Ada tiga
tingkatan kebahagiaan manusia. Yang pertama adalah kesenangan. Yang kedua, kenikmatan.
Dan yang ketiga, kebahagiaan. ’Kesenangan’ bersifat materi. ’Kenikmatan’ terkait
dengan menata hati. Dan ’kebahagiaan’ adalah perasaan nikmat yang terus menerus
kita alami.
Contoh
konkretnya begini. Jika kepada Anda diajukan sebuah pertanyaan: ’’SENANG manakah Anda, mobil yang berharga
Rp 100 juta dengan mobil yang berharga Rp 1 miliar?’’ Maka, hampir bisa
dipastikan jawaban Anda akan seragam, yakni menyenangi mobil yang berharga Rp 1
miliar. Karena, ia ’menjanjikan’ kenikmatan yang sudah Anda bayangkan.
Tetapi,
ketika mobil itu sudah Anda miliki, dan kemudian pertanyaannya diganti begini: ’’NIKMAT manakah naik mobil yang Rp 100
juta ataukah yang Rp 1 miliar?’’ Tiba-tiba jawaban Anda berbeda-beda.
Ada yang masih menjawab: ’’nikmat
yang Rp 1 miliar’’. Tetapi, ada pula yang menjawab: ’’nikmat yang Rp 100 juta, karena tidak
punya hutang kredit mobil’’. Ada pula yang memberikan jawaban:’’bergantung...’’.
Cobalah
perhatikan, ketika ditanya tentang ’kesenangan’ jawabannya seragam, seiring dengan
’kualitas materi’ yang ditawarkan. Tetapi, ketika ditanya tentang ’kenikmatan’,
jawabannya beraneka ragam seiring dengan ’kualitas hati’ masing-masing. Ya kesenangan
bersifat obyektif, sedangkan kenikmatan bersifat subyektif.
Anda
pasti bisa membayangkan, betapa ’tersiksanya’ orang yang baru memiliki mobil seharga
Rp 1 miliar. Tiap hari dia kepikiran terus. Mau parkir di tempat sembarangan ragu-ragu,
takut ada anak-anak yang main corat-coret di bodi mobil. Mau bepergian ke tempat
ramai tidak berani, takut kebaret atau terserempet. Mau mengajak anak-anak atau
keponakan, takut jok mobilnya kotor. Dan seterusnya. Orang yang demikian berhasil
memeroleh kesenangan, tetapi gagal memeroleh kenikmatan. Sementara, orang yang naik
mobil lebih murah, hatinya tenang-tenang saja dalam mengendarai mobilnya. Dan bisa
menikmatinya dengan tanpa beban.
Pertanyaan
senada, bisa kita ajukan dengan obyek yang berbeda. Misalnya, ditanyakan kepada
Anda: lebih SENANG manakah punya istri yang cantik ataukah yang sedang-sedang saja?
Jawabannya, kurang lebih seragam: pilih yang cantik. Tetapi, ketika pertanyaannya
diganti: lebih NIKMAT manakah punya istri yang cantik ataukah sedang-sedang saja,
jawabannya bisa: bergantung...! Kalau punya istri cantik tapi menjengkelkan dan
bikin masalah terus, ya lebih baik yang sedang-sedang saja tapi menentramkan...
:)
Pertanyaan
lain lagi: lebih SENANG manakah Anda, makan di hotel bintang lima atau di kaki lima?
Barangkali jawabannya cenderung seragam lagi, yakni: bintang lima. Tetapi, ketika
ditanya soal kenikmatan jawabannya pasti beragam. Sangat boleh jadi, banyak diantara
kita yang lantas mengatakan: lebih
NIKMAT di kaki lima..!
Maka,
jangan keliru memilih ’kesenangan’. Yang harus dipilih adalah KENIKMATAN. Kesenangan
bisa cepat hilang seiring dengan rusaknya materi, sedangkan ’kenikmatan’ akan bertahan
lama seiring dengan bagaimana Anda menyikapi. Al Qur’an sendiri menyebut ’kesenangan’
sebagai ’tipuan’. Dan menyebut ’kenikmatan’ sebagai suatu ’anugerah’.
QS. Al Hadiid (57): 20
...dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
QS. Ash Shaaffaat (47): 148
Lalu mereka beriman, karena itu Kami anugerahkan
kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu yang tertentu.
’Kesenangan’
bagaikan fatamorgana yang tidak akan pernah terpuaskan. Karena yang berada di balik
kesenangan adalah hawa nafsu. Dan Allah menegaskan bahwa hawa nafsu tidak akan pernah
terpuaskan, meskipun seluruh langit dan bumi rusak semua dikarenakan olehnya.
QS. Al Mukminuun (23): 71
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti rusaklah langit dan bumi ini, dan
semua yang ada di dalamnya...
Sementara
itu, yang berada di balik kenikmatan adalah 'keimanan', sebagaimana dijelaskan dalam
ayat di atas. Maka, yang diajarkan agama bukanlah mencari kesenangan, melainkan
memperoleh kenikmatan. Itulah yang kita baca setiap hari di dalam shalat: ’’ihdinash shirathal mustaqim, shirathalladziina
an’amta ’alaihim ~ ’’tunjukilah kami jalan yang lurus, jalannya orang-orang
yang Engkau beri nikmat...’’
Kenikmatan
bukan untuk dikejar, melainkan untuk diterima sebagai anugerah. Semakin dikejar,
ia semakin menjauh. Karena, sebenarnya kenikmatan bukanlah ’tujuan’, melainkan reward alias ’hadiah’. Ia
adalah pemberian Allah kepada orang-orang yang bisa ’menata’ hatinya. Bukan kepada
orang-orang yang ’meliarkan’ hatinya.
Karena
itu, yang diajarkan Allah kepada kita bukanlah meminta kenikmatan melainkan memohon
ditunjuki ’jalan yang lurus’ ~ shirathal
mustaqim. Kalau sudah berada di jalan yang lurus, insya Allah kenikmatan
akan datang sendiri sebagai anugerah. Ia hanya dampak saja dari sesuatu yang kita
lakukan, sesuai dengan fitrah keilahian yang ada di dalam diri kita. Kenikmatan
bukan bergantung kepada benda, melainkan kepada proses. Cara beragama yang baiklah
yang bakal melahirkan kenikmatan, bukan sekedar hasilnya.
Ketika
cara-cara beragama sudah dilakukan secara benar dan substansial, kenikmatan akan
berdatangan dengan sendirinya. Nah, kenikmatan yang datang terus menerus itulah
yang akan melahirkan kebahagiaan. Bangun tidur nikmat, mandi nikmat, sarapan pagi
nikmat, bekerja nikmat, bertemu sahabat-sahabat nikmat, ibadah-ibadahnya nikmat,
dan seterusnya sampai tidur kembali nikmat. Itulah orang yang hidupnya bahagia.
Dan itu sangat terkait dengan cara serta kemampuan kita dalam menata hati, bukan
sekedar keberhasilan memperoleh materi.
Sebaliknya,
ada orang yang hidupnya penuh dengan ’penderitaan’ karena tidak bisa menata hati.
Bangun tidur mengeluh, masuk kamar mandi mengomel, sarapan pagi memprotes, ketemu
jalanan macet mengumpat, bekerja merasa tertekan, beribadah karena terpaksa, ketemu
kawan bertengkar, dan seterusnya dan sebagainya, sampai tidur kembali hidupnya penuh
dengan masalah. Jika ditambah lagi dengan keserakahan, kompletlah hidup orang itu
dengan penderitaan... :(
Lantas,
bagaimanakah cara praktis memeroleh kebahagiaan itu..?
Ternyata
kebahagiaan hanyalah milik orang-orang yang bisa menjalani hidupnya dengan akhlak
tinggi. Kok bisa, bagaimana penjelasannya? Tentu saja baca note berikutnya... :)
Wallahu
a’lam bishshawab
~
salam ~
oleh Agus Mustofa pada 12 Februari 2011 pukul 9:44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar