Awas,
jangan sampai keliru bertuhan..! Bertuhan kepada yang remeh temeh akan mengantarkan
Anda kepada yang remeh temeh juga. Bertuhan kepada dunia, bakal memperoleh dunia.
Bertuhan kepada surga, cuma dapat surga. Bertuhan kepada Sang Penguasa segala, akan
mengantarkan Anda hidup mulia.
Secara
definitif, Tuhan adalah ’sesuatu’ yang selalu mendominasi perhatian kita, dan kita
anggap sebagai sumber segala kebahagiaan. Kualitas beragama seseorang sangat bergantung
pada persepsinya tentang Tuhan yang disembahnya itu. Jika persepsinya tentang Tuhan
rendah, maka kualitas agamanya pasti juga rendah. Sebaliknya, jika persepsinya tentang
Tuhan tinggi, kualitas beragamanya pun bakal tinggi. Perjalanan spiritualnya menjanjikan
kenikmatan yang tiada tara.
Ada
orang yang pusat perhatiannya dalam beragama adalah kepada ritual ibadah. Maka,
kenikmatan yang dia peroleh hanyalah sebatas menjalankan ritual belaka. Pokoknya
sudah bersyahadat, menjalankan shalat, berpuasa, zakat, dan haji, dia sudah merasa
puas. Kenikmatannya dalam beragama, ya hanya sebatas itu. Apakah tidak boleh? Oh,
ya boleh-boleh saja. Terserah Anda. Tetapi, betapa sayangnya...
Orang
yang beragamanya hanya demikian, jauh kalah nikmat dibandingkan dengan orang yang
mempelajari dan memahami makna ibadah ritual. Bisa Anda bayangkan, betapa nikmatnya
orang yang bisa menyelami makna syahadatnya? Perjalanan spiritualnya adalah sebuah
proses kesaksian atas keberadaan Allah sebagai Tuhannya. Dan Rasulullah sebagai
panutannya.
Bisa
kita bayangkan juga, betapa nikmatnya orang yang bisa khusyuk menjalani shalatnya.
Sejak takbiratul ihram yang menggetarkan jiwanya, membaca al Fatihah yang penuh
makna, rukuk dan bersujud dalam nuansa pengagungan Tuhannya. Dan kemudian bershalawat
kepada nabi tercinta yang ditutup dengan salam hangat buat saudara-saudara seagamanya.
Atau
bisa Anda bayangkan pula, mereka yang telah berhasil menjalankan ibadah penuh makna
dalam puasanya, zakatnya dan hajinya. Beserta dzikir, doa, dan segala amal ibadahnya.
Mereka larut bukan hanya dalam ritual ibadah yang kering rasa, melainkan tenggelam
dalam perjalanan makna yang terkandung dalam ibadah yang dihayatinya.
Tetapi,
ketika dikaitkan dengan proses bertuhan, tingkatan ritual dan makna ini sebenarnya
masih berada pada tataran awal perjalanan tauhid seseorang. Dan dengan sendirinya,
juga perjalanan spiritualnya. Orientasi spritualnya masih berkutat pada diri sendiri.
Dalam bahasa tauhid, ketauhidannya masih egoistik. Dia belum bertuhan kepada ’Sesuatu’
yang lebih tinggi, yang seharusnya berproses dengan cara merendahkan kepentingan
egonya.
Pemaknaan
segala ritual ibadah yang bersifat personal antara seseorang dengan Allah memang
menjanjikan kenikmatan yang luar biasa. Tetapi, akan menjadi lebih luar biasa lagi,
ketika proses spiritual yang egoistik itu bergeser kepada hal-hal yang bersifat
sosialistik. Ini memang seiring dengan apa yang telah kita bahas dalam note tentang kebahagiaan,
terdahulu.
Fokus
perhatiannya, sebenarnya bukan hanya pada perolehan kenikmatan yang lebih tinggi,
melainkan lebih kepada proses peniadaan diri. Atau, setidak-tidaknya pengurangan
kepentingan diri sendiri. Dan menggeser kepada kepentingan orang lain, dengan tetap
berdasar pada ketauhidan.
Kenapa
ibadah sosial memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan ibadah personal? Karena,
seiring dengan amalan sosial itu, kita sedang berproses untuk mengurangi egoisme.
Dan ini diperlukan untuk menuju kepada Allah. Hanya orang-orang yang egonya rendah
saja yang akan bisa mendekatkan diri kepada Allah. Salah satu proses yang harus
dilewati adalah berkorban untuk orang lain.
Jadi,
kalau kita menolong orang lain, dengan masih punya tendensi untuk memperoleh ’sesuatu
imbalan’ dari proses itu, maka itu justru akan mengurangi nilai spiritual yang sedang
kita jalankan. Proses pengurangan ego tidak terjadi. Dan proses mendekat kepada
Allah pun dengan sendirinya tidak terjadi. Yang ada justru memupuk kepentingan diri
sendiri, yang dalam skala tauhid bisa disebut lebih ’bertuhan kepada diri sendiri’
dari pada bertuhan kepada Allah.
Dalam
konteks tersebut, pada hakekatnya, kita tidak sedang berbuat kebajikan sosial kepada
orang lain, tetapi sedang menunggangi penderitaan mereka untuk memperoleh kenikmatan
pribadi. Juga, sebenarnya, kita tidak sedang berproses mendekat kepada Allah dengan
cara menaati-Nya, berkorban, dan bersyukur kepada-Nya, melainkan malah memanipulasi
Tuhan untuk memenuhi tujuan mencari kebahagiaan diri sendiri.
Padahal,
kenikmatan yang kita peroleh dalam ibadah sosial itu justru adalah ketika kita bisa
meniadakan kepentingan diri sendiri, dan ikhlas berkorban untuk kepentingan orang
lain. Maka, dalam waktu bersamaan kita akan memeroleh dua kebahagiaan sekaligus.
Yang pertama, karena melihat orang lain bahagia dikarenakan pengorbanan kita. Dan
yang kedua, karena kita bisa berproses meniadakan diri dalam mendekatkan diri kepada-Nya.
Pada tingkat ini, kebahagiaannya jauh lebih hebat dibandingkan yang sekedar memahami
makna ibadah secara personal.
Tak
jarang kita melihat di sekitar kita, ataupun pada diri kita sendiri, bahwa segala
ibadah yang kita lakukan itu ternyata tidak berproses untuk bertuhan kepada Allah.
Bertuhan yang diajarkan oleh Islam adalah sebuah proses ’peniadaan diri’ untuk memunculkan
Eksistensi Allah dalam seluruh lini kehidupan kita. Ini menjadi jalan spiritual
utama dalam perjalanan kehidupan seorang muslim.
Sayangnya,
yang banyak terjadi, justru kita mengangkat ego kita sendiri untuk menyaingi eksistensi
Allah. Tanpa sengaja maupun dengan sengaja. Karena ketidaktahuan ataupun karena
keserakahan. Proses-proses keagamaan kita manipulasi untuk menyenangkan diri sendiri.
Dan segala yang diluar diri kita, kita ’paksa’ untuk memenuhi segala yang kita maui.
Termasuk Tuhan pun kita ’perintah’ untuk memenuhi segala kebutuhan itu.
Yang
demikian ini berbalikan dengan pelajaran utama dalam tauhid. Bahwa proses beragama
yang sebenarnya adalah: laa
ilaaha illallaah ~ peniadaan segala sesuatu sebagai Tuhan, dan menjadikan
Allah sebagai satu-satunya aktor dalam proses spiritual kita. Justru, kebahagiaan
akan muncul dengan cara peniadaan ego kita sebagai manusia, dan meleburkan diri
dalam Ego ketuhanan Allah sebagai Penguasa segalanya.
Kebahagiaan
bukan diperoleh dengan cara mengejar-ngejar, melainkan diterima sebagai anugerah
Allah, dikarenakan kita berhasil merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan
Sang Penguasa alam semesta. Bukan ’kepasrahan’ yang pasif, melainkan upaya berserah diri yang aktif,
lewat perjuangan tiada henti. Dalam istilah yang berbeda, adalah menundukkan dorongan
hawa nafsu yang egoistik, dan mengikuti naluri fitrah yang ilahiah.
Segala
upaya duniawi yang kita lakukan dalam hidup ini justru hanya menjadi sarana untuk
meniadakan kepentingan egoistik itu. Harta benda, ilmu, kekuasaan, istri, suami,
anak-anak, sampai pada tatanan masyarakat yang ada di sekitar kita, semuanya sekedar
sarana bagi perjalanan spiritual yang mendalam. Bukan dengan cara mengasingkan diri
dari semua hiruk pikuk duniawi, melainkan justru harus mencebur ke dalam realitas.
Kita
tidak akan bisa melepaskan diri dari semua sarana kehidupan ini. Tetapi, kita bisa
menata mindset kita
bahwa semua itu bukan Tuhan bagi kita, dimana kebahagiaan kita digantungkan kepadanya.
Justru, kebahagiaan sejati bakal muncul dengan cara membuktikan bahwa penguasaan
kita atas semua fasilitas duniawi itu tidak membuat kita bergantung kepadanya, sebagai
manifestasi dari kalimat: laa
ilaha (tidak ada Tuhan pada semua fasilitas duniawi itu). Dan kemudian
kita abdikan seluruh hasil perjuangan kita itu kepada Allah, sebagai aplikasi kalimat
lanjutannya: illallaah
(kecuali hanya kepada Allah semata).
Proses
demikian, bukan hanya kita tujukan kepada fasilitas duniawi, melainkan juga fasilitas
ukhrawi alias keakhiratan. Banyak orang terjebak kepada keinginan untuk memperoleh
surga, seakan-akan surga adalah segala-galanya bagi kehidupan akhiratnya. Jika itu
yang terjadi pada pikiran kita, maka sesungguhnya kita telah terjebak kepada menuhankan
surga. Tak ada bedanya, dengan kita menganggap berbagai fasilitas dunia ini sebagai
sumber segala kebahagiaan kita. Dimana, kita sampai tega menempatkan Allah sebagai
’pelengkap penderita’ yang cuma kita sembah-sembah ketika kita membutuhkan-Nya.
Kita
boleh berdoa memohon rezeki, tetapi awas jangan sampai menuhankan rezeki. Kita boleh
memohon ilmu, tetapi jangan sampai terjebak pada kesombongan keilmuan. Kita juga
boleh memohon kekuasaan, tanpa harus terperangkap pada keserakahan. Termasuk kita
boleh memohon surga, tanpa harus memandang surga sebagai ’segala-galanya’..!
Justru,
orang yang menganggap surga sebagai sumber segala kebahagiaannya, mereka tidak akan
menemukan kebahagiaan di surga. Mereka bakal kecele, karena surga hanya akan terasa
indah bagi orang-orang yang menempatkan Allah sebagai Tuhannya. Jika yang dibayangkan
adalah sekedar kenikmatan bendawi, Anda akan benar-benar bosan karenanya.
Lha wong sekarang saja, sudah banyak yang tidak tertarik dengan gambaran
surga yang bendawi itu. Disana ditawarkan susu dan madu, padahal kita sudah sering
minum susu madu, bahkan juga termasuk telur dan jahenya, STMJ. Disana ditawarkan
buah-buahan, hampir setiap hari orang Indonesia makan buah-buahan. Disana ditawarkan
gelang-gelang emas, ah sekarang trend perhiasan sudah bukan pada emas lagi, melainkan
platina alias emas putih. Disana ditawarkan wanita dan pemuda-pemuda sebagai istri
dan suami penghuninya, lha
disini sudah banyak yang poligami ataupun kawin cerai. Dan seterusnya. Dan lain
sebagainya.
Jika
kita memandang surga seperti itu, dan menggantungkan kebahagiaan kita serendah itu,
maka jangan menyesal kalau kita tidak akan memperoleh kebahagiaan karenanya. Karena
yang demikian ini adalah persepsi spiritual yang rendah tentang apa yang disebut
sebagai kebahagiaan. Dan, jelas-jelas sebuah kesalahan persepsi atas berita surga
di dalam al Qur’an al Karim. Karena, kata Allah, apa yang digambarkan itu tak lebih
hanyalah perumpamaan
belaka..!
QS. Ar Ra’d (13): 35
Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman),
mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti, sedang naungannya (demikian
pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa; sedang tempat kesudahan
bagi orang-orang kafir ialah neraka.
QS. Muhammad (47): 15
Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa, di dalamnya ada
sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air
susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi
peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya
segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, (apakah) sama (penghuni
surga) dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih
sehingga menghancurkan ususnya?
Maka,
awas jangan sampai salah bertuhan..! Bertuhan yang sesungguhnya hanyalah kepada
Allah saja. Kebahagiaan akan datang dengan sendirinya sebagai anugerah dari-Nya,
saat seluruh jiwa kita hanya terisi oleh Nama-Nya. Karena sesungguhnya, kebahagiaan
itu hanya efek saja dari sebuah proses penyerahan diri secara total kepada Allah
Sang Maha Penyayang lagi Maha Bijaksana..!
QS. Al Hasyr (59): 24
Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang
Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit
dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
QS. Saba’ (34): 1
Segala puji bagi Allah yang memiliki semua yang ada di langit dan
apa yang ada di bumi dan bagi-Nya segala puji di akhirat. Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
Wallahu
a’lam bishshawab
~
salam ~
oleh Agus
Mustofa pada 22 Februari 2011 pukul 9:33