Sahabat JERNIH yang dirahmati oleh Allah ...
Saya senang menghabiskan waktu senggang bersama teman-teman sejawat
untuk duduk santai, ngobrol tentang hakikat kehidupan, membangun kehidupan yang
damai, dan tentu saja berbicara tentang pencarian Tuhan. Biasanya saya mengarahkan
pembicaraan pada hal-hal yang sederhana, yang universal dan bisa diterima semua
pihak, dan sebisa mungkin tidak membawa-bawa dalil agama. Namun demikian, teman-teman
saya menganggap bahwa saya ‘cukup mengerti’ tentang ilmu agama, sehingga saya pun
seringkali menuruti kemauan mereka untuk sedikit demi sedikit membedah ajaran Islam,
termasuk ayat-ayat Al Qur’an.
Saya memiliki banyak teman dari kalangan Non-Mukmin, dan kami pun bisa
“get along” dalam bertukar pikiran dengan mereka. Alhamdulillah, beberapa di antara
mereka akhirnya memutuskan untuk memeluk agama Islam setelah diskusi yang intensif
(sebagiannya adalah warga asing).
Sebelum atau sesudah berikrar syahadat, biasanya mereka meminta nasihat
pada saya, bagaimana sebaiknya mereka dalam menghadapi keluarga atau teman-teman
yang memiliki keyakinan seperti keyakinannya yang lama.
Nasihat ini yang selalu saya berikan kepada mereka : “Tetaplah menjaga
silaturahim dengan mereka, dan tunjukkan bahwa kamu saat ini adalah pribadi yang
jauh lebih baik daripada sebelumnya.”
Ya .. sebagian mualaf terkadang kurang tepat dalam menyikapi hubungan
dengan keluarga dan teman-temannya. Biasanya para mualaf adalah orang-orang yang
mengalami kehampaan dalam keyakinannya yang lama, sehingga begitu ia menemukan cahaya
di dalam Islam, mereka begitu gembira dan seringkali terjebak di dalam euforia,
yaitu kegembiraan yang berlebihan.
Akibatnya, mereka memberitakan keimanannya yang baru itu dengan cara
yang seringkali malah tidak simpatik. Misalkan saja mengatakan bahwa agamanya yang
paling sempurna dan paling benar, sekaligus menjelek-jelekkan keyakinan lamanya.
Meyakini agamanya paling sempurna dan benar itu baik, akan tetapi alangkah baiknya
jika tidak digembar-gemborkan di media umum. Alangkah lebih simpatiknya jika kalimat
“Saya memilih Islam karena Islam adalah agama paling sempurna dan terbaik”, digantikan
dengan kalimat “Saya mememukan Tuhan, kebahagiaan, dan ketenangan batin di dalam
agama Islam yang saya anut ini.” Tentunya kalimat terakhir tersebut akan tetap merupakan
‘promosi terbuka’ terhadap Islam, tanpa harus menyinggung perasaan umat lainnya.
Yang lebih menyedihkan lagi, apabila ada seorang mualaf yang terlalu
bersemangat dan mencoba ‘meluruskan’ keimanan orangtua dan keluarganya, sehingga
ujung-ujungnya bertengkar. Yang seharusnya ia lakukan adalah meyakinkan kepada orangtua
dan keluarganya, bahwa ia tetaplah anak yang berbakti dan bagian dari anggota keluarga.
Ia akan tetap mencintai orangtua dan saudara-saudaranya, tidak ada yang berubah,
dan apa adanya.
Tidak perlu sekali-sekali menyentil ‘institusi keagamaan’, kecuali
jika orangtua dan saudara anda sudah memiliki kematangan dalam berpikir. Dan tidak
perlu pula untuk meributkan hal-hal yang tidak substansial, misalkan saja apabila
ibu anda memasak makanan yang mengandung babi. Tidak perlu diributkan, ambil saja
menu yang tidak ada babinya.
Dengan menjadi mualaf, malah justru harus dibuktikan bahwa ia sekarang
menjadi seorang anak yang lebih penyayang dan berbakti kepada orangtuanya, dan tidak
pernah lagi berkata-kata buruk kepada orangtuanya.
