Minggu, 13 Februari 2011

ANTARA KESENANGAN, KENIKMATAN & KEBAHAGIAAN ~ APA YANG KAU CARI (3)

Ada tiga tingkatan kebahagiaan manusia. Yang pertama adalah kesenangan. Yang kedua, kenikmatan. Dan yang ketiga, kebahagiaan. ’Kesenangan’ bersifat materi. ’Kenikmatan’ terkait dengan menata hati. Dan ’kebahagiaan’ adalah perasaan nikmat yang terus menerus kita alami.

Contoh konkretnya begini. Jika kepada Anda diajukan sebuah pertanyaan: ’’SENANG manakah Anda, mobil yang berharga Rp 100 juta dengan mobil yang berharga Rp 1 miliar?’’ Maka, hampir bisa dipastikan jawaban Anda akan seragam, yakni menyenangi mobil yang berharga Rp 1 miliar. Karena, ia ’menjanjikan’ kenikmatan yang sudah Anda bayangkan.

Tetapi, ketika mobil itu sudah Anda miliki, dan kemudian pertanyaannya diganti begini: ’’NIKMAT manakah naik mobil yang Rp 100 juta ataukah yang Rp 1 miliar?’’ Tiba-tiba jawaban Anda berbeda-beda. Ada yang masih menjawab: ’’nikmat yang Rp 1 miliar’’. Tetapi, ada pula yang menjawab: ’’nikmat yang Rp 100 juta, karena tidak punya hutang kredit mobil’’. Ada pula yang memberikan jawaban:’’bergantung...’’.

Cobalah perhatikan, ketika ditanya tentang ’kesenangan’ jawabannya seragam, seiring dengan ’kualitas materi’ yang ditawarkan. Tetapi, ketika ditanya tentang ’kenikmatan’, jawabannya beraneka ragam seiring dengan ’kualitas hati’ masing-masing. Ya kesenangan bersifat obyektif, sedangkan kenikmatan bersifat subyektif.

Anda pasti bisa membayangkan, betapa ’tersiksanya’ orang yang baru memiliki mobil seharga Rp 1 miliar. Tiap hari dia kepikiran terus. Mau parkir di tempat sembarangan ragu-ragu, takut ada anak-anak yang main corat-coret di bodi mobil. Mau bepergian ke tempat ramai tidak berani, takut kebaret atau terserempet. Mau mengajak anak-anak atau keponakan, takut jok mobilnya kotor. Dan seterusnya. Orang yang demikian berhasil memeroleh kesenangan, tetapi gagal memeroleh kenikmatan. Sementara, orang yang naik mobil lebih murah, hatinya tenang-tenang saja dalam mengendarai mobilnya. Dan bisa menikmatinya dengan tanpa beban.

Pertanyaan senada, bisa kita ajukan dengan obyek yang berbeda. Misalnya, ditanyakan kepada Anda: lebih SENANG manakah punya istri yang cantik ataukah yang sedang-sedang saja? Jawabannya, kurang lebih seragam: pilih yang cantik. Tetapi, ketika pertanyaannya diganti: lebih NIKMAT manakah punya istri yang cantik ataukah sedang-sedang saja, jawabannya bisa: bergantung...! Kalau punya istri cantik tapi menjengkelkan dan bikin masalah terus, ya lebih baik yang sedang-sedang saja tapi menentramkan... :)

Pertanyaan lain lagi: lebih SENANG manakah Anda, makan di hotel bintang lima atau di kaki lima? Barangkali jawabannya cenderung seragam lagi, yakni: bintang lima. Tetapi, ketika ditanya soal kenikmatan jawabannya pasti beragam. Sangat boleh jadi, banyak diantara kita yang lantas mengatakan: lebih NIKMAT di kaki lima..!

Maka, jangan keliru memilih ’kesenangan’. Yang harus dipilih adalah KENIKMATAN. Kesenangan bisa cepat hilang seiring dengan rusaknya materi, sedangkan ’kenikmatan’ akan bertahan lama seiring dengan bagaimana Anda menyikapi. Al Qur’an sendiri menyebut ’kesenangan’ sebagai ’tipuan’. Dan menyebut ’kenikmatan’ sebagai suatu ’anugerah’.

QS. Al Hadiid (57): 20
...dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

QS. Ash Shaaffaat (47): 148
Lalu mereka beriman, karena itu Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu yang tertentu.

’Kesenangan’ bagaikan fatamorgana yang tidak akan pernah terpuaskan. Karena yang berada di balik kesenangan adalah hawa nafsu. Dan Allah menegaskan bahwa hawa nafsu tidak akan pernah terpuaskan, meskipun seluruh langit dan bumi rusak semua dikarenakan olehnya.

QS. Al Mukminuun (23): 71
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti rusaklah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya...

Sementara itu, yang berada di balik kenikmatan adalah 'keimanan', sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas. Maka, yang diajarkan agama bukanlah mencari kesenangan, melainkan memperoleh kenikmatan. Itulah yang kita baca setiap hari di dalam shalat: ’’ihdinash shirathal mustaqim, shirathalladziina an’amta ’alaihim ~ ’’tunjukilah kami jalan yang lurus, jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat...’’

Kenikmatan bukan untuk dikejar, melainkan untuk diterima sebagai anugerah. Semakin dikejar, ia semakin menjauh. Karena, sebenarnya kenikmatan bukanlah ’tujuan’, melainkan reward alias ’hadiah’. Ia adalah pemberian Allah kepada orang-orang yang bisa ’menata’ hatinya. Bukan kepada orang-orang yang ’meliarkan’ hatinya.

Karena itu, yang diajarkan Allah kepada kita bukanlah meminta kenikmatan melainkan memohon ditunjuki ’jalan yang lurus’ ~ shirathal mustaqim. Kalau sudah berada di jalan yang lurus, insya Allah kenikmatan akan datang sendiri sebagai anugerah. Ia hanya dampak saja dari sesuatu yang kita lakukan, sesuai dengan fitrah keilahian yang ada di dalam diri kita. Kenikmatan bukan bergantung kepada benda, melainkan kepada proses. Cara beragama yang baiklah yang bakal melahirkan kenikmatan, bukan sekedar hasilnya.

Ketika cara-cara beragama sudah dilakukan secara benar dan substansial, kenikmatan akan berdatangan dengan sendirinya. Nah, kenikmatan yang datang terus menerus itulah yang akan melahirkan kebahagiaan. Bangun tidur nikmat, mandi nikmat, sarapan pagi nikmat, bekerja nikmat, bertemu sahabat-sahabat nikmat, ibadah-ibadahnya nikmat, dan seterusnya sampai tidur kembali nikmat. Itulah orang yang hidupnya bahagia. Dan itu sangat terkait dengan cara serta kemampuan kita dalam menata hati, bukan sekedar keberhasilan memperoleh materi.

Sebaliknya, ada orang yang hidupnya penuh dengan ’penderitaan’ karena tidak bisa menata hati. Bangun tidur mengeluh, masuk kamar mandi mengomel, sarapan pagi memprotes, ketemu jalanan macet mengumpat, bekerja merasa tertekan, beribadah karena terpaksa, ketemu kawan bertengkar, dan seterusnya dan sebagainya, sampai tidur kembali hidupnya penuh dengan masalah. Jika ditambah lagi dengan keserakahan, kompletlah hidup orang itu dengan penderitaan... :(

Lantas, bagaimanakah cara praktis memeroleh kebahagiaan itu..?
Ternyata kebahagiaan hanyalah milik orang-orang yang bisa menjalani hidupnya dengan akhlak tinggi. Kok bisa, bagaimana penjelasannya? Tentu saja baca note berikutnya... :)
 
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 12 Februari 2011 pukul 9:44


Tidak ada komentar:

Posting Komentar