oleh Agus Mustofa pada 24 Juli 2012 pukul 5:57
Agar
tafakur kita tentang penetapan awal Ramadan ini menghasilkan hikmah yang bermanfaat
untuk umat, saya ingin memberikan usulan yang bersifat kompromistis dalam tulisan
kali ini. Bahwa, penetapan ‘awal bulan’ Ramadan dan ‘awal puasa’ Ramadan sebaiknya
dimaknai secara terpisah. Bagaimana maksudnya?
Sesungguhnyalah
yang menyebabkan kebingungan umat dalam perbedaan ini adalah rancunya antara ‘awal
bulan’ dan ‘awal puasa’. Awal bulan adalah permulaan ‘bulan baru’ yang ditandai
oleh ijtima’ alias posisi segaris antara Bulan-Matahari-Bumi. Ini sebenarnya murni
wilayah Astronomi alias ilmu Falak. Dimana kedua belah pihak yang berbeda memiliki
kesepakatan yang sama. Bahkan sudah sama-sama pintarnya.
Kesamaan
itu terlihat dari kesepakatan: bulan Syakban berakhir pada hari Kamis, 19 Juli 2012,
pukul 11.25 wib. Tidak ada perbedaan dalam hal ini. Kalaupun ada, hanya berbeda
tipis, dalam hitungan menit saja. Bukan jam, atau apalagi hari. Artinya, sudah ada
pijakan yang sama dalam mendekati permasalahan. Kenapa bisa demikian? Karena, kesimpulan
ini memang dibuat berdasar pada fakta posisi Bulan. Bukankah bulan tidak pernah
berbohong? Dan, kita bisa sama-sama mengeceknya di angkasa. Inilah universalnya
Sains, dalam hal ini Astronomi. Dilihat oleh siapa pun, dan dihitung oleh siapa
pun hasilnya kurang lebih sama. Bahkan, jika yang melihat bulan itu adalah seorang
non muslim sekalipun. Bedanya hanya dalam orde menit, atau bahkan detik disebabkan
oleh metode penghitungan saja.
Perbedaan
baru muncul, ketika mau menentukan kapan mulai berpuasa: Jum’at (20/7) ataukah Sabtu
(21/7)? Sebenarnya ini sudah bukan wilayah Astronomi lagi, melainkan masuk wilayah
Fikih. Wilayah Astronomi bersifat eksak, sedangkan wilayah Fikih bersifat lentur
sesuai kondisi yang menyertainya. Dalam konteks penetapan awal Ramadan, fakta Astronomi
yang eksak dan Fikih yang lentur itu jangan dicampur-adukkan. Karena, hasilnya akan
sangat membingungkan.
Bagaimana
Anda tidak bingung membaca pengumuman ini, misalnya. ‘’Semua lembaga yang berkompeten SEPAKAT bahwa bulan Syakban
habis pada KAMIS, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Dan karena hilal tidak kelihatan,
maka diputuskan dan ditetapkan bahwa 1 Ramadan 1433 H jatuh pada hari SABTU, 21
Juli 2012.’’
Secara
fakta Astronomi kesimpulan semacam ini tidak memperoleh pijakan. Karena, Syakban
adalah bulan ke-8 dalam penanggalan Hijriyah, dan Ramadan adalah bulan ke-9. Mestinya,
tidak ada jeda hari antara Syakban dan Ramadan. Begitu Syakban habis, langsung masuk
ke Ramadan. Lha ini,
Syakban berakhir pada hari Kamis, tapi awal Ramadan jatuh hari Sabtu. Tidak heran,
sejumlah kawan langsung me-SMS saya. Mereka bertanya: ‘’lho terus hari Jum’at itu ikut bulan
Syakban, ataukah Ramadan, ataukah tidak punya Bulan, mas?’’
Logikanya
memang menjadi ‘jumping’.
Sangat sulit mencernanya. Apalagi ini wilayah ilmu Astronomi yang eksak, bisa langsung
dicek ke angkasa. Logikanya, jika Kamis siang itu bulan Syakban sudah habis, sesaat
kemudian sudah masuk bulan Ramadan. Jadi, bulan sabit yang kita rukyat pada Kamis
sore itu sebenarnya adalah ‘hilal Ramadan’. Namun, karena usianya masih 6 jam, maka
hampir bisa dipastikan hilal itu sulit dilihat oleh mata telanjang. Ya, memang demikian.
Semua pihak yang berbeda pendapat pun pasti paham, bahwa hilal seumur 6 jam tidak
mungkin terlihat. Sampai disini, semua sepakat.
Nah,
perbedaan itu mulai muncul saat menentukan ‘awal puasa’. Ini sebenarnya sudah bukan
wilayah Astronomi lagi, melainkan wilayah ilmu Fikih. Yang jika rujukan kondisinya
berbeda, hasilnya bisa berbeda pula. Di wilayah Fikih inilah kita bisa memahami,
ketika salah satu pihak memutuskan berpuasa di hari Jum’at, dan lainnya di hari
Sabtu. Bagi yang berpedoman pada wujudul
hilal, memutuskan permulaan puasanya Jum’at. Sedangkan bagi yang menganut
ru’yatul hilal,
memutuskan berpuasa Sabtu. Tidak ada masalah, karena rujukan Fikihnya sama-sama
sahih.
Dengan
demikian, pengumuman hasil isbat itu memiliki argumentasi Astronomi dan Fikih yang
kuat dan tegas, sehingga umat tidak bingung dibuatnya. Jika diumumkan ke masyarakat
luas, barangkali redaksinya menjadi begini:
‘’Sesuai dengan hasil perhitungan dan rukyat dari berbagai lembaga
yang berkompeten, bulan Syakban sudah berakhir hari KAMIS, 19 Juli 2012, pukul 11.25
WIB. Karena itu, Kamis sore ini bulan Ramadan sudah datang. Tetapi, karena ketinggian
hilal masih sangat rendah, maka tidak ada yang berhasil merukyatnya. Oleh sebab
itu, berdasar pada sunnah Nabi, pemerintah memutuskan dan menetapkan puasa Ramadan
dimulai SABTU, 21 Juli 2012...’’
Clear. Secara Astronomi valid,
dan secara fikih sah. Bahwa, lantas ada yang berbeda pendapat dengan pemerintah,
dan memulai puasanya di hari Jum’at misalnya, tidak masalah. Sangat bisa dipahami,
karena rujukan fikihnya juga jelas. Yakni, barangsiapa menyaksikan hadirnya bulan
Ramadan hendaklah dia berpuasa QS. 2: 185. Astronomically,
Jum’at itu memang sudah masuk 1 Ramadan 1433 H.
Dengan
demikian, meskipun belum bisa sepakat bulat, setidak-tidaknya benang kusutnya sudah
mulai terurai. Dan sudah memperoleh titik temu. Lebih bagus lagi jika urusan Astronomi,
diserahkan saja ke LAPAN atau BOSCHA. Sedangkan urusan fikih dipisah, diserahkan
kepada MUI. Dan menteri agama hanya tinggal membacakan kedua fatwa itu kepada masyarakat
luas. Mudah-mudahan di tahun depan kita sudah bisa memperoleh solusi lebih baik.
Karena, sungguh kita sudah sangat merindukan kebersamaan ini. Betapa indahnya, jika
Ramadan dan Idul Fitri bisa bersama-sama dengan sahabat dan handai tolan..! Wallahu a'lam bishshawab.
*
Notes ini juga diterbitkan di koran Jawa Pos, dan koran anak-anak perusahaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar