Minggu, 10 Juni 2012

MENYINGKAP TABIR HADITS : “APAKAH HADITS MENGAJARKAN TATA CARA SHALAT“ (Bag 11 : Habis)

P.S : AWAS, INI HANYA COCOK DIBACA BAGI MEREKA YANG BENAR-BENAR MENCARI KEBENARAN, DAN TIDAK DISARANKAN BAGI ORANG YANG TIDAK SIAP MENERIMA KENYATAAN.

“ Dirikanlah shalat ... “ (17 : 78)

Para pembela Hadits berkata bahwa tanpa Hadits umat Islam tidak akan tahu bagaimana tata cara shalat. Mereka juga berkata bahwa Qur’an tidak memberikan detail tata cara shalat.

Apakah ‘shalat’ itu?

Shalat, menurut pandangan umum, adalah ritual yang terdiri dari gerakan-gerakan dan bacaan-bacaan. Urutannya adalah : berdiri, ruku’, berdiri, sujud, duduk di antara sujud, sujud, dan pada akhirnya duduk hingga selesai. Satu set gerakan tersebut disebut dengan ‘rakaat’. Masing-masing shalat lima waktu memiliki perbedaan jumlah rakaat. Dua rakaat untuk shalat subuh, empat rakaat untuk shalat dzuhur, empat rakaat untuk shalat ashar, tiga rakaat untuk shalat maghrib, dan empat rakaat untuk shalat isya. Dengan demikian umat Islam diwajibkan untuk melakukan gerakan-gerakan dan bacaan-bacaan ketika melakukan ritual shalat.

Di samping itu, banyak umat Islam yang berkata bahwa tata cara seperti itu tidak diajarkan di dalam Qur’an, hanya melalui Haditslah kita bisa mendapatkan keterangan tentang tata cara itu.

BENARKAH??

Imam Bukhari menulis kitab Hadits edisi khusus yaitu : KITAB SHALAT, namun fakta yang mengejutkan dari kitab ini adalah tidak ada satu Hadits pun di sini yang mengajarkan tata cara shalat! Ada pun Hadits-Hadits yang dimuat dalam kitab ini sebagian besar adalah kesaksian para sahabat yang menyaksikan perbuatan dan perkataan Nabi tentang hal-hal yang berhubungan dengan shalat.

Memang ada Hadits yang menceritakan bagaimana Rasulullah SAW mengoreksi kesalahan dari seorang sahabat yang sedang melakukan shalat. Namun Hadits ini hanya menjelaskan bagaimana Rasulullah memerintahkan orang tersebut untuk melakukan ruku’ dan sujud, dan membaca salah satu ayat dalam Qur’an. Hadits tersebut tidak menjelaskan berapa kali orang itu harus ruku’ dan sujud. Hadits tersebut juga tidak menjelaskan kewajiban membaca surat Al Fatihah, yang mana umat Islam meyakini bahwa tanpa membaca surat Al Fatihah maka shalat menjadi tidak sah.

Ada juga Hadits yang berbunyi, “ Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” Akan tetapi Hadits ini juga tidak menjelaskan bagaimana tata cara shalat.

Tidak ada Hadits yang menjelaskan jumlah rakaat dan berapa kali kita harus ruku’ dan sujud pada tiap-tiap shalat!

Tidak ada pula Hadits yang menjelaskan berapa persen jumlah minimum zakat yang harus kita bayarkan setiap tahunnya!

Sudah barang tentu, jika memang Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengajarkan tata cara shalat melalui Hadits, sebagaimana yang diyakini oleh sebagian besar umat Islam, Dia akan menyediakan keterangan tentang tata cara itu. Mengingat betapa pentingnya shalat bagi umat Islam, sudah semestinya pula Allah memberi penjelasan di dalam kitab-Nya, yaitu Qur’an.

Jika memang Allah memerintahkan umat manusia untuk shalat berdasarkan tata cara semacam itu, bahkan jika memang harus dijelaskan di luar Qur’an, Nabi Muhammad akan memberikan penjelasan yang detail dan meyakinkan tentang tata cara shalat tersebut.

Bahkan tata cara wudhu pun ada penjelasan secara detailnya di dalam Al Qur’an!

Al Maidah [5] : 6
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik; sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.“

Tata cara berwudhu pada ayat di atas benar-benar jelas dan detail. Ini berbanding terbalik dengan tata cara shalat yang masih samar dan ambigu di tengah-tengah lautan Hadits yang dianggap mengajarkan tata cara shalat.

