oleh Agus Mustofa pada 28
Januari 2012 pukul 11:36 ·
MUNCULNYA realitas alam semesta
beserta segala isinya, diceritakan oleh Al Qur’an dengan hirarki yang menarik.
Bahwa segala sesuatu ini bermula dari SANG KEHENDAK. Kehendak-Nya itulah yang
mewujud menjadi INFORMASI penciptaan sebagai kalimat ‘KUN’. Dan lantas, mewujud
menjadi SUNNATULLAH, dalam bentuk hukum-hukum alam yang mengendalikan
ruang-waktu-materi-energi sebagai penyusun semesta.
Sedangkan ILMU, adalah
pengetahuan atas segala realitas itu. Yakni, bentuk INFORMASI yang ‘terurai’
seiring dengan berkembangnya alam semesta. Seiring dengan proses penciptaan
yang terus berlangsung. Seiring dengan proses pemahaman ‘siapa’ yang ingin
menguasai ilmu itu.
Jika kita mengarahkan ‘ilmu’ itu
sebagai ilmu-Nya, maka dengan sederhana kita bisa memahami, bahwa ilmu-Nya
pasti meliputi seluruh alam semesta. Sebagaimana berulang kali Dia firmankan di
dalam kitab suci. Pengetahuannya pasti meliputi langit dan bumi, karena
ruang-waktu-energi-materi ini memang adalah perwujudan dari kalimat-Nya belaka.
Sedangkan ‘kalimat’ itu muncul atas kehendak-Nya. Dan ‘kehendak’ itu adalah
salah satu sifat-Nya. Jadi pengetahuan-Nya terhadap realitas bersifat mutlak.
Di sisi lain, 'ilmu manusia'
berkembang seiring proses pembelajaran. Sepanjang usianya. Sepanjang
peradabannya. Yang baru ‘ribuan tahun’ belaka. Dan tak akan pernah bisa
memahami alam semesta yang demikian luasnya itu dengan ilmunya. Mengingat,
dimensi ruang yang maha raksasa, dimensi waktu yang tiada terkira panjangnya,
dimensi materi-energi yang semakin misterius di skala makrokosmos maupun
mikrokosmos.
Ilmu manusia terus bergerak dalam
koridor ‘dugaan-dugaan’ secara trial and
error. Pemahaman yang lalu ternyata ‘keliru’, maka diperbaiki
dengan pemahaman hari ini yang ‘seakan-akan’ sudah benar. Tetapi, sepanjang
sejarah ilmu pengetahuan kita selalu menjumpai fakta, bahwa ‘dugaan-dugaan’
sains itu selalu ‘keliru’ dalam berbagai skalanya.
Dulu mengira materi terkecil
adalah atom, ternyata ‘keliru’. Setelah itu mengira partikel sub atomic,
ternyata juga ‘keliru’. Setelah itu mengira quark, mungkin juga akan ‘keliru’.
Dan seterusnya. Sains menyebutnya sebagai ‘perkembangan’ ilmu. Tetapi, Al
Qur’an menyebutnya sebagai ‘dugaan-dugaan’ yang selalu ‘keliru’ dalam memahami
realitas secara holistik. Hanya ‘benar’ dalam skala parsial dan kondisional.
QS. An Najm
(53): 28-30
Dan
mereka tidak mempunyai pengetahuan
tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dugaan-dugaan semata, padahal
sesungguhnya dugaan-dugaan itu tidak berfaedah untuk (membuktikan hakikat)
kebenaran.
Maka berpalinglah dari orang yang
tak menghiraukan peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali
hanya kehidupan duniawi.
Itulah sejauh-jauh pengetahuan
mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang
palingmengetahui siapa
yang keliru dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang
mendapat petunjuk.
Maka kalau kita berbicara dalam
ranah hakikat kebenaran, kita harus mengacu kepada sang pemilik kebenaran itu.
Informasi-informasi yang akurat. Bukan trial &
error seperti yang ditunjukkan Sains. Karena, sebagaimana saya
ungkapkan di note sebelumnya, sains dimulai dari ‘ketidaktahuan’ dan akan
berakhir di ‘ketidaktahuan’ pula. Itu sudah terbukti selama ribuan tahun
perkembangannya. Itulah ‘sejauh-jauh’ ilmu yang dimiliki manusia, kata Allah
dalam ayat di atas.
Nah, Allah menganjurkan para
pencari kebenaran, untuk memandu proses pengetahuannya dengan kitab suci.
Karena dengan kitab suci inilah Allah mengarahkan proses keilmuan agar tetap
berada di koridor yang benar. Dan segera mencapai tujuan final dalam usia
manusia yang terbatas. Karena, tanpa petunjuk kitab suci, usia manusia tidak
akan cukup untuk menemukan hakikat kebenaran. Meskipun ditambah dengan seluruh
usia peradaban.
Apakah hakikat kebenaran itu?
Adalah realitas. Apakah hakikat realitas? Adalah ruang-waktu-materi-energi.
Apakah hakikat ruang-waktu-mater-energi itu? Adalah informasi. Apakah hakikat
informasi itu? Adalah kalimat KUN. Apakah hakikat ‘kun’? Adalah ‘Kehendak’. Dan
apakah hakikat ‘kehendak’ itu? Ialah Diri-Nya. Lantas, apakah hakikat DIA itu?
Adalah laisa kamitslihi syai-un ~
‘Tidak Bisa Dijelaskan’. Karena kita semua berada di dalam-Nya, sehingga tidak
mungkin bisa menjelaskan tentang Dia, kecuali parsial. Itupun dipandu oleh Dia
sendiri lewat firman-firman-Nya.
QS. Thaahaa
(20): 110
Dia
mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka,
sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.
QS. Ath
Thalaaq (65): 12
Allah-lah
yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku
padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu,
dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.
Nah, ketika sudah sampai di
hakikat segala kebenaran ini, ilmu manusia sudah tidak mungkin menjangkau-Nya.
Inilah yang berulangkali diceritakan oleh Al Qur’an. Bahwa manusia tidak
memiliki pengetahuan yang cukup, sehingga mesti berpatokan pada kitab suci yang
menerangi pemahaman kita.
QS. Al Hajj
(22): 8
Dan di
antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu
pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (suci) yang bercahaya.
QS. Luqman
(31): 20
Tidakkah
kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untukmu apa yang di langit
dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan
di antara manusia ada yang membantah tentang
(eksistensi) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau
petunjuk dan tanpa Kitab yang
memberi penerangan.
Jangankan tentang Allah, tentang
yang gaib-gaib seperti akhirat saja misalnya, pengetahuan manusia sudah tidak
mencukupi untuk menjelaskannya. Allah menyebutnya dengan kalimat: pengetahuan mereka ‘tidak sampai’ kesana.
Bahkan, ditegaskan mereka ‘buta’ tentang akhirat.
QS. An Naml
(27): 66
Sebenarnya pengetahuan mereka
tentang akhirat tidak sampai,
malahan mereka ragu-ragu tentang akhirat itu, bahkan mereka buta tentangnya.
QS. Az
Zukhruf (43): 85
Dan Maha
Suci Tuhan Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan apa yang ada di antara
keduanya; dan di sisi-Nyalah pengetahuan tentang hari kiamat dan hanya
kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
Maka, manusia yang tidak
berpedoman kepada kitab suci akan terjebak pada kehidupan dunia. Mereka mengira
bahwa kematian adalah akhir dari segala-galanya. Dan setelah itu tak ada
kelanjutannya lagi. Oh, sungguh dia akan menyesalinya, justru setelah kematian
datang kepadanya.
QS. Al
Jatsiyah (45): 24
Dan mereka
berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja. Kita mati dan
hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita
kecuali waktu".
Padahal mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang
itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka.
QS. Al
Haaqqah (69): 27
Wahai,
seandainya KEMATIAN itulah yang MENGAKHIRI segalanya...
Penyesalan selalu datang di
akhir. Padahal, sama sekali tidak ada ruginya jika kita mau lebih bijaksana.
Bahwa ‘teko’ kecil yang ‘terselip’ di ruang angkasa di sela-sela galaksi maha
raksasa itu adalah sebuah realitas. Sama-sama riilnya antara yang kecil dan
yang besar. Sehingga menganggapnya sebagai ‘peluang kecil’ yang harus dilupakan
adalah sebuah ‘kesembronoan’.
Tetapi, sebagaimana saya tuliskan
di awal note ini, bahwa hakikat segala realitas ini memang adalah ‘kehendak’.
Artinya, terserah kepada siapa saja yang ingin berkehendak. Apakah ia mau
menelusuri realitas itu sampai kepada Sang Maha Berkehendak, ataukah berhenti
pada kehendak dirinya sendiri. Karena Allah memang telah megimbaskan
kehendak-Nya kepada manusia lewat ruh-Nya, sebagai ‘pilihan bebas’ dengan
segala konsekuensinya. Mau menjadi atheis maupun hamba yang berserah diri hanya
kepada-Nya, ya monggo-monggo saja… :)
~ Salam Mentauhidkan Ilmu
Pengetahuan ~