Senin, 31 Oktober 2011

MENELADANI SOSOK IBRAHIM


QS. Al An’am [6] : 161
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; AGAMA IBRAHIM YANG LURUS; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik".

Abraham atau Ibrahim. Siapakah dia? Tentu saja setiap umat Yahudi, Nasrani, dan Mukmin sudah tidak asing lagi dengan sosok yang satu ini, yang sering disebut-sebut sebagai "Bapak Agama Samawi", sehingga agama-agama itu disebut sebagai “Agama Ibrahimi (Abrahamic Faith)”, dikarenakan Allah telah meletakkan fondasi-fondasi agama seperti halnya: shalat, zakat, puasa, dan haji di tangan Ibrahim.

Mari kita mencoba untuk mengenal lebih jauh dan mengambil pelajaran berharga dari sosok Ibrahim yang kita cintai dan kita kagumi ini.

Jika kita mempelajari lebih dalam kisah tentang Ibrahim dalam Al Qur’an, maka ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari kehidupan Ibrahim, yang insya Allah jika kita lakukan akan sangat bermanfaat dalam hidup ini.

Menurut beberapa sumber sejarah dan kitab suci, Ibrahim dilahirkan di sekitar kawasan Irak (sumber lain menyebutkan Ibrahim berasal dari sekitar Turki). Ibrahim dilahirkan di tengah-tengah masyarakat dan keluarga penyembah berhala. Ibrahim muda adalah seorang yang cerdas dan kritis. Maka dari itu ia tidak segan-segan mempertanyakan kebiasaan aneh yang dilakukan masyarakat dan keluarganya yang selalu melakukan penyembahan terhadap patung-patung berhala. Bagi Ibrahim, hal ini tidak masuk akal, bahwa patung-patung yang merupakan benda mati harus diperlakukan sebagai “Tuhan-Tuhan” yang harus disembah dan dimintai pertolongan dan berkah.

Maka Ibrahim muda memutuskan untuk melakukan pencarian terhadap Tuhan yang sejati. Ibrahim mengarahkan perhatiannya kepada benda-benda langit yang besar, yang mungkin merupakan jawaban atas pencariannya. Dimulai dari kemunculan bintang, yang dianggap Ibrahim sebagai “Tuhan”. Namun setelah bintang tenggelam dan digantikan bulan, maka Ibrahim menunjuk bulan itu sebagai “Tuhannya”. Namun bulan itu pun tenggelam dan digantikan matahari yang jauh lebih besar, dan segera Ibrahim berkata, “Benda terbesar inilah Tuhanku yang sebenarnya.” Namun sekali lagi, matahari itu pun tenggelam, dan digantikan lagi oleh bintang dan bulan.
Maka akal kecerdasan Ibrahim pun membuat kesimpulan bahwa Tuhan sebenarnya adalah Sang Pencipta bumi dan langit beserta isinya. Kisah ini bisa anda baca pada Surat Al-An’am [6] : 74-79.

Ibrahim segera memulai syi’ar agama, dan dimulai dari masyarakatnya yang menyembah berhala. Pada suatu malam, Ibrahim melakukan penghancuran besar-besaran terhadap berhala-berhala tersebut, dan menyisakan satu patung besar saja dengan mengalungkan kapak yang telah digunakannya untuk menghancurkan patung-patung lainnya.

Maka keesokan harinya, hebohlah masyarakat penyembah berhala tersebut. Dengan marah mereka menuduh Ibrahim, karena mereka tahu bahwa Ibrahim selama ini selalu kritis terhadap kebiasaan penyembahan berhala tersebut. Ibrahim dengan enteng mengatakan, “Patung besar itulah yang telah melakukannya!” Semakin marahlah masyarakat penyembah berhala tersebut. Mereka mengatakan bahwa tidak mungkin patung besar yang merupakan benda mati itu bisa melakukan pengrusakan terhadap patung-patung lainnya. Maka sekali lagi Ibrahim menjawab dengan cerdas, “Jika demikian, kenapa kalian tetap saja menyembah benda-benda mati tersebut yang tidak memiliki daya untuk melakukan apa pun?”. Kisah ini bisa anda baca pada Surat Al-Anbiyaa’ [21] : 51-67, dan Surat Maryam [19] : 42-46.
Ibrahim telah memberikan argumen-argumen cerdas dan kritis, namun tetap disampaikannya dengan cara lemah lembut, terutama kepada ayahnya yang juga merupakan seorang penyembah berhala. Namun, masyarakat sudah terlanjur marah, dan memutuskan untuk membakar Ibrahim hidup-hidup. Ibrahim tidak mundur sedikit pun, dan penuh keyakinan bahwa Allah Yang Maha Kuasa akan melindunginya. Benar saja, bahwa api itu tidak dapat membakar tubuh Ibrahim. Kisah ini bisa anda baca pada Surat Al-Anbiyaa’ [21] : 68-69.

Setelah Ibrahim diselamatkan oleh Allah, maka ia memutuskan untuk meninggalkan kaum dan keluarganya, untuk berdakwah kepada umat manusia. Dalam perjalanannya Ibrahim berkenalan dengan Sarah dan menikahinya. Namun hingga keduanya berusia lanjut, Allah belum mengaruniakan anak. Maka Sarah mengizinkan Ibrahim untuk menikahi seorang budak dari Mesir yang bernama Hajar. Dari Hajar inilah Ibrahim mendapatkan seorang putra yang bernama Ismail. Tidak lama kemudian Allah mengaruniakan seorang putra lagi, kali ini dari rahim Sarah, dan dinamai Ishak. Kelak Ismail menurunkan garis keturunan bangsa Arab, sedangkan Ishak menurunkan garis keturunan bangsa Israel. Al Qur’an tidak secara spesifik menjelaskan tentang kehidupan keluarga Ibrahim ini, namun anda bisa melihat rujukannya pada Kitab Kejadian di Perjanjian Lama.

Di hari tuanya, sekali lagi Ibrahim mendapatkan ujian dari Allah. Sudah sekian lama Ibrahim mendambakan seorang putra. Maka ketika lahir seorang Ismail dari rahim Hajar, sudah tentu Ibrahim sangat menyayangi putra sulungnya itu. Namun tiba-tiba Allah memerintahkan kepada Ibrahim, melalui mimpinya, untuk mengorbankan putra semata wayangnya itu. Ibrahim tentu saja sangat bersedih. Akan tetapi Ibrahim tidak berani untuk menolak perintah Allah itu, karena Ibrahim benar-benar seorang yang penyabar dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Maka Ibrahim dengan penuh keyakinan, memenuhi perintah Allah untuk mengorbankan putranya. Ismail sendiri adalah seorang yang berbakti, dan menguatkan keyakinan ayahnya untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah.

Ketika pisau telah diletakkan di leher Ismail, maka turunlah firman Allah yang memerintahkan Ibrahim untuk menggantikan putranya tersebut dengan seekor domba. Yang nantinya daging hewan tersebut harus dibagikan kepada kaum fakir miskin. Allah melihat ketulusan, kesabaran, dan keikhlasan tiada tara pada seorang Ibrahim untuk mengabdi kepada-Nya, maka Ibrahim lulus dari ujian Allah tersebut. Peristiwa ini setiap tahun diperingati dalam Hari Raya Kurban atau Idul Adha.

Ibrahim juga diberi gelar sebagai orang pertama yang disebut sebagai “muslim” yang artinya : Orang yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Dari garis keturunannya pula lahir nabi-nabi besar yang pernah ada di Bumi ini. Anda bisa baca kisah pengorbanan Ismail ini pada Surat Ash-Shaaffaat [37] : 101-110.

Dari kisah teladan Ibrahim ini, ada beberapa hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik oleh kita:

1). Ibrahim berpendapat bahwa perilaku keluarga dan masyarakat penyembah berhala itu sebagai kebiasaan yang tidak masuk akal. Maka di sini Ibrahim telah menggunakan potensi akal kecerdasannya untuk mencari kebenaran sejati.

2). Meskipun Ibrahim dibesarkan di tengah-tengah keluarga dan masyarakat penyembah berhala, namun Ibrahim berani menentang kebiasaan tersebut dan memilih untuk berpegang kepada agama Allah. Ini adalah sebuah teladan, bahwa dalam beragama tidak boleh sekedar ikut-ikutan. Jadi anda tidak usah khawatir ketika akal dan hati nurani anda sedang “bertabrakan” dengan tradisi masyarakat dan pendapat kebanyakan orang. Ikuti saja apa yang menurut anda paling baik.

3). Ibrahim tidak pernah lelah mencari Tuhan yang sejati, sehingga Allah memberikan jawaban atas pencariannya itu. Sebuah pembelajaran penting, bahwa kebenaran adalah sebuah usaha pencarian tanpa henti. Jangan sampai anda merasa sudah cukup dalam mencari kebenaran, hanya karena anda lahir sebagai seorang “Muslim” dan ber-KTP “Islam”.

4). Ibrahim melakukan syi’ar agama dengan argumen-argumen yang cerdas dan tajam, namun dikemas dalam perkataan yang santun dan penuh kelembutan. Ini adalah pelajaran penting, bahwa dalam berdiskusi kita harus senantiasa menunjukkan bukti-bukti rasional, dengan sopan santun dan penuh kelembutan. Agama bukanlah hal yang bisa dipaksakan dengan doktrin-doktrin, apalagi dengan penyajian yang kasar dan emosional.

5). Ibrahim diselamatkan oleh Allah dari kobaran api. Maka ini adalah sebuah pembelajaran bagi kita, bahwa keyakinan yang tinggi bisa menghasilkan kekuatan dashyat.

6). Ketika bukti-bukti keberadaan Allah telah sedemikian nyata bagi Ibrahim, maka Ibrahim berkomitmen untuk melakukan pengabdian dengan tulus dan ikhlas hanya kepada Allah bukan yang lain.

7). Meskipun Ibrahim telah diangkat menjadi Nabi, namun bukan berarti Allah tidak lagi mengujinya. Justru Allah memberikan ujian terberat yaitu perintah untuk mengorbankan anak satu-satunya, Ismail. Ibrahim terbukti, dengan ketaatan dan keikhlasan luar biasa, lulus dari ujian ini. Maka orang semacam Ibrahim inilah yang layak mendapatkan predikat seorang “Muslim” alias orang yang benar-benar berserah diri kepada Allah, bukan sekedar 'Muslim label'.

Pelajaran yang bisa kita dapatkan adalah belum layak seorang disebut muslim selama ia belum bisa berkorban demi kemaslahatan umat manusia, atas nama Allah.

Secara garis besar, bisa kita simpulkan bahwa ada keterkaitan yang erat antara akal, keyakinan, ketaatan, dan keikhlasan. Gunakan akal kecerdasan kita untuk mencapai keyakinan. Akal itu akan mengantarkan kita kepada bukti-bukti nyata keberadaan Allah sehingga kita yakin. Kalau kita sudah yakin, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak taat dan ikhlas hanya kepada Allah semata.

Mudah-mudahan kita bisa meneladani seorang Ibrahim, Bapak Agama Samawi, sehingga kita benar-benar akan menjadi seorang Muslim Sejati!

Allahu'alam ..

Semoga bermanfaat!

Senin, 24 Oktober 2011

MAKNA DAN HIKMAH DALAM IBADAH HAJI

Oleh Syekh Subakir pada 24 Oktober 2011 pukul 4:32

Sahabat JERNIH yang (mudah-mudahan) dirahmati oleh Allah..

Bulan ini, kembali kota suci Makkah dan Madinah akan dikunjungi jutaan mukmin dari seluruh penjuru dunia untuk menunaikan salah satu kewajiban Islam yaitu Ibadah Haji.

Saya tidak pernah berhenti untuk mengingatkan bahwa dalam berislam kita jangan sampai terjebak kepada ritual dan simbol  belaka, melainkan harus dapat memahami makna dan hikmah di balik ritual ibadah yang kita jalankan. Kegagalan memahami makna dan hikmah dalam ritual ibadah, akan menjadikan apa yang kita lakukan itu tidak banyak berarti. Sebagaimana kita lihat bahwa setiap tahun jemaah haji asal Indonesia selalu mencapai jumlah terbanyak, namun sekembalinya mereka dari Tanah Suci ternyata tidak terlalu membawa dampak positif bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama di Tanah Air.