Jika seseorang benar-benar meneliti dengan cermat satu persatu Hadits yang dianggap berkaitan dengan tata cara shalat, dengan kesabaran yang luar biasa, maka ia tidak akan menemukan instruksi yang jelas dan tidak ambigu tentang bagaimana tata cara shalat.

Tidak ada Hadits yang menjelaskan secara utuh dalam satu kesatuan tentang bagaimana tata cara shalat yang mencakup berapa rakaat tiap-tiap shalat, berapa kali shalat wajib dalam sehari, bagaimana urutan gerakan yang harus dilakukan.

Jadi, jika memang Hadits tidak pernah menjelaskan tata cara shalat ... Dari manakah kita mendapatkan pelajaran tentang tata cara shalat yang kita lakukan selama ini?

Beberapa orang mempercayai bahwa shalat yang kita lakukan selama ini adalah ajaran Nabi Ibrahim yang telah diwariskan secara turun temurun melalui ribuan generasi, bukan dari Hadits.

Pendapat mereka itu didasarkan oleh ayat di bawah ini :

An-Nisaa [4] : 125
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti milat Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.”

Mereka menterjemahkan kata ‘Millat’ sebagai ‘tata cara ritual ibadah’, padahal jelas ada kata keterangan di belakang yaitu ‘lurus’, yang berarti : agama yang lurus alias monotheisme!

Mereka juga mengatakan bahwa praktek shalat juga telah dilakukan oleh nabi-nabi sebelum Muhammad. Sekedar anda tahu, bahwa Nabi Ibrahim hidup sekitar 1850 SM (sumber : Buku Saku Ensiklopedi Sejarah Dunia, terbitan : Sand Castle Books – 2008). Dengan demikian, tata cara shalat memang tidak diajarkan dalam Qur’an atau Hadits, melainkan diajarkan secara turun temurun semenjak zaman Ibrahim dalam kurun waktu kurang lebih 3860 tahun.

OH TIDAK!!

BISIKAN CINA .... Lagi? (Baca : Menyingkap Tabir Hadits bagian 9 – Bisikan Cina).

Qur’an adalah petunjuk!

Mengapa tata cara gerakan dan bacaan shalat tidak disebutkan di dalam Qur’an?

Pertama, karena tata cara seperti itu memang bukan yang diperintahkan oleh Allah, melainkan merupakan tradisi ritual yang diajarkan secara turun temurun oleh orang tua kita masing-masing.

Qur’an menjelaskan bagaimana manusia telah terjebak pada ritual yang diajarkan oleh orang tua mereka masing-masing..

Al-Baqarah [2] : 170
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".

Al-Maidah [5] : 104
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?.

Al-A’raaf [7] : 28
Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya". Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji". Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?

Al-A’raaf [7] :  38, 39
 Allah berfirman: "Masuklah kamu sekalian ke dalam neraka bersama umat-umat jin dan manusia yang telah terdahulu sebelum kamu. Setiap suatu umat masuk (ke dalam neraka), dia mengutuk kawannya (menyesatkannya); sehingga apabila mereka masuk semuanya berkatalah orang-orang yang masuk kemudian di antara mereka kepada orang-orang yang masuk terdahulu: "Ya Tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami, sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka". Allah berfirman: "Masing-masing mendapat (siksaan) yang berlipat ganda, akan tetapi kamu tidak mengetahui".
Dan berkata orang-orang yang masuk terdahulu di antara mereka kepada orang-orang yang masuk kemudian: "Kamu tidak mempunyai kelebihan sedikitpun atas kami, maka rasakanlah siksaan karena perbuatan yang telah kamu lakukan".

Al-A’raaf [7] :  173
atau agar kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?"

Hud [11] : 109
Maka janganlah kamu berada dalam keragu-raguan tentang apa yang disembah oleh mereka. Mereka tidak menyembah melainkan sebagaimana nenek moyang mereka menyembah dahulu. Dan sesungguhnya Kami pasti akan menyempurnakan dengan secukup-cukupnya pembalasan (terhadap) mereka dengan tidak dikurangi sedikitpun.

As-Saaffaat [37] : 69-74
Karena sesungguhnya mereka mendapati bapak-bapak mereka dalam Keadaaan sesat.
Lalu mereka sangat tergesa-gesa mengikuti jejak orang-orang tua mereka itu.
Dan sesungguhnya telah sesat sebelum mereka (Quraisy) sebagian besar dari orang-orang yang dahulu,
dan sesungguhnya telah Kami utus pemberi-pemberi peringatan (rasul-rasul) di kalangan mereka.
Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu.
Tetapi hamba-hamba Allah yang bersihkan (dari dosa tidak akan diazab)

Az-Zukhruf [43] : 23-25
Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka".
(Rasul itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?" Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya".
Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu

Silakan baca pula bagaimana ulama dan para pemimpin bisa menyesatkan umat.

At-Taubah [9] : 31
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan

Al-Ahzaab [33] : 67
Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).

Kedua, karena Allah memang tidak menaruh perhatian pada bentuk fisik ritual ibadah, melainkan bahwa yang paling penting adalah seberapa besar ketulusan dan ketundukan kita kepada Allah pada saat kita beribadah dan berdoa.

Jika memang Allah telah memberikan detail bagaimana tata cara berwudhu, maka sudah barang tentu tidak sulit bagi diri-Nya untuk memberikan detail bagaimana tata cara shalat dalam Qur’an.

Dia memang tidak!

Jika anda perhatikan ayat-ayat dalam Qur’an, maka anda akan mendapatkan bahwa Qur’an berulang kali memberikan pengajaran yang menekankan kepada manusia untuk selalu berbuat kebaikan, dan bukannya terfokus pada hal-hal yang bersifat ritual. Suatu penekanan yang berlebihan terhadap bentuk ritual ibadah akan menjauhkan manusia dari tujuan ibadah itu sendiri.

Peristiwa yang terjadi pada Pangeran Salman dari Saudi yang ikut dalam perjalanan ke luar angkasa American Discovery pada tahun 1985, yang mana para ulama Saudi begitu kebingungan bagaimana merumuskan jawaban atas pertanyaan : bagaimana seorang Muslim harus melakukan shalat di dalam pesawat luar angkasa, adalah bukti bagaimana kelirunya pemahaman menitikberatkan ibadah pada bentuk fisiknya saja.

Ketiga, bahwa kata SHALAT dalam bahasa Arab berasal dari akar kata WASALA, yang berarti “berkomunikasi”. Dengan demikian, kata “shalat” mengandung makna “berkomunikasi dengan Allah”, dan bukannya ritual shalat sebagaimana yang kita pahami selama ini.

Lalu, bagaimana seharusnya kita melakukan shalat (berkomunikasi dengan Allah) menurut panduan dari Qur’an?

Sesungguhnya banyak petunjuk tentang shalat yang bisa kita temukan di dalam Qur’an :

Tujuan kita shalat ->

Al-Baqarah [2] : 112
(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Al-Baqarah [2] : 152-153
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

Al-Baqarah [2] : 186
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

[14]: 7
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".

[21] : 19
Dan kepunyaan-Nya-lah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih.

[28] : 70

[45] : 36

[20] : 14,

[72] : 18,

[29] : 45,

[6] : 162,

[20] : 14

[23] : 2.

Wudhu ->

5 : 6 dan 4 : 43.

Ke mana kita harus menghadap pada saat shalat ->
Al-Baqarah [2] : 142, 144, 148, 177.

Posisi kita pada saat shalat ->
3 : 191, 38 : 24, dan 48 : 29.

Apa yang harus diminta pada saat shalat (tapi tidak terbatas) -> 1 : 1-7, 2 : 201, 2 : 286, 3 : 147, dan 3 : 193.

Waktu-waktu shalat ->
Al-Baqarah [2] :  238


11 : 114, 50 : 40, 24 : 58, 17 : 78, dan 17 : 110-111.

Pakaian apa yang harus dipakai pada saat shalat -> 7 : 31.

Ketika kita sedang dalam keraguan, maka mintalah kepada Allah, Sang Pencipta
Qur’an, untuk pertolongan dan petunjuk.

Sesungguhnya Dia Dekat dan Maha Mendengar!

Al Baqarah [2] : 153
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”

Shalat seharusnya dilakukan secara khusyuk, tulus, pasrah, dan dari hati yang terdalam. Bukannya dalam bentuk ritual dan hafalan.

Tugas saya hanyalah menyampaikan dan membeberkan fakta. Namun saya bukanlah penyelamat dan pelindung bagi anda. Maka selesailah sudah episode :
MENYINGKAP TABIR HADITS.

Semoga umat Islam segera kembali berpegang kepada ajaran Islam yang murni dan warisan utama dari misi kerasulan Nabi Muhammad, yaitu QUR’AN!

Salam!

> 

Rabu, 06 Juni 2012

MENYIKAPI PERBEDAAN MAZHAB

Oleh Syekh Subakir di JERNIH (Berkas)

Soal:

Bagaimana menyikapi perbedaan mazhab di antara sesama Muslim? Sejauh manakah perbedaan mazhab yang dibenarkan, dan tidak?

Jawab:

Dalam kamus fikih, Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie menyatakan, bahwa mazhab adalah metode tertentu dalam menggali hukum syariah yang bersifat praktis dari dalil-dalilnya yang bersifat kasuistik.Dari perbedaan metode penggalian hukum inilah, kemudian lahir mazhab fikih.

Dalam perkembangannya, istilah mazhab juga digunakan bukan hanya dalam konteks fikih, tetapi juga akidah dan politik. Sebut saja Prof. Dr. Abu Zahrah, dengan bukunya, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah: Fî as-Siyâsah, wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Fiqh al-Islâmi.2 Lebih jauh beliau menegaskan, bahwa semua mazhab tersebut masih merupakan bagian dari mazhab Islam. Beliau kemudian melakukan klasifikasi, antara lain, mazhab politik, seperti Syiah dan Khawarij;3 bisa juga ditambahkan, Ahlussunnah dan Murjiah. Kemudian mazhab akidah seperti Jabariyah, Qadariyah (Muktazilah), Asy’ariyah, Maturidiyah, Salafiyah dan Wahabiyah.4 Adapun mazhab fikih adalah seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, Hanabilah, Zahiriyah, Zaidiyah dan Ja‘fariyah.5

Meski demikian, tetap harus dicatat, bahwa sekalipun mazhab Islam tersebut banyak, bukan berarti umat Islam tidak lagi memiliki kesatuan akidah, sistem dan politik. Sekali lagi, tidak demikian. Sebab, perbedaan mazhab tersebut tetap tidak mengeluarkan umat Islam dari ranah akidah, sistem dan politik Islam. Di samping itu, perbedaan tersebut merupakan keniscayaan faktual dan syar‘i.

Secara faktual, potensi intelektual yang diberikan oleh Allah kepada masing-masing orang jelas berbeda. Dengan perbedaan potensi intelektual tersebut, mustahil semua orang bisa menarik kesimpulan yang sama ketika berhadapan dengan nas-nas syariah. Belum lagi ungkapan dan gaya bahasa (uslûb) al-Quran dan Hadis Nabi—yang nota bene berbahasa Arab—mempunyai potensi multiinterpretasi (ta’wîl), baik karena faktor ungkapan maupun susunan (tarkîb)-nya.

Adapun secara syar‘i, dilihat dari aspek sumber (tsubût)-nya, nas-nas syariah tersebut ada yang qath‘i, seperti al-Quran dan Hadis Mutawatir, dan ada yang zhanni, seperti Hadis Ahad. Untuk konteks dalil qath‘i tentu tidak ada perbedaan terkait dengan penggunaannya untuk membangun argumen (istidlâl). Namun, tidak demikian dengan sumber yang zhanni. Hal yang sama juga terjadi dalam konteks dilâlah nas-nas syariah tersebut. Sekalipun nas-nas tersebut qath‘i dari aspek sumbernya, dilâlah-nya tidak selalu qath‘i. Sebab, ada juga yang qath‘i, dan ada yang zhanni. Dalam konteks dilâlah qath‘iyyah, tentu tidak ada perbedaan pendapat tentang maknanya, tetapi bagaimana dengan dilâlah zhanniyyah? Tentu tidak demikian.

Karena itulah, bisa disimpulkan, bahwa terjadinya perbedaan pendapat, yang melahirkan ragam mazhab itu, merupakan suatu keniscayaan. Namun tidak berarti, bahwa keniscayaan tersebut bersifat mutlak dalam segala hal. Jelas tidak. Demikian halnya, potensi nas-nas syariah untuk bisa dimultitafsirkan juga tidak berarti bebas dengan bentuk dan metode apapun. Sebab, jika tidak, ini akan membawa kekacauan. Karenanya, Islam tidak menafikan keniscayaan tersebut, meski Islam juga tidak menjadikan keniscayaan tersebut sebagai hukum. Keniscayaan faktual dan syar‘i tersebut lalu diselesaikan oleh Islam dengan sejumlah hukum yang bisa langsung diimplementasikan serta mampu mewujudkan keharmonisan individual dan kelompok secara simultan.

Islam, misalnya, menetapkan sejumlah kaidah dan ketentuan:

1. Dalam konteks nas-nas syariah yang qath‘i tsubut dan qath‘i dilâlah, seperti al-Quran dan Hadis Mutawatir yang maknanya qath‘i, baik dalam masalah akidah maupun hukum syariah, atau ushûl dan furû‘, tidak boleh ada perbedaan pendapat. Dengan kata lain, berbeda pendapat dalam konteks ini hukumnya haram.

