Tampilkan postingan dengan label Syekh Subakir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Syekh Subakir. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 November 2014

Keimanan dan Ilmu Pengetahuan

Sahabat JERNIH yang dirahmati oleh Allah...

“Ilmu pengetahuan harus dibuktikan terlebih dahulu, baru diyakini... Sedangkan dalam beragama haruslah yakin terlebih dahulu!“

Kalimat di atas adalah pandangan yang umum di kalangan masyarakat kita. Yang namanya agama itu sudah fix, harus diyakini tanpa kecuali, tidak perlu dipertanyakan, apalagi dibuktikan! Jika anda ragu berarti keimanan anda patut dipertanyakan!

Benarkah demikian?

Saya termasuk yang tidak sependapat dengan pemahaman di atas. Manusia dikaruniai akal untuk menimba ilmu dan mencari kebenaran. Keragu-raguan dan keinginan untuk bertanya adalah bagian dari proses atas semua itu, yang telah didisain oleh Sang Pencipta. Maka, mengapa kita harus mengingkarinya?

Sejak dahulu saya selalu percaya bahwa Islam adalah ‘agama pencarian’ terhadap suatu kebenaran, bukan ajaran dogma yang mengharuskan manusia untuk mengebiri akalnya sendiri. Al Qur’an melarang manusia untuk beragama dengan cara ikut-ikutan, melainkan segala sesuatunya haruslah dipelajari dan dipahami terlebih dahulu.

QS Al Israa’ (17) : 36
Dan JANGANLAH kamu MENGIKUTI apa yang kamu TIDAK mempunyai PENGETAHUAN tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

Oke ..... agama memang harus dicari, dipelajari, dan dipahami, tapi apakah perlu dibuktikan? Bukankah ketika manusia ingin membuktikan kebenaran agama sama dengan menantang kebesaran Tuhan dan menodai kesakralan agama itu sendiri?

Mari kita cari jawabannya di Al Qur’an ^_^

Sesungguhnya jika kita mau untuk mengkaji dan memahami ajaran Al Qur’an, kita tidak akan berkesimpulan bahwa agama haruslah diimani tanpa pembuktian. Ada banyak sekali ayat dan kisah dalam Al Qur’an yang mendorong manusia untuk senantiasa mencari bukti-bukti atas kebenaran, dan sekaligus menyampaikan kebenaran tersebut dengan bukti-bukti yang disertai argumen yang logis pula.

Misalkan saja dalam kisah Nabi Ibrahim. Jika kita telusuri perjalanan hidup beliau yang terekam di dalam Al Qur’an, ternyata Nabi Ibrahim tidak serta merta meraih iman tanpa didahului proses yang panjang.
Anda bisa membaca bagaimana Nabi Ibrahim mengalami pergulatan keimanan dalam berproses ‘mencari’ Tuhannya, mulai dari memperhatikan bintang, bulan, dan matahari yang sempat disangka sebagai ‘tuhannya’, namun pada akhirnya ketika benda-benda langit tersebut menghilang, beliau meraih kesimpulan bahwa Tuhan yang sebenarnya adalah Tuhan Sang Pencipta alam semesta beserta isinya. Ketika kemudian Nabi Ibrahim memutuskan untuk berdakwah kepada umat manusia, beliau selalu menggunakan mekanisme dialog yang rasional disertai pembuktian akan kebenaran risalah yang dibawakannya.

QS Al Anbiyaa’ (21) : 56
Ibrahim berkata: “Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat MEMBERIKAN BUKTI atas yang demikian itu”.

Nabi Muhammad pun dalam menerima wahyu Ilahi berupa ayat-ayat Al Qur’an juga tidak serta merta yakin. Segera sesudah menerima wahyu pertama, Rasulullah merasa ragu apakah beliau benar-benar menerima wahyu dari Tuhan atau hanya sekedar berhalusinasi belaka.
Istri Rasulullah, Siti Khadijah, berusaha meyakinkan beliau bahwa Tuhan tidak akan menyesatkan orang yang berakhlak semulia Nabi Muhammad.
Dalam perjalanannya menerima wahyu, Allah juga tidak henti-hentinya menurunkan ayat-ayat yang isinya adalah perintah untuk mengamati tanda-tanda keberadaan dan kebesaran Allah, sehingga Rasulullah bisa yakin! Sehingga ketika kemudian Rasulullah berdakwah, beliau juga senantiasa mengemukakan berbagai argumen yang rasional disertai bukti-bukti yang nyata.

QS Al An’aam (6) : 104
Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu BUKTI-BUKTI YANG TERANG; maka barang siapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barang siapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kerugiannya kembali kepadanya. Dan aku sekali-kali bukanlah pemelihara (mu).

QS Al A’raaf (7) : 203
Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al Qur'an kepada mereka, mereka berkata: “Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?” Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al Qur'an ini adalah BUKTI-BUKTI YANG NYATA dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”.

Maka demikian sebaliknya, ketika Nabi Muhammad ditantang oleh kaum yang mendustakan ayat-ayatnya, beliau diperintahkan oleh Allah untuk meminta bukti-bukti kebenaran dari kaum yang mendustakan kenabiannya tersebut.

QS An Naml (27) : 64
Atau siapakah yang menciptakan, kemudian mengulanginya, dan siapa yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?. Katakanlah: “TUNJUKKANLAH BUKTI KEBENARANMU, jika kamu memang orang-orang yang benar”.

QS Al Baqarah (2) : 111
Dan mereka (kaum Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani”. Demikian itu (hanyalah sekedar) angan-angan mereka saja. Katakanlah: “TUNJUKKANLAH BUKTI KEBENARANMU jika kamu adalah orang yang benar”.

Dan itu juga berlaku bagi para nabi lainnya!

QS At Taubah (9) : 70
Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan, dan (penduduk) negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa BUKTI-BUKTI YANG NYATA; maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.

Anda bisa eksplorasi sendiri kitab suci Al Qur’an untuk mencari ayat-ayat yang berbicara tentang ‘bukti-bukti kebenaran’, dan anda tidak akan mendapatkan pembenaran sedikit pun di dalam Al Qur’an, bahwa manusia harus beragama dengan doktrin dan taklid buta, melainkan diajarkan untuk selalu mencari bukti-bukti kebenaran agar kita mendapatkan iman yang sebenar-benarnya.

Maka jika kebenaran itu telah terbukti dengan nyata, namun kita tetap saja menolak untuk beriman.... Hati-hati, karena Allah akan murka dengan kekufuran kita!

QS Yunus (10) : 100
Dan tidak ada seorang pun akan BERIMAN kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan KEMURKAAN kepada orang-orang yang TIDAK MEMPERGUNAKAN AKALNYA.

Anda bisa perhatikan bahwa ada keterkaitan iman dan akal. Allah jelas tidak menghendaki umatnya beriman secara membabi buta sehingga menjadi umat yang bodoh dan bebal. Islam selalu mengajarkan umatnya untuk bersikap kritis dan tidak mudah percaya pada segala sesuatu tanpa adanya pembuktian.

Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia semakin kritis dan cerdas. Ini adalah tantangan bagi umat Islam di tengah-tengah laju peradaban yang semakin canggih. Umat Islam tidak akan bertahan apabila tidak dibudayakan sikap kritis dan haus ilmu pengetahuan. Jika saja tradisi beragama secara dogma dan taklid buta ini terus menerus kita pertahankan, jangan kaget jika dalam 10 atau 20 tahun ke depan, agama Islam ini akan mulai ditinggalkan pengikutnya, sebagaimana nasib Kekristenan di benua Eropa.

Namun jangan khawatir, karena saya yakin hal itu tidak akan terjadi, selama umat Islam mau kembali kepada nilai-nilai hikmah dalam Al Qur’an!
Karena Islam adalah ajaran yang mencerdaskan umatnya, bukan membodohkan ^_^

Allahu’alam ...


Semoga bermanfaat

Kamis, 10 Oktober 2013

BERHALA AGAMA

Sahabat JERNIH yang dirahmati oleh Allah ..

Jika umat Islam ditanya : “Siapakah yang kau sembah?” Mereka akan menjawab : “Allah .. atau Tuhan!”

Jika umat Islam ditanya : “Apakah agama Islam membolehkan pemberhalaan?” Mereka akan menjawab : “Tentu tidak!”

Betul sekali sahabat. Kalimat “La Ilahaillalah” adalah sebuah ‘kampanye’ anti-pemberhalaan, di mana tidak boleh ada tuhan-tuhan lain selain Allah yang patut disembah. Sejak dahulu para nabi telah berjuang untuk membimbing umat manusia dari bahaya pemberhalaan, dan mengembalikannya ke jalan yang lurus.

Saya sudah pernah membahas tentang “Hakikat Bersyahadat” (https://www.facebook.com/photo.php?fbid=433994340026016&set=o.145664822172198&type=3) di mana di situ saya paparkan bagaimana manusia meskipun berikrar bahwa “Tiada Tuhan selain Allah”, namun pada kenyataannya masih banyak yang bertuhan kepada kelompok dan golongan, uang, jabatan, dsb. Kali ini saya ingin mengingatkan tentang sebuah bahaya pemberhalaan yang seringkali luput dari perhatian kita : “Bertuhan kepada agama!”

Apa itu “Bertuhan kepada agama?”

Sebagaimana kita ketahui, bahwa Al Qur’an mengatakan bahwa segala apa yang kita lakukan di dunia ini pada akhirnya akan dipersembahkan oleh Allah, Sang Pencipta dan Sang Raja Semesta Alam :

“ Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku HANYALAH UNTUK ALLAH, Tuhan semesta alam’” (QS Al An’am [6] : 162)

Agama (Din) hanyalah sebuah jalan untuk menuju kepada-Nya. Dengan berpegang kepada “Perjanjian Suci” yang kita kenal dengan nama “Agama” tersebut, maka manusia bisa kembali kepada Allah dalam keadaan yang baik. Namun patut disayangkani, ternyata sebagian dari kita tidak memahami fungsi agama tersebut, sehingga tanpa sadar mereka menjadikan agama itu sendiri sebagai sebuah tujuan akhir, alias “memberhalakan agama”.

Masih ingat kasus kaos bertuliskan “Tuhan, Agamamu Apa?” yang sempat menimbulkan insiden oleh anggota ormas Islam yang merasa marah akan pesan tersebut? Bahkan saya juga beberapa kali membaca komentar di forum dumay yang mengatakan bahwa “Tuhan beragama Islam”.

Ini adalah logika berpikir yang sangat rancu dan lucu. Bagaimana mungkin Tuhan itu beragama? Bukankah Tuhan adalah Sang Pencipta segala sesuatu termasuk agama-agama itu sendiri? Bahkan secara tegas Al Qur’an menjelaskan bahwa Tuhan telah menciptakan berbagai macam jalan (baca : agama) untuk masing-masing umat di dunia ini :

“Dan bagi TIAP-TIAP UMAT ADA KIBLATNYA (sendiri) yang ia menghadap kepada-Nya. Maka BERLOMBA-LOMBALAH KAMU (DALAM BERBUAT) KEBAIKAN. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (di Hari Akhir). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al Baqarah [2] : 148)

Memberhalakan agama itu sesungguhnya terjadi pada setiap umat. Hanya saja, saya tidak tertarik untuk membahas yang terjadi pada umat lain, sehingga biarlah hal tersebut menjadi tanggung jawab pemuka agama masing-masing. Di sini saya akan mengkhususkan pembahasan kepada umat Islam saja.

Coba kita amati yang terjadi selama ini di kalangan umat Islam. Masih banyak yang tidak puas jika “Islam” itu tidak menjadi yang “terunggul” atas umat lain. Sehingga alih-alih giat melakukan kebaikan demi kebaikan sebagai perintah Tuhan, yang terjadi adalah main klaim sebagai “agama terbaik” atau “agama terunggul”. Jujur saya cukup sedih ketika mendengar ceramah sebagian ustadz yang tidak terlalu menganjurkan untuk berbuat baik demi kemanusiaan, akan tetapi lebih menitikberatkan kepada “kampanye untuk memeluk agama (baca : lembaga) Islam” dengan iming-iming masuk surga, dan ancaman neraka bagi yang tidak memeluk agama Islam versi ustadz tersebut.

Banyak pula yang berislam dengan iri dengki terhadap kebaikan yang dilakukan oleh golongan-golongan “di luar Islam”, sehingga perbuatan sebaik apa pun selama tidak “berlabel Islam” maka tidak akan diapresiasi bahkan menuai kecurigaan. Segala tradisi positif yang berada di luar “koridor Islam” akan secara sepihak dituduh “sesat dan menyesatkan” sebagaimana : yoga, reiki, hongshui-fengshui, adat Kejawen, spiritualisme, dsb. Ini belum termasuk kecurigaan berlebihan terhadap kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh umat-umat lain, sehingga muncul istilah : “Kristenisasi, Buddhanisasi, dsb”. Seolah-olah hanya umat Islam yang boleh berbuat kebaikan, sementara umat lain selalu dituduh memiliki ‘misi terselubung’.

Ini sungguh merupakan penyakit kronis yang memprihatinkan. Bagaimana mungkin hati kita terluka ketika melihat orang lain berbuat kebaikan? Bukankah seharusnya hati ini senang ketika semakin banyak orang berbuat kebaikan, terlepas dari latar belakang suku, agama, ras, dan golongannya masing-masing, sebagaimana disebutkan dalam QS 5:48 tadi?

Saya jadi teringat nasihat guru ngaji saya dulu, bahwa ciri-ciri ‘orang sakit’ adalah “senang ketika melihat orang lain menderita, dan menderita ketika melihat orang lain senang”.

Jauh lebih memprihatinkan lagi kalau “Pemberhalaan Agama” ini berkembang menjadi sebuah “gerakan penindasan” yang sistematik. Melarang umat lain membangun rumah ibadah dan beribadah, memaksakan ideologi agama di dalam kehidupan negara yang berbhineka tunggal ika (seperti kasus Lurah Susan di Lenteng Agung baru-baru ini), bahkan secara arogan mengkampanyekan slogan “Islam Will Dominate” yang konon diyakini bahwa “Agama Allah akan dimenangkan terhadap agama-agama lain”. Dengan demikian pergesekan dan pertikaian antar umat, bahkan pertumpahan darah adalah sah-sah saja, asalkan “Islam menjadi yang terbaik, terhebat, dan nomor satu.”

Seperti inikah Islam yang kita pahami? Seperti inikah Islam yang kita yakini? Seperti inikah Islam yang kita inginkan?

Tidakkah kita sadari bahwa segala arogansi yang mengatasnamakan Islam itu justru bertentangan dengan ajaran Islam yang damai dan universal? Catat perkataan saya : 
“Hanya Al Qur’anlah satu-satunya kitab suci yang secara eksplisit mendeklarasikan pengakuan terhadap keberagaman syariat (agama) dan anjuran untuk berlomba-lomba berbuat kebajikan!”

“ ... Untuk TIAP-TIAP UMAT di antara kamu, Kami berikan ATURAN dan JALAN yang TERANG. SEKIRANYA ALLAH MENGHENDAKI, niscaya kamu dijadikan-Nya SATU UMAT (saja), tetapi Allah hendak MENGUJI kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka BERLOMBA-LOMBALAH berbuat KEBAJIKAN ...” (QS Al Maidah [5] : 48)

Ketika agama menjadi berhala, maka petakalah yang akan terjadi. Manusia akan disibukkan untuk menegakkan “label-label agama” namun lalai dalam berbuat kebajikan. 

Mari, kita kembalikan agama sebagai “Jalan menuju Allah”, sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya :

“... Sesungguhnya kami adalah MILIK ALLAH dan kepada-Nya-lah kami KEMBALI .. ” (QS Al Baqarah [2] : 156)

Allahu’alam ...

Kamis, 13 Juni 2013

BENARKAH MURTADIN HARUS DIHUKUM MATI?

Sahabat JERNIH yang diberkahi oleh Allah ...

Ada suatu anggapan umum yang mempercayai bahwa Islam mengajarkan bahwa orang yang keluar dari agamanya (murtad) layak untuk dihukum mati. Itu bukan hanya teori, melainkan benar-benar terjadi bahkan di era modern seperti saat ini, di beberapa negara yang menerapkan ‘syariat Islam’ yang ketat seperti di Afghanistan, misalnya.

Anggapan ini membuat banyak Non-Mukmin memandang Islam sebagai agama mengerikan, yang mengekang kebebasan setiap manusia menentukan jalan hidupnya sendiri, dengan berbagai ancaman yang mengerikan. Sayang sekali, bahwa anggapan yang keliru ini ternyata juga cukup banyak diyakini oleh orang-orang yang mengaku dirinya ‘Muslim’.

Anda bisa googling di internet dan menjumpai beberapa website atau blog yang berbicara tentang keharusan hukuman mati bagi seorang yang murtad. Apakah mereka hanya sekedar omong kosong belaka? Tentu tidak. Mereka memiliki banyak sekali dalil yang bisa membenarkan pandangan mereka.

Di antaranya adalah dalil-dalil berikut :

Ikrimah berkata : “Beberapa orang Zindiq diringkus dan dihadapkan kepada Ali ra, lalu Ali membakar mereka. Kasus ini terdengar oleh Ibnu Abbas, sehingga ia berkata : Kalau aku, tak akan membakar mereka karena ada larangan Rasulullah saw yang bersabda: "Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah, " dan aku tetap akan membunuh mereka sesuai sabda Rasulullah saw : "Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah!" (HR Bukhari)

Mu’adz bin Jabal berkata : “Suatu kali Muadz mengunjungi Abu Musa, tak tahunya ada seorang laki-laki yang diikat. Muadz bertanya; "Siapa laki-laki ini sebenarnya? Abu Musa menjawab "Dia seorang Yahudi yang masuk Islam, kemudian murtad. Maka Muadz menjawab; "Kalau aku, sungguh akan kupenggal tengkuknya." (HR Bukhari)

Ibnu Taimiyah berkata : “ Murtad itu terbagi dua, yaitu murtad ringan, kalau dia bertaubat, maka hukuman mati menjadi gugur darinya. Yang kedua adalah murtad berat, dia tetap dihukum mati walaupun sudah bertaubat.” ( Shorim Maslul : 3/ 696 )

Ibn Qudamah berkata : “Para ulama telah bersepakat atas wajibnya membunuh orang murtad.” (Al Mughni 12/271).

Oh .. oh .. Tidakkah anda mencium sesuatu yang ‘Un-Islamic’ di sini?

Ya ... Anda yang jeli pasti bertanya : DI MANA AYAT-AYAT AL QUR’ANNYA?

Jika kita mengaku sebagai seorang Mukmin, tentunya kita memiliki sebuah kitab suci, “manual guide of life”, yaitu Al Qur’an. Sayang sekali, untuk kasus orang berpindah agama (keluar dari Islam), ternyata Al Qur’an tidak dijadikan panduan sama sekali.
Saya sudah sering mengatakan untuk berhati-hati dalam menggunakan Hadits ataupun pendapat para para ulama
Silakan saja, akan tetapi sekali lagi : KROSCEK pendapat-pendapat tersebut dengan Al Qur’an, agar anda tidak melenceng dalam beragama!

Bahkan dalam catatan hadits mana pun, sebenarnya tidak ada satu pun hadits yang meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad pernah membunuh orang-orang yang murtad. Hadits-hadist di atas merupakan perkataan (yang diduga dari) orang-orang dekat Nabi yang mengatakan bahwa Nabi mengajarkan demikian, bahwa orang murtad haruslah dihukum mati.

Mari sekarang kita telaah bersama, apa yang Al Qur’an katakan terhadap orang murtad!

Pertama-tama, mari kita baca sebuah ayat yang merupakan GOLDEN RULE terkait kebebasan orang dalam berkeyakinan :

QS Al Baqarah [2] : 256
“TIDAK ADA PAKSAAN DALAM BERAGAMA; SESUNGGUHNYA TELAH JELAS JALAN YANG BENAR DARIPADA JALAN YANG SESAT. Karena itu barangsiapa yang menolak kejahatan dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Al Qur’an : di banyak ayatnya telah menjelaskan berbagai tanda-tanda eksistensi dan keberadaan Allah Sang Pencipta, tentang kebaikan dan keburukan, tentang orang-orang yang berakal dan orang-orang yang enggan menggunakan akalnya; dengan demikian keyakinan akan menjadi pilihan setiap manusia. Allah sendiri mengatakan bahwa bukan hal yang sulit untuk menjadikan seluruh manusia di dunia menjadi orang-orang yang beriman, karena itu untuk apa memaksakan sebuah keimanan terhadap seseorang :

QS Yunus [10] : 99
“Dan JIKALAU TUHANMU MENGHENDAKI, TENTULAH BERIMAN SEMUA ORANG di muka bumi seluruhnya. Maka APAKAH KAMU (HENDAK) MEMAKSA manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?”

Sekarang mari kita telaah ayat-ayat yang berbicara tentang seseorang yang murtad, alias keluar dari agama Islam!

QS An Nisaa [4] : 137
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman KEMUDIAN kafir, KEMUDIAN beriman (lagi), KEMUDIAN kafir lagi, KEMUDIAN bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.”

QS Ali Imran [3] : 86
“Bagaimana Allah akan menunjuki suatu KAUM YANG KAFIR SESUDAH MEREKA BERIMAN, serta mereka TELAH MENGAKUI bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim.”

QS Ali Imran [3] : 72
“Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): "PERLIHATKANLAH (SEOLAH-OLAH) KAMU BERIMAN kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan INGKARILAH IA PADA AKHIRNYA, supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran)”

Perhatikan bahwa ayat-ayat tersebut berbicara tentang beberapa orang yang beriman, kemudian kafir, kemudian beriman, kemudian kafir, dst. JIKA memang benar Hukuman Mati bagi para murtadin itu benar-benar ada, maka TIDAK MUNGKIN ada orang-orang yang berlaku seperti itu, karena mereka akan LANGSUNG DIHUKUM MATI, begitu mereka melakukan kemurtadan untuk pertama kalinya!

Perhatikan juga QS An Nisaa (4): 88-91 yang mengajarkan kepada orang-orang beriman untuk mendahulukan perdamaian daripada pertumpahan darah, kepada orang-orang munafik (yang menyatakan diri beriman, kemudian kafir) jika orang-orang munafik itu menginginkan perdamaian pula!

Maka di sini jelas telah terbukti bahwa kepercayaan akan Hukuman Mati bagi para murtadin tidak mendapatkan dasar apa pun di dalam Al Qur’an. Pembunuhan atas nama agama atau keyakinan sebenarnya telah terjadi sepanjang sejarah kemanusiaan, kita tentunya juga paham pada masa abad pertengahan Gereja Eropa bisa dengan mudahnya menghilangkan nyawa seseorang dengan tuduhan “Heresy” alias “Bid’ah”.
Sayangnya, sebagian dari pengikut Nabi Muhammad pada waktu itu ikut larut dalam nuansa ‘kebengisan purba’, yang terus dilestarikan hingga kini oleh mereka-mereka yang mengklaim sebagai pengikut Nabi yang penuh welas asih tersebut.

Bahkan pengertian : Islam, Muslim, Mukmin, Kafir, dan Murtad itu sendiri tidak sesederhana berganti KTP, ritual, atau baju keyakinan, seperti cara pandang kebanyakan orang saat ini. Insya Allah akan saya bahas di lain kesempatan.

Kebebasan memilih keyakinan adalah sesuatu yang fundamental di dalam ajaran Islam yang BERBASIS Al Qur’an. Allah telah memberikan berbagai tanda-tanda di alam semesta yang dihamparkan-Nya, tinggal manusia yang memilih akan beriman atau menjadi kafir (terhadap keberadaan dan nikmat Allah), yang tentunya akan mengandung konsekuensi di Hari Penghakiman nanti!

“Dan katakanlah: ‘Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka BARANGSIAPA yang INGIN (beriman) HENDAKLAH ia BERIMAN, dan BARANGSIAPA yang INGIN (kafir) BIARLAH ia KAFIR (dengan konsekuensi yang ditanggung sendiri-sendiri)’......."

Allahu’alam ...

Semoga bermanfaat!

MENGKAJI SURAT AL-ASHR

QS Al Ashr [103] : 1-3
"Demi waktu! Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian! Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran."

Inilah salah satu surat yang cukup familiar di telinga umat Islam. Surat Al Ashr, meskipun sangat pendek, namun ternyata memiliki makna yang sangat dalam. Mari kita kaji!

Allah bersumpah atas nama waktu, bahwa pada dasarnya manusia itu hidup di dalam kerugian. Apa maksudnya? Kerugian berarti adalah manusia mengalami kesia-siaan dalam hakikat penciptaannya di dunia ini. Ia akan menjalani kehidupan yang gagal. Kegagalan itu bisa dirasakan di dunia maupun di akhirat nanti. Ia akan menjadi orang yang terbuang, yang hina, dan terputus dari rahmat Allah.

Agar manusia tidak mengalami kerugian, Allah telah memberikan petunjuk yang sederhana, namun dalam maknyanya. Pertama, ia harus beriman. Kedua, beramal saleh. Ketiga, saling mentaati kebenaran, dan Keempat saling menetapi kesabaran.

Apakah beriman itu? Beriman artinya adalah meyakini. Proses beriman itu apakah sekedar mengikuti tradisi orang tua kita, atau memang didapatkan melalui sebuah pencarian? Tentu saja iman akan kuat tak tergoyahkan ketika kita telah melalui proses pencarian terlebih dahulu, dengan memaksimalkan antara kombinasi hati dan pikiran.

Dimulai dengan menelaah petunjuk-petunjuk yang datang dari Allah melalui kitab-kitab suci. Mulai dari Taurat, Zabur, Injil, hingga disempurnakan dalam Al Qur'an. Ketika kita telah meyakini bahwa kitab-kitab tersebut telah memberi sebuah pencerahan dan petunjuk yang jelas kepada kita untuk mengarungi kehidupan ini, tentu kita akan yakin akan kebenaran para Nabi dan Rasul Allah, mulai dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Dengan meyakini kitab suci dan para Nabi dan Rasul, maka keyakinan itu akan membawa kita mencapai kesadaran akan keberadaan Allah Sang Pencipta alam semeta.

Keimanan harus berlanjut kepada amal saleh. Al Qur'an telah gamblang menjelaskan bagaimana kita harus beramal saleh. Yang jelas amalan saleh dalam Al Qur'an itu sama sekali tidak njlimet. Menyayangi sesama makhluk hidup, berbuat baik kepada siapa pun, menolong siapa saja yang membutuhkan, serta menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Sehingga ada dampak positif dari keberimanan kita.

Namun demikian, ternyata iman dan perilaku yang baik itu tidak cukup hanya untuk diri sendiri. Orang-orang beriman harus senantiasa mengembangkan sikap saling menasehati dan mengingatkan kepada sesama manusia akan kebaikan, dan mencegah kejahatan. Tentu dunia tidak akan menjadi lebih baik jika hanya anda saja yang baik hati, sementara sisanya adalah orang-orang jahat. Sampaikanlah pesan-pesan Allah itu semampu anda. Jika anda mahir berbicara langsung di depan orang, maka bicaralah dengan baik! Jika anda merasa malu dan hanya bisa berbicara di balik layar, maka anda bisa menasehati sesama manusia lewat media tulisan dan facebook ini misalnya. Anda pun bisa menasehati orang lain lewat contoh perilaku yang baik. Lakukan apa saja semampu anda, asal bisa efektif dan berdampak positif!

Yang terakhir adalah mengembangkan sikap sabar. Mari kita renungkan.. Semua perintah Allah itu adalah satu paket. Anda tetaplah orang yang merugi dalam perjalanan hidup anda, seberapa pun kuat iman anda, seberapa saleh pun anda, seberapa teguh anda memberi nasihat kepada sesama.. jika anda belum bisa bersabar! Kemarahan, kebencian, kekerasan, dan penindasan adalah akibat dari disingkirkannya kata "sabar" dalam kamus hidup anda. Maka dari itu, saya sungguh prihatin melihat kondisi umat Islam saat ini yang jauh dari kesabaran. Bahkan ilmu agama yang tinggi tidak menjamin seseorang bebas dari amarah yang berlebihan, saling caci mencaci, hujat menghujat, dan melakukan tindak anarki dengan alasan agama! Agama disenggol sedikit saja, bukannya dilawan dengan dialog yang baik, akan tetapi langsung direspon dengan aksi premanisme. Ini sungguh jauh dari apa yang diinginkan Allah kepada orang-orang beriman.

Maka dari itu, setelah anda memahami keempat syarat yang diberikan Allah agar manusia tidak merugi.. Pertanyaanya : kenapa Allah menggunakan kata "waktu" dan "kerugian"?

Ya.. Karena waktu terus berjalan. Detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun terus bergerak, dan kita tidak akan bisa kembali walau barang sedetik pun..

Ya.. Karena waktu adalah salah satu syarat utama terciptanya kehidupan, selain ruang. Karena keberadaan waktu lah, segala sesuatu menjadi semakin tua, semakin lemah, semakin usang, semakin lapuk, semakin rusak..

Ya.. Karena hidup kita ini ibarat menaiki kereta waktu.. Di mana rel waktu setiap orang akan berbeda panjang pendeknya. Bisa jadi yang muda lebih dulu mati daripada yang tua. Bisa jadi yang sehat lebih dulu mati daripada yang sakit. Maka jika kita tidak mengisi detik demi detik kehidupan kita dengan iman, amal salih, kebenaran, dan kesabaran.. Bagaimana jika tiba-tiba kereta waktu kita telah tiba di stasiun terakhir?

Pernahkan anda membayangkan kapan kereta anda akan berhenti di stasiun terakhir?

Apakah anda memiliki pengetahuan tentang itu?

Sudah siapkah anda?

Untung atau rugi?

Allahu'alam ..


Semoga bermanfaat!

Minggu, 12 Mei 2013

NASIHAT BAGI PARA MUALAF

Sahabat JERNIH yang dirahmati oleh Allah ...

Saya senang menghabiskan waktu senggang bersama teman-teman sejawat untuk duduk santai, ngobrol tentang hakikat kehidupan, membangun kehidupan yang damai, dan tentu saja berbicara tentang pencarian Tuhan. Biasanya saya mengarahkan pembicaraan pada hal-hal yang sederhana, yang universal dan bisa diterima semua pihak, dan sebisa mungkin tidak membawa-bawa dalil agama. Namun demikian, teman-teman saya menganggap bahwa saya ‘cukup mengerti’ tentang ilmu agama, sehingga saya pun seringkali menuruti kemauan mereka untuk sedikit demi sedikit membedah ajaran Islam, termasuk ayat-ayat Al Qur’an.

Saya memiliki banyak teman dari kalangan Non-Mukmin, dan kami pun bisa “get along” dalam bertukar pikiran dengan mereka. Alhamdulillah, beberapa di antara mereka akhirnya memutuskan untuk memeluk agama Islam setelah diskusi yang intensif (sebagiannya adalah warga asing).

Sebelum atau sesudah berikrar syahadat, biasanya mereka meminta nasihat pada saya, bagaimana sebaiknya mereka dalam menghadapi keluarga atau teman-teman yang memiliki keyakinan seperti keyakinannya yang lama.

Nasihat ini yang selalu saya berikan kepada mereka : “Tetaplah menjaga silaturahim dengan mereka, dan tunjukkan bahwa kamu saat ini adalah pribadi yang jauh lebih baik daripada sebelumnya.”

Ya .. sebagian mualaf terkadang kurang tepat dalam menyikapi hubungan dengan keluarga dan teman-temannya. Biasanya para mualaf adalah orang-orang yang mengalami kehampaan dalam keyakinannya yang lama, sehingga begitu ia menemukan cahaya di dalam Islam, mereka begitu gembira dan seringkali terjebak di dalam euforia, yaitu kegembiraan yang berlebihan.

Akibatnya, mereka memberitakan keimanannya yang baru itu dengan cara yang seringkali malah tidak simpatik. Misalkan saja mengatakan bahwa agamanya yang paling sempurna dan paling benar, sekaligus menjelek-jelekkan keyakinan lamanya. Meyakini agamanya paling sempurna dan benar itu baik, akan tetapi alangkah baiknya jika tidak digembar-gemborkan di media umum. Alangkah lebih simpatiknya jika kalimat “Saya memilih Islam karena Islam adalah agama paling sempurna dan terbaik”, digantikan dengan kalimat “Saya mememukan Tuhan, kebahagiaan, dan ketenangan batin di dalam agama Islam yang saya anut ini.” Tentunya kalimat terakhir tersebut akan tetap merupakan ‘promosi terbuka’ terhadap Islam, tanpa harus menyinggung perasaan umat lainnya.

Yang lebih menyedihkan lagi, apabila ada seorang mualaf yang terlalu bersemangat dan mencoba ‘meluruskan’ keimanan orangtua dan keluarganya, sehingga ujung-ujungnya bertengkar. Yang seharusnya ia lakukan adalah meyakinkan kepada orangtua dan keluarganya, bahwa ia tetaplah anak yang berbakti dan bagian dari anggota keluarga. Ia akan tetap mencintai orangtua dan saudara-saudaranya, tidak ada yang berubah, dan apa adanya.

Tidak perlu sekali-sekali menyentil ‘institusi keagamaan’, kecuali jika orangtua dan saudara anda sudah memiliki kematangan dalam berpikir. Dan tidak perlu pula untuk meributkan hal-hal yang tidak substansial, misalkan saja apabila ibu anda memasak makanan yang mengandung babi. Tidak perlu diributkan, ambil saja menu yang tidak ada babinya.

Dengan menjadi mualaf, malah justru harus dibuktikan bahwa ia sekarang menjadi seorang anak yang lebih penyayang dan berbakti kepada orangtuanya, dan tidak pernah lagi berkata-kata buruk kepada orangtuanya.

QS Al Ahqaf [46] : 15
Kami perintahkan kepada manusia supaya BERBUAT BAIK KEPADA KEDUA IBU BAPAKNYA, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk MENSYUKURI NIKMAT ENGKAU yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat BERBUAT AMAL SALEH yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk ORANG YANG BERSERAH DIRI (MUSLIM)."

QS Al Israa [17] : 23
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu BERBUAT BAIK KEPADA IBU BAPAKMU dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka JANGANLAH sekali-kali kamu MENGATAKAN ‘AH’ dan JANGANLAH kamu MEMBENTAK mereka dan UCAPKANLAH kepada mereka PERKATAAN YANG MULIA.”

Dalam hemat saya, tidak perlu pula seorang mualaf mengganti namanya menjadi “kearab-araban”. Gunakan saja nama pemberian orangtua kita, sebagai wujud rasa terima kasih kita kepada orangtua. Toh, Islami tidaknya seseorang tidak bergantung dari nama akan tetapi perbuatannya, bukan?

Jika sudah berbuat demikian namun tetap saja ‘dimusuhi’ oleh orangtua dan keluarga?

Ya, tetaplah bersikap lemah lembut, bersabar, dan memaafkan mereka, seperti yang telah difirmankan di dalam banyak ayat dalam Al Qur’an, di antaranya :

QS Asy Syuara [42] : 43
Tetapi orang yang BERSABAR dan MEMAAFKAN sesungguhnya yang demikian itu LEBIH DIUTAMAKAN.”

QS Ali Imran [3] : 159
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku LEMAH LEMBUT terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu MAAFKANLAH MEREKA, MOHONKANLAH AMPUN BAGI MEREKA, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad (untuk tetap memegang teguh keyakinan), maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”

Lalu bagaimana jika orangtua dan keluarga kita tetap tidak bisa menerima, dan bahkan melakukan hal-hal agresif seperti kekerasan secara fisik? Jawabannya ada pada teladan Ibrahim : Dengan tetap menjaga sikap lemah lembut dan sopan santun, maka tinggalkanlah mereka untuk sementara waktu.

QS At Taubah [9] :114
Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu mendurhakai Allah, maka Ibrahim BERLEPAS DIRI (meninggalkan) dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang SANGAT LEMBUT HATINYA LAGI PENYANTUN.

Maka demikian, bisa disimpulkan bagaimana para mualaf menyikapi orangtua dan keluarganya yang berbeda keyakina n :

- Tetaplah mencintai mereka apa adanya.

- Bersikaplah lebih baik kepada mereka dibandingkan sebelum memutuskan menjadi mualaf.

- Tidak perlu menyentil masalah institusi keagamaan, jika memang benar-benar tidak diperlukan.

- Bersikaplah sabar dan memaafkan jika situasinya sulit.

- Jika keadaannya sudah berbahaya untuk tetap menjalin hubungan, maka tinggalkan mereka untuk sementara waktu dengan tetap penuh penghormatan.

Maka orangtua manakah yang tidak tersentuh hatinya tatkala melihat anaknya yang menjadi pribadi yang menyenangkan, mententeramkan, santun, dan berbakti kepada orangtuanya, sebagai dampak dari keimanannya yang baru tersebut?

Lebih jauh lagi, secara umum seorang mualaf harus menunjukkan peningkatan kualitas diri dengan menunjukkan budi pekerti luhur ..

QS Al Qalam [68] : 4
Dan sesungguhnya kamu benar-benar BERBUDI PEKERTI LUHUR.”

.. menyeru setiap manusia dengan hikmah dan tauladan yang baik ..

QS An Nahl [16] : 125
SERULAH (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan HIKMAH dan SURI TAULADAN YANG BAIK dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

.. dan aktif menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan, sebagai bukti bahwa anda PANTAS disebut sebagai UMAT YANG TERBAIK!

QS Ali Imran [3] : 110
Kamu adalah UMAT TERBAIK yang dilahirkan untuk manusia, MENYERU KEPADA KEBAIKAN, dan MENCEGAH KEJAHATAN, dan BERIMAN KEPADA ALLAH ...”

Allahu’alam ...

Semoga bermanfaat!

Jumat, 12 April 2013

HAKIKAT BERSYAHADAT

Sahabat JERNIH yang (mudah-mudahan) diberkahi oleh Allah ...

Suatu hari dalam pembicaraan di telepon, sahabat saya bertanya : “Apa makna syahadat menurut kamu?”

Saya tidak langsung menjawab. Sahabat saya ini adalah salah satu wanita paling cerdas yang pernah saya kenal, tentunya ia tidak menghendaki jawaban standar : “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul Allah.”

Tapi sayangnya, saya tetap memberikan jawaban standar ala ‘ujian sekolahan’ itu. Dan saya merasakan bahwa ia agak kecewa atas jawaban saya itu.

Cukup lama saya merenungi pertanyaan sederhana yang ditanyakan sahabat saya itu. Tidak, ini tidak sesederhana itu. Ternyata “Hakikat Syahadat” jauh lebih kompleks ketimbang sekedar menyatakan “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul Allah”, secara lisan.

Saya akan mencoba menguraikannya, dan semoga sahabat saya yang kebetulan bergabung di grup JERNIH ini juga berkesempatan membacanya

Seperti sudah pernah saya katakan berkali-kali, bahwa masih banyak umat Islam yang memandang ajaran-ajaran Islam sebatas ‘mantera-mantera’ belaka. Salah satu kerancuan terbesar yang ada di kalangan umat Islam adalah menganggap bahwa dengan mengucapkan kalimat syahadat maka seseorang sudah resmi menjadi seorang “Muslim”.

