Jumat, 31 Desember 2010

BAGAIMANA RUH, BAGAIMANA JIWA

Misteri jiwa dan ruh selalu menjadi perbincangan yang sangat menarik. Karena dengan memahami ruh dan jiwa, kita akan lebih mengenal diri sendiri. Sekaligus, bisa mengenal asal-usul kita. Dan mengantarkan untuk bertemu dengan Dzat yang menciptakan manusia.
 
Sayangnya, belum apa-apa sudah ada yang ’melarang’ untuk membahasnya. Terutama tentang ruh. Yakni mereka yang mengambil ayat Qur’an berikut ini sebagai landasannya.
 
QS. Al Israa’ (17): 85
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
 
Sebenarnya, kalau kita cermati ayat di atas, sama sekali tidak ada kata larangan itu. Yang ada cuma mengatakan bahwa ruh itu termasuk ’urusan tuhan’. Kalimat ini bukan ’kata perintah’ untuk tidak boleh melakukan. Maksimal cuma mengingatkan dan memberikan stressing tentang rumitnya masalah ruh. Dan kemudian, ini sesuai dengan penjelasan dalam kalimat berikutnya, bahwa manusia diberi ilmu tentang ruh ini cuma sedikit. Dan memang kemudian terbukti, ilmu tentang ruh tidak cukup berkembang dalam peradaban manusia. Tetapi, sekali lagi, Allah tidak melarang kita untuk membicarakannya...
 
Berbeda dengan jiwa. Ketika berbicara tentang jiwa, Allah justru mendorong kita agar memikirkan dan belajar tentangnya. Karena di dalam ilmu jiwa ini ada hikmah yang sangat berharga buat kehidupan manusia.
 
QS. Az Zumar (39): 42
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan jiwa yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.
 
Karena itu, ilmu tentang jiwa berkembang pesat. Sangat jauh kalau dibandingkan dengan ilmu tentang ruh. Dulu ilmu jiwa disebut sebagai Psikiatri, yang membahas secara global fenomena jiwa manusia. Namun, karena semakin kompleks, lantas dipecah menjadi dua, yakni psikiatri dan ilmu saraf. Yang pertama mengurusi fungsi jiwa secara abstrak, sedangkan yang kedua mengurusi jiwa terkait dengan struktur saraf manusia. Keduanya berada dalam wilayah ilmu kedokteran jiwa.
 
Lebih lanjut, berkembang menjadi psikologi, yang berbicara tentang potensi jiwa di luar bidang kedokteran. Kemudian muncul psiko-neuro-imunologi yang mengaitkan kemampuan daya tahan tubuh manusia dengan kualitas kejiwaannya. Ada pula psycho-cybernetics yang membahas tentang rahasia alam bawah sadar. Dan, akhir-akhir ini ngetrend ilmu baru yang disebut sebagai psikotronika, yang mengulas tentang kekuatan pikiran secara mekatronika.
 
Ringkas kata, benar sinyalemen al Qur’an bahwa ilmu tentang jiwa akan berkembang terus seiring dengan peradaban manusia. Sedangkan ilmu tentang ruh hampir-hampir jalan di tempat. Pembahasan tentang keduanya, dengan segala keterbatasannya, akan mengantarkan kita kepada lorong misteri panjang yang berujung pada kekuasaan Allah.
 
Meskipun tidak persis, saya sering menganalogikan struktur diri manusia dengan komputer. Yakni, manusia memiliki badan, jiwa dan ruh yang bisa digambarkan seperti hardware, software, dan sumber listrik yang menghidupinya. Badan manusia seperti hardware alias ’perangkat keras’ komputer saja layaknya. Terbuat dari material pilihan, yang dibentuk menjadi sirkuit-sirkuit canggih sebagai ’body’ dengan kualitas tertentu.
 
Manusia juga demikian. Bahan dasar tubuhnya dipilihkan Allah dari puluhan unsur yang ada di dalam tanah bumi, kemudian disusun menjadi tubuh manusia yang sangat canggih. Ada tulangnya, ada ototnya, ada daging, darah, saraf, jantung dan berbagai organ dalam, serta otak dan susunan saraf, yang menjadi ’mother-board’ dengan ’IC’ dan segala ’komponen elektroniknya’. Ini kelak akan sangat berpengaruh bagi terciptanya kualitas seorang manusia lebih lanjut. Jika kualitas badannya sudah tidak baik, maka sangat boleh jadi performanya pun kurang maksimal.
 
’Lapisan’ kedua adalah jiwa, yang dalam komputer dianalogikan sebagai software alias perangkat lunak. Kalau mother-board dan berbagai komponennya sudah memadai, maka software yang dimasukan ke dalamnya pun bisa bagus. Sebaliknya jika ’terlalu bagus’ software-nya, komputer itu pun bakalan hang. Mogok. Nah, jiwa adalah software. Mulai dari operating system sampai program-program aplikasinya.
 
Semakin tinggi spesifikasi teknis komputer itu, dan semakin bagus program-program yang digunakannya, maka semakin hebat pula performa si komputer. Sebaliknya, semakin rendah spec-nya, semakin rendah pula kualitas programnya, dan semakin rendah pula kemampuan komputer.
 
Yang menarik, pada manusia, pembentukan dan penyempurnaan perangkat keras dengan perangkat lunaknya terjadi secara bersamaan. Yakni, ketika berada di dalam kandungan sang ibu. Disanalah Allah menciptakan ’rangkaian dasar’ tubuh manusia sekaligus ’memrogram’ isinya dengan operating system yang terbuka untuk pengembangan kualitas lebih lanjut.
 
Sedangkan ’program-program aplikasi’ bisa dimasukkan seiring dengan pertumbuhan bayi di dalam rahim sampai saat ia telah terlahir ke dunia. Bahkan sampai dewasa kelak. Atau, sampai menjelang kematiannya. Maka, selain badan yang terus disempurnakan, Allah pun terus menerus menyempurnakan kualitas jiwa seseorang.
 
QS. Asy Syams (91): 7-10
Demi jiwa serta proses penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan (memasukkan software) kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
 
Siapa saja yang memasukkan sifat-sifat baik ke dalam jiwanya, maka ia sedang memasukkan program-program aplikasi yang akan meningkatkan performa komputer. Sebaliknya, yang memasukkan sifat-sifat jelek, sama saja dengan memasukkan virus-virus akan akan membuat hang komputernya. Bahkan bisa sampai merusak hard-disk segala jika tidak segera diatasi.
 
Nah, sifat-sifat jelek tidak akan merugikan selain kepada diri kita sendiri. Bahkan terbukti bisa merusak kualitas otak seseorang jika sudah terjadi secara kronis dan akut. Kebohongan, kebencian, iri, dengki, dendam, sombong, serakah, dan berbagai sifat jahat yang dilarang Allah, hanya akan memunculkan kerusakan sistem saraf kita sendiri. Persis seperti cara kerja virus-virus komputer.
 
Sebaliknya, ketulusan, kesabaran, kerendah-hatian, kasih sayang, dan berbagai sifat baik yang dicontohkan Rasulullah akan menguatkan dan mengoptimalkan sistem kerja saraf dan kejiwaan kita. Dan ujung-ujungnya, akan menyebar ke seluruh tubuh kita sehingga menjadi sehat lahir dan batin.
 
Pusat jiwa ada di balik otak. Jika otak dengan segala susunan sarafnya rusak, maka jiwa pun akan mengalami kerusakan. Orang gila, hilang ingatan, idiot, alzhemeir, sadistis, dan berbagai gangguan kejiwaan, ternyata menunjukkan adanya kelainan pada susunan dan sistem kerja sarafnya. Sebaliknya, orang yang mengalami kerusakan pada sistem sarafnya, dipastikan juga akan mengalami gangguan fungsi jiwanya. Ya, kita telah memperoleh sinyal sangat kuat, bahwa jiwa bersemayam di balik otak.
 
Karena itu, perbaikan kualitas jiwa seiring dengan perbaikan kualitas otak. Bukan hanya otak dalam arti logika, memori, rasionalitas, dan analisa. Melainkan juga dalam arti emosional dan spiritual. Otak adalah organ yang secara utuh mewakili kualitas jiwa seseorang yang tergambar dalam sistem limbiknya. Karena itu, meskipun kedokteran masa depan sedemikian maju, sehingga bisa melakukan transplantasi ginjal, liver, sampai jantung sekalipun, para ahli ini tidak akan melakukan transplantasi otak. Karena, jika sampai terjadi transplantasi otak, seluruh kepribadian orang itu akan berganti menjadi orang lain sama sekali..!
 
Jika jiwa berada di balik otak, dimanakah sang ruh berada? Ruh adalah aktor yang berada di balik hidup-tidaknya seorang manusia. Mirip dengan listrik yang menghidupi komputer. Dimana pun Anda colokkan kabel listrik komputer Anda, maka komputer itu bisa hidup. Tentu saja asal spec listriknya sesuai. Komputer saya, komputer Anda, dan komputer kawan-kawan kita semua membutuhkan listrik yang sama.
 
Yang membedakan hanyalah perangkat keras dan perangkat lunaknya. Demikian pula ruh kita, adalah sama. Ialah sifat-sifat Ketuhanan yang sudah melingkupi seluruh alam semesta. Mulai dari yang kita anggap ’benda-benda mati’, tumbuhan, binatang, malaikat, jin, sampai manusia. Semuanya berada di dalam Dzat yang Maha Hidup. Tinggal seberapa tinggi kualitas badan dan jiwa yang akan tersambung kepada Ruh Kehidupan, itulah yang akan menentukan seberapa tinggi kualitas ’kehidupan’ yang melingkupinya.
 
