oleh Agus Mustofa pada 25 Juli 2012 pukul 5:46
Saat
bermukim di Kairo, Mesir, saya sempat merasakan datangnya awal Ramadan, awal Syawal,
dan lebaran Haji, di tahun 2010. Penetapan awal puasa, Idul Fitri, dan Idul Adha
disana sangat ‘lancar, aman dan terkendali’. Karena itu, saya kira sangat pantas
kalau kita belajar dari mereka. Apalagi kita tahu, Mesir dengan Al Azharnya adalah
salah satu kiblat dunia dalam keilmuan Islam. Siapa tahu kita bisa memperoleh inspirasi
dalam menyelesaikan ‘masalah abadi’ yang sangat khas Indonesia ini.
Hampir
setiap terdengar perbedaan penetapan waktu ibadah di Indonesia, sejumlah kalangan
di Mesir menanggapi dengan ‘senyuman aneh’. Mereka rupanya tidak bisa mengerti kenapa
persoalan yang di Mesir sangat
simple itu di Indonesia menjadi ‘hiruk pikuk’. Dimanakah letak masalahnya?
Menyongsong
Ramadan, di Kairo suasananya sangat hangat. Bukan hangat oleh isu penetapan permulaan
puasa, melainkan oleh semangat menyambut datangnya bulan mulia. Hampir di setiap
jalan dan gang-gang mereka menyambutnya dengan lampu tradisional berwarna-warni
yang dikenal dengan sebutan Fanus. Jauh-jauh hari mereka sudah tahu bahwa Ramadan
akan jatuh tanggal sekian, karena sistem kalendernya memang sudah mapan.
Meskipun
demikian, pemerintah memang juga mengadakan sidang isbat untuk menetapkan awal puasa.
Namun, sidang itu berjalan sangat lancar, hampir-hampir tak ada masalah berarti.
Pengumuman penetapan awal puasa di Mesir, sepertinya hanya menjadi ritual atau ‘selebrasi’,
bagi permulaan ibadah bersama. Bukan ‘perjuangan hidup dan mati’ ala sidang isbat
di Indonesia, yang sampai ada walk
out segala.
Sore
itu, saya sedang bertamu di rumah Minister Counselor KBRI, Pak Burhanuddin Badruzzaman.
Obrolan kami, salah satunya, adalah tentang penetapan awal ibadah di Mesir. Dengan
tertawa dia mengatakan bahwa di Mesir tak pernah ada ribut-ribut soal hilal. Juga tidak ada ribut-ribut
soal perbedaan awal puasa maupun Idul Fitri. Apalagi soal lebaran Haji. ‘’Orang
sini memandang kejadian di Indonesia itu sebagai kejadian aneh bin ajaib,’’ katanya
lantas tertawa.
Kenapa
di Mesir soal ini bisa sedemikian mapan? Ada tiga hal yang mendasarinya.
Yang pertama,
mereka menyerahkan persoalan kepada ahlinya. Soal penyaksian hilal diserahkan kepada
lembaga Astronomi yang berkompeten. Dimana hasil perhitungan mereka sudah dipakai
sebagai dasar untuk menyusun kalender Hijriyah Mesir. Sehingga, penguasaan terhadap
masalah hilal itu
memang sudah menjadi ‘makanan sehari-harinya’.
Meskipun
demikian, menjelang akhir Syakban lembaga Astronomi Mesir tetap melakukan pengamatan
di beberapa lokasi, termasuk observatorium terbesar di pinggiran kota Kairo: Helwan.
Tak ada masyarakat awam yang boleh melakukan hal itu, karena bisa menimbulkan keraguan
atas hasilnya. Berbeda dengan di Indonesia yang siapa saja boleh melakukannya asal
di bawah sumpah. Sehingga ketika itu benar-benar terjadi - ada penduduk yang mengaku
melihat hilal, dan masyarakat di kawasan itu memutuskan tarawih malam itu juga -
malah memunculkan masalah tambahan.
Yang
kedua, Lembaga Darul Ifta’ di Mesir sangatlah berwibawa. Ini adalah lembaga fatwa
semacam MUI di Indonesia. Isinya para ulama fikih Al Azhar, yang ketika itu diketuai
oleh Dr Ali Jum’ah. Ia digelari sebagai Mufti Agung Mesir. Fatwanya sangat didengar
oleh umat. Dengan berdasar pada hasil pantauan para ahli astronomi itulah Darul
Ifta’ memberikan fatwanya, tentang kapan puasa mestinya dimulai. Sehingga tidak
ada perbedaan tafsir atas data astronomi yang dihasilkan.
Sidang
isbat dilakukan di kantor Darul Ifta’, dengan dihadiri oleh sejumlah tokoh pengambil
keputusan. Prosesnya berlangsung sangat singkat
dan tidak bertele-tele. Hampir-hampir seperti seremonial belaka. Tidak ada adu argumentasi
yang berlangsung sengit seperti di sini. Setelah mendengarkan lantunan ayat suci
Al Qur’an, Grand Mufti langsung membacakan pengumuman dengan terlebih dahulu menyebutkan
landasan keputusan tersebut. Yakni, berdasar pada data hilal dari lembaga astronomi
yang diterimanya dan sejumlah ayat dan hadist yang menjadi rujukannya. Acara pun
selesai. Dan kemudian ditutup dengan lantunan ayat suci al Qur’an kembali.
Hadir
dalam sidang isbat itu, diantaranya adalah Grand Syekh Mesir yang diposisikan sebagai
sesepuh umat Islam, gubernur Kairo yang mewakili Presiden Mesir, Menteri Kehakiman
terkait dengan ketetapan tersebut sebagai produk hukum, dan menteri agama yang membawahkan
bidang tersebut. Selebihnya adalah para ulama dan duta besar perwakilan berbagai
Negara sahabat. Semua undangan itu hanya menjadi saksi atas penetapan awal Ramadan.
Faktor
ketiga, yang menyebabkan pengumuman penetapan itu sedemikian lancar, adalah kepemimpinan
dan pemerintahan yang kuat. Dalam kondisi normal, pengumuman itu dilakukan oleh
lembaga fatwa Darul Ifta’. Tetapi jika terjadi perbedaan, maka pemerintah akan turun
tangan untuk menyatukan segala perbedaan. Karena, selain sebagai ibadah personal,
puasa Ramadan dan Idul Fitri adalah ibadah yang bersifat sosial secara kolektif.
Pemerintah berkepentingan untuk mengatur warga masyarakat agar suasana tetap kondusif.
Saya
dan Pak Burhanuddin, waktu itu sempat berandai-andai, membayangkan betapa indahnya
ya, jika proses
seperti itu bisa terjadi di Indonesia. Kita bakal benar-benar bisa beribadah Ramadan
dengan hati yang bersih. Dan menikmati indahnya Idul Fitri dengan hati yang suci..!
Insya Allah.
*
Notes ini dimuat di koran Jawa Pos dan koran-koran anak perusahaannya di berbagai
kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar