Kamis, 21 November 2013

SELURUH ALAM SEMESTA BERTAUHID DI DALAM DIRI-NYA ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (20-habis)

Jika kita tidak membatasi tulisan ini, maka sampai berakhirnya usia kita pun hikmah-hikmah di dalam Al Qur’an tak akan habis-habisnya dibahas. Bahkan, saking banyaknya hikmah yang terkandung di dalamnya, Allah menggambarkan dengan tinta tujuh lautan tak cukup untuk menuliskan kalimat-kalimat Allah di alam semesta. Kenapa demikian? Karena, sesungguhnya segala realitas ini memang adalah manifestasi dari kalimat-kalimat Allah itu sendiri. Yakni, yang disebut sebagai ayat-ayat kauniyah. Note ini adalah catatan terakhir untuk tema 'Al Qur'an sebagai Sumber Filosofi Bagi Sains'.
-------------------------------------------------------------------------------------

Ungkapan di dalam Al Qur’an bahwa alam semesta ini adalah manifestasi kalimat Allah bukanlah bersifat metaforis belaka. Saya memahaminya sebagai ungkapan yang nyata. Bahwa, Alam semesta ini memang berasal dari kalimat Allah ‘KUN’, yang dalam bahasa sains setara dengan sistem informasi. Berawal dari kalimat perintah KUN itu, segala yang tadinya tidak ada menjadi ada.

Ruangan, dari tidak ada menjadi ada. Waktu, dari tidak ada menjadi ada. Materi dan energi juga dari tidak ada menjadi ada. Semua itu didahului oleh kalimat perintah KUN, yang kemudian menjalar di keempat variabel itu, menjadi koridor bagi dinamika alam semesta. Maka, perhatikanlah, seluruh realitas alam semesta ini menyimpan sistem informasi yang menjadi koridor bagi semua peristiwa yang dialaminya.

Setiap cikal bakal, mulai dari skala makrokosmos sampai mikrokosmos menyimpan sistem informasi di dalamnya, sehingga segala yang ada ini seperti ‘sudah tahu harus berbuat apa’. Sop kosmos sebagai cikal bakal alam semesta misalnya, ia sudah tahu harus berdinamika seperti apa agar menjadi alam semesta seperti yang sekarang kita pahami ini. Yang kalau ditulis, sejarahnya akan menjadi seperti berikut ini.

Waktu ke-0:
Kalimat perintah KUN membuat alam semesta muncul dari ketiadaan dalam bentuk Big Bang. Maka, bermunculanlah variabel ruang, waktu, materi dan energi. Ruang alam semesta saat itu berukuran sangat kecil – hampir nol – yang muncul bersamaan dengan variabel waktu yang juga hampir nol. Materi belum terbentuk, sedangkan energi berada dalam kondisi kerapatan yang hampir tidak berhingga. Sesaat kemudian kondisi itu menghasilkan dinamika kuantum yang menggerakkan alam semesta mengembang. Sehingga periode ini disebut sebagai Quantum Gravity Epoch.

Waktu ke- sepersepuluh juta triliun triliun triliun detik alias 10^(-43) detik.
Alam semesta mengembang dengan kecepatan tinggi dari ukuran sebesar atom menjadi sebesar buah anggur, yang disebut sebagai fase inflasi. Saat itu disebut sebagai periode Grand Unification, dimana gaya nuklir lemah, nuklir kuat dan elektromagnetik masih menyatu dan belum bisa dibedakan. Fase inilah yang diprediksikan oleh Prof Abdus Salam, sehingga dia memperoleh hadiah Nobel di tahun 1979.

Waktu ke-sepersepuluh miliar triliun triliun detik alias 10^(-34) detik.
Partikel quark sebagai penyusun materi mulai terbentuk, berpasangan secara asimetri dengan antiquark, lepton dengan antilepton. Karena itu, periode ini disebut sebagai Quark Epoch. Gaya Electroweak pun muncul sebagai pengikat partikel-partikel dasar pembentuk semesta. Fase ini, juga sudah diprediksikan oleh Prof Abdus Salam dalam Grand Theory-nya.

Waktu ke-sepersepuluh miliar detik alias 10^(-10) detik.
Antiquark menghilang, demikian pula positron sebagai salah satu bentuk antilepton. Dan mulailah kumpulan quark membentuk cikal bakal inti atom berupa proton dan neutron. Periode ini disebut sebagai periode Lepton alias Lepton Epoch.

Waktu ke-seratus detik alias 10^(2) detik.
Terjadi nukleosintesis alias penggabungan inti-inti Hidrogen menjadi inti Helium. Kedua jenis unsur ini adalah ‘unsur-unsur tua’ yang terkandung di kebanyakan bintang atau matahari generasi awal. Di periode ini mulailah muncul partikel kuantum foton yang menjadi partikel pembawa gaya elektromagnetik. Alam semesta yang masih berusia beberapa detik itu pun mulai bercahaya. Sehingga periode ini disebut sebagai Photon Epoch.

Waktu ke-sepuluh triliun detik alias 10^(13) detik.
Disini mulai terbentuk beragam atom yang menjadi unsur pembentuk berbagai benda di alam semesta. Sekaligus terjadi proses pemisahan antara materi dan radiasi, dimana alam semesta terlihat semakin transparan di segala penjurunya. Proses ini berlangsung sampai sekitar 1 miliar tahun.

Waktu ke- 1 miliar s/d 5 miliar tahun
Bintang-bintang alias matahari bermunculan dimana-mana. Di fase ini selain lahir matahari atau bintang-bintang, juga sudah terjadi kematian bintang yang menghasilkan black hole.

Waktu ke-5 miliar s/d 15 miliar tahun
Bermunculan gugusan bintang atau galaksi-galaksi, dimana setiap galaksi berisi ratusan miliar bintang atau matahari. Di fase ini pula terbentuk berbagai tatasurya yang berisi planet-planet, termasuk Bumi. Alam semesta pun kelihatan berkerlap-kerlip demikian indahnya, sebagaimana yang kita lihat dewasa ini. Dan seterusnya, dilanjutkan dengan munculnya kehidupan di muka bumi, di fase ini pula.

Apa yang saya uraikan di atas adalah untuk menggambarkan betapa seluruh proses itu sedemikian runtut dan sangat teliti. Sehingga, sampai dalam ukuran mendekati 'batas ketiadaan'. Ini persis dengan clue yang diinformasikan Allah di dalam kitab suci. Bahwa, di dalam proses itu tergambar semacam aturan main yang harus ditaati oleh proses yang sedang berlangsung, agar tercapai tujuan yang sudah ditetapkan.

QS.Al Furqaan [25]: 1-2
Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar kitab itu menjadi sumber pelajaran bagi seluruh alam. Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan. Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan sangat teliti (fa qaddarahu taqdiiran).

Bukan hanya di alam semesta ‘ukuran yang sangat teliti’ itu berlaku, tetapi pada segala peristiwa yang terjadi di dalamnya. Termasuk yang terjadi pada diri kita. Selalu ada cikal bakal yang sudah menyimpan informasi penciptaan, dengan ‘ukuran yang sangat teliti’ itu, yang di dalam diri kita berbentuk sistem informasi genetika. Di sanalah terdapat DNA yang memberikan kode-kode penciptaan bagi manusia, sejak saat pembuahan, menjadi stem cell, membelah menjadi zigote, embrio, janin, dan terlahir sebagai manusia.

Sebagaimana terbentuknya alam semesta, penciptaan manusia di dalam rahim juga mengalami fase-fase yang krusial dengan ketelitian yang luar biasa. Kenapa kepala kita bentuknya bulat, kenapa telinga dan mata berjumlah dua. Demikian pula tangan dan kakinya. Dan segala proses pembentukan organ-organ dalam, tulang, daging, kulit, darah, otak, dan sebagainya, yang secara seluler membentuk sekitar 200 jenis sel yang tidak boleh tertukar satu sama lainnya. Ini sungguh sebuah keajaiban penciptaan yang luar biasa. Dimana seluruh proses itu dikendalikan oleh sistem informasi yang rumit dan canggih. Oleh suatu Kehendak dan Kecerdasan yang sangat menakjubkan..!

Maka tidak heran, Al Qur’an mengambarkan Allah sebagai Zat yang selalu dalam kesibukan untuk mengatur segala urusan. Setiap saat kalimat perintah KUN itu bertebaran di segala penjuru semesta. Yang kalau digambarkan, bakal bersifat kontinum tak ada putus-putusnya. Bukan hanya dalam skala menit atau detik, melainkan dalam sepersekian triliun triliun triliun detik pun, Allah selalu dalam kesibukan.

Dengan kata lain, sebenarnya kalimat KUN itu sudah ada, dan terus menerus ada sejak saat awal penciptaan alam semesta sampai berakhirnya kelak. Kalimat itu telah menjadi sistem informasi yang melekat dan inheren dengan eksistensi ruang, waktu, materi dan energi. Dan membentuk segala peristiwa yang terjadi di seluruh penjuru langit dan bumi.

QS. Ar Rahman [55]: 29
Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.

Jadi, Tuhan yang diceritakan oleh Al Qur’an bukanlah Tuhan yang menganggur setelah menciptakan. Karena sesungguhnya seluruh proses dan peristiwa yang terjadi itu berada di dalam Diri-Nya. Bukan di luar diri-Nya, serta berjarak dari eksistensi-Nya. Itulah sebabnya, di ayat lain Allah memberikan gambaran bahwa Dia telah meliputi segala ciptaan-Nya, dan lebih dekat kepada kita daripada urat leher kita sendiri, yang sebenarnya sudah tak berjarak dengan kita itu.

QS. An Nisaa’ [4]: 126
Kepunyaan Allah-lah segala yang di langit dan segala yang di bumi, dan adalah AllahMaha Meliputi segala sesuatu.

QS. Qaaf [50]: 16
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.

Akhirnya, di ujung pembahasan ini, saya cuma ingin mengatakan bahwa segala realitas ini sebenarnya memang tak lebih hanya pancaran cahaya-Nya belaka. Sistem informasi KUN yang mengontrol jalannya peristiwa adalah pancaran cahaya-Nya. Ruang dan waktu yang menjadi kanvas bagi berlangsungnya peristiwa juga adalah pancaran cahaya-Nya. Dan materi beserta energi yang mengisi alam semesta pun tak lebih hanyalah pancaran cahaya-Nya.

Termasuk, seluruh kesadaran dan eksistensi diri kita tak lebih hanyalah pancaran cahaya-Nya. Inilah sosok makhluk yang memiliki ruh dengan kualitas tinggi, yang otaknya menjadi alat monitor bagi keberadaan alam semesta beserta isinya. Yang mana, di balik otak itu terdapat jiwa sebagai pusat kesadaran kemanusiaan. Dan kemudian jiwa itu terhubung dengan ruh yang menjadi media bagi sistem informasi ilahiah, yang menggerakkan segala sifat-sifat kehidupan. Dan, ternyata hal itulah yang menjadikan kita semua ‘merasa ada’..!!

Padahal, eksistensi yang benar-benar ADA itu sesungguhnya hanyalah DIA.

Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariikalahu
lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syai-in qadiir..

Wallahu a’lam bissawab


~ salam ~

Selasa, 19 November 2013

SELURUH REALITAS INI HANYA 'BAYANGAN' BELAKA ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (19)

Teori-teori informasi akan menjadi tulang punggung dan arus utama dalam memahami realitas alam semesta ke masa depan. Dan variabel informasi akan menjadi salah satu variabel yang akan diakui oleh para ilmuwan sebagai variabel kelima penyusun alam semesta, selain ruang-waktu-materi-energi. Kelak, para saintis akan merasa kesulitan untuk menghindar dari adanya ‘Sesuatu’ yang Maha Cerdas sebagai sumber dan pengendali seluruh informasi jagat raya, dimana seluruh perintah penciptaan ini berasal. Persis seperti yang diinfomasikan di dalam ayat-ayat Al Qur’an dengan segala clue yang diberikan. Berikut ini adalah notes saya beberapa waktu yang lalu, yang sengaja saya kutip kembali karena bisa menjadi jawaban bagi beberapa pertanyaan sahabat DTM dalam tema kali ini.



PENEMUAN Alain Aspect bersama timnya dari Universitas Paris, tentang adanya interaksi antar partikel yang melebihi kecepatan cahaya telah melahirkan teori holografik yang mengubah pemahaman manusia modern terhadap realitas alam semesta. Ini sekaligus menjawab kelemahan teori Einstein tentang kontinum ruang dan waktu.

