Jumat, 12 April 2013

HAKIKAT BERSYAHADAT

Sahabat JERNIH yang (mudah-mudahan) diberkahi oleh Allah ...

Suatu hari dalam pembicaraan di telepon, sahabat saya bertanya : “Apa makna syahadat menurut kamu?”

Saya tidak langsung menjawab. Sahabat saya ini adalah salah satu wanita paling cerdas yang pernah saya kenal, tentunya ia tidak menghendaki jawaban standar : “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul Allah.”

Tapi sayangnya, saya tetap memberikan jawaban standar ala ‘ujian sekolahan’ itu. Dan saya merasakan bahwa ia agak kecewa atas jawaban saya itu.

Cukup lama saya merenungi pertanyaan sederhana yang ditanyakan sahabat saya itu. Tidak, ini tidak sesederhana itu. Ternyata “Hakikat Syahadat” jauh lebih kompleks ketimbang sekedar menyatakan “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul Allah”, secara lisan.

Saya akan mencoba menguraikannya, dan semoga sahabat saya yang kebetulan bergabung di grup JERNIH ini juga berkesempatan membacanya

Seperti sudah pernah saya katakan berkali-kali, bahwa masih banyak umat Islam yang memandang ajaran-ajaran Islam sebatas ‘mantera-mantera’ belaka. Salah satu kerancuan terbesar yang ada di kalangan umat Islam adalah menganggap bahwa dengan mengucapkan kalimat syahadat maka seseorang sudah resmi menjadi seorang “Muslim”.

Pertanyaanya : benarkah cukup mengucapkan “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul Allah”, maka seseorang sudah menjadi seorang “Muslim”? Dan apakah benar bahwa seseorang yang tidak pernah secara lisan mengucapkan kalimat syahadat maka ia bukanlah seorang “Muslim”?

Apakah benar ketika seseorang sudah mengucapkan kalimat syahadat maka otomatis ia sudah menjadi Muslim dan berhak atas surga, sementara orang lain yang tidak pernah mengucapkan kalimat syahadat maka akan menjadi calon penghuni neraka?

Jika anda masih beranggapan demikian, maka anda sedang mengerdilkan ajaran Islam, sekaligus merendahkan kebesaran Tuhan itu sendiri!

Menjadi seorang “Muslim” artinya adalah menjadi seorang yang berserah diri kepada Allah. “Berserah diri kepada Allah” tidak hanya ditentukan oleh sebuah ‘mantera’ yang diucapkan secara lisan, akan tetapi diwujudkan dalam setiap perilaku dan perbuatan yang berorientasi ibadah kepada Allah.

Menjadi seorang Muslim tidaklah semudah mengikrarkan janji setia untuk masuk parpol atau organisasi, atau mengucapkan jargon-jargon ala MLM.

“Tidak bertuhan kepada selain Allah” dan “Mengakui Muhammad sebagai Rasul Allah” tidaklah semudah mengucapkan dari bibir saja.

Sudahkah anda yang sudah bersyahadat dan bahkan setiap hari mengaku bersyahadat itu “Bertuhan hanya kepada Allah” saja?

Jika memang umat Islam ini hanya bertuhan kepada Allah, mengapa masih banyak yang bertuhan kepada kekuasaan, uang, kelompok dan golongan, bahkan bertuhan kepada angkara murkanya sendiri?

Tuhan melarang manusia untuk mengambil apa yang bukan menjadi hak miliknya, namun mengapa masih banyak ‘orang bersyahadat’ yang berani mengambil hak-hak anak yatim dan fakir miskin? Bukankah ini suatu bentuk bertuhan kepada uang?

Tuhan melarang manusia untuk memecah belah umat, namun mengapa masih banyak ‘orang bersyahadat’ yang merasa nyaman dengan keterpecahbelahan umat, dengan menganggap golongannya yang paling benar dan menyesatkan golongan yang lain, dan bahkan berani menentukan kavling surga dan neraka? Bukankah ini suatu bentuk bertuhan kepada kelompok dan golongannya masing-masing?

Tuhan melarang manusia untuk berbuat kerusakan dan menzalimi orang lain, namun mengapa masih banyak ‘orang bersyahadat’ yang senang memanjakan sifat angkara murkanya dengan merusak rumah-rumah ibadah kelompok atau umat lain dengan mengatasnamakan Tuhan itu sendiri? Bukankah ini suatu bentuk bertuhan kepada angkara murkanya sendiri?

Tuhan memerintahkan manusia untuk senantiasa bersikap jujur, namun mengapa masih banyak ‘orang bersyahadat’ yang berani berdusta demi meraih atau mempertahankan jabatan? Bukankah ini suatu bentuk bertuhan kepada kekuasaan?

Oh, sahabatku ... Ternyata komitmen “Tiada Tuhan selain Allah” itu tidak mudah ya

Lalu bagaimana dengan komitmen “Muhammad adalah Rasul Allah?”

Dalam hal apa Muhammad SAW dipandang sebagai “rasul” atau “utusan” Allah?

Sudah barang tentu jawabannya adalah “Muhammad sebagai utusan dalam menyampaikan risalah Tuhan”. Risalah apa itu?

Al Qur’an!

Namun ternyata masih banyak ‘orang bersyahadat’ yang gagal memahami bahwa tugas Rasulullah SAW adalah untuk menyampaikan Al Qur’an, sehingga dijadikanlah kitab-kitab yang seolah-olah merupakan ajaran Rasulullah sebagai ‘pesaing’ bagi Al Qur’an. Sehingga tidak heran bahwa perilaku umat yang mengaku ‘bersyahadat’ itu justru “bumi-langit” dengan apa yang diajarkan oleh Al Qur’an.

Misalkan saja Al Qur’an secara tegas mengatakan bahwa syafaat (keselamatan) itu hanyalah milik Allah semata (QS 39:44), namun ‘umat bersyahadat’ dengan bangganya selalu mengharap-harapkan syafaat Rasulullah SAW di setiap doa bersama.

Al Qur’an juga secara tegas mengatakan untuk berdakwah dengan cara yang paling baik dan jangan pernah merasa paling benar sendiri dan berani mengatakan orang lain sesat (QS 16:125), namun ‘umat bersyahadat’ seringkali terlihat berdakwah dengan penuh kemarahan dan berani mendorong kekerasan atas nama agama dengan alasan “orang-orang sesat haruslah diperangi”!

Al Qur’an juga mengajarkan untuk membina hubungan baik dengan umat beragama, dan mengembangkan sikap berlomba-lomba menuju kebaikan (QS 5:48), namun ‘umat bersyahadat’ ini ternyata lebih senang dengan isu-isu pengunggulan diri sendiri dan memupuk kebencian terhadap umat lain.

Masihkah anda meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW diutus Allah ke dunia ini untuk menyampaikan Al Qur’an, kitab yang tiada keraguan di dalamnya dan petunjuk bagi orang-orang beriman?

Mari kita pikirkan ulang, dengan hati dan pikiran yang jernih : “Sudahkah kita bersyahadat dengan sebenar-benarnya?”

Mari kita tanyakan kepada diri sendiri : “Apakah saya layak untuk disebut sebagai seorang Muslim?”

Bacalah .. bacalah .. dan renungkan dengan keberserahan diri kepada Sang Pencipta!

Semoga kita bisa kembali kepada hakikat syahadat yang sebenarnya, bukan sekedar ‘mantera’ atau formalitas belaka, sebagaimana yang telah kita lakukan pada saat kita masih berada di alam rahim :

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS Al A’raf [7] :172)

Syahadat adalah sebuah komitmen kebertuhanan yang tiada pernah berakhir ..

Karena “hakikat hidup” ini adalah “Syahadat” itu sendiri ..


Allahu’alam ..