Pertanyaanya : benarkah cukup mengucapkan “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul Allah”, maka seseorang sudah menjadi seorang “Muslim”? Dan apakah benar bahwa seseorang yang tidak pernah secara lisan mengucapkan kalimat syahadat maka ia bukanlah seorang “Muslim”?

Apakah benar ketika seseorang sudah mengucapkan kalimat syahadat maka otomatis ia sudah menjadi Muslim dan berhak atas surga, sementara orang lain yang tidak pernah mengucapkan kalimat syahadat maka akan menjadi calon penghuni neraka?

Jika anda masih beranggapan demikian, maka anda sedang mengerdilkan ajaran Islam, sekaligus merendahkan kebesaran Tuhan itu sendiri!

Menjadi seorang “Muslim” artinya adalah menjadi seorang yang berserah diri kepada Allah. “Berserah diri kepada Allah” tidak hanya ditentukan oleh sebuah ‘mantera’ yang diucapkan secara lisan, akan tetapi diwujudkan dalam setiap perilaku dan perbuatan yang berorientasi ibadah kepada Allah.

Menjadi seorang Muslim tidaklah semudah mengikrarkan janji setia untuk masuk parpol atau organisasi, atau mengucapkan jargon-jargon ala MLM.

“Tidak bertuhan kepada selain Allah” dan “Mengakui Muhammad sebagai Rasul Allah” tidaklah semudah mengucapkan dari bibir saja.

Sudahkah anda yang sudah bersyahadat dan bahkan setiap hari mengaku bersyahadat itu “Bertuhan hanya kepada Allah” saja?

Jika memang umat Islam ini hanya bertuhan kepada Allah, mengapa masih banyak yang bertuhan kepada kekuasaan, uang, kelompok dan golongan, bahkan bertuhan kepada angkara murkanya sendiri?

Tuhan melarang manusia untuk mengambil apa yang bukan menjadi hak miliknya, namun mengapa masih banyak ‘orang bersyahadat’ yang berani mengambil hak-hak anak yatim dan fakir miskin? Bukankah ini suatu bentuk bertuhan kepada uang?

Tuhan melarang manusia untuk memecah belah umat, namun mengapa masih banyak ‘orang bersyahadat’ yang merasa nyaman dengan keterpecahbelahan umat, dengan menganggap golongannya yang paling benar dan menyesatkan golongan yang lain, dan bahkan berani menentukan kavling surga dan neraka? Bukankah ini suatu bentuk bertuhan kepada kelompok dan golongannya masing-masing?

Tuhan melarang manusia untuk berbuat kerusakan dan menzalimi orang lain, namun mengapa masih banyak ‘orang bersyahadat’ yang senang memanjakan sifat angkara murkanya dengan merusak rumah-rumah ibadah kelompok atau umat lain dengan mengatasnamakan Tuhan itu sendiri? Bukankah ini suatu bentuk bertuhan kepada angkara murkanya sendiri?

Tuhan memerintahkan manusia untuk senantiasa bersikap jujur, namun mengapa masih banyak ‘orang bersyahadat’ yang berani berdusta demi meraih atau mempertahankan jabatan? Bukankah ini suatu bentuk bertuhan kepada kekuasaan?

Oh, sahabatku ... Ternyata komitmen “Tiada Tuhan selain Allah” itu tidak mudah ya

Lalu bagaimana dengan komitmen “Muhammad adalah Rasul Allah?”

Dalam hal apa Muhammad SAW dipandang sebagai “rasul” atau “utusan” Allah?

Sudah barang tentu jawabannya adalah “Muhammad sebagai utusan dalam menyampaikan risalah Tuhan”. Risalah apa itu?

Al Qur’an!

Namun ternyata masih banyak ‘orang bersyahadat’ yang gagal memahami bahwa tugas Rasulullah SAW adalah untuk menyampaikan Al Qur’an, sehingga dijadikanlah kitab-kitab yang seolah-olah merupakan ajaran Rasulullah sebagai ‘pesaing’ bagi Al Qur’an. Sehingga tidak heran bahwa perilaku umat yang mengaku ‘bersyahadat’ itu justru “bumi-langit” dengan apa yang diajarkan oleh Al Qur’an.

Misalkan saja Al Qur’an secara tegas mengatakan bahwa syafaat (keselamatan) itu hanyalah milik Allah semata (QS 39:44), namun ‘umat bersyahadat’ dengan bangganya selalu mengharap-harapkan syafaat Rasulullah SAW di setiap doa bersama.

Al Qur’an juga secara tegas mengatakan untuk berdakwah dengan cara yang paling baik dan jangan pernah merasa paling benar sendiri dan berani mengatakan orang lain sesat (QS 16:125), namun ‘umat bersyahadat’ seringkali terlihat berdakwah dengan penuh kemarahan dan berani mendorong kekerasan atas nama agama dengan alasan “orang-orang sesat haruslah diperangi”!

Al Qur’an juga mengajarkan untuk membina hubungan baik dengan umat beragama, dan mengembangkan sikap berlomba-lomba menuju kebaikan (QS 5:48), namun ‘umat bersyahadat’ ini ternyata lebih senang dengan isu-isu pengunggulan diri sendiri dan memupuk kebencian terhadap umat lain.

Masihkah anda meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW diutus Allah ke dunia ini untuk menyampaikan Al Qur’an, kitab yang tiada keraguan di dalamnya dan petunjuk bagi orang-orang beriman?

Mari kita pikirkan ulang, dengan hati dan pikiran yang jernih : “Sudahkah kita bersyahadat dengan sebenar-benarnya?”

Mari kita tanyakan kepada diri sendiri : “Apakah saya layak untuk disebut sebagai seorang Muslim?”

Bacalah .. bacalah .. dan renungkan dengan keberserahan diri kepada Sang Pencipta!

Semoga kita bisa kembali kepada hakikat syahadat yang sebenarnya, bukan sekedar ‘mantera’ atau formalitas belaka, sebagaimana yang telah kita lakukan pada saat kita masih berada di alam rahim :

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS Al A’raf [7] :172)

Syahadat adalah sebuah komitmen kebertuhanan yang tiada pernah berakhir ..

Karena “hakikat hidup” ini adalah “Syahadat” itu sendiri ..


Allahu’alam ..

Kamis, 20 Desember 2012

HIKMAH DI BALIK PERBEDAAN AGAMA (SYARIAT)

Mengapa Allah izinkan banyak terdapat 'agama' (baca : syariat)?

Bukankah dengan satu agama hukum Allah akan benar-benar dapat ditegakkan? Bukankah perbedaan agama membuat masing-masing umat bertengkar untuk sebuah klaim kebenaran?

Tidak usah jauh-jauh, di Indonesia ini terlihat bagaimana aroma persaingan umat Islam dan Nasrani untuk berebut umat. Seakan-akan agama kita ini seperti lomba 17-an, banyak-banyakan nangkap kodok untuk menjadi pemenang. Tidak heran jika persaingan ini secara tidak disadari menjadi komoditi dagang orang-orang yang memanfaatkan label agama. Banyak kita menjumpai bahwa dalam suatu pengajian atau kebaktian, umat yang satu mendiskreditkan umat lain, dan sebaliknya.

Seringkali kita sebagai Mukmin menaruh kecurigaan yang begitu besar, kepada kegiatan-kegiatan agama lain. Misalkan saja kebaktian atau pendirian gereja bagi umat Nasrani. Sehingga lahir istilah populer "Kristenisasi." Saya tidak menafikkan fakta bahwa memang ada gerakan penyebaran agama Kristen secara sistematis, akan tetapi saya lebih tertarik untuk mendiskusikannya dalam sudut pandang Islam, bagaimana kita menyikapi masalah Kristenisasi ini, atau gerakan agama mana pun, secara Islami.

Bagi umat Nasrani, memberitakan Injil itu memang suatu keharusan. Bisa dibaca pada kitab Injil Markus 16:15 "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk." Jadi dalam pandangan saya, amat wajar jika umat Nasrani merasa wajib untuk mengkristenkan orang yang belum menjadi Kristen. Biarlah mereka dengan apa yang mereka yakini, sehingga kita tidak perlu kebakaran jenggot jika ada pendirian gereja maupun kebaktian.

Nah, sekarang bagaimana dengan pandangan Islam? Benarkah Islam mengajarkan tentang kuantitas? Jika umat kita ini banyak, apalagi bisa mengislamlam orang dari umat lain (meskipun dengan cara memaksa) kita ini berarti sudah beragama Islam yang sebenar-benarnya?

Rasulullah pernah berkata, "Jumlah kalian pada saat itu banyak, tetapi kualitas kalian seperti buih ditengah lautan".

Ini adalah bentuk sindiran, bahwa kuantitas itu bukanlah yang diutamakan dalam berislam!

QS Al Baqarah [2] : 148
"Dan bagi TIAP-TIAP UMAT ADA KIBLATNYA (SENDIRI) yang ia menghadap kepadanya. Maka BERLOMBA-LOMBALAH (DALAM BERBUAT) KEBAJIKAN. Di mana saja kamu berada pasti ALLAH AKAN MENGUMPULKAN KAMU SEKALIAN (PADA HARI AKHIR). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."

QS Al Maidah [5]: 48
"Untuk TIAP-TIAP UMAT di antara kamu, KAMI BERIKAN ATURAN DAN JALAN. SEANDAINYA ALLAH MENGHENDAKI, NISCAYA DIA MENJADIKAN KAMU SATU UMAT, tetapi ALLAH HENDAK MENGUJI KAMU mengenai pemberian-Nya kepadamu, maka BERLOMBA-LOMBALAH BERBUAT KEBAJIKAN."

Sebuah hikmah yang sangat tegas dan gamblang telah diturunkan Allah kepada kita!

Allah menciptakan umat manusia dengan syariat masing-masing untuk berlomba-lomba berbuat kebajikan!

Tidak ada perintah Allah yang menyuruh umat manusia untuk rebutan banyak-banyakan umat! Akan tetapi amat disayangkan bahwa sebagian dari kita malah sangat disibukkan dengan urusan ini, dan melalaikan perintah untuk berbuat kebajikan. Kebajikan seperti apakah itu?

QS Al Baqarah [2] : 177
"BUKANLAH MENGHADAPKAN WAJAHMU KE ARAH TIMUR DAN BARAT ITU SUATU KEBAJIKAN, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa."

Jadi, daripada kita sibuk mencari-cari kesalahan dan cacat dalam agama lain, menyesat-nyesatkan dan mengkafir-kafirkan orang yang tidak sepaham, mengapa tidak kita dorong diri pribadi, keluarga, kelompok, masyarakat, bangsa, dan umat keseluruhan untuk menjadi insan yang mulia, yang bertakwa di sisi Allah?

Jika kita meyakini Islam sebagai agama terakhir yang disempurnakan, dengan seperangkat petunjuk sebagaimana disebutkan dalam (QS 2 : 2), maka seharusnya tidak ada keraguan dan penuh percaya diri bahwa kita akan menjadi insan terbaik dalam perlombaan kebajikan yang diselenggarakan oleh Allah.

Kalau begitu, apakah berarti kita tidak boleh berdakwah kepada umat lain? Tidakkah kita diperbolehkan untuk mencari calon-calon 'mualaf'? Ya siapa bilang tidak boleh? Boleh-boleh saja. Tapi jelas ada aturannya.

QS An Nahl [16] : 125
" SERULAH (manusia) kepada JALAN TUHAN-MU dengan HIKMAH dan PELAJARAN yang BAIK serta bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya TUHANMU Dialah yang LEBIH MENGETAHUI SIAPA YANG TERSESAT dari jalan-Nya dan Yang lebih mengetahui orang-orang yang MENDAPAT PETUNJUK "

QS Al Baqarah [2] : 256
"TIDAK ADA PAKSAAN DALAM BERAGAMA; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang menolak kejahatan dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

Berdakwahlah yang baik dan penuh kesabaran, tapi jangan sekali-kali memaksa! Ibarat kita mau memberi kue yang lezat, tapi kalau yang ditawari tidak mau jangan pernah dipaksa, toh kita juga tidak dirugikan sedikit pun!

Justru dengan keberadaan orang-orang Non-Mukmin, maka kita diberikan sarana untuk mempraktekkan ajaran toleransi yang luar biasa dalam Al Qur'an. Jika semua orang di dunia ini 'Mukmin' semua, satu pandangan, tidak ada yang tersesat, ... nah, mau dikemanakan ayat-ayat itu? Sia-sia bukan?

Kesimpulannya adalah: di balik Allah menciptakan umat dengan syariatnya sendiri-sendiri, Allah memerintahkan umat manusia untuk menjadi umat terbaik dengan pencapaian kebijakan yang terbaik. Allah sudah menurunkan Al Qur'an yang penuh hikmah, sudah tentu tidak perlu khawatir kita akan gagal dalam perlombaan ini, selama kita menjalankan perintah dalam Al Qur'an secara ikhlas dan benar.

Ketika umat kita telah menjadi pribadi-pribadi yang Qur'ani, maka kita bisa tersenyum ketika melihat ada gereja dibangun di lingkungan kita seraya berkata, "silakan saja anda bangun 1000 gereja di sini, tapi kami telah membekali anak cucu kami dengan iman yang kuat, yang insya Allah tidak akan tergoyahkan. Mari kita berkompetisi secara sehat untuk berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya di muka bumi ini."


Allahu'alam..