Dari semua makhluk, yang tertinggi adalah manusia. Karena itu, manusialah yang disebut mendapat tiupan ’sebagian’ ruh-Nya secara sempurna. Sedangkan yang lain, memperoleh dalam skala yang lebih rendah. Dalam sudut pandang ini, ternyata tidak ada makhluk mati di alam semesta ini. Yang ada cuma perbedaan kualitas kehidupannya belaka...
 
Maka, dimanakah ruh ilahiah itu bersemayam di dalam diri kita? Tentu saja bersemayam di seluruh penjuru tubuh kita. Mulai dari rambut sampai ujung kuku jari kaki. Mulai dari sel-sel sebagai unit terkecil kehidupan sampai pada jaringan sel, organ dan tubuh secara keseluruhan. Karena itu, rambut kita hidup, mata kita hidup, mulut kita hidup, seluruh organ, jaringan dan sel-sel, semuanya hidup. Itu karena dilingkupi oleh sifat Maha Hidup Allah yang telah ditularkan lewat sebagian ruh-Nya yang telah ditiupkan ke dalam diri kita. Dan akan mati, ketika sudah ditinggal oleh ruh yang menghidupinya. Ini mirip dengan komputer yang kehabisan listrik karena colokannya dicabut, atau baterainya telah drop.
 
Saat kematian datang, tubuh manusia mengalami kehancuran secara dramatis. Triliunan sel-selnya rusak secara bertahap dengan sangat cepat hanya dalam kurun waktu sekitar 6 jam. Dan mulai membusuk. Organ-organ dalamnya membusuk, jaringan sel-selnya membusuk, otaknya membusuk, dan darah yang membeku di dalam tubuh itu pun membusuk. Kecuali beberapa bagian, seperti tulang, gigi dan rambut. Kehidupan telah meninggalkan jasadnya, karena sang ruh telah terpisah dari badannya.
 
Kemanakah sang jiwa? Sang jiwa terlepas pula dari badan yang sudah membusuk itu. Istilah QS. Az-Zumar (39): 42 diatas: jiwanya ’ditahan’ oleh Allah. Seperti sebuah video player yang di-pause. Berbeda dengan orang yang tidur: jiwanya akan dikembalikan lagi. Ibarat video, telah di-play kembali.
 
Nah, ketika di-pause itu apa yang terjadi dengan jiwa? Sang jiwa tidak rusak, karena yang rusak memang hanya badannya. Perangkat keras alias hardware-nya saja. Sedangkan perangkat lunak alias software-nya, tidak. Hanya, tidak bisa teraplikasi disebabkan badan sebagai perangkat kerasnya tidak berfungsi lagi. Jadi, si software itu masih hidup di alamnya sendiri, yakni di alam software. Kenapa ia masih hidup? Karena sang software itu terlepas dari badan bersamaan dengan ruh, sebagai sumber kehidupan.
 
Tidak mudah memang membayangkan bagaimana ada software masih ‘hidup’ ketika dia tidak teraplikasi di dalam hardware. Tetapi, bagi yang tidak asing dengan dunia energi tentu lebih bisa membayangkan bahwa ada ‘segumpal energi’ yang bisa bergerak dan berdinamika kesana kemari meskipun tidak ‘menumpang’ pada sosok materi. Karena, selain merambat secara konduksi dan konveksi, energi juga bisa merambat secara radiasi tanpa membutuhkan perantara. Inilah yang dalam ilmu kedokteran jiwa dikenal sebagai Bioplasma alias badan halus.
 
Begitulah kira-kira pemahamannya, ketika Allah mengatakan dalam Firman-Nya bahwa manusia yang sudah mati ternyata jiwanya masih hidup.
 
QS. Al Baqarah (2): 154
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; sebenarnyalah mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.
 
Mereka hidup di dunia energi dan informasi, bukan di dunia materi yang kasat mata. Karena itu, segala aktifitas mereka adalah aktifitas-aktifitas yang bersifat energial dan informasi belaka. Diantaranya, kepada mereka ditunjukkan informasi masa depan mereka sendiri ketika kelak berada di alam akhirat. Yakni, azab neraka bagi orang-orang yang banyak berbuat jahat...
 
QS. Al Mukmim (40): 46
Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat (dikatakan kepada malaikat): "Masukkanlah Fir`aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras".
 
Kelak, di hari kebangkitan, sang bioplasma yang hidup bersama ruhnya itu akan dikembalikan lagi ke badan yang telah diutuhkan kembali oleh sang Pencipta. Maka, manusia akan hidup kembali seperti sediakala. Dirinya tersusun kembali dari badan, jiwa dan ruh. Dan kemudian akan memperoleh balasan sesuai amalan masing-masing dalam kehidupannya di alam akhirat...
 
QS. Yunus (10): 4
Hanya kepadaNyalah kamu semuanya akan kembali; sebagai janji yang benar dari Allah, sesungguhnya Allah menciptakan makhluk pada permulaannya kemudian mengulanginya kembali (di hari berbangkit), agar Dia memberi balasan kepada orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan amal saleh dengan adil. Dan untuk orang-orang kafir disediakan minuman air yang panas serta azab yang pedih disebabkan oleh kekafiran mereka.
 
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~
 
 
oleh Agus Mustofa pada 30 Desember 2010 pukul 16:16
 

Selasa, 28 Desember 2010

MENYAKSIKAN SAAT-SAAT PENCIPTAAN MANUSIA

Kapankah penciptaan manusia di dalam rahim seorang ibu mulai berlangsung? Ternyata, peristiwa dahsyat itu dimulai saat sel spermatozoa sang ayah bertemu dengan sel telur sang ibu di dalam sebuah lorong gelap saluran tuba falopii. Saluran yang ada di kanan kiri perut bagian bawah seorang ibu itu adalah sebuah kanal yang menghubungkan ’sarang telur’ yang disebut ovarium dengan ’rahim’, dimana cikal bakal manusia akan ’ditumbuhkan’ oleh Sang Pencipta.

Pertemuan sel telur dengan spermatozoa merupakan sebuah drama yang sangat mengagumkan. Sebuah peristiwa yang menjadi permulaan drama panjang kehidupan seorang manusia di muka Bumi. Sebuah peristiwa multikompleks dimana sebagian takdir seorang manusia ditetapkan oleh Sang Pencipta dalam bentuk qadar. Misalnya, jenis kelaminnya, kekuatan organ-organ tubuhnya, jenis rambut dan kulitnya, warna bola matanya, bakat-bakatnya, dan sebagainya. Selebihnya, Allah memberikan sebagian sifat ’Maha Berkehendak-Nya’ kepada sang manusia untuk mengusahakan sendiri takdirnya di alam dunia.

Pra-penciptaan manusia itu dimulai dengan lepasnya spermatozoa sang ayah dari ’sarangnya’ untuk dipertemukan dengan ovum sang ibu yang juga terlepas dari ’sarangnya’. Agar bisa bertemu dengan sel telur, jutaan spermatozoa dari seorang ayah harus menempuh perjalanan panjang sekitar 10 jam. Mulai dari bagian paling luar organ reproduksi wanita, sampai di jarak sepertiga dari sarang telur sang ibu. Kira-kira, setara dengan perjalanan naik mobil dari Surabaya ke Jakarta.

Jika jutaan spermatozoa itu ’kecapaian’ dan tidak bisa mencapai posisi sel telur ibu, maka kandaslah proses penciptaan manusia itu. Misalnya, karena daya vitalitasnya memang rendah. Atau dihalangi oleh alat kontrasepsi. Atau, barangkali ’tersesat’ karena ada kelainan struktur organ sang ibu.

Dalam keadaan normal, sel spermatozoa yang berjumlah jutaan dan berbentuk kayak kecebong kecil dengan ekor yang bergetar-getar itu seperti punya radar untuk menuju ke sarang telur sang ibu. Tidak tersesat. Meskipun sebagiannya boleh jadi ’gugur’ di tengah jalan. Bagi yang bisa melintasi ruangan rahim, mereka akan terus melaju memasuki lorong gelap tuba falopii, dan kemudian terjadi pertemuan bersejarah yang meleburkan spermatozoa dan sel telur disana. Walaupun jumlahnya jutaan, yang berhasil membuahi sel telur biasanya hanya satu saja. Kecuali, terjadi proses anomali sehingga terbentuk pembelahan sel kembar dikarenakan ada sejumlah sel bibit ayah yang berhasil menerobos masuk ke dalam sel telur.

Sejak pertemuan itulah proses penciptaan manusia berlangsung, dengan pentahapan yang sangat dramatis. Dari satu telur induk hasil leburan itu, lantas membelah menjadi dua, menjadi empat, delapan, enam belas, tiga puluh dua, dan seterusnya, sampai bertiliun-triliun, hanya dalam waktu sekitar 9 bulan saja.

Yang aneh, sambil membelah menjadi triliunan sel, setiap sel yang sebenarnya identik itu seperti ada yang mengomando untuk menjadi sel-sel yang berbeda posisi dan karakter. Ada yang menjadi sel darah, sel tulang, sel daging, sel jantung, sel hati, sel usus, sel liver, ginjal, paru, mata, otak, kulit, kelenjar-kelenjar, dan seterusnya, dan sebagainya, sampai mencapai sekitar 200 jenis sel dalam tubuh manusia dewasa. Bisakah Anda bayangkan jika sel-sel itu salah menerjemahkan perintah? Misalnya, mestinya membentuk sel jantung, keliru menjadi sel mata atau sel kulit atau sel tulang. Tentu akan menjadi masalah besar bagi sang janin.

Mereka lantas berkelompok-kelompok membentuk jaringan sel yang saling berkoordinasi. Dimulai dari sejumlah sel yang berkoordinasi membentuk sel-sel embrionik, yang menjadi cikal bakal bayi. Proses ini berlangsung selama beberapa hari pertama, sel induk yang melebur di dalam saluran falopii itu pun membelah sambil bergerak turun menuju rahim. Sesampai di rahim, ia mencari tempat menempel di dinding ruang pembiakan itu. Dan kemudian melekat sambil mengeluarkan ‘akar-akar’ yang menancap di dinding rahim, agar ia bisa menyerap sari-sari makanan untuk tumbuh dan berkembang.

Fase ini oleh al Qur’an disebut sebagai ‘Alaqah’ alias ‘yang menempel’ atau ’melekat’ di dinding rahim. Ada yang menyebut ini sebagai segumpal darah. Sebenarnya itu terjemahan yang kurang tepat. Karena, ‘alaqah memang berbeda dengan sel-sel darah. Meskipun secara mata awam mirip dengan darah yang menggumpal. Seperti terlihat pada ibu yang sedang mengalami keguguran.

’Alaqah adalah kumpulan sel-sel ’primitif’ yang dikenal sebagai sel embrionik alias stem sel. Dari sel-sel embrionik inilah kemudian tubuh calon manusia itu terbentuk menjadi lebih spesifik. Yakni, membentuk gumpalan daging yang kelak akan berkembang menjadi kulit bagian luar, bagian dalam, dan sejumlah organ dalam.

Setelah itu, bermunculanlah tulang-tulang rawan di dalam gumpalan daging itu. Dalam waktu yang bersamaan, gumpalan daging dan tulang belulang itu memanjang ke arah atas dan bawah, sehingga membentuk kepala, tubuh, kaki, dan tangan. Sementara di bagian dalamnya terus membentuk organ-organ dalam yang semakin kompleks. Dan tulang belulang yang semakin mengeras itu pun dibungkus dengan otot-otot sebagai penggeraknya. Akhirnya, terbentuklah tubuh manusia dengan sangat menakjubkan.

QS. Al Mukminun (23): 12-14
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani dalam tempat yang kokoh. Kemudian air mani itu Kami jadikan alaqoh, lalu alaqoh itu Kami jadikan gumpalan daging dan (di dalam) gumpalan daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging (otot-otot). Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.

Ayat diatas bercerita tentang proses penciptaan manusia dimana bahan-bahan dasar tubuh manusia disarikan dari zat-zat organik dalam tanah. Tetumbuhanlah yang ’bertugas’ menyerap saripati tanah itu, lantas diubah menjadi buah, daun, biji-bijian, dan umbi yang dimakan manusia. Kemudian, sebagiannya dicerna dan diproses menjadi sperma pada laki-laki dan sel telur pada perempuan, yang disimpan di dalam sarang yang aman. Setelah itu, prosesnya mengikuti tahapan-tahapan di atas, sampai terbentuk makhluk bernama manusia yang sama sekali berbeda dengan bahan-bahan dasarnya itu.

Allah menyebut manusia sebagai makhluk yang memiliki bentuk sebaik-baiknya. Di dalamnya ada jiwa yang disempurnakan. Dan, kepadanya ditiupkan ruh saat penciptaanya. Kapankah jiwa dan ruh itu terbentuk? Apakah bersamaan dengan badan yang diciptakan secara bertahap sebagaimana diceritakan diatas? Ataukah sebelum ada badan sudah ada jiwa dan ruh? Dan konon mereka sudah bersyahadat? Siapakah yang bersyahadat itu dan kapan? Kenapa kita tidak ingat?

Kita bisa menelusurinya lewat proses penciptaan itu di data-data kedokteran, sekaligus melakukan cross-check secara Qur’ani.

1). Bahwa permulaan kehidupan manusia adalah saat bertemunya spermatozoa dengan ovum. Masa sebelum itu, manusia disebut sebagai belum berbentuk apa-apa. Badannya belum terbentuk, jiwanya belum terbentuk, ruh-Nya belum ditiupkan. Menurut istilah ayat di bawah ini, saat itu manusia berbentuk makhluk yang ’belum bisa disebut’. Barulah setelah itu, Allah bercerita bahwa manusia diciptakan dengan cara mencampurkan air mani (dari laki-laki dan perempuan).

QS. Al Insaan (76): 1-2
Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang bisa disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.

2). Data kedokteran menunjukkan bahwa kehidupan janin sudah dimulai pada hari pertama, sejak bertemunya bibit ayah dan ibu. Sejak itu pula embrio manusia sudah bertumbuh menunjukkan kehidupan. Ada yang tumbuh sempurna, ada pula yang tumbuh tidak sempurna. Tetapi, sudah hidup. Karena itu, bisa bertumbuh. Sehingga kalau digugurkan, itu sudah berarti membunuh cikal bakal manusia. Berapa pun umur kandungannya.

Jangankan 4 bulan alias 120 hari, pada usia kandungan 60 hari saja janin sudah memiliki organ lengkap, mulai dari kepala, badan, tangan, hingga kaki. Ukurannya memang masih 2,5 cm tetapi sudah hidup dan bergerak. Usia kehamilan berikutnya, hanya tinggal menyempurnakan belaka. Tulang belulangnya dipanjangkan dan disempurnakan. Organ-organ dalamnya dibesarkan dan disempurnakan. Otaknya disempurnakan. Panca inderanya disempurnakan, dan seterusnya. Tetapi, pendengaran dan penglihatannya sudah mulai terbentuk, bahkan pada usia kehamilan sekitar 40-an hari. Demikian pula jenis kelaminnya sudah terdeteksi pada usia kehamilan 40-an hari.

Betapa salah kaprahnya dokter yang berani menggugurkan kehamilan pada usia kehamilan diatas itu, tanpa alasan yang benar..! Bahkah, ketika saya diundang dalam sebuah forum ilmiah di Fakultas Kedokteran Unair Surabaya tentang ini, saya mengatakan, janin itu sebenarnya sudah hidup sejak saat awal terbentuknya stem sel alias sel induk, di hari pertama. Dan ternyata, sejumlah guru besar yang hadir menyatakan sependapat.

3). Sebagian Ruh Allah telah ditiupkan ke embrio yang menjadi cikal bakal manusia sejak hari pertama. Dan karena itu, sang embrio menjadi hidup, dan terus berkembang menjadi makhluk yang lebih sempurna. Apakah ruh sudah ada sebelum embrio terbentuk? Tentu saja, karena ruh adalah ’sebagian’ dari eksistensi ilahiah. Ruh bukan diciptakan, melainkan ’ditiupkan’ alias ’ditularkan’ belaka. Dan ruh setiap manusia adalah sama. Ruh yang ada di dalam diri saya dan diri Anda adalah sama, yakni sifat-sifat ketuhanan yang ditularkan kepada manusia, sehingga ia menjadi hidup, berkehendak, melihat, mendengar, berkata-kata, dan seterusnya. Semua itu tertulari oleh sifat Allah yang Maha Hidup, Maha Berkehendak, Maha mendengar, Maha Melihat, Maha Berkata-kata, dan seterusnya.

4). Yang berbeda pada setiap manusia bukanlah ruh, melainkan jiwa. Dalam al Qur’an disebut sebagai nafs (tunggal) atau anfus (jamak). Nah, jiwa ini diciptakan oleh-Nya bersamaan dengan badan. Dan menyempurna seiring dengan menyempurnanya badan. Khususnya otak. Semakin sempurna fungsi otaknya, semakin sempurna pula fungsi jiwanya. Sebaliknya, semakin tidak sempurna otaknya, semakin tidak sempurna pula jiwanya. Dan jiwa inilah yang bersyahadat pada saat awal proses penciptaan. Sebagaimana ayat berikut ini.

QS. Al A’raaf (7): 172
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari tulang belakang mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa (anfus) mereka: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul, kami bersaksi". (Yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lalai terhadap ini."

Lantas kenapa kita tidak ingat bahwa kita sudah bersaksi? Tentu saja, karena ingatan manusia belum terbentuk waktu itu. Karena otak juga belum terbentuk. Sehingga, memori atas syahadat kita itu tidak terekam di dalam ingatan otak melainkan terekam di dalam genetika kita. Bukankah waktu itu yang ada hanya sebuah sel hasil peleburan spermatozoa dan ovum? Dan di dalam sel induk yang sudah ditiupi ruh itu baru ada jiwa yang sangat primitif yang belum punya perangkat memori seperti jiwa yang sudah sempurna.

Maka seiring dengan berkembangnya tubuh janin, berkembang pula jiwa kemanusiaan yang semakin menyempurna. Syahadat dari jiwa yang primitif itu pun menyebar ke seantero tubuh dan jiwa yang kian mendewasa. Meskipun kita ’tidak ingat’ lagi tetang syahadat kita ’dengan otak’, tetapi kita bisa ’merasakan’ dalam seluruh tubuh dan jiwa secara instinktif. Bahwa di dalam diri dan diluar diri kita ini sebenarnya ada ’Sebuah Kekuatan’ Maha Besar yang sudah inheren dalam kehidupan. Dialah yang menciptakan alam semesta beserta isinya, termasuk manusia di dalamnya.

Kenapa bisa demikian? Karena memang itulah fitrah manusia, makhluk ciptaan-Nya yang sedang mencari jalan kembali kepada Sang Pencipta: Allah Azza wajalla...

QS. Az Zukhruf (43): 9
Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka (siapa pun): "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", pasti mereka akan menjawab: "Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui".

QS. Ar Ruum (30): 30
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Inilah) agama yang lurus; sayang kebanyakan manusia tidak mengetahui,

Wallahu a’lam bishshawab
 ~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 27 Desember 2010 pukul 17:37


Minggu, 26 Desember 2010

DILARANG SYIRIK, DIPERINTAH SYIAR

Perbuatan yang paling ‘dibenci’ Allah adalah syirik alias menyekutukan Allah dengan Tuhan lain. Dalam Al Qur’an perbuatan syirik disebut sebagai dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah. Kecuali, pelakunya bertaubat dan kemudian hanya bertuhan kepada Allah saja.

Maka, orang-orang musyrik yang dulu menyembah berhala di zaman jahiliyah pun, ketika kemudian bertuhan kepada Allah, mereka memperoleh ampunan dari Sang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Artinya, tidak diampuninya dosa syirik itu adalah ketika seseorang masih terus melakukan atau sedang menjalankannya. Jika sudah tidak lagi, tentu saja akan diampuni-Nya, karena Dia adalah Dzat yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

QS. Al Furqaan (25): 70
kecuali orang-orang yang bertaubat (dari kemusyrikannya), beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

QS. Al Israa’ (17): 25
Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.

Pada hakekatnya, seluruh proses keberagamaan seorang manusia adalah beranjak dari musyrik menuju muslim. Musyrik itu menyekutukan Allah, sedangkan muslim adalah berserah diri hanya kepada-Nya. Persis seperti yang diucapkan oleh nabi Ibrahim sebagai The Founding Father agama Islam, yang kemudian kita abadikan dalam shalat.

QS. Al An’aam (6): 103
Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama muslim (berserah diri kepada Allah)".

Bentuk kemusryikan sungguh sangat beragam. Ada yang musyrik dengan cara menyembah patung berhala. Ada yang musyrik dengan menjadikan manusia dan malaikat sebagai bagian dari unsur ketuhanan. Ada yang musyrik dengan menjadikan harta benda, kekuasaan, dan segala kepentingannya sebagai ‘tuhan-tuhan’ yang tak dinamainya tuhan, tetapi pada prakteknya dia telah bertuhan kepada segala macam selain Allah itu.

Setiap kita sebenarnya memiliki kadar kemusyrikan dalam bentuk yang berbeda-beda. Dan itu tidak akan diampuni-Nya ketika kita tidak segera beranjak menuju muslim sejati. Cobalah tanyakan pada diri sendiri: sudahkah Anda benar-benar terbebas dari kemusyrikan? Dan sudah bisa berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menjalani hidup ini? Dalam suka maupun duka?

Ketika harta benda Anda ludes dimakan api misalnya, dan seluruh tabungan di bank lenyap karena banknya bangkrut, gemetarkah Anda? Putus harapankah Anda? Ataukah bisa bertawakal dan berserah diri kepada-Nya?

Ketika orang yang sangat Anda cintai, tiba-tiba pergi meninggalkan Anda untuk selamanya, lemaskah persendian tubuh Anda, larut dalam kesedihan yang mendalam dan putus asa? Ataukah bisa bersabar dan bersandar kepada-Nya?

Ketika segala fasilitas dan kenyamanan yang Anda nikmati sekarang tiba-tiba runtuh, merasa habiskah Anda? Ataukah, masih bisa terus tersenyum sambil bekerja keras kembali di jalan Allah, Sang Pemurah..?

Jawabannya akan menggambarkan seberapa besar tingkat kemusyrikan kita kepada Allah. Semakin merasa kehilangan atas segala sesuatu itu, maka semakin besar rasa kebergantungan kita kepada ’tuhan’ selain Allah. Semakin musyriklah kita. Sebaliknya, semakin tawakal dan sabar dalam menghadapi segala permainan hidup ini, semakin besar pula keyakinan kita kepada-Nya, insya Allah telah bertauhid secara lebih sempurna. Berarti, kita telah berhasil menerapkan makna laa ilaaha illallaah dalam hidup, bahwa ’’tiada sesuatu pun yang layak dijadikan sebagai tempat bergantung, kecuali Allah...’’

Insya Allah kita semua sudah paham dengan substansi tauhid. Bahwa kita dilarang melakukan kemusyrikan dalam bentuk apa pun, sekecil apa pun, karena yang demikian itu bisa mengotori penghambaan kita kepada Allah.

Akan tetapi perintah bertauhid atau larangan syirik ini tidak berdiri sendiri. Allah juga memerintahkan kita untuk melakukan syiar. Dua hal ini ~ bertauhid dan bersyiar ~ bagaikan dua sisi yang berbeda dalam satu keping mata uang yang sama. Seluruh nabi dan utusan Allah perintah utamanya hanya dua, yakni: ’’ajak manusia untuk bertauhid, dengan cara syiar yang baik...’’. Keduanya dilakukan dalam ’satu tarikan nafas’.

