Al Qur’an membedakan
istilah Ruh dan Jiwa dalam arti yang substansial. Bahwa keduanya memang dua entitas
yang berbeda, tetapi saling terkait. Ruh berfungsi sebagai sumber potensial sifat-sifat
ketuhanan bagi jiwa manusia, sekaligus menghidupkannya. Sedangkan, jiwa menjadi
belahan energial dari tubuh yang bersifat material. Karena itu, Al Qur’an memberikan
clue bahwa Jiwa bisa terlepas dari badan material, dan tetap hidup di alam energial.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cukup banyak ayat-ayat
di dalam Al Qur’an yang memberikan clue bahwa ruh dan jiwa adalah dua entitas yang berbeda.
Meskipun kebanyakan kita memandangnya sebagai sesuatu yang satu. Sehingga, tak jarang
penafsir pun menyebut keduanya secara rancu: nafs dimaknai sebagai ruh, atau sebaliknya. Padahal kalau kita
cermati, keduanya sesungguhnya berbeda.
Mulai dari istilahnya
pun sudah berbeda: ruh dan nafs.
Secara penggunaan juga berbeda, misalnya kata
ruh tidak pernah disebut
jamak oleh Al Qur’an, sedangkan kata nafs banyak dipakai dalam bentuk jamak menjadi anfus. Ruh tidak pernah bergandengan
dengan kata menciptakan, artinya Allah tidak pernah menginformasikan ‘menciptakan
ruh’, melainkan meniupkan atau menghembuskan dari entitas yang sudah ada. Sedangkan
untuk nafs, Allah menyebutkan sebagai
hasil penciptaan. Ruh tidak pernah digambarkan sebagai entitas yang
berubah-ubah secara kualitas, sedangkan nafs adalah entitas yang berubah secara kualitas.
Dan kemudian, Allah tidak pernah menggambarkan ruh sebagai entitas yang terlepas dari badan saat
kematian, sebaliknya Allah menggambarkan nafs adalah entitas yang bisa terpisah dari badan,
dan melanjutkan ‘kehidupan’ di alam barzakh.
QS. Al Baqarah (2):
154
Dan janganlah kamu
mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan
(sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi
kamu tidak menyadarinya.
QS. Ali Imran (3):
169
Janganlah kamu mengira
bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi
Tuhannya dengan mendapat rezki.
Dengan sangat jelas
Allah memberikan informasi, bahwa setelah rusaknya badan material, sebenarnya seseorang
itu masih hidup. Mereka masih memiliki kesadaran kemanusiaannya. Dan hidup dengan
badan yang bukan badan material, melainkan dengan badan energial. Dan itu bukan
ruh, melainkan jiwa alias nafs.
Al Qur’an menjelaskan
di ayat yang berbeda bahwa nafs manusia bisa dipisahkan dari badannya saat kematian
melandanya, dan kelak akan dikembalikan lagi saat hari kebangkitan. Bahkan, pada
saat tidur pun digambarkan jiwa itu ‘diambil’ Allah, dan kemudian dikembalikan lagi
ketika ia terbangun.
QS. Az Zumar (39):
42
Allah mengambil jiwa (anfus)
ketika matinya dan jiwa yang belum mati di waktu tidurnya;
maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain
(yang tidur) sampai waktu yang ditetapkan (saat kematiannya kelak). Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.
Di ayat yang lain
lagi, Allah memberikan gambaran tentang jiwa yang terlepas dari badan. Kita ditantang
oleh Allah untuk mengembalikannya ke dalam raganya, bila kita mampu. Hal itu menegaskan,
bahwa badan dan jiwa adalah dua entitas yang berbeda. Artinya, nafs tidak identik dengan jism atau jasad, meskipun saat hidup keduanya menyatu.
Sehingga, digambarkan malaikat maut mencabut nyawa orang-orang yang ingkar dengan
keras dan menyakitkan.
QS. Al Waaqi’ah (56):
83-87
Maka mengapa ketika (nyawa) sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat, dan Kami lebih
dekat kepadanya dari pada kamu, tetapi
kamu tidak melihat. Maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah) kamu tidak mengembalikan (nyawa) itu (ke badannya) jika kamu adalah orang-orang
yang benar?
QS. Al Anfaal (8):
50
Seandainya kamu melihat
ketika para malaikat mengambil jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan punggung mereka: "Rasakanlah olehmu siksa
neraka yang membakar".
Ringkas kata, saya
cuma ingin menegaskan bahwa manusia terdiri dari 3 lapisan entitas.
1. Yang paling
kasar adalah badan material yang disebut jism atau jasad.
2. Yang kedua adalah badan energial
yang lebih halus, disebut nafs alias jiwa.
3. Dan yang ketiga adalah ‘sistem informasi’
yang menghidupkan badan dan jiwa itu, yang disebut sebagai ruh.
Kehidupan yang paling
sempurna bagi seorang manusia adalah ketika ketiga entitas itu menyatu dalam diri
seseorang. Mereka disebut sebagai manusia seutuhnya yang hidup. Tetapi, suatu saat
badan materialnya bisa rusak, dan jiwa berserta ruhnya lepas dari badan. Inilah
yang disebut sebagai kematian. Hanya raganya yang rusak, tetapi jiwa –badan energialnya–
masih dalam naungan ‘sistem informasi’ ruh bisa hidup di alam berdimensi lebih tinggi,
yang disebut sebagai alam barzakh.
Ketika memasuki alam
barzakh tanpa badan material itu, seorang manusia masih memiliki kesadarannya. Juga
rasa takut. Termasuk daya ingat akan kehidupannya selama di dunia. Sehingga dalam
ayat berikut ini, seseorang yang mati bisa mengalami penyesalan, dan meminta kepada
Allah dikembalikan ke dunia untuk berbuat kebajikan yang selama ini dia tinggalkan.
QS. Al Mukminuun (23):
99-100
(Demikianlah keadaan
orang-orang yang ingkar itu), hingga apabila datang kematian kepada salah seorang
dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku bisa berbuat amal kebajikan yang dulu aku tinggalkan. Sekali-kali tidak (bisa).
Sesungguhnya itu cuma ucapan yang dilontarkannya saja. Karena, di belakang mereka ada barzakh (dinding dimensi yang membatasi) sampai hari mereka dibangkitkan.
Jadi, semakin jelas
saja clue yang diberikan Al Qur’an bahwa manusia bisa
hidup dengan badan material-energial di dunia tiga dimensi ini, ataupun badan energial
saja di alam berdimensi lebih tinggi. Tentu saja, kedua-duanya berada dalam pengaruh
‘sistem informasi’ yang menghidupkan mereka, yaitu ruh.
Di hari kiamat kelak,
badan material manusia akan diutuhkan kembali. Dan jiwa beserta ruhnya akan dikembalikan
bersatu dengan raganya untuk menjalani fase kehidupan akhirat. Itulah yang disebut
sebagai hari kebangkitan dari dalam kubur, dimana setiap diri akan mempertanggung
jawabkan apa yang telah diperbuatnya selama hidup di fase dunia.
QS. Yaasiin (36):
52
Mereka berkata: "Aduhai
celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur (kuburan) kami? Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha
Pemurah dan benarlah Rasul-rasul-(Nya).
QS. Al Hajj (22):
7
Dan sesungguhnya hari
kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya. Dan bahwasanya Allah membangkitkan
semua orang di dalam kubur.
QS. Ibrahim (14):
48
(Yaitu) pada hari
(ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka
semuanya berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.
Sebagian manusia yang
tidak beriman meragukan datangnya hari kebangkitan itu. Tetapi, dengan sangat logis
Al Qur’an memberikan argumentasi kepada mereka. Bahwa, bagi Allah yang Maha Pencipta
soal kebangkitan itu adalah masalah kecil. Lha
wong, dulu dari tidak ada aja Allah bisa menciptakannya menjadi ada, sekarang
apa sulitnya bagi Allah untuk sekedar mengulangi: menjadikan makhluk yang sudah
ada menjadi hidup kembali.
QS. Ar Ruum (30):
27
Dan Dialah yang menciptakan
(manusia) dari permulaan, kemudian menghidupkannya kembali. Dan menghidupkan kembali
itu (tentu) lebih mudah bagi-Nya. Dan bagi-Nyalah
sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi. Dan Dia adalah (Tuhan)
Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
QS. Ar Ruum (30):
17-19
Maka bertasbihlah
kepada Allah waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu berada di pagi hari, dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di
bumi dan waktu kamu berada di petang hari maupun waktu kamu berada di siang hari. Dialah yang mengeluarkan yang hidup
dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan (Dia pula) yang menghidupkan bumi sesudah matinya.
Dan seperti itulah kamu semua bakal dikeluarkan (dari dalam kubur).
Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar