Selasa, 31 Juli 2012

BERIJTIHAD MENCARI SOLUSI PERBEDAAN ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (10) ~

oleh Agus Mustofa pada 31 Juli 2012 pukul 6:18

Betapa nikmatnya bertafakur di bulan Ramadan. Apalagi bersama sejumlah pemikir Islam, yang tulisan-tulisannya tertuang di kolom Tafakur Jawa Pos ini. Kita memperoleh banyak hikmah dan pencerahan, serta arah yang jelas dalam menjalankan agama dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa ada beberapa perbedaan diantara buah pikiran tersebut, itu menjadi keniscayaan. Tetapi, justru disitulah Allah menaburkan hikmah dan rahmat-Nya.

Saya terkesan dengan tulisan Pak Said Aqil Siroj, ketua umum PBNU, kemarin, tentang perlunya umat Islam kembali kepada substansi ibadah puasa. Bahwa bulan suci ini harus dimaknai sebagai bulan perjuangan (syahrul jihad), bulan bertafakur (syahrul ijtihad), dan bulan berspiritual (syahrul mujahadah). Ini sungguh cocok dengan kolom Tafakur yang digagas Jawa Pos.

Maka sejak pertama tulisan saya dimuat di kolom ini, saya sudah berniat untuk mengajak pembaca Jawa Pos melakukan tafakur dan ijtihad dalam mencari solusi atas ‘masalah tahunan’ umat Islam dalam menyongsong Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha. Meskipun, sebagian kita berpendapat bahwa masalah ini adalah ‘masalah kecil’ yang tidak perlu dibesar-besarkan. Tapi, saya justru melihatnya sebagai masalah yang memprihatinkan, sebagaimana disuarakan oleh jutaan umat Islam Indonesia secara diam-diam.

Saya khawatir, anggapan bahwa ini adalah hal kecil yang remeh temeh itu dikarenakan kita sudah ‘terbiasa’ menghadapinya selama bertahun-tahun. Sehingga hal yang menurut saya sangat serius ini kita anggap sebagai masalah kecil. Salah satu pengalaman yang membuat saya prihatin dan bahkan merasa malu, adalah ketika saya bermukim di Mesir ditertawai oleh sejumlah kalangan umat Islam disana.

Mereka merasa ‘aneh bin ajaib’ dengan adanya perbedaan awal waktu ibadah di Indonesia. Baik Ramadan, Syawal, maupun Dzulhijjah, sebagaimana telah saya bahas dalam tulisan-tulisan terdahulu. Menurut mereka, mestinya hal itu tidak perlu terjadi. Rasa keumatan dan kebangsaan saya tersinggung, karena mereka menyebut-nyebut umat Islam Indonesia tidak mampu menyelesaikan ‘masalah kecil’ itu. Apalagi yang lebih besar.

Maka, dalam rangka menjembatani perbedaan ini, saya mengajukan usul yang oleh kawan saya dianggap agak aneh, yakni: memisahkan antara astronomi dan fikih dalam menentukan awal ibadah. Saya meyakini, hal tersebut bisa menjadi jembatan yang sangat berarti untuk mencari titik temu dari persoalan ini. Bahwa penetapan ‘awal bulan’ Ramadan dan ‘awal puasa’ Ramadan itu seharusnya dipisahkan. Hal ini sebenarnya sudah diindikasikan oleh pihak-pihak yang berbeda pendapat.

Di tulisan pak Said Aqil Siroj kemarin misalnya, dikutipkan rujukan kenapa kalangan NU mengambil sikap harus melakukan rukyatul hilal. Yakni, karena ada perintah sebagai berikut: ‘’Berpuasalah kamu berdasar melihat hilal (bulan), dan berlebaranlah kamu berdasar melihat bulan. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah.’’ (HR. Bukhari dan Muslim).

Tentu kita sangat menghargai rujukan yang bersifat perintah ini. Sebagaimana kita juga menghargai pendapat yang berbeda, yang merujuk kepada perintah ayat Qur’an: ‘’…barangsiapa menyaksikan datangnya bulan (Ramadan), hendaklah dia berpuasa di dalamnya.’’ [QS. Al Baqarah: 185].

Jadi, kedua belah pihak yang berbeda sebenarnya sama-sama berdasar pada perintah. Yang satu berdasar pada perintah hadits, yang lainnya berdasar pada perintah Al Qur’an. Yang satu berpatokan pada hilal alias bulan sabit yang terlihat mata, sedangkan yang lainnya berpatokan pada syahr alias bulan Ramadan yang ditandai oleh fase sesudah ijtima’. Tentu keduanya benar, sebagaimana dikatakan oleh pak Said Aqil Siroj, di tulisan tersebut. Karena itu, sebaiknya kita tidak usah mermpersoalkan fikih ibadah puasa ini lebih jauh.

Yang saya usulkan disini bukan sisi fikihnya, melainkan sisi Ilmu Falak alias Astronominya. Karena, secara astronomis, acuannya sangat jelas dan bisa dicek langsung di lapangan oleh seluruh penduduk Bumi. Sehingga mestinya tidak terjadi perbedaan. Baik yang muslim maupun yang bukan. Bahwa, Bulan itu memiliki fase-fase yang berbeda, diantaranya ada ‘bulan tua’ dan ‘bulan muda’. Pakar Ilmu Falak dari pihak-pihak yang berbeda pendapat sudah sama-sama mumpuni dalam hal ini, dan terbukti bisa memperoleh kesimpulan yang sama dalam menghitung ijtimak akhir Syakban: Kamis, 19 Juli 2012, sekitar pukul11.25 WIB.

Maka, sebenarnya semua sudah tahu, bahwa setelah ijtimak alias konjungsi pastilah datang fase ‘bulan baru’, yakni bulan Ramadan. Penandanya, diantaranya adalah pada lengkungan bulan sabitnya. Pada ‘bulan tua’, lengkungan sabitnya ke arah kanan. Sedangkan pada ‘bulan baru’, lengkungan sabitnya ke arah kiri. Saya yakin, seyakin-yakinnya, tidak ada perbedaan dalam hal ini bagi siapa saja yang mengerti Ilmu Falak.

Perbedaan itu memang bukan pada: sudah masuk atau belum masuknya bulan baru Ramadan, melainkan pada: kapan harus memulai puasa. Bagi yang mendasarkan awal puasanya dengan melihat hilal secara kasat mata, adalah benar untuk memulai puasanya di hari Sabtu, karena rujukan perintahnya memang begitu. Sebaliknya, bagi yang berpegang pada perintah agar berpuasa ketika syahr Ramadan sudah masuk, juga benar untuk memulai puasanya di hari Jumat, karena rujukannya juga demikian. Ini adalah perbedaan fikih alias khilafiyah yang tak perlu diperlebar lagi.

Sehingga, demi jalan tengah itu, saya lantas mengusulkan, mestinya redaksi penetapan ‘awal puasa’ Ramadan itu berbunyi begini: ‘’Semua pihak yang berkompeten sepakat bahwa bulan Syakban sudah berakhir hari Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25 WIB. Karena itu, Kamis sore ini bulan Ramadan sudah datang. Tetapi karena hilal tidak kelihatan, maka sesuai sunah Rasulullah SAW kita memulai puasa esok lusa, di hari Sabtu.’’.

Wallahu a’lam bishshawab.


Minggu, 29 Juli 2012

WAKTU MUTLAK DAN PENANGGALAN RELATIF ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (09) ~

oleh Agus Mustofa pada 29 Juli 2012 pukul 7:23

Tanggal berapakah sekarang? Orang Indonesia menyebutnya tanggal 29 juli 2012. Orang Cina menamakannya, 11 Bing Shen 4710. Dan orang Arab mengatakan, 10 Ramadan 1433 H. Padahal harinya sama. Tetapi, kenapa kok tanggalnya berbeda? Itulah realitas. Waktu alam semesta bersifat mutlak, tetapi waktu manusia berbeda-beda, bersifat relatif.

Memang, kalender bersifat kesepakatan manusia. Bisa dalam komunitas kecil, atau bangsa, atau dunia internasional. Tiga macam kalender yang saya sebut diatas adalah tiga kalender besar dunia, yang masing-masingnya dianut oleh miliaran penduduk bumi. Kalender Masehi alias Gregorian dipakai secara internasional, antar bangsa dan negara. Kalender Cina dipakai oleh bangsa Cina dimana pun mereka berada. Demikian pula kalender Hijriyah dipakai oleh umat Islam di berbagai negara.

Perbedaan antara satu kalender dengan lainnya, terletak pada sistem penghitungan dan permulaan tahun pertamanya. Kalender Masehi menganut sistem solar yang berbasis pada peredaran bumi mengelilingi matahari, dan memulai awal tahunnya dari kelahiran Al Masih. Sekarang sudah berumur 2.012 tahun. Kalender Cina menggunakan dasar perhitungan terpadu antara sistem matahari dan bulan (lunisolar). Dan awal tahunnya dimulai dari masa pemerintahan kaisar Huang Ti. Usia kalendernya sudah 4.710 tahun. Sedangkan kalender Hijriyah berdasar pada perputaran bulan (lunar), dan dimulai dari saat hijrahnya Rasulullah SAW. Usia kalendernya sudah 1.433 tahun.

Untuk menyebut fakta alam yang sama, ternyata manusia menggunakan cara berbeda-beda, tergantung pada kepentingannya. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi, masing-masing pengguna kalender tersebut sepakat bahwa kalender mereka berlaku internasional. Bukan hanya pada komunitas terbatas. Bahkan, semuanya ingin agar kalendernya dipakai sebagai pedoman internasional untuk menandai berbagai peristiwa.

Kalender Masehi adalah kalender yang paling global, dianut oleh hampir seluruh negara di dunia. Termasuk yang sudah punya kalender Cina dan Hijriyah. Sedangkan Kalender Cina terbatas di negaranya sendiri, dan para Cina perantauan yang masih ingin menjalin hubungan dengan bangsanya. Demikian pula kalender Hijriyah, berlaku di negara-negara Arab seperti Mesir dan Arab Saudiyah, beserta umat Islam dimana pun berada, yang berkepentingan untuk menandai peristiwa-peristiwa keagamaannya. Diantaranya, puasa Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha. Semua itu, tentu saja, dimaksudkan agar pelaksanaan ibadah puasa, Idul Fitri dan Hari Raya Haji memiliki gaung syiar secara internasional.

Maka, jika terjadi perbedaan antara satu negara dengan negara lain dalam penetapan kalender Hijriyah, sebenarnya itu menyalahi tujuan dibuatnya kalender tersebut. Mestinya tidak mungkin berbeda, kecuali para penganut  kalender itu tidak ingin kalendernya mendunia. Dan hanya berlaku lokal-lokal saja. Atau, bahkan hanya terkotak-kotak dalam komunitas kecil belaka. Kalender seperti ini bakal berakhir tragis –punah– karena penganutnya akan semakin sedikit, disebabkan konflik yang terus menerus muncul karenanya. Dan tidak bisa dijadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat.

Jadi, untuk apa dibuat kalender kalau tidak untuk disepakati dan ditaati, dimana negara-negara yang bertetangga pun bisa berbeda.  Bahkan, di dalam negara yang sama pun, ternyata ada dua kalender Hijriyah. Keadaan semacam ini akan mendorong generasi selanjutnya lebih suka memilih kalender lain yang lebih praktis. Maka, kayaknya ada yang salah dengan penanggalan Hijriyah yang berbeda saat awal Ramadan itu. Dan tentu saja harus segera diselesaikan, karena bisa menimbulkan hal-hal yang kontraproduktif secara syiar.

Itulah alasannya, kenapa saya lantas mengajukan solusi memisahkan ‘awal bulan’ dengan ‘awal puasa’ Ramadan, seperti dalam tulisan sebelumnya. Karena, kalender Hijriyah di seluruh muka bumi ini harusnya sama. Kalau berbeda, menjadi aneh. Masa, di Arab Saudi dan Mesir tanggal 1 Ramadan, tapi di Indonesia tanggal 30 Syakban, misalnya. Padahal jarak antara Timur Tengah dengan Indonesia hanya 4-5 jam saja. Tentu, ada yang keliru dengan perbedaan ini. Kecuali, kedua kawasan itu berjarak 12 jam, sehingga berada di balik bumi.

Dengan memisahkan antara ‘awal bulan’ dan ‘awal puasa’, persoalannya menjadi clear. Bahwa di setiap negara yang menganut kalender Hijriyah, pada hari yang sama tanggalnya pasti sama. Tetapi puasanya bisa saja berbeda, dikarenakan alasan fikih terkait penampakan hilal. Ada yang melakukannya lebih awal, dan ada pula yang lebih akhir. Saya kira – untuk sementara waktu – tidak menjadi masalah. Karena ada landasan yang jelas. Akan tetapi akan menjadi absurd, kalau di antara negara-negara penganut kalender Hijriyah itu sendiri berada di tanggal yang berbeda-beda. Segala interaksi administrasi internasional bakal ikut bermasalah.

Mudah-mudahan umat Islam di dunia Internasional – khususnya di Indonesia – segera menyadari hal yang sangat serius ini. Segeralah duduk bersama untuk membuat kalender Hijriyah yang disepakati bersama, karena dari sinilah bermula kerbersamaan umat. 

Wallahu a’lam bishshawab.



TAHAJUD SIANG HARI, DUHUR MALAM HARI ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (08) ~

oleh Agus Mustofa pada 28 Juli 2012 pukul 9:22

Shalat adalah ibadah yang ditentukan waktunya’. Begitulah Allah berfirman di dalam Al Qur’an. Ayat ini memiliki multi-tujuan. Selain memberikan pedoman dalam menjalankan shalat, di dalamnya terkandung perintah agar umat Islam memahami soal waktu. Bahkan, di sebuah surat yang sering kita baca, Allah menjadikan waktu sebagai sumpah: wal ashri-demi waktu. Menunjukkan betapa pentingnya ‘waktu’ itu.

Terkait dengan penetapan waktu ibadah shalat, umat Islam di dunia internasional masih memiliki masalah yang sangat mengganjal. Dan saya masih sering memperoleh pertanyaan tentang itu. Terutama, dari kawan-kawan yang sedang melakukan perjalanan lintas waktu global – antar benua. Atau, yang bermukim di negara-negara sub-tropis.

Kawan saya – cerita di tulisan sebelumnya – yang sedang melakukan perjalanan dari Seattle menuju Oklahoma itu pun bertanya tentang hal ini. “Mas, bagaimana saya menentukan waktu shalatnya. Seiring pergerakan matahari ataukah mengikuti jam saja. Lantas, berpedoman ke jam yang mana?’’ tanyanya, gundah.

Pertanyaan semacam itu, katanya sudah disampaikan ke beberapa kawannya yang dianggap mengerti, tapi belum terjawab secara tuntas, sampai ia membaca buku saya: ‘Tahajud Siang Hari, Duhur Malam Hari’. Beberapa jawaban yang ia terima, menganjurkan agar ia memanfaatkan saja ‘keringanan’ yang diberikan Al Qur’an, yakni dengan men-jamak-qashar shalat, dan mem-fidyahpuasanya.

Jamak-qashar berarti mengerjakan dua waktu shalat dalam satu waktu saja. Misalnya, Duhur dan Ashar dikerjakan di waktu Duhur, atau boleh juga di waktu Ashar. Jumlah rakaatnya pun tidak usah empat-empat, melainkan cukup dua-dua. Demikian pula dengan Maghrib dan Isya’, Tiga rakaat dan dua rakaat. Sehingga shalat lima waktu hanya dikerjakan dalam tiga waktu saja. Sedangkan fidyah, adalah tidak berpuasa dan menggantinya dengan memberi makanan kepada orang miskin.

Tapi, menurutnya, karena ia berada di negara lain itu dalam kurun waktu yang panjang, “masa iya saya harus terus menerus melakukan jamak-qashar dan fidyah? Bukankah itu hanya berlaku sementara, beberapa hari saja? Saya di AS selama sebulan, untuk mengunjungi anak saya yang bersekolah disini,’’ paparnya. Pertanyaan semacam ini beberapa kali saya terima. Termasuk dari kawan saya yang bekerja di KBRI Moskow, Rusia.

Maka, saya menganjurkan mereka untuk mengacu kepada jam saja. Sama dengan yang terjadi di negara-negara tropis, termasuk Indonesia. Setiap shalat tak perlu lagi melihat posisi matahari. Cukup melihat jam tangan, atau jam dinding atau jam HP. Bahwa shalat Subuh di wilayah tropis adalah sekitar jam 4 sampai jam 5 pagi. Duhurnya, antara jam 12 sampai jam 3 siang. Asharnya jam 3 sampai jam 6 sore. Maghrib antara jam 6 sampai jam 7 petang. Dan Isya’ antara jam 7 sampai menjelang subuh.

Pertanyaannya adalah: bagaimana dengan musim panas yang waktu siangnya bisa jauh lebih panjang? Bisa saja, Maghrib baru masuk pukul 10 malam. Atau di tempat yang lebih utara lagi bisa jam 11 atau 12 malam. Atau, bahkan tidak tenggelam? Saya menganjurkan kepada kawan-kawan saya itu agar tidak mempersoalkan matahari lokal. Yang harus dilihat adalah matahari tropis, di garis bujur yang sama. Karena, di garis bujur yang sama itu semua kota di berbagai negara pasti memiliki jam yang sama. Cuma berbeda posisi mataharinya. Yang dijadikan patokan adalah kota di negara tropis dimana matahari bergerak secara seimbang, pada kawasan 23,5 derajat lintang utara, dan 23,5 derajat lintang selatan.

Contoh gampangnya begini. Jika di Surabaya sedang jam 12 siang, maka kota-kota di garis bujur yang sama adalah jam 12 siang juga. Di bagian utara adalah kota-kota di Cina, Mongolia, dan Rusia, semua yang segaris bujur sedang berada di jam 12 siang. Demikian pula di belahan selatan, mulai dari pantai barat Australia sampai ke Antartika. Bedanya, ketika di belahan utara Bumi sedang Musim Panas, maka di belahan selatan sedang musim dingin.

Yang di utara siangnya lebih panjang, sedangkan yang di selatan malamnya lebih panjang. Tapi semua kawasan yang segaris dengan Surabaya itu berada di jam 12 siang. Meskipun di belahan selatan sedang puncak musim dingin, dan langitnya gelap seperti malam hari, substansinya kawasan itu sedang berada di siang hari. Jadi, kalau mau shalat Duhur, tidak usah menunggu matahari musim panas yang baru datang beberapa bulan lagi. Laksanakan saja shalat Duhur pada ‘malam hari’ itu. Karena, sebenarnya, meskipun langit sedang petang, sesungguhnya itu adalah jam 12 siang..!

Demikian pula, pada saat tengah malam di Surabaya. Katakanlah sedang jam 12 malam. Kawasan-kawasan yang sedang mengalami puncak musim panas, pasti sedang terang benderang. Kalau Anda ingin shalat Tahajud, Anda tidak perlu menunggu sampai mataharinya tenggelam di musim dingin yang baru akan datang beberapa bulan lagi. Lakukan saja shalat Tahajud di ‘siang hari’ itu. Karena sesungguhnya, itu adalah jam 12 malam, cuma sedang dihadiri oleh matahari. Sehingga, terjadilah shalat Tahajud di siang hari, Duhur di malam hari..!

QS. Muzzammil [73]: 20
“…Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah dari Al Qur'an…’’ 

Wallahu a’lam bishshawab.



Kamis, 26 Juli 2012

PUASA DI PERJALANAN, IKUTI JAM ATAU MATAHARI ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (07) ~

oleh Agus Mustofa pada 26 Juli 2012 pukul 7:44

Tiga hari menjelang bulan Ramadan, seorang kawan saya mengirimi SMS dari Amerika Serikat.
SMS berbahasa Inggris itu kurang lebih berisi begini: mas Agus, saya dan anak saya sedang berada di kota Seattle. Kami berencana melakukan perjalanan ke Oklahoma naik mobil pada saat bulan puasa. Anak saya memutuskan berpuasa 13 jam saja, sesuai dengan paparan buku Anda: ‘Tahajud Siang Hari, Dhuhur Malam Hari’. Tapi saya berencana berpatokan pada gerakan matahari, yang durasinya lebih panjang. Bagaimana pendapat Anda?

Saya katakan kepadanya, tidak ada masalah dengan keduanya. Baik berbuka mengikuti tenggelamnya matahari, maupun berbuka lebih awal. Karena keduanya memiliki pijakan yang jelas. Yang berbuka mengikuti matahari berdasar pada tradisi yang sahih, sedangkan yang berbuka sesuai perhitungan jam mengikuti substansi ibadah; yang akan saya jelaskan berikut ini.

Suatu ketika saya membawa jamaah umroh di bulan puasa. Berangkat dari Jakarta sekitar jam 1 siang, pesawat bergerak ke arah barat menuju Jeddah. Kecepatan pesawat itu rata-rata 1000 km/ jam. Karena bergerak ke arah barat, maka pesawat itu seperti sedang mengejar matahari. Kecepatan rata-rata matahari 1.600 km/ jam, sehingga pesawat itu pun tertinggal 600 km/ jam. Dampaknya, durasi siang menjadi lebih panjang 4-5 jam, karena mataharinya lebih lama terlihat.

Kejadian menariknya adalah saat perjalanan itu sudah menempuh waktu lima jam. Seorang jamaah umroh bertanya kepada saya: “pak Agus, menurut jam tangan saya yang masih mengikuti waktu Jakarta, sekarang ini sudah jam 6 sore. Tetapi, saya melihat keluar jendela matahari masih terang. Bagaimana dengan puasa kita, apakah kami boleh berbuka ataukah harus menunggu matahari tenggelam?’’

Saya katakan kepadanya, “Anda boleh berbuka sekarang mengikuti jam Jakarta.’’ Saya lihat matanya bersinar penuh tanda tanya. Dan, ia memang bertanya lebih lanjut: kenapa kok boleh berbuka sekarang? Bukankah berbuka harus ditandai dengan tenggelamnya matahari?, tegasnya. Saya menjawabnya demikian, karena ia memulai puasanya sahur  di Jakarta, maka ia pun boleh mengakhirinya dengan berpedoman pada jam Jakarta juga. Lha wong tidak berpuasa saja boleh koak. Karena, ia sedang dalam perjalanan: sebagai musafir.

Jamaah umroh yang mendengar argumentasi saya ada yang bisa menerima, dan lantas berbuka. Tetapi, sebagiannya tidak mantap dengan penjelasan saya itu. Dan kemudian memutuskan untuk mengikuti matahari tenggelam saja. Sambil tersenyum saya katakan kepada mereka: “Silakan bagi yang mau mengikuti matahari tenggelam’’. Jadilah sebagian jamaah itu berbuka, dan sebagiannya menahan diri menunggu tenggelamnya matahari.

Satu jam kemudian, jamaah yang menunggu tenggelamnya matahari itu melihat jam tangannya. Masih jam 19.00 wib. Dia melihat keluar jendela: sinar matahari terang menyinari langit. Dua jam kemudian, dia melihat jam tangannya lagi, sudah menunjukkan jam 20.00. Di luar jendela ternyata masih terang. Tiga jam kemudian, pukul 21.00, ia melihat keluar jendela lagi, juga tetap masih terang. Ia mulai gelisah. Dan empat jam kemudian, pukul 22.00 wib, ternyata langit masih terang. Saya lihat, ia sudah hampir tidak mampu menahan kegelisahan...

Untunglah, tak lama kemudian pramugari mengumumkan bahwa kota nun jauh di bawah pesawat sudah memasuki waktu maghrib. Beberapa jamaah itu hampir bersamaan berucap Alhamdulillah, tak mampu menyembunyikan kegembiraannya. Dibukanya jendela, tapi mereka terkejut, karena ternyata langit tetap masih terang..! Dengan wajah bingung, ia bertanya kepada saya, kenapa sampai waktu maghrib pun langit di luar jendela masih cukup terang.

Sambil tesenyum saya menjawab: “tentu saja, karena kita sedang berada di ketinggian 40 ribu kaki alias 13 kilometer dari daratan. Sehingga, matahari masih kelihatan cukup terang.’’ Saya lantas menggodanya, “apakah Anda benar-benar ingin berbuka setelah matahari tenggelam?” Sambil tersipu mereka pun memulai berbuka puasa.

Saya katakan lebih lanjut kepadanya, “untung kita naik pesawat dengan kecepatan 1000 km/ jam. Seandainya pesawat ini bergerak dengan kecepatan 1.600 km/ jam, yakni sama dengan kecepatan matahari, maka kita tidak akan pernah menyaksikan matahari tenggelam, meskipun berhari-hari mengelilingi bumi.’’

Lebih parah lagi, kalau kita naik pesawat Concorde yang sudah grounded itu. Kecepatannya lebih dari 2000 km/ jam. Sehingga pesawat akan menyelip matahari yang kecepatannya hanya 1.600 km/ jam. Dan ketika matahari sudah terselip, berarti posisi matahari yang tadinya di barat pesawat, kini menjadi di timurnya. Artinya, lebih pagi dari saat berangkat. Semakin lama bukan semakin siang, melainkan semakin pagi. Kemudian ketemu waktu subuh, padahal, tentu saja, kita sudah shalat subuh di tanah air. Selanjutnya, bertemulah kita dengan waktu sahur. Semakin runyam, karena semakin jauh dari waktu berbuka..! Kok, jadi ‘kacau balau’ begini?

Yah, begitulah keadaan peradaban modern ini. Pergerakan manusia yang semakin mengglobal telah menembus batas-batas waktu konvensional yang selama ini kita jadikan patokan ibadah. Jika kita tidak melakukan adaptasi sesuai kondisi yang terus berkembang pesat ini, umat Islam benar-benar akan terjebak di masa lalu, dan sibuk berkutat dengan hal-hal yang tidak perlu. Wallahu a'lam bishshawab.



Rabu, 25 Juli 2012

BERCERMIN KE MESIR SOAL ISBAT YANG LANCAR ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (06) ~

oleh Agus Mustofa pada 25 Juli 2012 pukul 5:46

Saat bermukim di Kairo, Mesir, saya sempat merasakan datangnya awal Ramadan, awal Syawal, dan lebaran Haji, di tahun 2010. Penetapan awal puasa, Idul Fitri, dan Idul Adha disana sangat ‘lancar, aman dan terkendali’. Karena itu, saya kira sangat pantas kalau kita belajar dari mereka. Apalagi kita tahu, Mesir dengan Al Azharnya adalah salah satu kiblat dunia dalam keilmuan Islam. Siapa tahu kita bisa memperoleh inspirasi dalam menyelesaikan ‘masalah abadi’ yang sangat khas Indonesia ini.

Hampir setiap terdengar perbedaan penetapan waktu ibadah di Indonesia, sejumlah kalangan di Mesir menanggapi dengan ‘senyuman aneh’. Mereka rupanya tidak bisa mengerti kenapa persoalan yang di Mesir sangat simple itu di Indonesia menjadi ‘hiruk pikuk’. Dimanakah letak masalahnya?

Menyongsong Ramadan, di Kairo suasananya sangat hangat. Bukan hangat oleh isu penetapan permulaan puasa, melainkan oleh semangat menyambut datangnya bulan mulia. Hampir di setiap jalan dan gang-gang mereka menyambutnya dengan lampu tradisional berwarna-warni yang dikenal dengan sebutan Fanus. Jauh-jauh hari mereka sudah tahu bahwa Ramadan akan jatuh tanggal sekian, karena sistem kalendernya memang sudah mapan.

Meskipun demikian, pemerintah memang juga mengadakan sidang isbat untuk menetapkan awal puasa. Namun, sidang itu berjalan sangat lancar, hampir-hampir tak ada masalah berarti. Pengumuman penetapan awal puasa di Mesir, sepertinya hanya menjadi ritual atau ‘selebrasi’, bagi permulaan ibadah bersama. Bukan ‘perjuangan hidup dan mati’ ala sidang isbat di Indonesia, yang sampai ada walk out segala.

Sore itu, saya sedang bertamu di rumah Minister Counselor KBRI, Pak Burhanuddin Badruzzaman. Obrolan kami, salah satunya, adalah tentang penetapan awal ibadah di Mesir. Dengan tertawa dia mengatakan bahwa di Mesir tak pernah ada ribut-ribut soal hilal. Juga tidak ada ribut-ribut soal perbedaan awal puasa maupun Idul Fitri. Apalagi soal lebaran Haji. ‘’Orang sini memandang kejadian di Indonesia itu sebagai kejadian aneh bin ajaib,’’ katanya lantas tertawa.

Kenapa di Mesir soal ini bisa sedemikian mapan? Ada tiga hal yang mendasarinya. 
Yang pertama, mereka menyerahkan persoalan kepada ahlinya. Soal penyaksian hilal diserahkan kepada lembaga Astronomi yang berkompeten. Dimana hasil perhitungan mereka sudah dipakai sebagai dasar untuk menyusun kalender Hijriyah Mesir. Sehingga, penguasaan terhadap masalah hilal itu memang sudah menjadi ‘makanan sehari-harinya’.

Meskipun demikian, menjelang akhir Syakban lembaga Astronomi Mesir tetap melakukan pengamatan di beberapa lokasi, termasuk observatorium terbesar di pinggiran kota Kairo: Helwan. Tak ada masyarakat awam yang boleh melakukan hal itu, karena bisa menimbulkan keraguan atas hasilnya. Berbeda dengan di Indonesia yang siapa saja boleh melakukannya asal di bawah sumpah. Sehingga ketika itu benar-benar terjadi - ada penduduk yang mengaku melihat hilal, dan masyarakat di kawasan itu memutuskan tarawih malam itu juga - malah memunculkan masalah tambahan.

Yang kedua, Lembaga Darul Ifta’ di Mesir sangatlah berwibawa. Ini adalah lembaga fatwa semacam MUI di Indonesia. Isinya para ulama fikih Al Azhar, yang ketika itu diketuai oleh Dr Ali Jum’ah. Ia digelari sebagai Mufti Agung Mesir. Fatwanya sangat didengar oleh umat. Dengan berdasar pada hasil pantauan para ahli astronomi itulah Darul Ifta’ memberikan fatwanya, tentang kapan puasa mestinya dimulai. Sehingga tidak ada perbedaan tafsir atas data astronomi yang dihasilkan.

Sidang isbat dilakukan di kantor Darul Ifta’, dengan dihadiri oleh sejumlah tokoh pengambil keputusan. Prosesnya  berlangsung sangat singkat dan tidak bertele-tele. Hampir-hampir seperti seremonial belaka. Tidak ada adu argumentasi yang berlangsung sengit seperti di sini. Setelah mendengarkan lantunan ayat suci Al Qur’an, Grand Mufti langsung membacakan pengumuman dengan terlebih dahulu menyebutkan landasan keputusan tersebut. Yakni, berdasar pada data hilal dari lembaga astronomi yang diterimanya dan sejumlah ayat dan hadist yang menjadi rujukannya. Acara pun selesai. Dan kemudian ditutup dengan lantunan ayat suci al Qur’an kembali.

Hadir dalam sidang isbat itu, diantaranya adalah Grand Syekh Mesir yang diposisikan sebagai sesepuh umat Islam, gubernur Kairo yang mewakili Presiden Mesir, Menteri Kehakiman terkait dengan ketetapan tersebut sebagai produk hukum, dan menteri agama yang membawahkan bidang tersebut. Selebihnya adalah para ulama dan duta besar perwakilan berbagai Negara sahabat. Semua undangan itu hanya menjadi saksi atas penetapan awal Ramadan.

Faktor ketiga, yang menyebabkan pengumuman penetapan itu sedemikian lancar, adalah kepemimpinan dan pemerintahan yang kuat. Dalam kondisi normal, pengumuman itu dilakukan oleh lembaga fatwa Darul Ifta’. Tetapi jika terjadi perbedaan, maka pemerintah akan turun tangan untuk menyatukan segala perbedaan. Karena, selain sebagai ibadah personal, puasa Ramadan dan Idul Fitri adalah ibadah yang bersifat sosial secara kolektif. Pemerintah berkepentingan untuk mengatur warga masyarakat agar suasana tetap kondusif.

Saya dan Pak Burhanuddin, waktu itu sempat berandai-andai, membayangkan betapa indahnya ya, jika proses seperti itu bisa terjadi di Indonesia. Kita bakal benar-benar bisa beribadah Ramadan dengan hati yang bersih. Dan menikmati indahnya Idul Fitri dengan hati yang suci..! Insya Allah.

* Notes ini dimuat di koran Jawa Pos dan koran-koran anak perusahaannya di berbagai kota.

Selasa, 24 Juli 2012

MENGOMPROMIKAN HISAB DAN RUKYAT ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (05) ~

oleh Agus Mustofa pada 24 Juli 2012 pukul 5:57


Agar tafakur kita tentang penetapan awal Ramadan ini menghasilkan hikmah yang bermanfaat untuk umat, saya ingin memberikan usulan yang bersifat kompromistis dalam tulisan kali ini. Bahwa, penetapan ‘awal bulan’ Ramadan dan ‘awal puasa’ Ramadan sebaiknya dimaknai secara terpisah. Bagaimana maksudnya?

Sesungguhnyalah yang menyebabkan kebingungan umat dalam perbedaan ini adalah rancunya antara ‘awal bulan’ dan ‘awal puasa’. Awal bulan adalah permulaan ‘bulan baru’ yang ditandai oleh ijtima’ alias posisi segaris antara Bulan-Matahari-Bumi. Ini sebenarnya murni wilayah Astronomi alias ilmu Falak. Dimana kedua belah pihak yang berbeda memiliki kesepakatan yang sama. Bahkan sudah sama-sama pintarnya.

Kesamaan itu terlihat dari kesepakatan: bulan Syakban berakhir pada hari Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Tidak ada perbedaan dalam hal ini. Kalaupun ada, hanya berbeda tipis, dalam hitungan menit saja. Bukan jam, atau apalagi hari. Artinya, sudah ada pijakan yang sama dalam mendekati permasalahan. Kenapa bisa demikian? Karena, kesimpulan ini memang dibuat berdasar pada fakta posisi Bulan. Bukankah bulan tidak pernah berbohong? Dan, kita bisa sama-sama mengeceknya di angkasa. Inilah universalnya Sains, dalam hal ini Astronomi. Dilihat oleh siapa pun, dan dihitung oleh siapa pun hasilnya kurang lebih sama. Bahkan, jika yang melihat bulan itu adalah seorang non muslim sekalipun. Bedanya hanya dalam orde menit, atau bahkan detik disebabkan oleh metode penghitungan saja.

Perbedaan baru muncul, ketika mau menentukan kapan mulai berpuasa: Jum’at (20/7) ataukah Sabtu (21/7)? Sebenarnya ini sudah bukan wilayah Astronomi lagi, melainkan masuk wilayah Fikih. Wilayah Astronomi bersifat eksak, sedangkan wilayah Fikih bersifat lentur sesuai kondisi yang menyertainya. Dalam konteks penetapan awal Ramadan, fakta Astronomi yang eksak dan Fikih yang lentur itu jangan dicampur-adukkan. Karena, hasilnya akan sangat membingungkan.

Bagaimana Anda tidak bingung membaca pengumuman ini, misalnya. ‘’Semua lembaga yang berkompeten SEPAKAT bahwa bulan Syakban habis pada KAMIS, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Dan karena hilal tidak kelihatan, maka diputuskan dan ditetapkan bahwa 1 Ramadan 1433 H jatuh pada hari SABTU, 21 Juli 2012.’’

Secara fakta Astronomi kesimpulan semacam ini tidak memperoleh pijakan. Karena, Syakban adalah bulan ke-8 dalam penanggalan Hijriyah, dan Ramadan adalah bulan ke-9. Mestinya, tidak ada jeda hari antara Syakban dan Ramadan. Begitu Syakban habis, langsung masuk ke Ramadan. Lha ini, Syakban berakhir pada hari Kamis, tapi awal Ramadan jatuh hari Sabtu. Tidak heran, sejumlah kawan langsung me-SMS saya. Mereka bertanya: ‘’lho terus hari Jum’at itu ikut bulan Syakban, ataukah Ramadan, ataukah tidak punya Bulan, mas?’’

Logikanya memang menjadi ‘jumping’. Sangat sulit mencernanya. Apalagi ini wilayah ilmu Astronomi yang eksak, bisa langsung dicek ke angkasa. Logikanya, jika Kamis siang itu bulan Syakban sudah habis, sesaat kemudian sudah masuk bulan Ramadan. Jadi, bulan sabit yang kita rukyat pada Kamis sore itu sebenarnya adalah ‘hilal Ramadan’. Namun, karena usianya masih 6 jam, maka hampir bisa dipastikan hilal itu sulit dilihat oleh mata telanjang. Ya, memang demikian. Semua pihak yang berbeda pendapat pun pasti paham, bahwa hilal seumur 6 jam tidak mungkin terlihat. Sampai disini, semua sepakat.

Nah, perbedaan itu mulai muncul saat menentukan ‘awal puasa’. Ini sebenarnya sudah bukan wilayah Astronomi lagi, melainkan wilayah ilmu Fikih. Yang jika rujukan kondisinya berbeda, hasilnya bisa berbeda pula. Di wilayah Fikih inilah kita bisa memahami, ketika salah satu pihak memutuskan berpuasa di hari Jum’at, dan lainnya di hari Sabtu. Bagi yang berpedoman pada wujudul hilal, memutuskan permulaan puasanya Jum’at. Sedangkan bagi yang menganut ru’yatul hilal, memutuskan berpuasa Sabtu. Tidak ada masalah, karena rujukan Fikihnya sama-sama sahih.

Dengan demikian, pengumuman hasil isbat itu memiliki argumentasi Astronomi dan Fikih yang kuat dan tegas, sehingga umat tidak bingung dibuatnya. Jika diumumkan ke masyarakat luas, barangkali redaksinya menjadi begini:
‘’Sesuai dengan hasil perhitungan dan rukyat dari berbagai lembaga yang berkompeten, bulan Syakban sudah berakhir hari KAMIS, 19 Juli 2012, pukul 11.25 WIB. Karena itu, Kamis sore ini bulan Ramadan sudah datang. Tetapi, karena ketinggian hilal masih sangat rendah, maka tidak ada yang berhasil merukyatnya. Oleh sebab itu, berdasar pada sunnah Nabi, pemerintah memutuskan dan menetapkan puasa Ramadan dimulai SABTU, 21 Juli 2012...’’

Clear. Secara Astronomi valid, dan secara fikih sah. Bahwa, lantas ada yang berbeda pendapat dengan pemerintah, dan memulai puasanya di hari Jum’at misalnya, tidak masalah. Sangat bisa dipahami, karena rujukan fikihnya juga jelas. Yakni, barangsiapa menyaksikan hadirnya bulan Ramadan hendaklah dia berpuasa QS. 2: 185. Astronomically, Jum’at itu memang sudah masuk 1 Ramadan 1433 H.

Dengan demikian, meskipun belum bisa sepakat bulat, setidak-tidaknya benang kusutnya sudah mulai terurai. Dan sudah memperoleh titik temu. Lebih bagus lagi jika urusan Astronomi, diserahkan saja ke LAPAN atau BOSCHA. Sedangkan urusan fikih dipisah, diserahkan kepada MUI. Dan menteri agama hanya tinggal membacakan kedua fatwa itu kepada masyarakat luas. Mudah-mudahan di tahun depan kita sudah bisa memperoleh solusi lebih baik. Karena, sungguh kita sudah sangat merindukan kebersamaan ini. Betapa indahnya, jika Ramadan dan Idul Fitri bisa bersama-sama dengan sahabat dan handai tolan..! Wallahu a'lam bishshawab.

* Notes ini juga diterbitkan di koran Jawa Pos, dan koran anak-anak perusahaannya.

Senin, 23 Juli 2012

PUASA RAMADAN ANTARA TRADISI & SAINS ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (04) ~

oleh Agus Mustofa pada 23 Juli 2012 pukul 5:14


Tentang perbedaan awal Ramadan kali ini, saya ingin mengemukakan pendapat salah seorang kawan. Ia mengatakan, bahwa perbedaan itu sebenarnya berujung pangkal dari definisi hilal, yang memang berbeda. Ada yang mendefinisikan hilal secara tradisi, dan ada yang mendefenisikannya secara substansi. Jika didefinisikan secara tradisi, maka hilal adalah bulan sabit yang tampak oleh mata telanjang, seperti zaman Nabi SAW. Tetapi, jika hilal didefinisikan sebagai substansi, hilal adalah penanda datangnya ‘bulan baru’. Sehingga kemunculannya bisa dihitung dengan metode sains modern, tanpa harus mensyaratkan terlihat secara kasat mata.

Maka, sebagaimana penetapan waktu shalat, kita bisa memilih definisi tentang hilal. Jika waktu shalat dipahami secara tradisi, maka tidak bisa tidak, kita harus selalu melihat matahari setiap mau menjalankan shalat, sebagaimana Rasulullah melakukannya saat itu. Dalam hal puasa Ramadan, hilal harus terlihat kasat mata, tanpa ada kompromi apa pun. Termasuk jika awan tebal menutupi ufuk barat selama berhari-hari, sehingga hilal tidak kelihatan. Tetapi, jika kita memilih substansi bahwa hilal adalah penanda datangnya bulan Ramadan, maka kita sudah bisa memulai puasa Ramadan sesuai hasil perhitungan waktu secara saintifik, tanpa terikat penampakan hilal. Persis seperti penentuan waktu shalat yang cukup melihat jam sebagai hasil hisab ilmiah, tanpa harus melihat matahari.

Dalam konteks umat Islam di Indonesia, masalahnya memang bukan soal bisa melakukan perhitungan secara saintifik atau tidak. Karena semua pihak sudah sama-sama pintar menghitung posisi Bulan. Melainkan, pada ketidak-kesepakatan penentuan definisi hilal tersebut. Satu pihak mendefinisikan hilal secara tradisi, dan lain pihak mendefinisikan hilal sebagai substansi. Runyamnya, perbedaan yang mestinya sederhana dan bisa diselesaikan secara teknis ini, lantas merambah ke wilayah yang lebih politis dengan bumbu-bumbu ego pribadi atau ego kelompok, yang semakin ‘kusut’.

Maka, ketika hal ini masih belum bisa diselesaikan secara keumatan, saya mengusulkan agar umat Islam menjadi tahu duduk persoalannya secara pribadi terlebih dahulu. Agar sebagai individu, kita bisa mempertanggungjawabkan keputusan kita di hadapan Allah. Dan biarlah mereka yang punya kewenangan untuk memutuskan secara keumatan itu juga mempertanggung-jawabkan keputusannya kepada Allah, pada waktunya.

Umat Islam harus dipahamkan agar menjadi tahu duduk persoalannya. Dan tidak beragama secara ikut-ikutan belaka. Karena, pertanggungjawaban kita kepada Allah memang tidak berlaku rombongan. Melainkan sendiri-sendiri. Pemimpin mempertanggungjawabkan kepemimpinannya, pengikut juga mempertanggungjawabkan keikutsertaannya secara personal. Bahkan, antara orang tua, anak, dan guru pun tidak menghadap Allah secara bersama-sama. Melainkan nafsi-nafsi.

QS. Ibrahim [14]: 21
Dan mereka semua akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah. Lalu berkata para pengikut kepada pemimpinnya: "Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu. Maka dapatkah kamu menghindarkan kami dari azab Allah barang sedikit? Para pemimpin itu menjawab: "Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami akan memberitahukan caranya kepadamu. Kita ini sama saja, mau mengeluh atau bersabar. Sedikitpun, kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri."

Nah, dalam berbagai perhitungan yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang berkompeten kita tahu bahwa akhir bulan Sya’ban adalah sekitar 11.25 WIB. Di seluruh Indonesia, hilal muncul pada ketinggian yang sangat tipis, tidak sampai 2 derajat. Dengan tingkat kecemerlangan di bawah satu persen. Dengan kata lain, hampir bisa dipastikan tidak tampak oleh mata telanjang. Semua pihak tidak ada yang berbeda pendapat tentang hasil perhitungan ini.

Tetapi, ternyata dari data yang sama ini bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Yakni, ketika digunakan untuk memutuskan awal berpuasa. Bukan awal Ramadan. Kalau, soal awal Ramadan semua berpendapat sama, bahwa bulan Sya’ban sudah habis pada Kamis, 19 Juli 2012. Dan 1 Ramadan jatuh pada Jum’at, 20 Juli 2012. Yang berbeda itu, sekali lagi, adalah ‘awal berpuasa’.

Ada yang berpuasa di tanggal 1 Ramadan (20/7), dan ada yang memulainya di tanggal 2 Ramadan (21/7). Dengan alasan masing-masing. Satu pihak mengikuti tradisi, di lain pihak berdasar pada substansi. Tentu saja, kita sebagai ‘pengikut’ harus pintar dan hati-hati mengikutinya, karena pertanggungjawaban kita kepada Allah itu ternyata bersifat sendiri-sendiri..! Semoga Allah membimbing kita semua di dalam ilmu dan Ridha-Nya.

* NOTES ini juga diterbitkan di Jawa Pos dan Kaltim Post di kolom TAFAKUR.

Minggu, 22 Juli 2012

MENGURAI BENANG KUSUT PENETAPAN WAKTU IBADAH ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (03) ~

oleh Agus Mustofa pada 22 Juli 2012 pukul 6:40

Perbedaan yang sering terjadi dalam menentukan waktu ibadah umat Islam harus mulai diurai. Karena, ibarat benang kusut masalah ini semakin tidak ketahuan ujung pangkalnya. Lha, kalau ujung pangkalnya saja tidak ketahuan, bagaimana kita bisa mengurai keruwetan?

Penetapan waktu ibadah sebenarnya bukan hanya soal puasa, melainkan juga waktu shalat. Bahkan ayat tentang ini sangat jelas disebut Al Qur’an, bahwa shalat adalah ibadah yang ditetapkan waktunya. “...Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. [QS. An Nisaa’: 103]

Namun, waktu shalat bisa diselesaikan dengan relatif mudah. Terjadi kompromi antara tradisi dengan sains secara harmonis. Dulunya, waktu shalat ditetapkan dan dijalankan sesuai tradisi Rasulullah, yakni dengan melihat posisi matahari secara kasat mata, karena memang di zaman itu belum ada perhitungan sains yang memadai.

Ketika fajar sudah mulai merebak di ufuk timur, umat Islam diwajibkan menghadap Allah dengan shalat fajar atau shalat Subuh. Ketika matahari sudah melewati ufuk tertingginya, diwajibkan shalat Zhuhur. Saat matahari berada di pertengahan antara ufuk tertinggi dengan saat tenggelam, diwajibkan shalat Ashar. Dan ketika matahari sudah tenggelam di ufuk Barat, umat menjalankan shalat Mahgrib. Kemudian, saat gelap malam menjalankan shalat Isya’.

Dalam perkembangannya, umat Islam sesudah zaman Nabi merumuskan cara mudah untuk menandai datangnya waktu shalat itu. Yakni, dengan menegakkan tongkat di bawah sinar matahari. Khususnya di Indonesia. Saya ingat betul bagaimana guru ngaji saya sewaktu kecil mengajari cara menentukan waktu-waktu shalat itu. Waktu zhuhur adalah saat tongkat menghasilkan bayangan pendek yang mulai condong ke timur. Waktu Ashar adalah ketika bayangan tongkat seukuran panjang tongkat itu sendiri. Waktu Maghrib adalah ketika matahari sudah tenggelam. Waktu Isya’, sudah gelap malam. Dan Subuh adalah saat fajar shidiq, dimana warna benda sudah bisa dibedakan antara hitam dan putih.

Sekarang, kita sudah tidak menggunakan cara itu lagi sebagai tradisi untuk menentukan datangnya waktu shalat. Saya tidak pernah lagi menegakkan tongkat untuk mengetahui datangnya waktu Zhuhur atau Ashar. Demikian pula untuk Maghrib, Isya’ dan Subuh, saya hampir-hampir tidak pernah melihat ke langit untuk menaksir cahayanya. Saya sudah begitu percayanya kepada jam tangan, jam dinding, atau jam di handphone saya. Dan saya lihat, itu juga yang dilakukan oleh para muadzin, sebelum ia mengumandangkan adzan. Tradisi telah bergeser, tanpa meninggalkan substansi waktu shalat.

Ketika saya bermukim di Kairo, Mesir selama setahun, saya sempat tertawa sendiri mengenang masa kecil saya saat mengaji itu. Karena tradisi menegakkan tongkat untuk mengukur datangnya waktu shalat itu ‘ketemu batunya’. Saat Zhuhur datang, ternyata bayang-bayang tubuh saya tidak berukuran pendek. Melainkan sama panjangnya dengan tinggi badan saya. Dan arah bayangan itu tidak ke timur, melainkan agak ke utara. Karena, posisi matahari Mesir di musim dingin itu berada di Timur-Selatan.

Menurut pelajaran ngaji saya saat kecil, itu mestinya waktu Ashar. Tapi jam tangan saya menunjukkan pukul 12 siang. Dan ketika Ashar datang, sekitar jam 3 sore, bayang-bayang tubuh saya bukan lagi seukuran tinggi badan, melainkan dua kali tinggi badan saya. Saya garuk-garuk kepala, karena pelajaran fiqih yang saya terima ketika kecil itu hanya bisa dijalankan di Indonesia. Dan tidak berlaku di Mesir. Apalagi di Eropa utara. Atau New Zealand ke selatan.

Karena, di Eropa utara keadaannya semakin runyam. Suatu ketika saya berkunjung ke Belgia untuk menghadiri konferensi Aeronautika atas undangan Menristek B.J. Habibie waktu itu. Di puncak musim panas, siang harinya lebih panjang dari malamnya. Waktu Maghrib datang sekitar jam sepuluh malam. Tentu saja, tradisi menegakkan tongkat itu tidak bisa berlaku lagi. Apalagi di Finlandia, dimana matahari tidak tenggelam sampai 23 jam, dan malam hari hanya berdurasi 1 jam. Atau, semakin parah di St Petersburg – kota kecil di utara Moskow – dimana matahari bisa tidak tenggelam selama 24 jam..!

Waktu shalat menjadi ‘kacau’ jika harus mengikuti tradisi pergerakan matahari. Apalagi waktu puasa. Bagaimana mungkin kita disuruh berpuasa 24 jam di Moskow dan sekitarnya, ketika musim panas datang. Karena menurut ‘fiqih tropis’, mestinya berpuasa itu dimulai saat matahari belum terbit, dan diakhiri setelah matahari terbenam. “Mataharinya tidak terbenam, mas..!’’ Kata kawan saya Saipudin Zuhri, yang bekerja di KBRI Moskow. Tradisi wilayah tropis sama sekali tidak berlaku disini. ‘Fiqih tropis’ harus diadaptasi menjadi ‘fiqih sub tropis’. Atau, bahkan ‘Fiqih luar angkasa’ ketika diterapkan kepada para astronout yang sedang bertugas di orbit bumi.

Karena jika tidak, ajaran Islam akan terjebak kepada tradisi masa lalu yang tidak bisa diterapkan lagi untuk umat manusia di zaman modern. Sehingga tidak heran, sahabat saya, mantan rektor Universitas Brawijaya, Prof Dr Ir Bambang Guritno yang pernah bersekolah di Eropa mengatakan: “Mas Agus, jangan-jangan orang-orang Eropa itu enggan masuk Islam karena takut disuruh berpuasa 24 jam..!’’ Kan runyam kalau begini pemahamannya.

(Agus Mustofa-bersambung)

BULAN SORE HARI, PUASA DI ESOK PAGI ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (02) ~

oleh Agus Mustofa pada 21 Juli 2012 pukul 12:45

Ramadan benar-benar bulan penuh hikmah. Bulan pembelajaran untuk meningkatkan kualitas kedewasaan kita dalam beragama. Coba saja lihat, baru berada di ’ambang pintunya’ kita sudah disodori masalah sebagai studi kasus: ‘perbedaan awal Ramadan’. Rupanya, Allah sedang mengajari umat Islam agar menjadi lebih pintar dan dewasa dalam menyikapi berbagai peristiwa yang ada di sekitarnya. Dan, pembelajaran yang paling mengesankan, memang, adalah dengan studi kasus seperti ini.

Bukan hanya studi kasus, tetapi juga harus berulang-ulang! Yang kadang-kadang bisa sangat membosankan bagi murid-murid yang pandai. Atau, setidak-tidaknya yang punya kecerdasan di atas rata-rata. Masa iya sih, setiap tahun harus belajar masalah yang sama: tidak lulus-lulus. Menentukan awal Ramadan, menetapkan 1 Syawal, bahkan menyepakati Hari Raya Haji pun kita hampir selalu berbeda. Padahal, yang namanya Hari Raya Haji itu mestinya ‘tidak mungkin’ berbeda di seluruh dunia. Kenapa?

Ya, karena penetapannya harus merujuk ke ritual haji di tanah suci. Jika disana jamaah haji sedang wuquf di Padang Arafah, maka umat Islam di seluruh dunia disunnahkan melakukan puasa Arafah. Dan esok harinya, di seluruh penjuru planet ini digelar shalat Idul Adha. Itu bertepatan dengan jamaah haji yang lempar jumrah dan bertawaf di Baitullah. Tapi, ternyata banyak juga yang melakukan puasa Arafah, justru saat jamaah haji sudah meninggalkan Arafah, berada di Mina. Sehingga selayaknya, puasa kita itu tidak disebut sebagai puasa Arafah, melainkan puasa Mina.

Perbedaan penetapan waktu ibadah semacam ini sebenarnya boleh saja dikatakan ‘lumrah’ jika hanya terjadi satu-dua kali. Bahkan, disebut penuh hikmah jika arahnya menuju pada perbaikan kualitas diri maupun keumatan. Tetapi, jika hal semacam itu terjadi berulang-ulang tanpa solusi yang jelas, ditakutkan akan banyak ‘peserta didik’ yang bosan dengan hal yang sama itu. Apalagi jika mulai muncul indikasi semakin memburuk. Misalnya, mulai ada yang mempersepsi sidang itsbat tidak lagi berguna, dan tak mau menghadirinya. Ini menjadi bumerang bagi kebersamaan umat. Dan bukan lagi memunculkan hikmah, tapi mengarah kepada masalah yang semakin serius. Kita harus waspada..!

Masalahnya bukan lagi berada pada tataran keilmuan dan kematangan spiritualitas, melainkan mulai mendangkal ke arah ego pribadi, kelompok, atau bahkan kepentingan politis. Jika ini yang terjadi, sungguh kita semakin jauh dari hikmah yang dijanjikan Allah bertaburan di bulan Ramadan ini. Dan kita akan dimintai pertanggungjawaban atas hal ini. Khususnya, bagi yang hanya ikut-ikutan.

QS. Al Israa’ [17]: 36
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung-jawabannya (masing-masing).

Jika secara keumatan tidak ada yang mampu menyelesaikan masalah ini, maka umat Islam harus pandai-pandai mengambil hikmah secara pribadi, agar kita tidak menjadi korban sia-sia. Dan, kita berharap, mudah-mudahan Allah segera mengirimkan pemimpin yang memiliki kapabilitas dan integritas yang bisa menyatukan umat, demi kemaslahatan bersama.

Bagaimanakah caranya agar kita selamat secara pribadi dan tidak menjadi korban kesia-siaan dari sebuah kelalaian ataupun ketidak-pedulian? Tentu saja, harus memiliki pengetahuan tentang kasus ini, sebagaimana diajarkan dalam firman Allah di atas. Yang pertama, pahamilah kapan bulan Sya’ban berakhir. Yang jika kita merujuk ke pendapat para pakar  Astronomi dari lembaga-lembaga berkompeten, hasilnya adalah sebagai berikut.

Menurut ahli Ilmu Falak PBNU KH Slamet Hambali, sebagaimana dikutip oleh website resmi PCNU Pekalongan, akhir Sya'ban 1433 Hijriyah jatuh pada Kamis (19/7). Demikian pula Muhammadiyah malah sudah mengumumkan bahwa akhir Sya’ban jatuh pada Kamis, 19 Juli 2012. Sedangkan, menurut pakar Astronomi Boscha, Dr. Ir. Moedji Raharto, akhir bulan Sya’ban akan terjadi pada Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25 WIB. Artinya, semua pihak sebenarnya sepakat, bahwa hari Kamis, 19 Juli 2012 itu bulan Sya’ban sudah berakhir, pada siang hari itu.

Masalahnya, karena habisnya adalah siang hari, maka pada saat matahari terbenam ketinggian bulan sabit sebagai penanda datangnya Ramadan masih berusia sekitar 6 jam, alias di bawah 2 derajat. Sehingga sangat mungkin tidak terlihat oleh mata telanjang. Tetapi, kalau kita sepakat bahwa puasa ini adalah ‘Puasa Ramadan’, tentu kita sudah harus berpuasa ketika bulan Ramadan itu datang, bukan? Persis seperti dijelaskan dalam ayat berikut ini.

QS. Al-Baqarah [2]: 185
“Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia. Dan berisi penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (kebaikan dan keburukan). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa... []

Yang perlu kita pahamkan lebih lanjut adalah, bahwa waktu sahur untuk berpuasa esok hari itu masih sekitar 10 jam lagi. Kita mengamati datangnya bulan sabit sekitar jam 6 sore, tapi waktu untuk berpuasa dimulai sekitar jam 4 pagi. Jadi, kalau pun jam 6 sore itu bulan belum kelihatan, sepuluh jam lagi pasti dia sudah sangat tinggi di atas horison, berusia sekitar 16 jam. Karena, sebenarnya malam itu Ramadan memang sudah datang..!

Maka, betapa sayangnya jika bulan penuh rahmat yang sangat mulia ini tidak kita sambut kedatangannya. Dan kita baru berpuasa esoknya pada tanggal 2 Ramadan. Sementara, Allah pun sudah memerintahkan agar kita segera berpuasa begitu bulan suci ini hadir. Kenapa kita mesti dibingungkan oleh bulan sabit sore hari ya, padahal puasanya kan baru esok pagi? Wallahu a’lam bishshawab. (Bersambung).

* Notes ini juga diterbitkan di koran Jawa Pos & Kaltim Post, dalam Kolom TAFAKUR.