Lantas siapakah yang harus kita syiari? Apakah umat Islam saja? Ataukah seluruh umat manusia? Dengan mudah kita bisa mengetahui jawabannya, dari pertanyaan ini: untuk siapakah al Qur’an diturunkan dan untuk siapakah Nabi Muhammad diutus? Apakah untuk umat Islam saja, ataukah untuk seluruh manusia? Juga, untuk siapakah misi rahmatan lil alamin ini diwahyukan? Untuk umat Islam saja ataukah untuk seluruh manusia?

QS. An Nisaa’ (4): 174
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur'an).

QS. Al Anbiyaa’ (21): 107
Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Ternyata, Allah menjawab dengan sangat gamblang di dalam firman-firman-Nya, bahwa misi Rasulullah dan Al Qur’an adalah untuk menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia. Bahkan seluruh alam. Berarti, Islam harus disyiarkan kepada siapa saja. Bukan hanya kepada umat Islam. Justru yang belum Islam. Yang belum berserah diri kepada Allah. Yang belum bertuhan kepada-Nya. Yang belum mengakui Tuhan sesungguhnya, Sang Penguasa alam semesta.

Lantas bagaimana caranya? Apakah dengan cara memusuhi mereka yang belum Islam? Apakah harus membuat gap psikologis yang tidak perlu? Apakah dengan menjelek-jelekkan siapa saja yang belum bertuhan kepada Allah? Apakah dengan menjauhi mereka?

Ataukah sebaliknya? Dengan menunjukkan kehangatan dalam persahabatan. Dengan menunjukkan kepemaafan. Dengan menunjukkan sifat suka menolong dan berbuat kebajikan. Dengan memberikan teladan yang baik dalam kehidupan. Dengan argumentasi-argumentasi yang masuk akal dan bisa diterima semua pihak secara terbuka.

Sungguh akan menjadi ’sangat aneh’, kalau kita ingin syiar tapi sambil terus membuat gap psikologis, membangun sikap permusuhan, dan menjauhi orang-orang yang ingin kita syiari...(?)

Bukankah, Rasulullah pun malah mendoakan orang-orang musyrik agar mereka menjadi muslim? Dan doa Rasulullah itu dikabulkan Allah. Maka, Umar bin Khaththab dan Hamzah yang tokoh musyrikin Quraisy pun masuk Islam. Bahkan menjadi pahlawan Islam yang luar biasa tangguhnya.

Larangan berdoa untuk kaum musyrikin itu adalah memohonkan ampunan, saat mereka masih berbuat kemusyrikan. Ya tentu saja. Lha wong mereka tidak bertuhan kepada Allah, kok dimintakan ampun kepada Allah. Musy ma’ul kata orang Mesir, alias nggak masuk akal. Tentu saja Allah tidak akan mengampuninya, karena mereka kan memang tidak bertuhan kepada-Nya? Maka kita menjadi paham, ketika Allah mengingatkan para nabi yang karena kelembutannya masih memohonkan ampunan buat mereka. Yakni, Nabi Ibrahim terhadap ayahnya, Nabi Nuh terhadap anaknya, dan nabi Muhammad terhadap pamannya.

Akan tetapi, bagi para penyembah berhala yang sudah menjalankan Tauhid dengan sebenar-benarnya ~ hanya bertuhan kepada Allah ~ sungguh ampunan Allah  sedang menunggu mereka di depan pintu surga...

Maka, dalam konteks ini marilah kita tebarkan semangat rahmatan lil alamin setulus-tulusnya bagi seluruh umat manusia. Bukan hanya kepada saudara-saudara kita yang muslim. Melainkan juga kepada kawan-kawan dan sahabat-sahabat kita yang belum Islam. Seluruh umat manusia. Sambil terus berdoa kepada Allah mudah-mudahan umat akhir zaman ini mendapat petunjuk dari Allah Sang Maha Bijaksana untuk bertuhan hanya kepada Sang Penguasa sejati: Allah azza wajalla...

Bisa kan, kita menyiarkan agama rahmatan lil alamin ini tanpa harus mengorbankan ketauhidan? Kecuali, kalau kita belum yakin betul siapa Tuhan sejati Penguasa Jagat Raya yang hebat ini ... :)

QS. Al Hajj (22): 67
Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang mereka lakukan, maka tidak sepantasnya mereka berbantahan denganmu dalam urusan ini. Dan serulah mereka kepada Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.

QS. Asy Syuura (42): 15
Maka dari itu, serulah (mereka ke jalan Allah) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah (kita) bakal kembali"

QS. Ali Imran (3): 159
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
 
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 25 Desember 2010 pukul 18:03