2. Berbeda pendapat dibolehkan oleh Islam dalam konteks nas-nas syariah yang zhanni, baik dengan qath‘i tsubût dengan zhanni dilâlah, seperti al-Quran dan Hadis Mutawatir yang maknanya zhanni, maupun zhanni tsubût dengan qath‘i dilâlah, seperti Hadis Ahad yang bermakna qath‘i.

3. Pemultitafsiran (ta’wîl) nas-nas syariah tetap dibolehkan, tetapi harus dalam koridor dilâlah yang ditunjukkan oleh nas serta sesuai dengan kaidah dan metode memahami dan istinbâth yang dibenarkan oleh syariah.

4. Pandangan yang dihasilkan oleh semua mazhab dianggap benar, dengan catatan tetap mempunyai potensi salah.

5. Mengikuti pandangan mazhab tersebut tidak dalam kerangka untuk memastikan seratus persen pandangan tersebut benar dan salah, melainkan dalam kerangka tarjîh dan ghalabat zhann. Dengan kata lain, kita mempunyai dugaan kuat, bahwa hukum yang kita ambil dan ikuti dalam masalah tertentu adalah hukum Allah bagi kita, dan juga orang yang menyatakannya, terlepas dari siapa yang menyatakannya. Namun, jika kemudian terbukti salah, hukum itu pun dianggap marjûh dan lemah sehingga ketika itu harus ditinggalkan.

Itulah, mengapa semua mazhab Islam tersebut pada dasarnya mazhabnya satu, yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Bahkan tidak satu pun di antara mereka mengklaim dirinya, kecuali dengan menyatakan:

رَأْيِي صَوَابٌ يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ وَرَأْيُ غَيْرِي خَطَأٌ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ

Pendapat saya benar namun berpotensi salah. Sebaliknya, pendapat yang lain itu salah, namun berpotensi benar.

Mereka pun saling memuji satu sama lain; mereka saling menerima alasan dan argumentasi satu sama lain. Yang yunior menggambarkan yang senior sebagai bintang dan tetap bersikap tawadhu‘ terhadap seniornya. Sikap-sikap ini dan juga sikap serupa yang lainnya telah menerangi pikiran dan menguatkan ikatan batin mereka. Namun, sikap ini tidak lagi diwarisi oleh para pengikut mereka. Ijtihad pun mereka tutup. Mazhab pun dibatasi hanya empat. Padahal masih banyak ulama yang mampu berijtihad dan membangun mazhab sendiri. Sikap inilah yang menyebabkan lahirnya sikap fanatisme mazhab. Dengan kata lain, fikih dan fuqaha’-nya dijadikan layaknya monumen.

Tindakan memonumenkan fikih dan fuqaha’ itu melahirkan sikap, bahwa fikihnyalah yang diklaim paling benar, sedangkan yang lain salah; fuqaha’-nya juga dianggap sebagai yang paling hebat, sementara yang lain tidak. Sikap seperti ini bisa berubah menjadi fanatisme mazhab yang sempit, dan bisa menjerumuskannya dalam tindakan mengkafirkan atau menyesatkan fikih dan fuqaha’ lain, berikut para pengikutnya. Sebaliknya, muncullah sikap menganggap dirinya, fikih dan mazhabnyalah yang benar. Sikap inilah yang menyebabkan terjadinya perpecahan dan konflik di kalangan pengikut mazhab, sebagaimana yang pernah terjadi antara para pengikut Hanafi dan Syafii pada masa lalu.

Realitas ini hingga kini pun masih terjadi. Bahkan yang sangat mengkhawatirkan, ketika penyakit seperti ini diderita oleh para ulama, bukan hanya orang awam.

Satu-satunya solusi untuk menyembuhkan penyakit seperti ini adalah dengan memposisikan fikih dan fuqaha’ pada posisi sejajar, sebagaimana yang pertama digariskan oleh syariah dan diejahwentahkan oleh para Sahabat. Dengan posisi tersebut, tak ada satu pun fikih dan fuqaha’ yang dilebihkan satu sama lain. Sebab, mereka masing-masing adalah mujtahid. Masing-masing akan mendapatkan pahala dan harus diberi ucapan selamat, ketika benar, dan tetap mendapatkan pahala, dan harus dimaafkan, jika kemudian terbukti salah. Pada titik inilah as-Suyuthi menyatakan:

Aneh, ada orang yang mengagung-agungkan sebagian mazhab melebihi yang lain. Pengagungan ini yang menyebabkan berkurang dan jatuhnya martabat mazhab yang dikalahkan, bahkan kadangkala menyebabkan konflik di tengah orang awam. Lahirlah kemudian fanatisme dan sentimen Jahiliah. Seharusnya, para ulama bersih dari perkara-perkara tersebut. Karena, perbedaan furû‘ tersebut benar-benar telah terjadi pada zaman Sahabat, padahal mereka adalah umat terbaik. Namun, tak satu pun di antara mereka ada yang menyerang atau memusuhi yang lain, juga menyatakan yang lain salah dan pendek akalnya. 6

Para Sahabat—ridhwânullâh ‘alayhim—adalah fuqaha’ pertama, bahkan penghulu para fuqaha’. Terhadap mereka, Rasulullah menyatakan:

أَصْحَابِي كَالنُّجُوُمِ، بِأَيِّهِمْ اقْتَدَيْتُمْ، اِهْتَدَيْتُمْ

Para Sahabatku bagaikan bintang. Kepada siapapun di antara mereka kalian ikut, maka pasti kalian akan mendapatkan petunjuk. (HR ad-Daruquthni dan al-Khathib)7

Demikian halnya dengan fuqaha’ setelah mereka. Mereka bagaikan bintang. Kepada siapapun di antara mereka, jika kita ikuti, maka kita pun insya Allah akan mendapatkan petunjuk. Tentu, selama mereka berpegang teguh dan terikat kepada syariah.

Pandangan inilah yang terbukti telah menyatukan umat Islam dan tetap menjadikan loyalitas seorang Muslim hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan yang lain. Karenanya, perbedaan di kalangan fuqaha’ adalah rahmat dan memudahkan umat. Jika perbedaan tersebut diposisikan pada posisinya yang sahih hingga bisa memerankan peranan yang positif dan sehat, pasti perbedaan mazhab tersebut akan menghasilkan kekayaan intelektual dan syariah, yang justru menjadi kebanggaan dan kehormatan bagi setiap Muslim. Wallâhu a‘lam.
[Hafidz Abdurrahman]


Jumat, 01 Juni 2012

PRIA BUKAN IMAM WANITA

Oleh Bayu Purnomo pada 31 Mei 2012 pukul 10:16
Marilah kita memperhatikan ayat al Quran sebagaimana disebutkan dalam Surat An-Nisaa [4]:34,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُبًا إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّن الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Jika kita membaca sekilas ayat tersebut diatas, sepertinya bahwa wanita dijajah pria itu tercantum dalam al Quran. Sepertinya, wanita tidak mungkin dapat menjadi pemimpin bagi pria, bahkan pria diberikan hak Allah untuk menasehati wanita, bahkan memukul wanita.
Tetapi mari kita bahas secara lebih mendalam, silahkan membuka al Quran dengan juga membaca bahasa Arabnya.

PERTAMA, kata “laki-laki” dalam ayat diatas menggunakan kata “ar rijalun” yang sebenarnya tidak cocok jika diartikan sebagai lelaki, tetapi lebih cocok diartikan sebagai pasangan. Al Quran menggunakan kata-kata yang memperbandingkan antara lelaki dengan perempuan biasanya menggunakan kata-kata “adz dzakro” untuk lelaki dan “al untsa” untuk perempuan. Tetapi karena setelah kata ar rijalun terdapat kata an-nisa, maka penterjemahan “ar rijalun” sebagai laki-laki, juga tidak salah.

KEDUA, tidak ada kata pemimpin dalam bahasa Arabnya, yang ada adalah kata-kata qowwamun atau memiliki akar kata yang sama dengan aqwam yaitu pelurus. Maksud dari pelurus disini adalah meluruskan dengan suatu pedoman. Apa pedoman untuk meluruskan? Marilah kita memperhatikan 
Surat Al-Israa [17]:9
Sesungguhnya al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus(aqwam) dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka pahala yang besar.

Oleh karena itu kepatuhan wanita kepada pria, khususnya dalam sebuah perkawinan, bukanlah suatu kepatuhan yang buta tanpa disertai dasar apapun. Kepatuhan wanita terhadap pria, hanyalah ketika pria itu menjadi pelurus dengan menggunakan dasar al Quran karena al Quran adalah pemimpin atau imam wanita dan pria, sebagaimana disebutkan dalam 
Surat Al-A'raaf [7]:3
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)

Bukti wanita mengambil Allah sebagai pemimpin adalah dengan mengikuti al Quran, atau mengikuti suami, selama sang suami juga menjadi pelurus (qowamum) dengan berdasarkan al Quran.
Lebih lanjut, Allah melarang wanita menjadikan pria sebagai pemimpin, jika sang pria tidak
mengikuti al Quran, sebagaimana disebutkan dalam Surat 9:24.