QS Al Ahqaf [46] : 15
“Kami perintahkan kepada manusia supaya BERBUAT BAIK KEPADA KEDUA
IBU BAPAKNYA, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan
susah payah. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga
apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya
Tuhanku, tunjukilah aku untuk MENSYUKURI NIKMAT ENGKAU yang telah Engkau berikan
kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat BERBUAT AMAL SALEH yang Engkau
ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat
kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk ORANG YANG BERSERAH DIRI (MUSLIM)."
QS Al Israa [17] : 23
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
Dia dan hendaklah kamu BERBUAT BAIK KEPADA IBU BAPAKMU dengan sebaik-baiknya. Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka JANGANLAH sekali-kali kamu MENGATAKAN ‘AH’ dan JANGANLAH kamu MEMBENTAK mereka
dan UCAPKANLAH kepada mereka PERKATAAN YANG MULIA.”
Dalam hemat saya, tidak perlu pula seorang mualaf mengganti namanya
menjadi “kearab-araban”. Gunakan saja nama pemberian orangtua kita, sebagai wujud
rasa terima kasih kita kepada orangtua. Toh, Islami tidaknya seseorang tidak bergantung
dari nama akan tetapi perbuatannya, bukan?
Jika sudah berbuat demikian namun tetap saja ‘dimusuhi’ oleh orangtua
dan keluarga?
Ya, tetaplah bersikap lemah lembut, bersabar, dan memaafkan mereka,
seperti yang telah difirmankan di dalam banyak ayat dalam Al Qur’an, di antaranya
:
QS Asy Syuara [42] : 43
“ Tetapi orang yang BERSABAR
dan MEMAAFKAN sesungguhnya yang demikian itu LEBIH DIUTAMAKAN.”
QS Ali Imran [3] : 159
“ Maka disebabkan rahmat
dari Allah-lah kamu berlaku LEMAH LEMBUT terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena
itu MAAFKANLAH MEREKA, MOHONKANLAH AMPUN BAGI MEREKA, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad (untuk tetap
memegang teguh keyakinan), maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
Lalu bagaimana jika orangtua dan keluarga kita tetap tidak bisa menerima,
dan bahkan melakukan hal-hal agresif seperti kekerasan secara fisik? Jawabannya
ada pada teladan Ibrahim : Dengan tetap menjaga sikap lemah lembut dan sopan santun,
maka tinggalkanlah mereka untuk sementara waktu.
QS At Taubah [9] :114
“ Dan permintaan ampun
dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji
yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa
bapaknya itu mendurhakai Allah, maka Ibrahim BERLEPAS DIRI (meninggalkan) dari padanya.
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang SANGAT LEMBUT HATINYA LAGI PENYANTUN.“
Maka demikian, bisa disimpulkan bagaimana para mualaf menyikapi orangtua
dan keluarganya yang berbeda keyakina n :
- Tetaplah mencintai mereka apa adanya.
- Bersikaplah lebih baik kepada mereka dibandingkan sebelum memutuskan
menjadi mualaf.
- Tidak perlu menyentil masalah institusi keagamaan, jika memang benar-benar
tidak diperlukan.
- Bersikaplah sabar dan memaafkan jika situasinya sulit.
- Jika keadaannya sudah berbahaya untuk tetap menjalin hubungan, maka
tinggalkan mereka untuk sementara waktu dengan tetap penuh penghormatan.
Maka orangtua manakah yang tidak tersentuh hatinya tatkala melihat
anaknya yang menjadi pribadi yang menyenangkan, mententeramkan, santun, dan berbakti
kepada orangtuanya, sebagai dampak dari keimanannya yang baru tersebut?
Lebih jauh lagi, secara umum seorang mualaf harus menunjukkan peningkatan
kualitas diri dengan menunjukkan budi pekerti luhur ..
QS Al Qalam [68] : 4
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar BERBUDI PEKERTI LUHUR.”
.. menyeru setiap manusia dengan hikmah dan tauladan yang baik ..
QS An Nahl [16] : 125
“SERULAH (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan HIKMAH dan SURI
TAULADAN YANG BAIK dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
.. dan aktif menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan, sebagai
bukti bahwa anda PANTAS disebut sebagai UMAT YANG TERBAIK!
QS Ali Imran [3] : 110
“ Kamu adalah UMAT TERBAIK
yang dilahirkan untuk manusia, MENYERU KEPADA KEBAIKAN, dan MENCEGAH KEJAHATAN,
dan BERIMAN KEPADA ALLAH ...”
Allahu’alam ...
Semoga bermanfaat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar