Rabu, 23 Februari 2011

JANGAN KELIRU MENUHANKAN SURGA ~ PENTING MANA DUNIA ataukah AKHIRAT (6-habis)

Awas, jangan sampai keliru bertuhan..! Bertuhan kepada yang remeh temeh akan mengantarkan Anda kepada yang remeh temeh juga. Bertuhan kepada dunia, bakal memperoleh dunia. Bertuhan kepada surga, cuma dapat surga. Bertuhan kepada Sang Penguasa segala, akan mengantarkan Anda hidup mulia.

Secara definitif, Tuhan adalah ’sesuatu’ yang selalu mendominasi perhatian kita, dan kita anggap sebagai sumber segala kebahagiaan. Kualitas beragama seseorang sangat bergantung pada persepsinya tentang Tuhan yang disembahnya itu. Jika persepsinya tentang Tuhan rendah, maka kualitas agamanya pasti juga rendah. Sebaliknya, jika persepsinya tentang Tuhan tinggi, kualitas beragamanya pun bakal tinggi. Perjalanan spiritualnya menjanjikan kenikmatan yang tiada tara.

Ada orang yang pusat perhatiannya dalam beragama adalah kepada ritual ibadah. Maka, kenikmatan yang dia peroleh hanyalah sebatas menjalankan ritual belaka. Pokoknya sudah bersyahadat, menjalankan shalat, berpuasa, zakat, dan haji, dia sudah merasa puas. Kenikmatannya dalam beragama, ya hanya sebatas itu. Apakah tidak boleh? Oh, ya boleh-boleh saja. Terserah Anda. Tetapi, betapa sayangnya...

Orang yang beragamanya hanya demikian, jauh kalah nikmat dibandingkan dengan orang yang mempelajari dan memahami makna ibadah ritual. Bisa Anda bayangkan, betapa nikmatnya orang yang bisa menyelami makna syahadatnya? Perjalanan spiritualnya adalah sebuah proses kesaksian atas keberadaan Allah sebagai Tuhannya. Dan Rasulullah sebagai panutannya.

Bisa kita bayangkan juga, betapa nikmatnya orang yang bisa khusyuk menjalani shalatnya. Sejak takbiratul ihram yang menggetarkan jiwanya, membaca al Fatihah yang penuh makna, rukuk dan bersujud dalam nuansa pengagungan Tuhannya. Dan kemudian bershalawat kepada nabi tercinta yang ditutup dengan salam hangat buat saudara-saudara seagamanya.

Atau bisa Anda bayangkan pula, mereka yang telah berhasil menjalankan ibadah penuh makna dalam puasanya, zakatnya dan hajinya. Beserta dzikir, doa, dan segala amal ibadahnya. Mereka larut bukan hanya dalam ritual ibadah yang kering rasa, melainkan tenggelam dalam perjalanan makna yang terkandung dalam ibadah yang dihayatinya.

Tetapi, ketika dikaitkan dengan proses bertuhan, tingkatan ritual dan makna ini sebenarnya masih berada pada tataran awal perjalanan tauhid seseorang. Dan dengan sendirinya, juga perjalanan spiritualnya. Orientasi spritualnya masih berkutat pada diri sendiri. Dalam bahasa tauhid, ketauhidannya masih egoistik. Dia belum bertuhan kepada ’Sesuatu’ yang lebih tinggi, yang seharusnya berproses dengan cara merendahkan kepentingan egonya.

Pemaknaan segala ritual ibadah yang bersifat personal antara seseorang dengan Allah memang menjanjikan kenikmatan yang luar biasa. Tetapi, akan menjadi lebih luar biasa lagi, ketika proses spiritual yang egoistik itu bergeser kepada hal-hal yang bersifat sosialistik. Ini memang seiring dengan apa yang telah kita bahas dalam note tentang kebahagiaan, terdahulu.

Fokus perhatiannya, sebenarnya bukan hanya pada perolehan kenikmatan yang lebih tinggi, melainkan lebih kepada proses peniadaan diri. Atau, setidak-tidaknya pengurangan kepentingan diri sendiri. Dan menggeser kepada kepentingan orang lain, dengan tetap berdasar pada ketauhidan.

Kenapa ibadah sosial memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan ibadah personal? Karena, seiring dengan amalan sosial itu, kita sedang berproses untuk mengurangi egoisme. Dan ini diperlukan untuk menuju kepada Allah. Hanya orang-orang yang egonya rendah saja yang akan bisa mendekatkan diri kepada Allah. Salah satu proses yang harus dilewati adalah berkorban untuk orang lain.

Jadi, kalau kita menolong orang lain, dengan masih punya tendensi untuk memperoleh ’sesuatu imbalan’ dari proses itu, maka itu justru akan mengurangi nilai spiritual yang sedang kita jalankan. Proses pengurangan ego tidak terjadi. Dan proses mendekat kepada Allah pun dengan sendirinya tidak terjadi. Yang ada justru memupuk kepentingan diri sendiri, yang dalam skala tauhid bisa disebut lebih ’bertuhan kepada diri sendiri’ dari pada bertuhan kepada Allah.

Dalam konteks tersebut, pada hakekatnya, kita tidak sedang berbuat kebajikan sosial kepada orang lain, tetapi sedang menunggangi penderitaan mereka untuk memperoleh kenikmatan pribadi. Juga, sebenarnya, kita tidak sedang berproses mendekat kepada Allah dengan cara menaati-Nya, berkorban, dan bersyukur kepada-Nya, melainkan malah memanipulasi Tuhan untuk memenuhi tujuan mencari kebahagiaan diri sendiri.

Padahal, kenikmatan yang kita peroleh dalam ibadah sosial itu justru adalah ketika kita bisa meniadakan kepentingan diri sendiri, dan ikhlas berkorban untuk kepentingan orang lain. Maka, dalam waktu bersamaan kita akan memeroleh dua kebahagiaan sekaligus. Yang pertama, karena melihat orang lain bahagia dikarenakan pengorbanan kita. Dan yang kedua, karena kita bisa berproses meniadakan diri dalam mendekatkan diri kepada-Nya. Pada tingkat ini, kebahagiaannya jauh lebih hebat dibandingkan yang sekedar memahami makna ibadah secara personal.

Tak jarang kita melihat di sekitar kita, ataupun pada diri kita sendiri, bahwa segala ibadah yang kita lakukan itu ternyata tidak berproses untuk bertuhan kepada Allah. Bertuhan yang diajarkan oleh Islam adalah sebuah proses ’peniadaan diri’ untuk memunculkan Eksistensi Allah dalam seluruh lini kehidupan kita. Ini menjadi jalan spiritual utama dalam perjalanan kehidupan seorang muslim.

Sayangnya, yang banyak terjadi, justru kita mengangkat ego kita sendiri untuk menyaingi eksistensi Allah. Tanpa sengaja maupun dengan sengaja. Karena ketidaktahuan ataupun karena keserakahan. Proses-proses keagamaan kita manipulasi untuk menyenangkan diri sendiri. Dan segala yang diluar diri kita, kita ’paksa’ untuk memenuhi segala yang kita maui. Termasuk Tuhan pun kita ’perintah’ untuk memenuhi segala kebutuhan itu.

Yang demikian ini berbalikan dengan pelajaran utama dalam tauhid. Bahwa proses beragama yang sebenarnya adalah: laa ilaaha illallaah ~ peniadaan segala sesuatu sebagai Tuhan, dan menjadikan Allah sebagai satu-satunya aktor dalam proses spiritual kita. Justru, kebahagiaan akan muncul dengan cara peniadaan ego kita sebagai manusia, dan meleburkan diri dalam Ego ketuhanan Allah sebagai Penguasa segalanya.

Kebahagiaan bukan diperoleh dengan cara mengejar-ngejar, melainkan diterima sebagai anugerah Allah, dikarenakan kita berhasil merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan Sang Penguasa alam semesta. Bukan ’kepasrahan’ yang pasif, melainkan upaya berserah diri yang aktif, lewat perjuangan tiada henti. Dalam istilah yang berbeda, adalah menundukkan dorongan hawa nafsu yang egoistik, dan mengikuti naluri fitrah yang ilahiah.

Segala upaya duniawi yang kita lakukan dalam hidup ini justru hanya menjadi sarana untuk meniadakan kepentingan egoistik itu. Harta benda, ilmu, kekuasaan, istri, suami, anak-anak, sampai pada tatanan masyarakat yang ada di sekitar kita, semuanya sekedar sarana bagi perjalanan spiritual yang mendalam. Bukan dengan cara mengasingkan diri dari semua hiruk pikuk duniawi, melainkan justru harus mencebur ke dalam realitas.

Kita tidak akan bisa melepaskan diri dari semua sarana kehidupan ini. Tetapi, kita bisa menata mindset kita bahwa semua itu bukan Tuhan bagi kita, dimana kebahagiaan kita digantungkan kepadanya. Justru, kebahagiaan sejati bakal muncul dengan cara membuktikan bahwa penguasaan kita atas semua fasilitas duniawi itu tidak membuat kita bergantung kepadanya, sebagai manifestasi dari kalimat: laa ilaha (tidak ada Tuhan pada semua fasilitas duniawi itu). Dan kemudian kita abdikan seluruh hasil perjuangan kita itu kepada Allah, sebagai aplikasi kalimat lanjutannya: illallaah (kecuali hanya kepada Allah semata).

Proses demikian, bukan hanya kita tujukan kepada fasilitas duniawi, melainkan juga fasilitas ukhrawi alias keakhiratan. Banyak orang terjebak kepada keinginan untuk memperoleh surga, seakan-akan surga adalah segala-galanya bagi kehidupan akhiratnya. Jika itu yang terjadi pada pikiran kita, maka sesungguhnya kita telah terjebak kepada menuhankan surga. Tak ada bedanya, dengan kita menganggap berbagai fasilitas dunia ini sebagai sumber segala kebahagiaan kita. Dimana, kita sampai tega menempatkan Allah sebagai ’pelengkap penderita’ yang cuma kita sembah-sembah ketika kita membutuhkan-Nya.

Kita boleh berdoa memohon rezeki, tetapi awas jangan sampai menuhankan rezeki. Kita boleh memohon ilmu, tetapi jangan sampai terjebak pada kesombongan keilmuan. Kita juga boleh memohon kekuasaan, tanpa harus terperangkap pada keserakahan. Termasuk kita boleh memohon surga, tanpa harus memandang surga sebagai ’segala-galanya’..!

Justru, orang yang menganggap surga sebagai sumber segala kebahagiaannya, mereka tidak akan menemukan kebahagiaan di surga. Mereka bakal kecele, karena surga hanya akan terasa indah bagi orang-orang yang menempatkan Allah sebagai Tuhannya. Jika yang dibayangkan adalah sekedar kenikmatan bendawi, Anda akan benar-benar bosan karenanya.

Lha wong sekarang saja, sudah banyak yang tidak tertarik dengan gambaran surga yang bendawi itu. Disana ditawarkan susu dan madu, padahal kita sudah sering minum susu madu, bahkan juga termasuk telur dan jahenya, STMJ. Disana ditawarkan buah-buahan, hampir setiap hari orang Indonesia makan buah-buahan. Disana ditawarkan gelang-gelang emas, ah sekarang trend perhiasan sudah bukan pada emas lagi, melainkan platina alias emas putih. Disana ditawarkan wanita dan pemuda-pemuda sebagai istri dan suami penghuninya, lha disini sudah banyak yang poligami ataupun kawin cerai. Dan seterusnya. Dan lain sebagainya.

Jika kita memandang surga seperti itu, dan menggantungkan kebahagiaan kita serendah itu, maka jangan menyesal kalau kita tidak akan memperoleh kebahagiaan karenanya. Karena yang demikian ini adalah persepsi spiritual yang rendah tentang apa yang disebut sebagai kebahagiaan. Dan, jelas-jelas sebuah kesalahan persepsi atas berita surga di dalam al Qur’an al Karim. Karena, kata Allah, apa yang digambarkan itu tak lebih hanyalah perumpamaan belaka..!

QS. Ar Ra’d (13): 35
Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman), mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti, sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa; sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka.

QS. Muhammad (47): 15
Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa, di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, (apakah) sama (penghuni surga) dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga menghancurkan ususnya?

Maka, awas jangan sampai salah bertuhan..! Bertuhan yang sesungguhnya hanyalah kepada Allah saja. Kebahagiaan akan datang dengan sendirinya sebagai anugerah dari-Nya, saat seluruh jiwa kita hanya terisi oleh Nama-Nya. Karena sesungguhnya, kebahagiaan itu hanya efek saja dari sebuah proses penyerahan diri secara total kepada Allah Sang Maha Penyayang lagi Maha Bijaksana..!

QS. Al Hasyr (59): 24
Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

QS. Saba’ (34): 1
Segala puji bagi Allah yang memiliki semua yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bagi-Nya segala puji di akhirat. Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 22 Februari 2011 pukul 9:33


Selasa, 22 Februari 2011

BISAKAH REKAMAN DOSA DIHAPUS? ~ PENTING MANA DUNIA ataukah AKHIRAT (5)

Setiap kita punya dosa. Dan kita ingin agar dosa-dosa itu tidak diketahui oleh orang lain. Apalagi dipublikasikan ke khalayak ramai. Oh, betapa malunya..! Bisa nggak ya, ingatan tentang dosa itu dilupakan, atau dihapus sama sekali?

Dosa adalah segala perbuatan jelek yang merugikan diri sendiri, atau orang lain, atau merusak alam sekitar. Sebagaimana telah kita bahas dalam note sebelumnya, semua itu ternyata membekas dan terekam di alam semesta. Sedangkan pahala adalah segala perbuatan baik yang menguntungkan diri sendiri, orang lain, dan memperbaiki alam sekitar. Yang ini juga membekas dan terekam di alam. Efek dosa adalah merusak dan menghancurkan, memunculkan penderitaan secara personal maupun kolektif. Sedangkan efek pahala adalah membangun, memperbaiki dan membahagiakan, juga bersifat personal dan kolektif.

Setiap kali kita berbuat dosa, maka peristiwa itu akan terekam di dalam otak, sistem genetika, dan struktur alam. Bukan hanya berhenti pada proses rekaman semata, melainkan juga menimbulkan efek pada realitas hidup. Otak misalnya, bukan hanya 'mengingat' dosa itu, melainkan juga mengalami ’kerusakan’ susunan saraf disebabkan oleh energi jelek yang muncul dari dosa.

Dikarenakan memunculkan efek buruk itulah, kita seringkali menyebut dosa sebagai ‘energi negatif’. Istilah negatif itu memang tidak ada kaitannya dengan ’skalar dan vektor’ di dalam ilmu fisika. Karena energi memang tidak memiliki arah. Melainkan lebih kepada akibat negatif yang ditimbulkannya. Sebaliknya, energi pahala disebut sebagai ’energi positif’ karena ia menghasilkan efek positif bagi sekitarnya.

Setiap kali pikiran kita diajak berbuat dosa, setiap kali itu pula otak kita akan merekamnya sambil mengalami kerusakan struktur dan sirkuit sarafnya. Efeknya akan lebih parah jika pikiran itu sampai diamalkan. Dan jika hal itu dilakukan berulang-ulang, efek negatifnya bisa terekam sampai ke dalam sistem genetika. Dan kemudian menurun kepada anak cucu kita. Dosa yang berulang-ulang sampai menjadi kebiasaan akan memicu 'gen jelek' dalam tubuh kita menjadi aktif. Bahkan pada tingkat yang sangat intens dan lama bisa mendorong terjadinya mutasi genetika. Demikian pula sebaliknya, orang yang membiasakan pikiran dan perbuatan baik, kebiasaannya itu bakal bermanifestasi ke dalam genetikanya. Dan, bisa diturunkan kepada anak cucunya.

Orang yang terbiasa makan dengan gizi berkecukupan misalnya, jika itu terjadi berulang-ulang selama masa hidupnya, akan membuatnya bertumbuh besar. Baik dalam bentuk kegemukan ataupun tinggi badan. Kondisi itu akan terekam di dalam genetikanya. Dan kemudian akan menurun kepada anak cucunya. Saya yang memiliki tinggi badan 169 cm, kini punya anak-anak yang lebih tinggi dari saya. Dua diantaranya mencapai 180 cm, misalnya.

Rekaman demikian bukan hanya terjadi di otak dan genetika, melainkan juga pada alam semesta. Dan bukan hanya tercatat, melainkan sampai memberikan efek riil. Sebagai contoh, kalau Anda merusak lingkungan ekosistem, maka alam sekitar Anda akan memberikan respon berupa perubahan iklim dan cuaca. Global warming yang sekarang melanda planet Bumi ini dikarenakan umat manusia secara kolektif melakukan dosa kepada alam. Maka, ia bukan hanya mencatat, melainkan sekaligus memberikan reaksi yang setara dengan kerusakan yang kita bikin...

Jadi, bagaimanakah caranya agar kita bisa menghapus dosa-dosa yang telanjur kita perbuat pada otak, pada sistem genetika, dan alam sekitar? Apakah cukup hanya dengan mengucapkan kata-kata:oh, maaf wahai otak, saya telah berbuat dosa kepadamu..! Lantas, kita berharap efek negatif yang ada pada otak kita akan terhapus?

Atau kepada sistem genetika, kita cukup berkata: wahai sistem genetika yang ada di dalam triliunan sel tubuhku, maafkan aku ya telah membuat kamu mengalami mutasi sehingga memunculkan penyakit keturunan. Lantas, kita juga mengharap penyakit keturunan itu lenyap dengan sendirinya?

Atau, kita bilang kepada hutan: wahai hutan, maafkan kami yang telah menghancurkanmu, menggundulimu, sehingga iklim bumi sekarang menjadi kacau balau. Karena itu tolong jangan marah kepada kami. Lantas, secara ajaib Bumi akan menjadi baik kembali?

Oh, tidak sesederhana itu kan? Kita tidak bisa menghapus dosa-dosa hanya dengan berkata-kata minta maaf atau minta ampun. Meskipun itu kepada diri sendiri. Apalagi kepada orang lain, dan alam sekitar. Termasuk juga kepada Allah, Sang Maha Pengampun. Karena, segala sesuatu ini sudah ada menkanismenya, yakni sunnatullah, sejak diciptakan pertama kali.

Untuk memperbaiki hutan, tentu tidak cukup kalau kita hanya meminta maaf kepada lingkungan. Melainkan harus melakukan perbuatan baik, dengan cara menanaminya kembali. Memeliharanya secara konsisten. Memupuknya, menyiraminya, sekaligus menghentikan perusakan yang selama ini kita lakukan. Jika, kita istiqomah alias konsisten, insya Allah sekian tahun kemudian alam akan memaafkan dosa-dosa kita. Dan dampak global warming akan hilang dengan sendirinya.

Begitu juga kerusakan yang terjadi pada otak dan sel-sel tubuh kita. Tidak cukup dong kita memperbaikinya hanya dengan kata-kata, melainkan harus dengan perbuatan nyata. Semakin lama perbuatan dosa itu telah kita lakukan, semakin berat pula menghapus dampaknya. Karena ia sudah berpengaruh sampai dalam sistem genetika. Sehingga, kata orang jawa, dosa itu bisa menurun kepada anak cucu sampai tujuh turunan..!

Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan untuk menghapus dosa-dosa kita? Yang pertama, tentu saja bertobat. Ini adalah langkah awal yang mengubah mindset kita. Memulainya dengan niat yang kuat untuk tidak melakukan dosa lagi. Sebab, sebaik apa pun perbuatan yang akan kita lakukan setelah itu, jika masih bercampur aduk dengan dosa-dosa, efeknya tidak akan menghapus dosa, malah bisa memperparah. Inilah kenapa kita diajari untuk tidak mencampur adukkan antara dosa dan pahala. Antara kejahatan dan kebaikan.

Setelah meniatkan tobat dengan sungguh-sungguh, kita mesti berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya, agar timbul ’efek menghapus’. Inilah yang diceritakan Allah dalam ayat berikut ini.

QS. Huud (11): 114
... Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu (bisa) menghapus (efek) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah pelajaran bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran.

Namun demikian, apakah catatan dosa merusak hutan itu, misalnya, otomatis terhapus dari sejarah kehidupan kita? Kok kayaknya tidak ya?! Sejarah tetap saja mencatat, bahwa dulu kita pernah melakukan perusakan hutan besar-besaran dan mengakibatkan penderitaan umat manusia. Tetapi, sejarah juga mencatat, bahwa setelah itu kita berusaha melakukan reboisasi besar-besaran sehingga kini hutannya menjadi lebat kembali.

Kalau Anda ingin agar sejarah tidak mencatat perbuatan Anda, maka satu-satunya jalan adalah dengan ’memohon’ kepada para sejarawan untuk tidak mencatat perbuatan Anda. Itupun kalau mereka mau mengabulkan permintaan Anda. Jika ia tidak mau, maka hilanglah harapan Anda untuk menghapus dosa-dosa yang telah Anda lakukan...

Terkait dengan dosa kehidupan, maka tidak mungkin kita menghapus dosa-dosa masa lalu. Karena, seluruh alam di sekitar kita memang telah mencatatnya. Orang yang kita jahati misalnya, dia tetap sajaingat bahwa kita telah berbuat jahat kepadanya. Sahabat-sahabatnya, juga ingat karena mereka sempat menyaksikan perbuatan kita. Dan otak maupun genetika kita pun ikut merekam seluruh perbuatan dosa itu. Demikian pula alam semesta.

Jadi, bagaimana supaya rekaman perbuatan dosa kita tidak ditayangkan pada saat hari pengadilan? Satu-satunya jalan adalah memohon kepada Sang Maha Pencatat agar DIA mengampuni dosa-dosa tersebut dan berkenan menghapusnya dari catatan alam semesta. Tapi, apakah itu mungkin? Untunglah, Allah adalah Dzat Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya yang bertobat. Karena ternyata, Dia masih membukakan jalan...!

QS. Al Hadiid (57): 20
... Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya...

Ayat di atas menjelaskan, bahwa di Hari Pengadilan, Allah masih mau memberikan ampunan. Karena, memang pahala masih mengalir saat kita berada di alam barzakh, akibat investasi kebajikan yang kita lakukan di dunia. Di sisi lain, Allah juga menyediakan azab yang keras kepada mereka yang tidak bertobat, dan catatan amal kebaikannya kalah berat oleh timbangan kejahatannya. Dan di sisi lainnya lagi, Allah memberikan Ridha kepada orang-orang yang tulus ikhlas berbuat kebajikan karena Allah semata.

Ampunan Allah adalah kunci dari tidak ditayangkannya dosa-dosa kita pada saat pengadilan akhirat. Bahkan, Dia yang Maha Pengampun itu, masih menyediakan kemungkinan untuk menghapus secara permanen semua kesalahan yang pernah kita lakukan, dari kitab induk kejadian: Lauh Mahfuzh. Buat siapakah semua itu disediakan? Ternyata disediakan bagi mereka yang banyak berbuat kebajikan sambil mengorientasikan hidupnya hanya kepada Allah semata..!

QS. At Taghaabun (64): 29
(Ingatlah) hari (saat) Allah mengumpulkan kamu pada hari pengadilan, itulah hari ditampakkannya kesalahan-kesalahan. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan mengerjakan amal saleh niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya...

QS. Ar Ra’d (13): 39
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).
 
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 21 Februari 2011 pukul 11:05


Senin, 21 Februari 2011

PERBUATAN KITA ’MEMBEKAS’ DI ALAM ~ PENTING MANA DUNIA ataukah AKHIRAT (2)

Ada yang bilang, bahwa alam semesta ini bagaikan sebuah kanvas. Setiap hari, kita sedang melukisi kanvas itu dengan perbuatan-perbuatan kita. Dan kelak, sekian tahun kemudian, di atas kanvas itu ada lukisan diri kita, yang terbentuk dari akumulasi semua yang kita lakukan. Apa dan siapa diri kita, adalah apa yang telah kita lukiskan di kanvas kehidupan tersebut.

Ada yang bilang juga, bahwa alam semesta ini bagaikan keping VCD. Sedangkan perbuatan kita, tidak lain adalah proses rekaman yang kita masukkan setiap hari, setiap saat. Kita berbicara, kita ’menyanyi’, kita berakting, bahkan kita berpikir, semuanya terekam dalam VCD kehidupan itu. Dan kelak, sekian tahun kemudian, kita akan menerima keping VCD kehidupan tesebut, sebagai hasil karya kita selama menjalani hidup di dunia ini.

Ya, alam semesta tidak pernah melewatkan peristiwa yang terjadi di dalamnya. Semuanya direkam dan disimpan sebagai memori kehidupan. Ada yang tersimpan di dalam otak. Ada yang terekam di dalam genetika. Ada pula yang tercatat dalam struktur alam semesta. Setiap perubahan, sekecil apa pun, akan menyebabkan ’bekas’ di sekitar kita. Dan bekas itu, bakal ’abadi’ selama ada langit dan bumi. Jika langit dan buminya lenyap, kelak saat terjadi Big Crunch alias Kiamat Besar, maka seluruh rekaman itu akan ikut musnah. Mirip kanvas atau VCD yang dibakar, sehingga segala goresan atau data yang ada di dalamnya ikut rusak.

Dalam bahasa al Qur’an, Allah menugasi ’dua malaikat’ untuk merekam segala perbuatan manusia. Mereka berada di sekitar kita, berlalu lalang di kanan-kiri, muka-belakang, berdinamika sambil mengabadikan sinyal energi yang terjadi dari setiap perbuatan kita. Dua malaikat itu kita kenal sebagai Raqib dan Atid. Sebagaimana diceritakan dalam ayat berikut ini.

QS. Qaaf (50): 17-18
Ketika merekam dua (malaikat) perekam, berdinamika di sebelah kanan dan di sebelah kiri. Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkan (oleh seseorang) kecuali di dekatnya ada pengawas (raqib) yang selalu hadir (atid).

Nama malaikat Raqib dan Atid itu memang ’dipinjam’ dari istilah dalam ayat tersebut, Raqibun atidun yang bermakna pengawas yang selalu hadir. Dalam ayat-ayat berikutnya, Allah menceritakan bahwa para pengawas itu akan mengikuti manusia sampai saat kematiannya, dan terus mengikutinya sampai kelak dibangkitkan. Lantas menunjukkan seluruh hasil rekaman hidup kita untuk dijadikan ’bukti pengadilan’.

QS. Qaaf (50): 19-23
Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.

Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman (hari pengadilan).

Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan (malaikat) penggiring dan penyaksi.

Sesungguhnya kamu lalai tentang hal ini, maka Kami singkapkan tabir (yang menutupi) pandanganmu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.

Dan yang menyertainya berkata: "Inilah (rekaman) yang tersedia".

Sangatlah menarik, bahwa al Qur’an sudah memberikan sinyal tentang proses rekaman yang memang terjadi di alam semesta ini. Secara detil, mekanisme rekaman ini kita yakini akan terungkap lewat penelitian ilmiah. Tetapi secara global, itu mirip dengan rekaman digital-optikal yang dewasa ini menjadi teknologi paling mutakhir dalam proses rekam-merekam.

Dalam dunia digital, mekanisme rekaman yang terjadi di alam semesta itu mirip komposisi 0 dan 1, yang membekas dalam struktur energi alam. Kombinasi nol dan satu itulah yang membentuk kode-kode digital di alam semesta. Kadang saya membayangkan struktur energi alam semesta itu seperti sebuah ’jaring ikan’ yang sedang dibentang kencang. Setiap Anda memutuskan satu benang jaring, Anda akan mendapati jaring ikan itu berubah posisi, tidak simetris. Bukan hanya secara digital proses itu terjadi, melainkan juga secara optikal. Agaknya ini terkait dengan wujud malaikat sebagai makhluk cahaya, yang merekam seluruh perbuatan kita lewat komposisi optik.

Secara optikal, proses rekaman digital ini mirip dengan pembuatan keping VCD. Pabrik rekaman membuat ’bekas-bekas’ di permukaan keping VCD sehingga membentuk formasi digital tertentu, yang kemudian bisa dibaca ulang oleh ’mata optik’ digital sebuah perangkat multi media, saat kita ingin melihat dan mendengar hasil rekaman tersebut.

Karena keping VCD rekaman perbuatan kita itu berada di ruang alam semesta, maka kelak, hasil rekaman itu juga bakal diputar di ruang alam semesta. Ini mirip dengan film hologram yang bisa ditayangkan di dalam ruang tiga dimensi. Layarnya bukanlah dinding, melainkan ruang. Dengan kombinasi sorotan lampu dari sejumlah proyektor, maka di tengah-tengah ruangan tersebut bisa muncul gambar-gambar transparan yang tampak oleh penglihatan mata kita.

Di layar tiga dimensi yang berupa ruang itu, Allah akan menayangkan seluruh cerita kehidupan kita sejak lahir sampai meninggal. Itulah hasil karya para malaikat yang selalu mengikuti kita setiap saat. Pengawas yang selalu hadir. Tidak pernah tidak hadir. Berbuat baik direkamnya, berbuat jahat juga direkam. Berbuat sembunyi-sembunyi terekam alam, berbuat terang-terangan pun terekam alam. Pokoknya apa pun yang kita lakukan tidak ada yang tidak terekam. Dan pada saatnya kelak, kita akan menyaksikan sendiri seluruh rekaman kehidupan itu tanpa ada sensor sedikit pun..!

Kata ayat di atas, Allah akan menyingkapkan tabir pandangan yang selama ini membatasi kita. Tabir dimensi yang belum bisa kita tembus selama di dunia. Ketika tabir dimensi itu sudah dibuka oleh-Nya, maka penglihatan kita pun bakal menjadi sangat tajam. Bisa melihat segala sesuatu yang sekarang tidak terlihat, dengan izin-Nya. Setiap kita bakal menyaksikan tayangan ’film hologram’ yang diputar secara riil di hadapan kita.

Allah bentangkan ’layarnya’, Dia hidupkan ’proyektornya’, dan Bumi pun menjadi terang benderang dengan cahaya-Nya. Maka setiap diri bakal menyaksikan perbuatannya sendiri sambil disaksikan oleh para nabi dan semua makhluk penyaksi. Allah tinggal memberikan keputusan berdasar apa yang kita lakukan sendiri selama hidup di dunia ini..!

QS. Az Zumar (39): 69
Dan terang benderanglah bumi dengan cahaya Tuhannya; dan ditunjukkanlah hasil rekaman (kehidupannya di dunia) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi serta diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka sama sekali tidak akan dirugikan.

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 20 Februari 2011 pukul 10:48


Minggu, 20 Februari 2011

MEMENTINGKAN AKHIRAT TIDAK AKAN KEHILANGAN DUNIA ~ PENTING MANA DUNIA ataukah AKHIRAT (3)

’Kebetulan’ hari ini saya membaca tulisan opini di koran Jawa Pos, yang membahas tentang ’penting mana dunia dan akhirat’. Tulisan berjudul ’Amal Dunia dan Amal Ukhrawi’ itu ditulis oleh Salahudin Wahid, salah seorang pemikir Islam yang kebetulan adik Gus Dur. Ia mencoba mengritisi tulisan sebelumnya di koran yang sama, yang diwacanakan oleh budayawan nasional yang sekaligus pemikir Islam lainya, Gus Mus.

Beberapa hari yang lalu, Gus Mus menulis wacana, yang intinya kurang lebih mengatakan adanya penyimpangan mindset dalam diri bangsa ini. Kenapa korupsi merajalela dimana-mana, kenapa perselingkuhan menjadi hal yang biasa, kenapa rebutan kekuasaan menjadi berita sehari-hari, dan kenapa berbagai tindak kejahatan semakin hari semakin lazim terjadi? Gus Mus berpendapat: karena sebagian besar kita salah menata mindset alias cara berpikir. Kita tidak lagi memandang akhirat sebagai tujuan hidup utama, melainkan terjebak dengan mematok ’kesenangan’ dunia belaka.

Lantas, Salahudin Wahid memberikan tanggapan dengan cara yang berbeda. Meskipun, menurut saya tidak frontal berseberangan. Bahwa, semua kejahatan itu terjadi, karena kebanyakan kita terjebak pada godaan 3 Ta ~ harTa, tahTa dan waniTa. Sehingga muncul berbagai kejahatan yang merusak. Karena itu, negara dan bangsa ini harus memiliki sistem manajemen kemasyarakatan yang kuat untuk mengendalikan euforia keduniawiaan. Diantaranya, penegakan hukum yang bersih dan berwibawa. Tapi sayangnya, katanya, para penegak hukum sendiri pun ternyata terjebak pada 3 Ta, sehingga karut marutlah yang terjadi di sekitar kita... :(

Saya tidak ingin membahas lebih lanjut wacana kedua tokoh pemikir Islam itu disini. Saya cuma ingin menunjukkan adanya ’kebetulan’, bahwa ternyata ada kesamaan ’keprihatinan’ yang muncul dalam benak kita. Sebuah keprihatinan yang juga disuarakan oleh al Qur’an. Bahwa, kebanyakan manusia terjebak ke dalam euforia kesenangan dunia, ketika mindset tidak ditata secara benar dalam menyikapinya.

QS. Al An’aam (6): 70
... mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Ingatkanlah (mereka) dengan Al Qur'an agar masing-masing diri tidak terjerumus ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri...

Kalau Anda membaca al Qur’an lebih jauh, Anda akan mendapati begitu banyaknya ayat-ayat yang menyuarakan keprihatinan seperti ini, dan kemudian mengingatkan kita. Sebuah ’kekhawatiran’ yang sebenarnya tidak berlebih-lebihan, karena sudah demikian banyak bukti yang terjadi. Lupa akhirat, karena disibukkan oleh urusan dunia. Dan akhirnya lupa diri, tiba-tiba kematian sudah di depan mata.

QS. At Takatsur (102): 1-2
Bermegah-megahan (dengan dunia) telah melalaikan kamu, sampai kamu (menjelang) masuk kubur...

Kalau kita mau jernih memandang persoalan ini, sebenarnya apa yang diajarkan oleh al Qur’an sangatlah logis dan rasional. Allah sama sekali tidak menyuruh kita mengejar akhirat dengan cara meninggalkan dunia. Oh, bukan begitu kan ajarannya? Yang diajarkan Allah kepada kita cuma: ’’carilah kebahagiaan AKHIRAT, dan jangan LUPAKAN dunia..!’’

QS. Al Qashash (28): 77
Dan carilah pada segala anugerah yang telah diberikan Allah kepadamu (orientasi) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan duniamu dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu...

Inilah visi menejemen kehidupan yang sempurna..! Menempatkan akhirat secara proporsional sebagai tujuan, dan menjadikan dunia secara proporsional sebagai ’jalan’. Dari segi urutan waktu, akhirat memang berada setelah dunia. Karena itu, ia layak dijadikan TUJUAN. Sedangkan dunia hanyalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan. Karena itu, jangan sampai terjebak di jalanan, bisa-bisa tidak sampai ke tujuan. Lha wong, dari Surabaya mau ke Jakarta, kok leyeh-leyeh di Semarang terlalu lama. Tentu saja, sampai waktunya habis, ia tidak akan sampai di Jakarta... :(

Sebagian kawan begitu khawatirnya kehilangan dunia. Sehingga ketika ditanya: penting mana dunia dan akhirat? Ragu-ragu untuk menjawab: Akhirat. Sebagian lagi, juga ragu-ragu, karena khawatir kalau menjawab ’akhirat’, jangan-jangan akan membuatnya ’lupa dunia’. Padahal itu tidak mungkin.

Kita tidak akan kehilangan dunia, gara-gara menjadikan akhirat sebagai tujuan hidup. Lha wonguntuk memeroleh kebahagiaan akhirat itu kita harus memeroleh dunia dulu. Dunia adalah modal untuk menggapai akhirat. Tapi tidak selalu bersifat material. Karena itu perhatikanlah ayat di atas, bahwa untuk mencari kebahagiaan akhirat kita justru harus memanfaatkan segala anugerah Allah di dunia ini: ’’Dan carilah pada segala anugerah yang telah diberikan Allah kepadamu (orientasi) negeri akhirat...’’

Kita dianugerahi rezeki, maka dengan rezeki itulah kita mencari kebahagiaan akhirat, banyak-banyak beramal jariyah. Kita dianugerahi ilmu, maka dengan ilmu itulah kita mencari orientasi akhirat dengan menebarkan manfaat. Kita dianugerahi kekuasaan, maka dengan kekuasaan itu pula kita mencari nilai-nilai yang mengantarkan hidup kita jadi berkualitas akhirat. Segala anugerah itu memang terkait dengan kerja keras kita, tetapi jangan sampai terjebak pada orientasi dunia yang bersifat jangka pendek belaka.

Orang-orang yang bekerja keras sambil mengorientasikan hidupnya untuk negeri Akhirat, akan dimuliakan Allah di dunia dengan banyak anugerah. Dia banyak menolong orang lain dengan rezekinya, maka Allah akan menambahkan barokah pada rezekinya. Dia banyak memintarkan orang lain dengan ilmunya, maka Allah akan menambahkan limpahan ilmu kepadanya. Dia banyak memberikan kemaslahatan dengan kekuasaannya, maka Allah akan menjadikan ’kerajaan’ yang besar dan mulia kepadanya di dunia dan di akhirat..!

Sebaliknya, kalau mindset kita sudah mengatakan ’penting dunia’, maka segala kerja keras kita akan menghabiskan energi hanya untuk mencari kesenangan dunia sebanyak-banyaknya. Sampai tiba-tiba kita menjadi lupa orientasi akhirat. Contohnya sudah bejibun banyaknya. Bahkan dalam skala tertentu, juga sudah terjadi pada diri kita..!

Cobalah bertanya kepada diri sendiri: berapa banyak energi yang Anda keluarkan setiap hari untuk berusaha menggapai akhirat? Sebutlah jumlah waktu saja. Misalnya, dalam 24 jam sehari semalam, berapa jamkah Anda mengalokasikan waktu Anda untuk akhirat?

Tidur yang sekitar 8 jam itu, apakah sudah berorientasi akhirat? Bekerja mencari rezeki, yang minimal sekitar 8 jam itu, apakah juga sudah berorientasi akhirat? Makan, yang kadang-kadang juga berjam-jam sambil wisata kuliner itu, apakah sudah berorientasi akhirat? Berumah tangga, bermasyarakat, berpolitik, belajar dan mengajar, dan apa saja yang kita lakukan, apakah sudah berorientasi akhirat?

Jangan-jangan 24 jam waktu kita, tenyata baru berorientasi dunia. Lupa akhirat. Tidurnya, ingin bernikmat-nikmat sampai lupa segala. Bekerjanya karena ingin menumpuk harta benda, seakan-akan itu akan memberikan kebahagiaan yang tiada batasnya. Berumah tangganya, hanya karena orientasi fisikal belaka, belajar mengajarnya hanya untuk berbangga-bangga, dan semua aktifitasnya berorientasi jangka pendek semua. Oh, betapa sayangnya..!

Padahal dengan aktifitas yang sama, kita bisa memeroleh nilai akhirat tanpa harus kehilangan nikmatnya dunia. Tidur, kita niatkan sebagai ibadah agar badan kita istirahat secukupnya, sehingga setelahnya bisa beraktifitas kembali untuk memberikan manfaat. Makan, kita niatkan ibadah agar tubuh memperoleh gizi secukupnya dan kuat bekerja, bukan untuk hura-hura sampai lupa segala. Bekerja, kita niatkan ibadah untuk memperoleh rezeki bagi keluarga dan siapa saja yang menjadi tanggungan kita. Bertemu sahabat kita niatkan ibadah, berdiskusi, belajar dan mengajar, berpolitik, berbudaya, dan apa saja aktifitas kita dalam hidup ini kita niatkan sebagai ibadah untuk mencari jalan mendekatkan diri kepada-Nya. Yang ada dalam benak kita bukanlah dunia, melainkan AKHIRAT, akhirat, dan akhirat..!

Jika tidak, maka kata Allah, jangan menyesal kalau tiba-tiba usia kita sudah habis. Dan tidak menemukan apa-apa di dunia ini meskipun sudah behasil mengumpulkan segala fasilitasnya. Celakanya, kita lantas masuk liang kubur meninggalkan semuanya. Dan di fase kehidupan berikutnya, kita tidak memiliki ’tabungan akhirat’, yang layak kita jadikan bekal dalam kehidupan yang sepenuhnya masih belum kita mengerti.

Persis penyesalan orang yang diceritakan oleh ayat berikut ini. Yakni, ketika dia meminta kepada Allah untuk dikembalikan ke dunia, setelah dia berada di alam barzakh..! Sebuah penyesalan yang terlambat datang, karena ia tidak mungkin hidup kembali untuk memperbaiki kesalahannya.

QS. Mukminuun (23): 99-100
(Demikianlah keadaannya), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku beramal kebajikan terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak (bisa). Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.

Dan lebih celaka lagi, ketika kelak datang hari pengadilan. Allah ’melupakan’ mereka, dikarenakan dia juga melupakan Allah selama aktifitasnya di dunia. Hidupnya bukan diorientasikan kepada kehidupan akhirat, melainkan terjebak pada euforia dunia yang semu dan menipu. Bukan karena Allah tidak sayang kepada kita, tetapi justru kitalah yang tidak sayang kepada diri sendiri..!

QS. Al A’raaf (7): 51
... kehidupan dunia telah menipu mereka. Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (karena) mereka tidak mengikuti (petunjuk) ayat-ayat Kami...

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 19 Februari 2011 pukul 10:28


Sabtu, 19 Februari 2011

KITA SUDAH BERADA DI DALAM AKHIRAT ~ PENTING MANA DUNIA ataukah AKHIRAT (2)

Dimanakah kita sekarang berada? Di dunia ataukah di akhirat? Tentu saja di DUNIA. Lantas, dimanakah akhirat? Alam akhirat sudah MELIPUTI dunia ini. Hahh, berarti dunia ini di dalam akhirat? Begitulah agaknya..!

Akhirat dan dunia memang telah diciptakan Allah satu paket, secara bersamaan. Ada tujuh lapisan langit yang diciptakan Allah. Langit paling rendah adalah DUNIA, sedangkan langit paling tinggi adalah AKHIRAT. Semuanya sekarang sudah ada, dengan struktur: langit yang lebih rendah diliputi oleh langit yang lebih tinggi. Bagaimana ceritanya, kok bisa muncul kesimpulan demikian? Marilah kita pahami beberapa alasan berikut ini:

1). Allah menyebutkan di dalam al Qur’an bahwa langit diciptakan bertingkat dan berlapis-lapis sejak semula.

QS. Al Mulk (67): 3
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang...

2). Langit adalah ruang angkasa yang ada ’diatas’ Bumi. Karena planet Bumi berbentuk bola, maka langit yang ada ’diatasnya’ pun jadi berbentuk bola. Yakni, seluruh ruang alam semesta yang meliputi bumi. Sehingga kalau ada tujuh langit bertingkat, berarti secara sederhana kita bisa membayangkan struktur langit itu mirip sebuah bola di dalam bola yang lebih besar di dalam bola yang lebih besar lagi sampai tujuh kali. Memang, ini hanya sebuah simplifikasi alias penyederhanaan saja dari struktur langit. Pembahasan lebih detil, secara teori dimensi, bisa Anda baca di dalam buku serial ke-3: ’Terpesona di Sidratul Muntaha’.
3). Langit dunia, kata al Qur’an, adalah seluruh ruangan yang berisi bintang-bintang. Dengan kata lain, sejauh ruangan angkasa itu masih terisi bintang, maka ia masih disebut sebagai langit dunia. Selebihnya, lapisan-lapisan langit yang lebih tinggi sudah tidak berisi benda-benda angkasa sebagaimana yang kita pahami dengan mata awam ini. Sudah berbeda dimensi.

QS. Ash Shaaffaat (37): 6
Sesungguhnya Kami telah menghias langit dunia dengan hiasan, yaitu bintang-bintang.

4). Setiap lapisan langit memiliki dimensi yang berbeda. Semakin keatas, semakin tinggi dimensinya. Dan dari setiap langit yang dimensinya berbeda itu, isi alam semesta akan kelihatan berbeda. Hal itu diceritakan Allah di dalam al Qur’an, bahwa karena langit ini berlapis tujuh, maka bumi yang kita tempati ini pun menjadi seperti ada tujuh ’penampakan’. Bukan planet buminya yang berjumlah tujuh, melainkan sudut pandangnya yang tujuh.
Bumi dilihat dari langit pertama berbeda dengan dilihat dari langit kedua. Berbeda pula dilihat dari langit ketiga, dan seterusnya. Sampai langit ketujuh. Karena itu, dalam ayat berikut ini, meskipun Allah menggunakan kata jamak untuk langit ~samawati~ tetapi tetap menggunakan kata tunggal untuk bumi, ardhi. Ini menunjukkan bahwa jumlah Bumi di alam semesta ini memang hanya satu. Sekaligus, ini mematahkan pendapat tentang keberadaan bumi lain selain yang kita tempati.

QS. Ath Thalaaq (65): 12
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit (samawati) dan seperti itu pula bumi (ardhi). Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.

5). Alam akhirat ternyata sudah ada, yakni di puncak langit yang dinamakan Sidratul Muntaha. Itulah lapisan langit yang tertinggi, yang ketujuh. Rasulullah sudah sampai disana, dan melihat surga sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut ini.

QS. An Najm (53): 14-15
Di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal...

Di ayat lain, Allah juga menceritakan bahwa besarnya surga adalah seluas langit dan bumi. Langit dan bumi yang mana? Tentu saja yang tujuh lapis, karena alam akhirat memang terletak di langit yang tertinggi yang meliputi seluruh langit lainnya. Sehingga, dalam ayat berikut ini Allah menggunakan istilah samawatu (jamak) bukan sama’u (tunggal) dalam menyebut langit.

QS. Ali Imran (3): 133
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit (samawatu) dan bumi (ardhu) yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.

6). Maka, secara umum bisa disimpulkan bahwa langit berlapis tujuh itu terdiri dari langit dunia di bagian yang paling kecil, dan langit akhirat di bagian yang paling besar. Dengan kata lain, ’dunia’ ini berada di dalam ’akhirat’. Alias, dunia ini adalah ’bagian’ dari akhirat. Alam semesta sebenarnya adalah satu paket, terdiri dari dunia s/d akhirat, dalam bentuk alam paralel yang berjenjang semakin luas.
7). Jadi, secara ruangan, alam akhirat sudah ada bersamaan dengan alam dunia. Akan tetapi secara waktu, akhirat baru ditampakkan kelak saat alam semesta mengalami kiamat pertama. Atau yang kita kenal sebagai kiamat sughra, kiamat kecil. Yakni seiring dengan mengerutnya alam semesta.

QS. Qaaf (50): 22
... maka Kami singkapkan darimu tabir (yang menutupi) pandanganmu, maka penglihatanmu pada hari itu (kiamat) amatlah tajam.

QS. Ath Taariq (86): 9
Pada hari ditampakkan segala rahasia

QS. Az Zumar (39): 69
Dan terang benderanglah bumi dengan cahaya Tuhannya; dan diberikanlah buku (catatan perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan.

8). Ada yang mempertanyakan: kenapa saya berpendapat alam semesta bakal mengerut dan hancur di tempat penciptaannya semula? Padahal ada kemungkinan lain, misalnya alam semesta ini mengembang terus sehingga mendingin dan lenyap atau musnah karenanya.
Jika kita mengkaji teori Big Bang, maka akan kita dapati bahwa alam semesta ini terbentuk dari lontaran material dan energi dari pusat alam semesta, sekitar 14 miliar tahun yang lalu. Untuk memahami perilaku benda langit yang terlontar dalam ledakan besar itu, kita bisa menganalogikan dengan batu yang dilemparkan ke angkasa. Jika Anda melempar sebuah batu ke angkasa, akan ada tiga kemungkinan yang bakal terjadi pada batu itu.

Yang pertama, jika tenaga lemparannya sangat kuat sehingga mengalahkan gaya gravitasi bumi, batu tersebut bakal lepas dari bumi dan lenyap ke luar angkasa. Yang kedua, jika kekuatan lemparannya seimbang dengan gaya gravitasi bumi, maka batu tersebut akan berhenti di suatu ketinggian di angkasa sana. Tidak lenyap ke langit, dan tidak jatuh ke bumi. Yang ketiga, jika gaya lempar batu itu lebih kecil dibandingkan dengan gravitasi bumi. Maka, batu yang dilemparkan ke angkasa itu akan melambat, kemudian berhenti di angkasa, lantas bergerak jatuh lagi ke permukaan bumi.

Nah, saya memang memilih kemungkinan yang ketiga. Kenapa? Ada dua alasannya. Yang pertama, secara ilmiah kini semakin banyak ditemukan dark matter di kedalaman alam semesta. Diketemukannya materi gelap ini, akan membawa konsekuensi semakin besarnya ’bobot materi’ yang ada di pusat alam semesta. Yang suatu ketika, bakal menunjukkan fakta bahwa jumlah materi alam semesta itu ternyata menghasilkan gaya gravitasi yang sedikit lebih besar dari gaya ledakan saat pertama kali.

Ibarat sebuah balon udara yang sedang ditiup, maka kekuatan mengembang alam semesta ini suatu saat akan berhenti, dan kemudian kempis lagi. Atau dalam analogi batu yang terlempar diatas, bebatuan yang terlontar ke segala penjuru alam semesta itu akan melambat, berhenti, dan kemudian jatuh lagi ke pusat alam semesta.

Alasan yang kedua, saya dapatkan dari dalam al Qur’an. Ternyata Allah mengatakan bahwa langit yang sedang mengembang ini tidak akan lenyap tanpa batas, melainkan bakal mengerut kembali. Digulung seperti lembaran-lembaran kertas, kembali ke posisi semula dimana ia pernah digelar saat penciptaan.

QS. Faathir (35): 41
Sesungguhnya Allah menahan langit (samawati) dan bumi supaya tidak lenyap; dan sungguh jika keduanya lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.

QS. Al Anbiyaa’ (21): 104
(Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama kali, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.

9). Kalau begitu, apakah alam semesta tidak bertambah sempit karenanya? Sehingga surga dan neraka pun menjadi sempit pula? Memang iya, tetapi penyempitan alam semesta dimana surga dan neraka ada di dalamnya itu tidak akan terasa, dikarenakan proses transient saat keruntuhannya, sebagaimana pula saat penciptaannya.
Ada baiknya kita melihat analogi berikut ini. Ada dua batang besi magnet yang secara perlahan-lahan didekatkan pada kutub-kutub yang tidak senama, sehingga muncul gaya tarik menarik. Maka, secara perlahan-lahan kedua besi tersebut akan mendekat karena gaya tarik yang relatif masih linear. Tetapi, pada jarak tertentu yang sudah cukup dekat, kedua batang besi magnet itu tiba-tiba melekat dengan kecepatan berlipat kali, sehingga mengagetkan kita sendiri: blaakk..! Inilah yang disebut sebagai transient.

Saat pertama kali alam diciptakan oleh Allah, ledakannya akan terjadi secara transient, yakni mengembang dengan cepat akibat gaya lontar yang luar biasa besarnya. Itu terjadi hanya dalam orde detik atau menit saja. Setelah itu, alam semesta akan mengembang relatif lebih linear dan ’perlahan-lahan’. Sehingga bermiliar-miliar tahun pun rasanya alam semesta ini ya begini-gini saja. Seperti tidak ada perubahan.

Sebaliknya, pada saat mengerut kelak, alam semesta juga akan mengecil secara ’relatif linear’ dalam jangka waktu yang sangat lama, milyaran tahun. Dan bakal mengalami transient saat kehancurannya. Hanya dalam orde detik atau menit saja: runtuh dan lenyap dengan cepat..! Mirip dengan dua batang magnet yang melekat secara cepat ketika dalam posisi dekat. Itulah saat berakhirnya alam semesta menuju pada ketiadaan.

Maka, apakah kesimpulan yang bisa kita peroleh dari paparan yang serba singkat ini? Saya cuma ingin mengatakan, bahwa kehidupan kita di dunia ini sebenarnya sudah sekaligus berada di akhirat..!

Dengan demikian, seluruh perbuatan kita yang bersifat ’duniawi’, sesungguhnya pula sudah bersifat ukhrawi alias keakhiratan. Setiap amalan yang kita kerjakan, telah berdampak secara paralel, di alam dunia dan alam akhirat. Berbuat baik, tercatat di dunia dan akhirat. Berbuat jahat, juga berdampak langsung pada dunia dan akhirat.

Bedanya, yang dunia akan menghasilkan balasan sekarang di dunia. Sedangkan yang akhirat menghasilkan balasan tertunda setelah hari kiamat. Karena itu berhati-hatilah...!

QS. Al Baqarah (2): 281
Dan peliharalah dirimu dari hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dirugikan.

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 18 Februari 2011 pukul 9:01