Tiga dasawarsa yang lalu, Aspect bersama timnya menemukan fakta bahwa partikel-partikel sub-atomik seperti elektron mampu 'berkomunikasi' secara real-time tanpa tergantung jarak. Tidak ada bedanya antara jarak 1 meter dengan 1 milyar tahun cahaya. Dalam kondisi tertentu, ternyata interaksi informasi antar benda bisa berjalan secara serentak.

Tentu saja, hal ini melanggar prinsip dasar teori Einstein yang menyatakan setiap interaksi membutuhkan proses dengan kecepatan tak melebihi cahaya. Dalam skala makrokosmos, Teori Einstein terbukti tidak bisa menjelaskan fenomena: kenapa antara dua benda langit yang berjarak miliaran tahun cahaya bisa 'terikat' oleh gravitasi secara real-time alias serentak. Apakah laju gaya gravitasi memiliki kecepatan melebihi cahaya? Sebuah fakta yang bertolak belakang dengan keyakinan para penganut teori Einstein.

Jawaban atas fenomena ini muncul dari penelitian Aspect cs, yang kemudian memicu munculnya teori holografik yang diajukan oleh pakar Fisika Teoritis dari Universitas London, David Bohm dan pakar neurofisiologi Karl Pribram dari Universitas Stanford. Menurut Bohm, adanya interaksi real-time antar benda itu bisa dijelaskan dengan teori holografik. Yakni, seluruh realitas ini sebenarnya adalah ilusi semata. Sekedar proyeksi dari sebuah realitas yang ‘lebih dalam’, di balik apa yang bisa kita observasi.

Ia menganalogikan demikian. Ada seekor ikan di dalam sebuah aquarium besar. Di semua sisi aquarium itu dipasangi kamera: depan-belakang, kanan-kiri, dan atas-bawah. Keenam kamera itu lantas dihubungkan dengan enam buah monitor di ruangan yang berbeda. Kita, sebagai pengamat, tidak menyaksikan ikan itu secara langsung, melainkan lewat keenam layar monitor. Tentu, seluruh kamera akan menangkap gambar ikan dari sisi yang berbeda-beda: kepala, ekor, sirip atas, bawah, dan samping.

Maka, apakah yang terjadi ketika ikan itu bergerak? Seluruh layar monitor pun akan menampilkan ‘ikan yang berbeda’. Monitor satu, menampilkan gerakan kepala. Monitor dua menampilkan gerakan ekor. Dan monitor-monitor lain menampilkan sirip-sirip, serta bagian tubuh lainnya. Dan perhatikanlah, semuanya terjadi secara serentak..! Tanpa ada perbedaan waktu proses.

Bahkan seandainya seluruh monitor itu dipisahkan dalam jarak miliaran tahun cahaya, seluruh layar monitor akan menampilkan perubahan itu secara real-time, terhadap peristiwa tunggal yang terjadi di dalam aquarium tersebut. Tidak ada interaksi atau ARUS INFORMASI antar-benda yang melebihi kecepatan cahaya disini. Karena, seluruh apa yang kita lihat memang bukan peristiwa sesungguhnya, melainkan sekedar proyeksi dari peristiwa yang sama belaka..!

Begitulah realitas alam semesta menurut paradigma holografik. Seluruh materi, energi, ruang, dan waktu ini tak lebih hanya proyeksi dari sebuah ‘Realitas Tunggal’ yang tersembunyi di balik segala yang bisa kita observasi. Kenapa bisa demikian? Jawabannya diberikan oleh pakar Neurofisiologi, Karl Pribram dari Universitas Stanford.

Menurut Pribram, itu dikarenakan otak kita ini bekerja secara holografik. Otak kita dengan sistem sensorik panca indera itulah sebenarnya yang menstransfer ’Realitas Sejati’ di balik alam semesta, bagaikan sebuah kamera, yang kemudian ditampilkan di ’layar monitor’ pemahaman kita. Mirip dengan kamera yang digunakan untuk memantau ikan di dalam aquarium yang saya ceritakan di atas. Seluruh frekuensi yang datang dari mata, telinga, penciuman, lidah, dan kulit diproyeksikan ke dalam ’layar monitor’ di otak kita. Dan kemudian menghasilkan gambar-gambar holografik yang kita pahami sebagai persepsi.

Sebagai gambaran, proses holografik pada benda terjadi karena adanya interferensi sinar dari arah yang berbeda yang berpadu sehingga membentuk gambar semu. Saya kira, Anda pernah melihat gambar hologram. Cara membuatnya begini: sebuah obyek gambar yang ingin dibuat hologramnya dipancarkan dengan sinar laser ke sebuah pelat film. Dalam waktu yang bersamaan pelat film itu juga disinari dengan laser dari sudut yang berbeda. Bisa dengan obyek yang sama, bisa juga dengan obyek yang berbeda.

Maka, ketika pelat film itu dicetak, ia akan menghasilkan gambar hologram tiga dimensi yang semu. Jika obyek yang diproyeksikan sama, Anda akan melihat hasil cetakannya menjadi 'dobel' atau meruang dalam tiga dimensi dipandang dari sudut tertentu. Tetapi jika obyeknya berbeda, Anda akan melihat gambar hologram itu berubah-ubah ketika dipandang dari sudut yang berbeda.

Begitulah kurang lebih cara kerja otak kita. Ia bekerja sebagai layar monitor yang menerima proyeksi dari sistem sensorik, yang kemudian menghasilkan interferensi frekuensi dari berbagai sudut, sehingga menghasilkan image atau persepsi tiga dimensi. Tetapi, sesungguhnya semua itu semu belaka. Karena kita tidak pernah ’melihat’ realitas sesungguhnya di alam semesta ini, kecuali sesudah melewati ’kamera’ panca indera dan ’layar monitor’ sistem saraf di otak kita..!

Mekanisme holografik ini pula yang bisa menjelaskan, kenapa sistem memori di otak kita demikian canggihnya. Bahwa sistem memori itu tidak terjadi secara terpusat di salah satu bagian otak saja, melainkan terpencar ke seluruh bagian otak. Ini sangat sesuai dengan mekanisme holografik, dimana perpaduan gelombang yang berinterferensi itu terjadi disemua titik-titik cahaya yang diproyeksikan. Dan bisa mencapai variasi dalam jumlah tak berhingga, hanya dengan mengubah sedikit sudut pancaran sinar laser yang ditembakkan ke pelat film.

