Jatuh bangun selama bertahun-tahun, dalam perjuangan yang istiqomah. Bergelimang peluh dan air mata. Bahkan cucuran darah. Orang yang berproses dalam perjuangan yang demikian, insya Allah keimanannya berakar kuat dalam sanubarinya.

Berbeda dengan orang yang pasrah bongkokan “menunggu” datangnya “hidayah”. Mereka tidak melakukan perjuangan. Melainkan bermalas-malasan menunggu di sudut ruang hidupnya. Berharap belas kasih dari Allah yang memang Maha Pemurah. Tetapi, sekali lagi: tanpa perjuangan. Cuma menadahkan tangan.

Puluhan ayat Al Qur’an memerintahkan perjuangan dalam hidup ini. Termasuk memperjuangan keimanan. Allah menyebut para pejuang kehidupan itu sebagai mujahid. Dan kalau mati dalam perjuangan disebut mati syahid. Bukan hanya dalam perang. Tetapi di semua lini kehidupan. Mulai dari diri sendiri dalam bentuk meningkatkan kualitas keyakinan alias keimanan. Dilanjutkan dengan menjaga, menafkahi, mendidik keluarga. Dan diteruskan dengan memberikan manfaat kepada lingkungan dan umat secara keseluruhan.

Proses keimanan adalah proses perjuangan. Bukan pasrah bongkokan. Yang karenanya, Allah menghargai para pejuang itu dengan “harga mahal”: surga penuh kenikmatan. Persis seperti yang diajarkan Allah dalam ayat berikut ini.

Qs. Ali Imran (3): 142
“Apakah kamu MENGIRA bahwa kamu akan masuk SURGA, padahal belum terbukti bagi Allah orang-orang yang berjihad (berjuang secara istiqomah) diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar (dalam perjuangannya).”

Surga bukan diperoleh hanya dengan menadahkan tangan kepada Allah. Meskipun Allah Maha pemurah. Tetapi, harus diperjuangkan dengan sengaja dan istiqomah. Apalagi menadahkan tangan sambil bermalas-malasan. Allah tidak suka.

Maka, kembali ke pertanyaan di awal kajian kita kali ini: “Apakah Anda termasuk orang yang beriman?” Dengan tegas saya jawab: “iya”. Bukan karena sombong merasa sudah beriman, melainkan “berkomitmen” untuk berjuang sepenuh hati di jalan Allah. Karena, inti dari keimanan itu sebenarnya adalah “komitmen” yang didasarkan pada kepahaman dan keyakinan atas kebenaran agama ini. Bahwa Allah Maha Mengetahui atas kualitas keimanan kita, itu adalah benar adanya. Namun Allah juga meminta ketegasan kita, apakah kita “meyakini” kebenaran agama ini? Dan kemudian “berkomitmen” untuk memperjuangkannya secara personal maupun sosial. Secara moral maupun spiritual.

Maka, kalau Anda ditanya seperti itu: “Apakah Anda termasuk orang beriman ataukah tidak”, apa jawaban Anda? Mudah-mudahan Anda akan dengan tegas dan bangga mengatakan bahwa Anda berada di barisan orang-orang beriman. Orang-orang yang memiliki komitmen jelas untuk memperjuangkan kualitas keberagamaan Anda. Sekaligus ingin menjadi orang yang bermanfaat sebesar-besarnya bagi kemaslahatan umat di dalam ridha Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bagaimana menurut Anda?

Jumat, 10 Juni 2016

[6] – YANG TIDAK BERIMAN, NGGAK USAH BERPUASA

"TEGA BENAR…”.
Mungkin ada yang mengomentari demikian terhadap judul diatas. Tapi itulah memang kesimpulan dari memahami ayat Al Qur’an terkait dengan perintah berpuasa di bulan Ramadan. Bukan dalam konteks emosional, melainkan dalam konteks akademis.

Berikut ini adalah ayat utama yang memerintahkan kita untuk berpuasa.

Qs. Al-Baqarah (2) : 183
“Wahai orang-orang yang BERIMAN, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Cobalah perhatikan, siapakah yang dipanggil Allah untuk menjalankan ibadah puasa dalam bulan Ramadan? Jawabnya: orang yang BERIMAN.

Dengan kata lain, Allah tidak memanggil orang-orang yang tidak beriman. Setidak-tidaknya, nggak usah melanjutkan membaca ayat tersebut. Karena, kalimat berikutnya itu hanya ditujukan kepada mereka yang beriman. Yakni: perintah puasa agar menjadi orang yang bertakwa.

Berarti, jika kita tidak termasuk orang beriman, kita tidak diwajibkan berpuasa? Dan tidak berpeluang untuk menjadi orang yang bertakwa? Ya. Karena bagi orang yang tidak beriman, ibadah puasa yang semestinya penuh makna menjadi tidak berarti apa-apa. Tidak menyehatkan. Tidak membuatnya lebih bertakwa. Apalagi, lebih mendekatkan dia kepada Allah. Puasa hanya akan berdampak secara lahiriah maupun batiniah ketika kita mendahuluinya dengan keimanan.

 Maka, sungguh sedemikian penting keimanan sebagai pondasi bagi proses beragama. Sehingga tidak heran, Allah memberikan pilihan secara sangat tegas terkait hal ini.

Qs. Al-‘Israa’ (17) : 107
“Katakanlah: BERIMAN-lah kamu kepadanya atau TIDAK USAH beriman (sekalian). Sesungguhnya orang-orang yang diberi PENGETAHUAN sebelumnya, apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil BERSUJUD.”

Menurut ayat diatas, keimanan memiliki keterkaitan erat dengan pengetahuan. Yakni, sebuah kepahaman atas suatu masalah yang menyebabkan dia menjadi YAKIN. Itulah Iman. Seseorang tidak akan bisa “yakin” kalau tidak memiliki pengetahuan atas suatu hal. Dan dia tidak akan memiliki pengetahuan tentang hal itu, kalau tidak mempelajarinya. Dan dia tidak akan bisa mempelajarinya, kalau tidak menggunakan akal kecerdasannya secara sehat.

Itulah yang saya maksudkan dengan pembahasan kemarin, bahwa keimanan memiliki kaitan erat dengan akal kecerdasan. Sehingga runtutannya menjadi demikian: orang berakal mesti menggunakan kecerdasannya untuk belajar, yang dengan belajar itu ia kemudian menjadi paham dan yakin, dan lantas memiliki komitmen untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Itulah PROSES KEIMANAN. Bukan sekedar ikutan-ikutan percaya.

Maka, kembali kepada ayat tentang puasa di atas, panggilan untuk berpuasa hanya ditujukan kepada mereka yang sudah beriman. Yakni, orang yang sudah memiliki pengetahuan tentang “seluk beluk puasa”, sehingga dia “yakin” bahwa puasa ini sangat “bermanfaat” secara lahiriah maupun batiniah. Dan, kemudian dia berkomitmen untuk menjalankannya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan niat yang dijaganya secara istiqomah dalam perbuatannya.

Jika ini yang terjadi, maka kalimat berikutnya di dalam ayat puasa itu bakal menunjukkan dampaknya. Yakni: la’allakum tattaqun - menjadi orang yang bertakwa. Karena, memang, ketakwaan adalah hasil akhir dari proses puasa yang berbasis pada keimanan.

Bagaimana menurut Anda?

Kamis, 09 Juni 2016

[5] - BERIMANLAH DENGAN AKAL SEHAT

KUALITAS amal ibadah kita sangat dipengaruhi oleh kualitas niat. Begitulah yang kita simpulkan dari dua sesi pembahasan sebelum ini. Selanjutnya, niat dan amal yang baik bakal menghasilkan kualitas keimanan yang baik pula.

---------------------------------------------------------------------------------------------

Jika kita berniat puasa yang menyehatkan, konsekuensinya adalah mengikuti cara Rasul dalam mengatur pola makan yang baik dan benar. Yakni: halalan thayyiban.
Halal adalah “yang tidak haram”.
Sedangkan thayyib adalah “yang baik”: secara kandungan gizi, sesuai porsi, dan longgar frekuensinya.
Makan yang terlalu banyak, tak seimbang gizinya, dan terlalu sering frekuensinya pastilah “tidak thayyib”. Meskipun halal. Puasa yang demikian, pasti tidak berdampak menyehatkan. Malah bikin sakit.

Demikian pula ketika kita berniat puasa yang menuju pada ketakwaan.
Konsekuensinya: selama Ramadan ini kita mesti mendidik diri sendiri untuk terus berperilaku lebih terkontrol dalam kebaikan.
Orang yang bertakwa adalah orang yang suka menolong orang lain dengan harta bendanya dalam keadaan lapang maupun sempit, tidak mudah marah dan gampang memaafkan orang yang menyakitinya, serta selalu ingat Allah ketika berbuat dosa, memohon ampunan kepada-Nya dan tidak meneruskan perbuatan buruknya.
Begitulah Allah mengindikasikan tipikal orang-orang bertakwa di dalam Al Quran

Qs. ‘Ali ‘Imran (3) : 133-135.
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang orang yang BEERTAKWA,
(yaitu) orang orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang berbuat kebajikan.
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

Niat ibadah yang lillahi ta’ala tidaklah berseberangan dengan niat puasa yang “menyehatkan dan menjadikan takwa”. Justru menjadi penyempurna.

Bahwa, kita berpuasa “yang menyehatkan dan menjadikan takwa” itu dikarenakan Allah dan Rasul-Nya menyuruh kita untuk demikian.
Allah dan Rasul menyuruh kita menjadi orang yang sehat lahir dan batin dengan cara berpuasa.
Tidak ada kontradiksi disini.

Sehingga tak perlu disimpulkan: kalau niatnya “pingin sehat dan bertakwa” berarti tidak lillahi ta’ala. Dan sebaliknya, kalau lillahi ta’ala tidak usah meniatkan “sehat dan takwa”. Semuanya berada di dalam “satu tarikan nafas” belaka.

Justru inilah manisfestasi dari keimanan dalam Islam.
Keimanan adalah “keyakinan logis” terhadap aturan agama. Bukan keyakinan yang ikut-ikutan.

Qs. Yunus (10) : 100
“Dan tidak ada seorang pun akan BERIMAN kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan KEMURKAAN kepada orang-orang yang tidak mempergunakan AKAL-nya (dalam berproses menuju keimanan itu).

Termasuk keimanan kepada Allah sekalipun. Kenapa kita beriman kepada Allah dan menjadikan Dia Tuhan dalam hidup kita, misalnya? Tentu, dikarenakan Allah pantas diagungkan sebagai Tuhan. Dialah Tuhan yang Maha Segala-galanya. Seandainya tidak pantas, pastilah kita akan mencari tuhan yang lain. Tuhan yang sebenarnya. Bukan yang tuhan-tuhanan, dan tidak pantas kita posisikan sebagai Tuhan.

Demikian pula, kenapa kita melakukan ibadah? Karena kita memang membutuhkan ibadah itu. Sebuah aktivitas yang memberikan banyak kemanfaatan bagi diri sendiri maupun masyarakat luas. Lahiriah maupun batiniah. Badan maupun jiwa. Yang karenanya, kita lantas bersyukur kepada Allah yang demikian mengasihi dan menyayangi kita, karena telah memberikan cara untuk me-manage hidup kita melalui peribadatan.

Qs. Al Baqarah (2) : 185
“Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, hendaklah ia berpuasa di dalamnya. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka), maka (hendaklah ia mengganti puasanya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki KEMUDAHAN bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah ATAS PETUNJUK-Nya yang diberikan kepadamu, SUPAYA kamu BERSYUKUR."

Bagaimana menurut Anda?

Rabu, 08 Juni 2016

[4] – UNTUK SIAPAKAH IBADAHMU?

SELAIN “niat” yang bertujuan obyektif - seperti yang kita bahas kemarin - “niat” juga memiliki tujuan subyektif. Perbedaannya terletak pada “apa” dan “siapa” yang menjadi tujuan puasa atau ibadah kita. Pada intinya, “niat” harus dikaitkan dengan “tujuan”. Sebuah perbuatan yang tidak dikaitkan dengan tujuan, menjadi tidak jelas langkah operasionalnya. Dan kemudian kita sebut sebagai ”nggak niat”.

Coba bayangkan, hari ini Anda keluar rumah “tanpa tujuan”. Kira-kira apa yang menjadi “niat” Anda keluar rumah? Menjadi nggak jelas, bukan? Berbeda dengan ketika Anda bepergian dengan tujuan yang jelas. Untuk bisnis, misalnya. Maka, Anda akan bisa menentukan hal-hal apa saja yang Anda perlukan untuk mencapai tujuan bisnis tersebut. Mulai dari kesiapan konsep, modal, SDM, peralatan, bahkan jaringan pemasaran.

Tujuan yang jelas akan menentukan cara yang jelas dalam mencapainya. Dan ini kemudian menjadikan “niat” kita menjadi jelas juga. Orang-orang yang tidak jelas dalam menjalankan pekerjaannya sering kita sebut sebagai orang yang ”nggak niat” bekerja. Lha wong tujuan nggak jelas, operasional nggak jelas, lantas apa yang mau dia peroleh dengan cara yang seperti itu?

Demikian pula dengan puasa dan ibadah kita pada umumnya. Letakkanlah “tujuan Anda” beribadah dalam koridor yang jelas. Yang secara pertanyaan, telah saya sampaikan dalam diskusi kemarin: “untuk APA” dan “untuk SIAPA” puasa yang kita lakukan ini. Yang dalam kajian hari ini kita bisa memperluasnya: bukan hanya puasa, melainkan ibadah pada umumnya.

Secara obyektif tujuan puasa adalah “supaya sehat” dan “supaya bertakwa”. Selain bersumber pada hadits shumu tashihu yang dianggap kontroversial sebenarnya ada sejumlah hadits yang mengajarkan tentang pentingnya “puasa sebagai obat” untuk mencapai kesehatan tubuh kita, yang diriwayatkan secara sahih oleh Imam Muslim. Sedangkan puasa untuk ketakwaan, jelas-jelas disampaikan Allah dalam Qs. Al-Baqarah (2):183.

Dalam tema hari ini, kita membahas “niat” dalam konteks “tujuan subyektif” melalui pertanyaan: Untuk Siapa Ibadahmu? Jawaban yang benar atas pertanyaan ini bakal menentukan “niat yang benar” pula. Yang pada gilirannya, akan menghasilkan amalan yang benar, dan akhirnya hasil yang benar.

Jadi, “untuk SIAPAKAH ibadahmu?” Untuk Allah-kah? Atau untuk dirimu sendiri? Kalau untuk Allah, apakah Allah memang membutuhkan ibadahmu? Sehingga, sampai ada yang mengatakan bahwa Allah itu “menjadi Tuhan” karena disembah oleh makhluk-Nya. Dan jika tidak ada yang menyembah-Nya, maka eksistensi Tuhan pun menjadi tidak ada.

Ataukah, ibadah kita ini sebenarnya ya untuk diri kita sendiri. Karena Allah memang tidak membutuhkan apa pun dari makhluk-Nya. Allah adalah Allah, yang tetap menjadi Tuhan meskipun seluruh makhluk tidak menyembah-Nya.

Namun, jika ibadah kita ini untuk diri sendiri, lantas dimana “posisi Allah” dalam hakikat peribadatan kita? Jangan-jangan ibadah yang demikian itu berubah menjadi praktek “menyembah dan mempertuhankan” diri kita sendiri…?!

Bagaimana menurut Anda?

Selasa, 07 Juni 2016

[3] – UNTUK APAKAH PUASAMU?

ALHAMDULILAH hari ini kita telah memasuki Ramadan hari pertama. Marhaban ya Ramadan. Marhaban pula untuk sahabat semuanya di bulan suci yang penuh hikmah, barokah dan maghfirah. Semoga Allah menyampaikan usia kita untuk menikmati bulan suci ini sampai hari terakhirnya.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Hal pertama yang harus kita mantapkan dalam jiwa kita setiap melakukan ibadah adalah menata NIAT. Rasulullah mengajari kita bahwa kualitas setiap amalan yang kita lakukan bergantung pada kualitas niatnya. Innamal a’malu binniyat. Niatnya bagus, kualitas amalnya bagus. Niatnya buruk, kualitas amalnya ikut buruk. Meskipun jenis dan kuantitas amalannya sama.

Secara fikih, banyak diantara kita yang menganggap “niat” hanyalah sekedar ucapan lisan maupun sirri (dalam hati) saat hendak melakukan perbuatan. Misalnya, menjelang puasa diwajibkan untuk mengucapkan kalimat niat: nawaitu shauma ghadin an’adai fardhi syahri ramadhana hadzihissanati lillahi ta’ala… “saya berniat puasa esok hari untuk menunaikan kewajiban dalam bulan Ramadan tahun ini karena Allah semata”.

Dalam sudut pandang tasawuf, “niat” memiliki makna yang sangat mendalam. Dan menjadi “ruh” setiap ibadah. Itulah sebabnya, Rasulullah sampai mengatakan: “(kualitas) amalan bergantung pada niat”. Ini bukan bermakna sekedar rukun dan syariat, melainkan bermakna hakikat. Bahwa, ibadah yang sama bisa memiliki dampak yang berbeda ketika niatnya juga berbeda.

Puasa yang diniatkan untuk “menjadi sehat”, berbeda dengan puasa yang diniatkan untuk sekedar “menjalankan kewajiban”. Orang yang meniatkan puasanya sebagai cara untuk menjadi sehat, mereka akan berusaha menata “pola makan” dan “pola hidupnya” lewat puasa. Sehingga, puasa akan benar-benar berdampak bagi kesehatan. Sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah: shuumu tashihu - “berpuasalah niscaya kamu sehat”.

Sayangnya, fakta di lapangan masih menunjukkan bahwa umat Islam justru makan lebih banyak di bulan Ramadan. Buktinya, peredaran sembilan bahan pokok (beras, tepung, minyak goreng, telur, dlsb) justru meningkat di sekitar Ramadhan dan lebaran.

Selain itu, Allah juga mengajarkan di dalam firman-Nya bahwa puasa bertujuan untuk menjadi bertakwa, sebagaimana disebutkan di dalam Al Quran

Qs. Al Baqarah (2) : 183
“Wahai orang-orang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang terdahulu, mudah-mudahan kalian menjadi bertakwa”.

Maka, selain meniatkan puasa untuk tujuan kesehatan, kita juga perlu meniatkan secara sungguh-sungguh puasa kita untuk tujuan ketakwaan. Yakni, kemampuan “mengontrol diri” secara perilaku.
Niat yang kuat untuk menata perilaku lewat puasa akan menghasilkan dampak yang signifikan dalam akhlaq kita, dibandingkan dengan mereka yang berpuasa hanya karena “terbawa arus” Ramadan yang terjadi di sekitarnya. Para pelaku puasa, seusai Ramadan insya Allah akan menjadi lebih sabar, lebih ikhlas, lebih pemaaf, lebih bijak, lebih dermawan, lebih jujur, lebih adil, dan lain sebagainya.

Maka, mumpung masih di awal Ramadan marilah kita menata “niat” dalam arti yang sesungguhnya. Bukan sekedar ucapan yang menjadi rukun ibadah kita. Yang dengan niat itu kita puasakan “pencernaan dan metabolisme” tubuh kita secara lahiriah. Sekaligus mempuasakan “pikiran dan perasaan” saat beraktivitas dalam keseharian. Sebuah niat yang akan menjaga kualitas amal ibadah puasa di bulan Ramadan untuk mencapai kualitas yang setinggi-tingginya.

Bagaimana menurut Anda?