oleh Agus Mustofa pada 31 Juli 2012 pukul 6:18
Betapa nikmatnya bertafakur di bulan Ramadan. Apalagi
bersama sejumlah pemikir Islam, yang tulisan-tulisannya tertuang di kolom Tafakur
Jawa Pos ini. Kita memperoleh banyak hikmah dan pencerahan, serta arah yang jelas
dalam menjalankan agama dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa ada beberapa perbedaan
diantara buah pikiran tersebut, itu menjadi keniscayaan. Tetapi, justru disitulah
Allah menaburkan hikmah dan rahmat-Nya.
Saya terkesan dengan tulisan Pak Said Aqil Siroj, ketua umum
PBNU, kemarin, tentang perlunya umat Islam kembali kepada substansi ibadah puasa.
Bahwa bulan suci ini harus dimaknai sebagai bulan perjuangan (syahrul jihad),
bulan bertafakur (syahrul ijtihad), dan bulan berspiritual
(syahrul
mujahadah). Ini sungguh cocok dengan kolom Tafakur yang digagas Jawa
Pos.
Maka sejak pertama tulisan saya dimuat di kolom ini, saya sudah
berniat untuk mengajak pembaca Jawa Pos melakukan tafakur dan ijtihad dalam mencari
solusi atas ‘masalah tahunan’ umat Islam dalam menyongsong Ramadan, Idul Fitri dan
Idul Adha. Meskipun, sebagian kita berpendapat bahwa masalah ini adalah ‘masalah
kecil’ yang tidak perlu dibesar-besarkan. Tapi, saya justru melihatnya sebagai masalah
yang memprihatinkan, sebagaimana disuarakan oleh jutaan umat Islam Indonesia secara
diam-diam.
Saya khawatir, anggapan bahwa ini adalah hal kecil yang remeh
temeh itu dikarenakan kita sudah ‘terbiasa’ menghadapinya selama bertahun-tahun.
Sehingga hal yang menurut saya sangat serius ini kita anggap sebagai masalah kecil.
Salah satu pengalaman yang membuat saya prihatin dan bahkan merasa malu, adalah
ketika saya bermukim di Mesir ditertawai oleh sejumlah kalangan umat Islam disana.
Mereka merasa ‘aneh bin ajaib’ dengan adanya perbedaan awal waktu
ibadah di Indonesia. Baik Ramadan, Syawal, maupun Dzulhijjah, sebagaimana telah
saya bahas dalam tulisan-tulisan terdahulu. Menurut mereka, mestinya hal itu tidak
perlu terjadi. Rasa keumatan dan kebangsaan saya tersinggung, karena mereka menyebut-nyebut
umat Islam Indonesia tidak mampu menyelesaikan ‘masalah kecil’ itu. Apalagi yang
lebih besar.
Maka, dalam rangka menjembatani perbedaan ini, saya mengajukan
usul yang oleh kawan saya dianggap agak aneh, yakni: memisahkan antara astronomi
dan fikih dalam menentukan awal ibadah. Saya meyakini, hal tersebut bisa menjadi
jembatan yang sangat berarti untuk mencari titik temu dari persoalan ini. Bahwa
penetapan ‘awal bulan’ Ramadan dan ‘awal puasa’ Ramadan itu seharusnya dipisahkan.
Hal ini sebenarnya sudah diindikasikan oleh pihak-pihak yang berbeda pendapat.
Di tulisan pak Said Aqil Siroj kemarin misalnya, dikutipkan rujukan
kenapa kalangan NU mengambil sikap harus melakukan rukyatul hilal. Yakni, karena ada perintah
sebagai berikut: ‘’Berpuasalah kamu berdasar melihat hilal (bulan), dan
berlebaranlah kamu berdasar melihat bulan. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu,
maka genapkanlah.’’ (HR.
Bukhari dan Muslim).
Tentu kita sangat menghargai rujukan yang bersifat perintah ini.
Sebagaimana kita juga menghargai pendapat yang berbeda, yang merujuk kepada perintah
ayat Qur’an: ‘’…barangsiapa
menyaksikan datangnya bulan (Ramadan), hendaklah dia berpuasa di dalamnya.’’ [QS. Al Baqarah: 185].
Jadi, kedua belah pihak yang berbeda sebenarnya sama-sama berdasar
pada perintah. Yang satu berdasar pada perintah hadits, yang lainnya berdasar pada
perintah Al Qur’an. Yang satu berpatokan pada
hilal alias bulan
sabit yang terlihat mata, sedangkan yang lainnya berpatokan pada syahr
alias bulan Ramadan yang ditandai oleh fase sesudah ijtima’. Tentu keduanya
benar, sebagaimana dikatakan oleh pak Said Aqil Siroj, di tulisan tersebut. Karena
itu, sebaiknya kita tidak usah mermpersoalkan fikih ibadah puasa ini lebih jauh.
Yang saya usulkan disini bukan sisi fikihnya, melainkan sisi
Ilmu Falak alias Astronominya. Karena, secara astronomis, acuannya sangat jelas
dan bisa dicek langsung di lapangan oleh seluruh penduduk Bumi. Sehingga mestinya
tidak terjadi perbedaan. Baik yang muslim maupun yang bukan. Bahwa, Bulan itu memiliki
fase-fase yang berbeda, diantaranya ada ‘bulan tua’ dan ‘bulan muda’. Pakar Ilmu
Falak dari pihak-pihak yang berbeda pendapat sudah sama-sama mumpuni dalam hal ini,
dan terbukti bisa memperoleh kesimpulan yang sama dalam menghitung ijtimak akhir
Syakban: Kamis, 19 Juli 2012, sekitar pukul11.25 WIB.
Maka, sebenarnya semua sudah tahu, bahwa setelah ijtimak alias
konjungsi pastilah datang fase ‘bulan baru’, yakni bulan Ramadan. Penandanya, diantaranya
adalah pada lengkungan bulan sabitnya. Pada ‘bulan tua’, lengkungan sabitnya ke
arah kanan. Sedangkan pada ‘bulan baru’, lengkungan sabitnya ke arah kiri. Saya
yakin, seyakin-yakinnya, tidak ada perbedaan dalam hal ini bagi siapa saja yang
mengerti Ilmu Falak.
Perbedaan itu memang bukan pada: sudah masuk atau belum masuknya bulan baru Ramadan,
melainkan pada: kapan harus
memulai puasa. Bagi yang mendasarkan awal puasanya dengan melihat hilal
secara kasat mata, adalah benar untuk memulai puasanya di hari Sabtu,
karena rujukan perintahnya memang begitu. Sebaliknya, bagi yang berpegang pada perintah
agar berpuasa ketika syahr Ramadan sudah masuk, juga benar untuk memulai puasanya
di hari Jumat, karena rujukannya juga demikian. Ini adalah perbedaan fikih alias khilafiyah yang tak perlu diperlebar lagi.
Sehingga, demi jalan tengah itu, saya lantas mengusulkan, mestinya
redaksi penetapan ‘awal puasa’ Ramadan itu berbunyi begini: ‘’Semua pihak yang berkompeten sepakat bahwa bulan Syakban
sudah berakhir hari Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25 WIB. Karena itu, Kamis sore
ini bulan Ramadan sudah datang. Tetapi karena hilal tidak kelihatan, maka sesuai
sunah Rasulullah SAW kita memulai puasa esok lusa, di hari Sabtu.’’.
Wallahu a’lam bishshawab.