Di setiap perpaduan gelombang itulah memori holografik tersimpan. Dan sudah terbukti dalam berbagai penelitian holografik, bahwa dalam setiap sentimeter kubik pelat film hologram bisa tersimpan memori sebesar 10 miliar bit informasi. Sebuah kapasitas memori yang luar biasa besar, yang sangat bersesuaian dengan fenomena kerja memori otak kita.

Dengan teori holografik ini pula bisa dijelaskan, kenapa otak manusia bisa ’melihat’ gelombang suara dan ’mendengar’ gelombang cahaya. Termasuk bisa menangkap berbagai frekuensi yang memapar seluruh permukaan tubuh ataupun langsung menuju ke otak. Berbagai penelitian menunjukkan ternyata range frekuensi panca indera kita itu jauh lebih lebar dari yang diperkirakan selama ini. Seluruh tubuh kita bisa menangkap frekuensi alam semesta di sekitarnya, dan merekamnya secara holografik di dalam otak kita. Dengan cara ini pula bisa dijelaskan, kenapa seseorang bisa melakukan hubungan-hubungan telepati dengan orang lain, dan menangkap tanda-tanda alam di sekitarnya secara radiatif langsung ke otaknya.

Maka ringkas kata, saya cuma ingin menggambarkan kepada Anda semua, bahwa pemahaman manusia terhadap realitas alam semesta ke masa depan boleh jadi akan mengalami revolusi besar-besaran seiring dengan diterimanya teori holografik secara luas. Pijakannya sangat kuat, didukung oleh berbagai data yang semakin terbukti ke masa depan. Bahwa, segala realitas ini tak lebih hanya sebuah hologram yang diproyeksikan ke kanvas alam semesta dari ’Realitas Sejati’ yang berada di balik segala yang bisa kita observasi..!

Alam semesta dengan segala peristiwanya ini, tak lebih hanya bayangan semu dari Dia yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana..! Hanya manusia yang tinggi hati dan tak tahu diri saja yang merasa dirinya 'ada', apalagi mengira akan 'eksis selama-lamanya'. Dalam berbagai firman-Nya, Allah telah menjelaskan bahwa kehidupan ini sebenarnya semu dan menipu. Allah mengibaratkan diri-Nya sebagai pelita, dan segala ciptaan-Nya sebagai cahaya. Yang nyata tentu saja adalah pelita, sedangkan cahaya hanyalah pancaran dari sang pelita.

Ya, semua realitas ini, termasuk diri kita ternyata hanyalah hologram dari diri-Nya..!

QS. Al Hadiid [57]: 20
..Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

QS. An Nuur [24]: 35
Allah mencahayai langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca. Kaca itu bagaikan bintang (yang berpendar) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. Yaitu, pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat. Minyaknya hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

KESADARAN ALAM SEMESTA ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (18)

Salah satu kajian yang semakin menarik dewasa ini adalah soal kesadaran semesta. Benarkah alam semesta memiliki kesadaran, ataukah sebaliknya semesta bergantung kepada kesadaran manusia. Dengan kata lain, manakah yang lebih substansial: alam semesta ADA dikarenakan adanya KESADARAN MANUSIA, ataukah manusia ADA dikarenakan adanya KESADARAN SEMESTA? Ataukah, kedua-duanya merupakan akibat saja dari Suatu KESADARAN yang LEBIH TINGGI? Al Qur’an memberikan ‘clue’ dalam ayat-ayatnya, terkait dengan sistem informasi yang berkesadaran itu.
-----------------------------------------------------------------------------------------

Kesadaran bukanlah entitas yang bersifat material. Karena itu, tidak bisa dipegang. Tidak bisa difoto ataupun divideo. Tidak bisa didengar. Tidak bisa dikecap. Pendek kata tidak bisa dijangkau oleh panca indera. Sehingga, sains yang bersifat materialistik memang sudah tidak mampu lagi untuk memahaminya. Tapi, apakah karenanya, entitas kesadaran itu tidak ada? Tentu saja berlebihan kalau ada orang yang berpendapat seperti itu. Sains bukanlah segala-galanya. Terlalu banyak realitas alam semesta yang tidak bisa diungkap dengan sains. Sehingga, menjadi konyol kalau kita memutlakkan sains sebagai satu-satunya ukuran bagi eksistensi segala peristiwa.Yang kalau tidak terukur oleh sains lantas kita katakan sesuatu itu tidak ada.

Kesadaran juga bukanlah energi. Meskipun ia bisa memicu munculnya energi. Atau, setidak-tidaknya menyebabkan energi berdinamika. Misalnya, dengan kesadaran yang kita miliki, kita lantas bisa menggerakkan tangan, kaki, mata, dan seluruh anggota tubuh. Ada energi yang menggerakkan anggota tubuh, berdasar perintah kesadaran. Jika kesadaran kita itu tidak berkehendak, maka energi tubuh kita pun tetap diam alias tidak berdinamika. Energi itu bisa saja berbentuk energi kimia, atau mekanik, atau elektrik, ataupun energi potensial apa pun. Tapi intinya, kesadaran bukanlah energi, dan energi bukanlah kesadaran.

Kesadaran juga bukanlah ruang ataupun waktu. Karena, kedua variabel ini pun bersifat mati. Kesadaran adalah sistem informasi yang memiliki kecerdasan, dan hidup. Saya perlu menegaskan hal ini, karena rupanya masih ada yang terjebak dengan kesimpulan yang kurang tepat, yang menganggap energi itu hidup. Dan bisa memerintah diri sendiri, serta memiliki kehendak, dan tujuan. Saya kira, perlu dilakukan perenungan lebih jernih tentang variabel-variabel alam semesta terkait dengan apa yang disebut sebagai makhluk hidup. Karena keempat variabel itu - materi, energi, ruang & waktu – sampai kapan pun, tidak akan bisa menghasilkan makhluk hidup yang berkehendak dan memiliki kecerdasan. Kecuali diintervensi oleh ‘Sesuatu’ dari luar variabel, yang memiliki Kehendak dan Kecerdasan.

Kalaupun mau dibahas secara saintifik, atau setidak-tidaknya menggunakan terminologi sains, persoalan ruh dan jiwa itu tidak cocok dibahas hanya dengan ilmu Kimia, Fisika, Matematika, dan Biologi yang materialistik. Yang agak sesuai dengan wilayah ruh dan jiwa itu adalah Psikiatri. Tetapi sayangnya oleh sebagian orang yang mengklaim dirinya saintis, Psikiatri ini dianggap sebagai ‘sains abal-abal’ alias pseudo science, karena pembahasannya tidak sepenuhnya obyektif, melainkan sudah melibatkan subyektivitas.

Seorang Sahabat saya - Prof. Dr. dr. Suhartono Taat Putra MS - yang ahli Psycho Neuro Imunology, mengatakan bahwa ilmu pengetahuan manusia tentang makhluk hidup di masa depan akan menjadi sedemikian kompleksnya. Melebihi kerumitan memahami penciptaan alam semesta yang obyektif. Jika untuk memahami alam semesta kita membutuhkan Astrofisika, Astrokimia, Astromatematika, dan sebagainya, maka untuk memahami manusia itu kita tidak hanya membutuhkan Biokimia, Biofisika, Biologi, dan Biokuantum yang masih di wilayah obyektif, melainkan harus memasuki wilayah yang subyektif. Karena ternyata, seluruh proses yang bersifat Biokimia, Biofisika dan Biokuantum itu hanya merupakan akibat saja dari dinamika ‘sesuatu’ yang sangat subyektif di dalam diri manusia.

Selain Psikiatri, sains modern yang agak mendekati wilayah ruh dan jiwa itu adalah teori informasi. Dimana dewasa ini, peradaban sedang ‘dikuasai’ oleh bidang ini. Materi dan energi tidak lagi menjadi 'aktor utama' dalam ilmu ini. Ia hanya menjadi alat alias media saja. Kalau kita bicara soal handphone misalnya, yang kita bahas tidak lagi bahannya apa. Atau, baterainya apa. Melainkan fitur-fitur informasinya.

Bicara tentang ruh dan jiwa, tidak lagi bicara soal materi dan energi, melainkan bicara soal fitur-fitur informasi yang ada di dalamnya. Karena itu, jangan terjebak pada memahami ruh dan jiwa sebagai entitas energi. Karena energi hanya menjadi media bagi jiwa untuk menyalurkan informasi yang sinyalnya berasal dari ruh.

Ibarat handphone, sistem informasi itu tidak bisa mewujud dengan sendirinya tanpa ada sosok gadget dan tanpa ada energi dari baterai. Tetapi, gadget yang sudah ada baterainya pun tidak akan bisa berfungsi jika tidak ada sistem informasinya. Memang, analogi ini tidak persis betul dengan manusia. Karena, dalam diri manusia, yang disebut kehidupan itu termasuk di dalam ‘fitur’ ruh. Di dalam ruh itu ada beragam sifat ketuhanan ataupun fitur kehidupan yang menghidupkan. Sedangkan pada handphone ‘kehidupan’ itu ada karena baterai.

Kalaupun mau dianalogikan secara lebih baik, energi listrik dan operating system itulah RUH. Software aplikasinya adalah JIWA. Sedangkan sosok gadget adalah TUBUH. Seluruh kendali atas fungsi handphone itu bergantung pada OS (Operating System), termasuk kendali on-off-nya. Tetapi fungsi-fungsi aplikasinya ada pada software aplikasi yang mewakili jiwa. Dimana software itu bisa di upgrade ataupun di downgrade, sebagaimana jiwa manusia juga bisa dididik menjadi lebih baik ataupun dipengaruhi lingkungan untuk menjadi lebih buruk.

Nah, terkait dengan manusia, kesadaran itu bukanlah di sistem materi dan sistem energinya, melainkan di sistem informasi. Bahkan, masih perlu ditambahkan ‘sistem informasi yang hidup’. Itulah yang telah saya tulis di notes sebelum-sebelumnya – saat membahas ruh sebagai sistem informasi – tetapi rupanya belum tertangkap substansinya. Sehingga, masih ada yang berkutat pada sistem energi yang mati, padahal materi dan energi tak lebih hanya berfungsi sebagai media belaka.

Lebih jauh, sistem informasi ini bukan hanya berhenti di dalam diri manusia, karena sebagaimana telah kita bahas, alam semesta pun memiliki sistem informasi yang cerdas itu. Maka, terkait dengan pembahasan soal kesadaran ini, kita menangkap benang merahnya. Jika sistem informasi terkait dengan kesadaran, maka kesadaran itu sebenarnya tidak hanya berhenti di diri manusia. Melainkan juga dimiliki oleh alam semesta. Dan manusia, ataupun makhluk hidup hanya merupakan bagian saja dari ‘kesadaran semesta’.

Alam semesta adalah sistem informasi yang sangat canggih, ibarat dunia maya alias internet. Segala macam gadget berupa handphone, laptop, desktop, tablet, dan sebagainya adalah terminal-terminal dalam sistem informasi itu. Mereka bisa saling berhubungan lewat sistem informasi yang menjadi backbone dunia maya itu. Apakah sistem informasi dunia maya itu ada dengan sendirinya? Tentu saja tidak. Ada yang mengaturnya. Bahkan ada yang menciptakannya. Sekaligus mengendalikannya.

Sistem yang canggih itu, hanya media saja bagi ‘kecerdasan-kecerdasan’ yang ada di balik sistem materi dan energi yang terlibat di dalam beroperasinya internet. Semua bagian dari sistem itu adalah sesuatu yang mati, dan butuh ‘kecerdasan’ ataupun ‘kesadaran’ sehingga 'menghidupkan' media internet dengan lalu lintas informasi di dalamnya.

Alam semesta ini hanya menjadi media bagi lalu lintasnya informasi dari para pemilik kesadaran dan kecerdasan. Karena, semua variabel penyusun alam semesta ini memang tak lebih dari variabel mati belaka. Seluruh makhluk hidup di alam semesta ini tak lebih hanyalah ‘terminal-terminal’ kesadaran yang menggunakan media berupa ‘badan’ dengan fitur-fitur yang ada di dalam ‘jiwa’nya. Tetapi operating system harus sinkron dan terintegrasi dengan seluruh sistem informasi yang ada. Yang semua itu dikendalikan oleh Sang Pencipta seluruh sistem informasi yang sedang berjalan ini..!

'Perpindahan alam' dari satu gadget ke gadget lainnya, dari handphone ke laptop, ke tablet, ke smart phone, ke BB, ke PC, ke satelit, atau apa pun namanya, dan dimana pun lokasinya, tidak menjadi masalah selama ia sinkron dengan sistem informasi tersebut. Dalam skala kehidupan manusia, pindah dimensi dari alam dunia ke alam barzakh, atau pun ke alam akhirat tidak masalah, semua itu terintegrasi dalam sistem informasi yang memang bisa lintas dimensi sebagaimana telah saya jelaskan di note sebelumnya.

Ringkas kata, seluruh alam semesta sebenarnya adalah sistem informasi terintegrasi yang server-nya ada  di sisi-Nya, sedangkan terminal-terminalnya tersebar di seluruh penjuru alam semesta. Seluruh kejadian di mana pun bakal terekam dan masuk ke server itu, disamping juga terekam oleh terminal-terminal informasi yang saling berinteraksi. Tetapi, yang perlu Anda catat, bahwa semua lalu lintas informasi itu tidak akan terjadi jika tidak ada sosok-sosok ‘berkecerdasan’ dan ‘berkesadaran’ yang berkehendak untuk melakukan komunikasi. Karena sesungguhnya, semua ini cuma manifestasi dari Zat yang Maha Cerdas dan Maha Berkehendak..!

QS. Al An’am (6): 59
Dan di sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang terjadi di daratan dan di lautan. Dan tidak sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya. Dan tidak jatuh sebutir biji pun di dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan semuanya tertulis di dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)"

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

Minggu, 17 November 2013

KETIKA DI ALAM BARZAKH TERASA SEBENTAR ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (17)

Selain memberitakan tentang ‘masih hidupnya’ orang yang sudah mati, Al Qur’an juga memberikan 'clue' tentang adanya siksa kubur. Memang tidak dalam bentuk siksa badan, karena badannya sudah hancur. Melainkan dalam bentuk siksa jiwa. Sehingga, bagi orang yang beriman terhadap ayat-ayat Al Qur’an, memang akan terasa aneh jika kita menganggap di alam barzakh itu tak ada ‘kehidupan’. Karena ayat-ayatnya sangat eksplisit mengatakan: ‘’Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya’’. Tapi, tentu saja kehidupan yang dimaksudkan berbeda dengan kehidupan duniawi, karena jasadnya memang sudah tidak berfungsi.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Allah membuat analogi yang menarik antara orang tidur dan orang mati. Bahwa, orang mati maupun orang tidur, jiwanya ‘diangkat’ oleh Allah. Diangkat sementara bagi orang yang tertidur, dan diangkat seterusnya bagi orang yang mati, sampai nanti datangnya hari berbangkit. Ibarat peralatan video, saya mengistilahkan ‘hidup’ adalah play, ‘tidur’ adalah paused dan ‘mati’ adalah stop. Berikut ini saya kutipkan kembali ayatnya.

QS. AzZumar [39]: 42
Allah mengangkat  jiwa (anfus) ketika matinya dan jiwa yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain (yang tidur) sampai waktu yang ditetapkan (saat kematiannya kelak). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.

Saya ingin menyoroti lebih fokus analogi yang diberikan Al Qur’an antara orang tidur dan orang mati, bahwa kedua-duanya terkait dengan fungsi jiwa. Jiwa orang yang sedang tidur maupun mati berada di dalam 'genggaman' Allah. Ketika orang yang tidur itu terbangun, maka jiwanya dikembalikan. Sedangkan orang yang mati, jiwanya tidak dikembalikan ke jasad. Secara normal, saya kira kita sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa entitas jiwa dan badan itu dapat disatukan maupun dipisahkan.

Apalagi ketika dikaitkan dengan QS. Al Baqarah [2]: 154 yang dengan eksplisit menjelaskan mereka tetap hidup di alam barzakh. Sulit bagi kita untuk menafikan adanya ‘kehidupan’ di alam barzakh itu, kecuali kita memang ‘tidak menganggap’ ayat ini ada. Lain lagi persoalannya. Demikian pula QS. Ali Imran [3]: 169, yang menegaskan lagi adanya kehidupan di alam barzakh itu. Bagi yang tidak mengimani ayat ini, ya silakan saja. Atau, jika tidak sependapat, silakan memberikan tafsirannya secara lugas dan fokus terhadap kedua ayat tersebut.

Bahkan ayat berikut ini menjelaskan orang yang berada di alam barzakh itu bisa menyesali diri dan putus asa. Suatu keadaan yang menggambarkan mereka mempunyai memori terhadap kehidupan sebelumnya. Dan memahami adanya konsekuensi terhadap kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya selama di dunia. Meskipun tubuhnya – termasuk otaknya – sudah hancur dimakan tanah, ternyata mereka tetap memiliki kesadaran secara kejiwaan. Itulah tubuh energial yang disebut sebagai jiwa alias nafs.

QS. Mumtahanah [60]: 13
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu kaum yang dimurkai Allah. Sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada di dalam kubur berputus asa.

Maka, secara informasi Qur’ani, hampir tak ada peluang bagi kita untuk membuat tafsiran yang mengatakan kematian adalah ‘ketiadaan’. Atau, di alam barzakh tak ada kehidupan. Yang bisa kita lakukan adalah memberikan pemahaman lanjutan, bahwa yang disebut kematian itu sebenarnya adalah sekedar rusaknya jasad belaka. Bukan rusaknya kesadaran jiwa. Sehingga, kita lantas bisa memahami ayat berikut ini yang mengatakan bahwa kematian memang bukan akhir dari segalanya. Melainkan, justru menjadi pintu masuk bagi kehidupan selanjutnya.

QS. AL Haaqqah [69]: 27
Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala masalah.

Sebuah ungkapan penyesalan yang mendalam dari orang-orang yang berdosa, dimana mereka kecele, karena mengira kematian adalah akhir dari drama kehidupan. Padahal ternyata bukan. Sehingga, di alam barzakh pun banyak orang berdosa yang menyesali kebodohan dan kesombongannya. Apalagi, di saat hari kebangkitan, dimana mereka harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya di dunia.

Terkait dengan analogi kematian dan tidur itu, Allah memberikan gambaran lagi di ayat berikut ini. Khususnya bagi mereka yang berdosa, mereka menyesal saat dibangunkan dari ‘tidurnya’.

QS.Yaasiin [36]: 52
Mereka berkata: "Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat-tidur kami (kubur)?." Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul- rasul(Nya).

Dan menariknya, orang-orang yang dibangkitkan dari dalam kubur itu merasa keberadaannya di dalam kubur ataupun di muka bumi tidaklah lama. Meskipun sudah meninggal ribuan tahun misalnya, mereka seakan-akan mengalaminya hanya sehari atau setengah hari belaka.

QS. Al Israa’ [17]: 52
Yaitu pada hari Dia memanggilmu, lalu kamu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya. Dan kamu mengira, bahwa kamu tidak berdiam (di dalam kubur) kecuali sebentar saja.

QS. Al Mukminuun [23]: 112-114
Allah bertanya: "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi? Mereka menjawab:"Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung. Allah berfirman: "Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sungguh-sungguh mengetahui.’’

Itulah kondisinya, bahwa orang yang baru dibangkitkan dari kematiannya mirip dengan orang yang baru dibangunkan dari tidurnya. Katakanlah sudah tertidur 10 jam, tetapi ketika dibangunkan dan ditanya, ia akan menjawab ‘tidak tahu’ berapa lama ia tertidur, rasanya sih cuma sebentar. Dan ketika melihat jam dinding ia baru tahu bahwa ia sudah tertidur sekian jam. Mirip dengan itulah orang yang dibangkitkan dari kematian.

Fase alam barzakh dirasakannya cuma sebentar, bukan karena tidak merasakan atau bahkan tidak bisa merasakan, melainkan lebih dikarenakan adanya ‘relativitas waktu’ yang bersifat subyektif antara ‘dunia kematian’ dan ‘dunia kehidupan’. Ada lompatan kesadaran diantara keduanya disebabkan melewati 'lorong kesadaran' antara mati dan hidup, atau antara tidur dan terjaga.

Contoh gampangnya begini. Suatu ketika Anda mengalami kecapekan bekerja, dan kemudian tertidur sekitar 5 menit. Lantas, teman Anda membangunkan Anda, karena memang saat itu sedang jam kerja. Saat terbangun Anda bercerita kepada teman Anda itu bahwa Anda sempat bermimpi. Katakanlah mimpi dikejar anjing. Wow, Anda bisa bercerita panjang sekali: berlari kencang, lompat pagar, lompat sungai dan seterusnya jatuh bangun, sampai Anda benar-benar terbangun karena dibangunkan teman Anda. Aneh kan, Anda bermimpi hanya dalam waktu 5 menit saja, tetapi ceritanya bisa panjang seakan-akan kejadian berjam-jam.

Itulah kurang lebih analogi antara dunia kematian dan kehidupan. Orang yang berada di dalam alam barzakh bisa mengalami siksaan jiwa selama bertahun-tahun, sehingga menyesali perbuatannya, dan bahkan digambarkan berputus asa. Serasa ingin keluar dari ‘mimpi’ alam barzakh itu, tetapi tidak bisa keluar darinya. Sampai datanglah waktu kebangkitan, dimana ia seperti orang yang terbangun dari mimpi panjangnya. Tetapi, ketika ia ditanya: berapa lama berada di dalam kubur, ia hanya merasa sehari atau bahkan setengah hari belaka..!

Ada dua alam yang memiliki hukum berbeda. Yang satu adalah alam berdimensi tiga, yang lainnya adalah alam berdimensi lebih tinggi, entah dimensi berapa. Karena, alam semesta yang multiverse ini memang sangat boleh jadi memiliki ruang-ruang berdimensi tinggi dalam jumlah tak berhingga. Sangat mudah bagi Allah untuk memilihkan salah satunya untuk diisi jiwa-jiwa yang telah mati. Dan perlu Anda ketahui, menurut M-Theory, hukum-hukum yang berlaku disana bisa sama sekali berbeda dengan yang terjadi disini. Karena, segala gaya yang membentuk peristiwa di alam dunia ini memang sudah runtuh di 'depan pintu langit' yang menjadi lorong menuju ke alam berdimensi lebih tinggi itu. Kecuali arus informasi yang menembus seiring dengan gaya gravitasi..!

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

Sabtu, 16 November 2013

SIAPAKAH YANG HIDUP DI ALAM BARZAKH ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (16)

Al Qur’an membedakan istilah Ruh dan Jiwa dalam arti yang substansial. Bahwa keduanya memang dua entitas yang berbeda, tetapi saling terkait. Ruh berfungsi sebagai sumber potensial sifat-sifat ketuhanan bagi jiwa manusia, sekaligus menghidupkannya. Sedangkan, jiwa menjadi belahan energial dari tubuh yang bersifat material. Karena itu, Al Qur’an memberikan clue bahwa Jiwa bisa terlepas dari badan material, dan tetap hidup di alam energial.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Cukup banyak ayat-ayat di dalam Al Qur’an yang memberikan clue bahwa ruh dan jiwa adalah dua entitas yang berbeda. Meskipun kebanyakan kita memandangnya sebagai sesuatu yang satu. Sehingga, tak jarang penafsir pun menyebut keduanya secara rancu: nafs dimaknai sebagai ruh, atau sebaliknya. Padahal kalau kita cermati, keduanya sesungguhnya berbeda.

Mulai dari istilahnya pun sudah berbeda: ruh dan nafs. Secara penggunaan juga berbeda, misalnya kata ruh tidak pernah disebut jamak oleh Al Qur’an, sedangkan kata nafs banyak dipakai dalam bentuk jamak menjadi anfus. Ruh tidak pernah bergandengan dengan kata menciptakan, artinya Allah tidak pernah menginformasikan ‘menciptakan ruh’, melainkan meniupkan atau menghembuskan dari entitas yang sudah ada. Sedangkan untuk nafs, Allah menyebutkan sebagai hasil penciptaan. Ruh tidak pernah digambarkan sebagai entitas yang berubah-ubah secara kualitas, sedangkan nafs adalah entitas yang berubah secara kualitas. Dan kemudian, Allah tidak pernah menggambarkan ruh sebagai entitas yang terlepas dari badan saat kematian, sebaliknya Allah menggambarkan nafs adalah entitas yang bisa terpisah dari badan, dan melanjutkan ‘kehidupan’ di alam barzakh.

QS. Al Baqarah (2): 154
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.

QS. Ali Imran (3): 169
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.

Dengan sangat jelas Allah memberikan informasi, bahwa setelah rusaknya badan material, sebenarnya seseorang itu masih hidup. Mereka masih memiliki kesadaran kemanusiaannya. Dan hidup dengan badan yang bukan badan material, melainkan dengan badan energial. Dan itu bukan ruh, melainkan jiwa alias nafs.

Al Qur’an menjelaskan di ayat yang berbeda bahwa nafs manusia bisa dipisahkan dari badannya saat kematian melandanya, dan kelak akan dikembalikan lagi saat hari kebangkitan. Bahkan, pada saat tidur pun digambarkan jiwa itu ‘diambil’ Allah, dan kemudian dikembalikan lagi ketika ia terbangun.

QS. Az Zumar (39): 42
Allah mengambil  jiwa (anfus) ketika matinya dan jiwa yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain (yang tidur) sampai waktu yang ditetapkan (saat kematiannya kelak). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.

Di ayat yang lain lagi, Allah memberikan gambaran tentang jiwa yang terlepas dari badan. Kita ditantang oleh Allah untuk mengembalikannya ke dalam raganya, bila kita mampu. Hal itu menegaskan, bahwa badan dan jiwa adalah dua entitas yang berbeda. Artinya, nafs tidak identik dengan jism atau jasad, meskipun saat hidup keduanya menyatu. Sehingga, digambarkan malaikat maut mencabut nyawa orang-orang yang ingkar dengan keras dan menyakitkan.

QS. Al Waaqi’ah (56): 83-87
Maka mengapa ketika (nyawa) sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu, tetapi kamu tidak melihat. Maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah) kamu tidak mengembalikan (nyawa) itu (ke badannya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?

QS. Al Anfaal (8): 50
Seandainya kamu melihat ketika para malaikat mengambil jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan punggung mereka: "Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar".

Ringkas kata, saya cuma ingin menegaskan bahwa manusia terdiri dari 3 lapisan entitas. 
1. Yang paling kasar adalah badan material yang disebut jism atau jasad. 
2. Yang kedua adalah badan energial yang lebih halus, disebut nafs alias jiwa. 
3. Dan yang ketiga adalah ‘sistem informasi’ yang menghidupkan badan dan jiwa itu, yang disebut sebagai ruh.

Kehidupan yang paling sempurna bagi seorang manusia adalah ketika ketiga entitas itu menyatu dalam diri seseorang. Mereka disebut sebagai manusia seutuhnya yang hidup. Tetapi, suatu saat badan materialnya bisa rusak, dan jiwa berserta ruhnya lepas dari badan. Inilah yang disebut sebagai kematian. Hanya raganya yang rusak, tetapi jiwa –badan energialnya– masih dalam naungan ‘sistem informasi’ ruh bisa hidup di alam berdimensi lebih tinggi, yang disebut sebagai alam barzakh.

Ketika memasuki alam barzakh tanpa badan material itu, seorang manusia masih memiliki kesadarannya. Juga rasa takut. Termasuk daya ingat akan kehidupannya selama di dunia. Sehingga dalam ayat berikut ini, seseorang yang mati bisa mengalami penyesalan, dan meminta kepada Allah dikembalikan ke dunia untuk berbuat kebajikan yang selama ini dia tinggalkan.

QS. Al Mukminuun (23): 99-100
(Demikianlah keadaan orang-orang yang ingkar itu), hingga apabila datang kematian kepada salah seorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku bisa berbuat amal kebajikan yang dulu aku tinggalkan. Sekali-kali tidak (bisa). Sesungguhnya itu cuma ucapan yang dilontarkannya saja. Karena, di belakang mereka ada barzakh (dinding dimensi yang membatasi) sampai hari mereka dibangkitkan.

Jadi, semakin jelas saja clue yang diberikan Al Qur’an bahwa manusia bisa hidup dengan badan material-energial di dunia tiga dimensi ini, ataupun badan energial saja di alam berdimensi lebih tinggi. Tentu saja, kedua-duanya berada dalam pengaruh ‘sistem informasi’ yang menghidupkan mereka, yaitu ruh.

Di hari kiamat kelak, badan material manusia akan diutuhkan kembali. Dan jiwa beserta ruhnya akan dikembalikan bersatu dengan raganya untuk menjalani fase kehidupan akhirat. Itulah yang disebut sebagai hari kebangkitan dari dalam kubur, dimana setiap diri akan mempertanggung jawabkan apa yang telah diperbuatnya selama hidup di fase dunia.

QS. Yaasiin (36): 52
Mereka berkata: "Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur (kuburan) kami? Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-rasul-(Nya).

QS. Al Hajj (22): 7
Dan sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya. Dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.

QS. Ibrahim (14): 48
(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.

Sebagian manusia yang tidak beriman meragukan datangnya hari kebangkitan itu. Tetapi, dengan sangat logis Al Qur’an memberikan argumentasi kepada mereka. Bahwa, bagi Allah yang Maha Pencipta soal kebangkitan itu adalah masalah kecil. Lha wong, dulu dari tidak ada aja Allah bisa menciptakannya menjadi ada, sekarang apa sulitnya bagi Allah untuk sekedar mengulangi: menjadikan makhluk yang sudah ada menjadi hidup kembali.

QS. Ar Ruum (30): 27
Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian menghidupkannya kembali. Dan menghidupkan kembali itu (tentu) lebih mudah bagi-Nya. Dan bagi-Nyalah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi. Dan Dia adalah (Tuhan) Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

QS. Ar Ruum (30): 17-19
Maka bertasbihlah kepada Allah waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu berada di pagi hari, dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di bumi dan waktu kamu berada di petang hari maupun waktu kamu berada di siang hari. Dialah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan (Dia pula) yang menghidupkan bumi sesudah matinya. Dan seperti itulah kamu semua bakal dikeluarkan (dari dalam kubur).

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~