Sahabat JERNIH yang (mudah-mudahan) diberkahi oleh
Allah ...
Suatu hari dalam
pembicaraan di telepon, sahabat saya bertanya : “Apa makna syahadat menurut
kamu?”
Saya tidak langsung
menjawab. Sahabat saya ini adalah salah satu wanita paling cerdas yang pernah
saya kenal, tentunya ia tidak menghendaki jawaban standar : “Aku bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul Allah.”
Tapi sayangnya, saya
tetap memberikan jawaban standar ala ‘ujian sekolahan’ itu. Dan saya merasakan
bahwa ia agak kecewa atas jawaban saya itu.
Cukup lama saya
merenungi pertanyaan sederhana yang ditanyakan sahabat saya itu. Tidak, ini
tidak sesederhana itu. Ternyata “Hakikat Syahadat” jauh lebih kompleks
ketimbang sekedar menyatakan “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan
Muhammad adalah Rasul Allah”, secara lisan.
Saya akan mencoba
menguraikannya, dan semoga sahabat saya yang kebetulan bergabung di grup JERNIH
ini juga berkesempatan membacanya
Seperti sudah pernah
saya katakan berkali-kali, bahwa masih banyak umat Islam yang memandang
ajaran-ajaran Islam sebatas ‘mantera-mantera’ belaka. Salah satu kerancuan
terbesar yang ada di kalangan umat Islam adalah menganggap bahwa dengan
mengucapkan kalimat syahadat maka seseorang sudah resmi menjadi seorang
“Muslim”.
Pertanyaanya :
benarkah cukup mengucapkan “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan
Muhammad adalah Rasul Allah”, maka seseorang sudah menjadi seorang “Muslim”?
Dan apakah benar bahwa seseorang yang tidak pernah secara lisan mengucapkan
kalimat syahadat maka ia bukanlah seorang “Muslim”?
Apakah benar ketika
seseorang sudah mengucapkan kalimat syahadat maka otomatis ia sudah menjadi
Muslim dan berhak atas surga, sementara orang lain yang tidak pernah
mengucapkan kalimat syahadat maka akan menjadi calon penghuni neraka?
Jika anda masih
beranggapan demikian, maka anda sedang mengerdilkan ajaran Islam, sekaligus
merendahkan kebesaran Tuhan itu sendiri!
Menjadi seorang
“Muslim” artinya adalah menjadi seorang yang berserah diri kepada Allah.
“Berserah diri kepada Allah” tidak hanya ditentukan oleh sebuah ‘mantera’ yang
diucapkan secara lisan, akan tetapi diwujudkan dalam setiap perilaku dan
perbuatan yang berorientasi ibadah kepada Allah.
Menjadi seorang
Muslim tidaklah semudah mengikrarkan janji setia untuk masuk parpol atau
organisasi, atau mengucapkan jargon-jargon ala MLM.
“Tidak bertuhan
kepada selain Allah” dan “Mengakui Muhammad sebagai Rasul Allah” tidaklah
semudah mengucapkan dari bibir saja.
Sudahkah anda yang
sudah bersyahadat dan bahkan setiap hari mengaku bersyahadat itu “Bertuhan
hanya kepada Allah” saja?
Jika memang umat
Islam ini hanya bertuhan kepada Allah, mengapa masih banyak yang bertuhan
kepada kekuasaan, uang, kelompok dan golongan, bahkan bertuhan kepada angkara
murkanya sendiri?
Tuhan melarang
manusia untuk mengambil apa yang bukan menjadi hak miliknya, namun mengapa
masih banyak ‘orang bersyahadat’ yang berani mengambil hak-hak anak yatim dan
fakir miskin? Bukankah ini suatu bentuk bertuhan kepada uang?
Tuhan melarang
manusia untuk memecah belah umat, namun mengapa masih banyak ‘orang
bersyahadat’ yang merasa nyaman dengan keterpecahbelahan umat, dengan
menganggap golongannya yang paling benar dan menyesatkan golongan yang lain,
dan bahkan berani menentukan kavling surga dan neraka? Bukankah ini suatu
bentuk bertuhan kepada kelompok dan golongannya masing-masing?
Tuhan melarang
manusia untuk berbuat kerusakan dan menzalimi orang lain, namun mengapa masih
banyak ‘orang bersyahadat’ yang senang memanjakan sifat angkara murkanya dengan
merusak rumah-rumah ibadah kelompok atau umat lain dengan mengatasnamakan Tuhan
itu sendiri? Bukankah ini suatu bentuk bertuhan kepada angkara murkanya
sendiri?
Tuhan memerintahkan
manusia untuk senantiasa bersikap jujur, namun mengapa masih banyak ‘orang
bersyahadat’ yang berani berdusta demi meraih atau mempertahankan jabatan?
Bukankah ini suatu bentuk bertuhan kepada kekuasaan?
Oh, sahabatku ...
Ternyata komitmen “Tiada Tuhan selain Allah” itu tidak mudah ya
Lalu bagaimana dengan
komitmen “Muhammad adalah Rasul Allah?”
Dalam hal apa
Muhammad SAW dipandang sebagai “rasul” atau “utusan” Allah?
Sudah barang tentu
jawabannya adalah “Muhammad sebagai utusan dalam menyampaikan risalah Tuhan”.
Risalah apa itu?
Al Qur’an!
Namun ternyata masih
banyak ‘orang bersyahadat’ yang gagal memahami bahwa tugas Rasulullah SAW
adalah untuk menyampaikan Al Qur’an, sehingga dijadikanlah kitab-kitab yang
seolah-olah merupakan ajaran Rasulullah sebagai ‘pesaing’ bagi Al Qur’an.
Sehingga tidak heran bahwa perilaku umat yang mengaku ‘bersyahadat’ itu justru
“bumi-langit” dengan apa yang diajarkan oleh Al Qur’an.
Misalkan saja Al
Qur’an secara tegas mengatakan bahwa syafaat (keselamatan) itu hanyalah milik
Allah semata (QS 39:44), namun ‘umat bersyahadat’ dengan bangganya selalu
mengharap-harapkan syafaat Rasulullah SAW di setiap doa bersama.
Al Qur’an juga secara
tegas mengatakan untuk berdakwah dengan cara yang paling baik dan jangan pernah
merasa paling benar sendiri dan berani mengatakan orang lain sesat (QS 16:125),
namun ‘umat bersyahadat’ seringkali terlihat berdakwah dengan penuh kemarahan
dan berani mendorong kekerasan atas nama agama dengan alasan “orang-orang sesat
haruslah diperangi”!
Al Qur’an juga mengajarkan
untuk membina hubungan baik dengan umat beragama, dan mengembangkan sikap
berlomba-lomba menuju kebaikan (QS 5:48), namun ‘umat bersyahadat’ ini ternyata
lebih senang dengan isu-isu pengunggulan diri sendiri dan memupuk kebencian
terhadap umat lain.
Masihkah anda
meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW diutus Allah ke dunia ini untuk menyampaikan
Al Qur’an, kitab yang tiada keraguan di dalamnya dan petunjuk bagi orang-orang
beriman?
Mari kita pikirkan
ulang, dengan hati dan pikiran yang jernih : “Sudahkah kita bersyahadat dengan
sebenar-benarnya?”
Mari kita tanyakan
kepada diri sendiri : “Apakah saya layak untuk disebut sebagai seorang Muslim?”
Bacalah .. bacalah ..
dan renungkan dengan keberserahan diri kepada Sang Pencipta!
Semoga kita bisa
kembali kepada hakikat syahadat yang sebenarnya, bukan sekedar ‘mantera’ atau
formalitas belaka, sebagaimana yang telah kita lakukan pada saat kita masih
berada di alam rahim :
“Dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang
yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS Al A’raf [7] :172)
Syahadat adalah
sebuah komitmen kebertuhanan yang tiada pernah berakhir ..
Karena “hakikat
hidup” ini adalah “Syahadat” itu sendiri ..
Allahu’alam ..