KETIGA, disebutkan pula dalam Surat 4:34, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Penterjemahan ini agak kurang sesuai, mengingat dalam bahasa Arab disebutkan ba’duhum ala ba’din, yang berarti melebihkan yang satu atas yang lain. Kata-kata dalam kurung laki-laki dan dalam kurung wanita itu adalah penambahan yang tidak terdapat dalam bahasa Arabnya. Melebihkan disini dapat berarti subyek dan menjadi obyek atau sifatnya setara antara laki-laki dan wanita. Berarti, dapat diartikan pada kondisi tertentu dimana laki-laki lebih berpenghasilan sehingga dapat menafkahkan sebagian harta kepada wanita, maka laki-laki tersebut dilebihkan Allah. Namun dapat juga berarti jika wanita lebih berpenghasilan sehingga dapat menafkahkan sebagian harta kepada laki-laki, maka wanita tersebut dilebihkan Allah. Jadi posisinya setara.

KEEMPAT, langkah-langkah laki-laki sebagai pelurus bagi kaum wanita adalah dengan menasehati, memisahkan dan memukul. Terkesan bahwa Allah telah memberikan wewenang untuk memukul wanita. Jika kita mempelajari ayat al Quran, semuanya adalah pilihan dan diijinkan (Surat 68:37-38)  namun tidak semuanya diridhoi (Surat 18:29-30 4:170). Bagaimana cara Allah meridhoi lelaki dalam memperlakukan wanita? Marilah kita perhatikan Surat 64:14-15, Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya diantara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Jika kita melihat kedua ayat tersebut diatas, terdapat dua sifat Allah yaitu, Maha Tinggi lagi Maha Besar dalam Surat 4:34 dan Maha Pengampun lagi Maha Penyayang dalam Surat 64:14-15, silahkan mau mempergunakan sifat Allah yang mana, tetapi yang jelas nama lain dari Allah adalah Ar Rahman (Surat 17:110 6:12 6:54), yang jelas saya sebagai khalifah Allah selalu mengucapkan basmalah (Surat 1:1) yang Ar Rahman dan Ar Rahim.

KELIMA, jika dalam suatu kehidupan rumah tangga, ternyata sang istri lebih menguasai jalan yang lurus atau al Quran (Surat 17:9 5:16 16:9 18:1-3) dibandingkan dengan sang suami, siapakah yang menjadi penutan dan pelurus (qowamun/aqwam) dalam rumah tangga. Marilah kita kembali kepada keterangan Nomor kedua dan ketiga diatas, dimana boleh jadi sang istri yang diberikan kelebihan oleh Allah, sehingga sang istri yang menjadi imam bagi sang suami, karena pada dasarnya baik sang suami dan sang istri harus menjadi al Quran sebagai imam.
Kesimpulannya, hubungan suami istri harus didasarkan kepada kesetaraan dalam berpendapat dan masing-masing bersifat kasih sayang dan menghargai dengan selalu bermusyawarah (Surat 3:159), dengan disertai suatu kesepakatan bersama bahwa imam keduanya adalah al Quran, sehingga siapapun yang berpendapat, kalau pendapatnya sesuai dengan al Quran, maka dialah imam kita (Surat 4:59).
Note: 

Terjemahan DEPAG tsb harus sesuai dg Hadis berikut ini
Muhammad tidak hanya memerintahkan para pria untuk memukul istri2 mereka (Qur’an 4:34), tapi dia juga menasehati para pria untuk memperlakukan para wanita seperti binatang2 piaraan, jangan diberi makan (jika perlu untuk mendisiplinkan mereka) dan memukul mereka (sama seperti orang2 Bedouin Arab biasa memukuli ternak2 mereka).

Ini kutipan dari Tabari:
“Maka dari itu, wahai orang2, kau punya hak atas istri2mu dan mereka punya hak atas dirimu. Kau punya (hak) bahwa mereka tidak menyebabkan siapapun yang kau tidak sukai menginjak ranjangmu, dan mereka tidak boleh berbuat hal2 yang tidak senonoh (fahishah). Jika mereka melakukan itu, maka Tuhan mengijinkanmu untuk mengunci mereka di kamar lain dan untuk memukul mereka, tapi jangan terlalu keras. Jika mereka tidak melakukan kejahatan, mereka punya hak atas makanan dan baju mereka yang sesuai dengan aturan (bi’l-maruf).
Perlakukan kaum wanita baik2, karena mereka (bagaikan) binatang2 piaraan (‘awan) padamu dan mereka tidak memiliki apapun bagi diri mereka sendiri. Kamu memiliki mereka hanya sebagai titipan dari Tuhan, dan kamu telah menikmati istri2mu itu secara sah sesuai dengan firman Tuhan, jadi mengertilah dan dengarlah kata2ku, wahai orang2. Aku telah menyampaikan Pesan, dan meninggalkan padamu sesuatu yang jika kau taati, maka kau tidak akan tersesat; yakni Buku Tuhan dan sunnah NabiNya.
Reference:
 Al-Tabari, Abu Ja’far Muhammad b. Jarir. The History of al-Tabari. Vol.IX:
 The Last Years of the Prophet. Translated and annotated by Ismail K. Poonawala. State University of NewYork Press, Albany, 1990 (pages 112-114)
 Butuh contoh lagi? Lihat Hadis Sunan Abu Daud, volume 1, nomer 142: “Pukulah istrimu jika dia tidak sopan tapi jangan pukul dia seperti budak wanita.” Hadisnya panjang sekali, tapi saya kutip bagian yang relevan:
Aku (penyampai cerita) lalu berkata: Rasul Allah, aku punya seorang istri yang berkata kasar, yakni dia tidak sopan. Dia (Muhammad) berkata: Maka ceraikanlah dia. Aku berkata: Rasul Allah, dia telah menikah denganku dan aku punya anak2 dari dia. Dia (Muhammad) berkata: Maka minta dia (untuk menaatimu). Jika ada sesuatu yang baik dari dirinya, dia akan berbuat begitu (taat); dan jangan pukul istrimu seperti kau memukul budak wanitamu. BACA: JANGAN PUKUL ISTRI SPT MEMUKUL BUDAK. TAPI TETAP PUKUL DIA.
Hadis Sahih Muslim, buku 004, nomer 2127:
Dia (Muhammad) memukul dadaku (Aisyah) sampai terasa sakit
Bayangin!! ***** istri sendiri dipukulnya. Allohuakbar!!
 Hadis Sunan Abu Daud, volume 1, nomer 142 :
 Pukulah istrimu jika dia tidak sopan
 "Tafsir al-Kabir" Al RAZI

Seorang wanita mengeluh kepada Muhammad bahwa suaminya MENAMPARINYA di muka
Hadis Sunan Abu Daud #2141:
ia (Nabi), memberi ijin agar MEMUKULI mereka (kaum perempuan).
Al-Tabari, Abu Ja’far Muhammad b. Jarir. The History of al-Tabari. Vol.IX
Muhammad berkata, “pukul istri2mu”
Hadis Sunan Abu Daud 11.2142 dikeluarkan untuk melindungi para pria yang melakukan pemukulan pada istri:
Dikisahkan oleh Umar ibn al-Khattab: Sang Nabi berkata: Seorang pria tidak akan ditanya mengapa dia memukul istrinya.

 Hehehe... silakan pukul bini lo sampai bonyok dan tidak berbentuk lagi. Awloh menghalalkannya dan tidak akan tanya alasannya. Allohuakbar!! Hidup Muslimah (yang otaknya udah pada bonyok gara2 dijadikan sandsack sama Muslim sehingga kagak mampu berpikir lageee)!!UNTUK LEBIH JELASNYA BISA KITA RENUNGKAN

penjelasn 4:34 sebenarnya mengenai hal ini :
Surah At-Tahrim [66]:10 
Allah membuat ISTERI NUH DAN ISTERI LUTH PERUMPAMAAN BAGI ORANG-ORANG KAFIR. Keduanya berada DI BAWAH PENGAWASAN DUA ORANG HAMBA YANG SALEH DI ANTARA HAMBA-HAMBA KAMI; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)".

Surah At-Tahrim [66]:11
Dan Allah MEMBUAT ISTERI FIR´AUN PERUMPAMAAN BAGI ORANG-ORANG YANG BERIMAN, ketika ia berkata: "Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir´aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim",

jadi siapa yg dimaksud pemimpin? tentulah manusia yg berdasarkan kitab/petunjuk Allah.
MO ce ato co terserah, tp yg berdasarkan petunjuk Allah.