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang makna dan hikmah dalam Ibadah Haji, maka saya ingin bertanya kepada anda semua tentang tujuan berhaji.

Ya, apa sebenarnya tujuan anda dalam berhaji?

Demi memenuhi kewajiban agama saja? Ingin berdoa sepuasnya dan mendapatkan berkah dari Allah? Ingin memperoleh gelar haji? Atau ingin berjalan-jalan saja? Ataukah masih ada maksud-maksud lain di balik ibadah haji itu seperti tujuan politis, misalnya?

Jika tujuan anda berhaji masih seputar dari hal-hal di atas, maka anda mungkin belum akan mendapatkan manfaat dari ibadah haji tersebut. Al Qur’an telah dengan jelas menerangkan apa tujuan dari ibadah haji :

QS Al Baqarah [2] : 197
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan HAJI, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekal lah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah TAKWA dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”

QS Al Baqarah [2] : 125
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada IBRAHIM dan ISMAIL: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud".

Tujuan dari ibadah haji adalah untuk meraih ketakwaan, dengan menapaktilasi perjalanan Nabi Ibrahim dan keluarganya.

Ritual dalam Ibadah Haji mencakup lima hal :

1. Ihram.
2. Wuquf di Padang Arafah.
3. Lempar Jumrah di Mina.
4. Tawaf di sekeliling Ka’bah.
5. Sa’i di antara bukit Shafa dan Marwa.

Mari kita bahas lima ritual dalam Ibadah Haji ini secara garis besarnya!

1. IHRAM

Ihram adalah pakaian bagi jamaah Haji yang merupakan kain putih yang tidak berjahit. Baik orang Indonesia, Amerika, Arab, kulit putih, kuning, hitam, kaya, miskin, pejabat, rakyat jelata, semua diwajibkan mengenakan pakaian Ihram. Ini mengandung maksud bahwa di hadapan Allah semua derajat manusia adalah sama, sedangkan yang membedakan adalah kualitas ketakwaannya. Ini sekaligus menegaskan prinsip egalitarian atau persamaan derajat sesama manusia dalam Islam.

QS Al Hujuraat [49] : 13
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu SALING MENGENAL. Sesungguhnya orang yang paling MULIA di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling BERTAKWA di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

2. WUQUF

Wuquf adalah kegiatan berdiam diri di Padang Arafah. Pertanyaannya : berdiam diri untuk apa? Hanya menghabiskan waktu untuk bengong tanpa tujuan? Atau “berdiam” sambil makan-makan mewah di tenda-tenda haji tersebut?

Tentu tidak demikian. Bahwa berdiam diri di Padang Arafah itu mengandung maksud untuk introspeksi diri. Mempertanyakan kepada diri sendiri, sejauh mana komitmen kita sebagai makhluk yang diciptakan Allah hanya untuk beribadah kepada-Nya. Merenung dan mencoba untuk mengenali jati diri yang sebenarnya dan memahami makna kehidupan. Sehingga ia akan selalu mengingat apa yang telah dilakukannya di masa-masa lalu. Memohon ampun atas segala dosa yang telah diperbuat, seraya berjanji untuk melangkah menuju masa depan yang lebih baik.

3. LEMPAR JUMRAH

Lempar Jumrah di Mina, adalah kegiatan melempar batu kerikil sebanyak tujuh kali ke arah tugu sebagai simbolisasi perlawanan terhadap godaan setan. Nabi Ibrahim melakukannya (melempari setan dengan tujuh batu kerikil), ketika setan berusaha membujuknya untuk membatalkan ujian dari Allah untuk mengorbankan putranya, Ismail.

Maka lakukanlah Lempar Jumrah itu dengan segenap hati, untuk mengusir sifat-sifat setan dalam diri kita, akan tetapi lakukanlah dengan tenang dan tertib. Jangan sampai maksudnya ingin mengusir setan, tapi diri kita malah kesetanan seperti yang sering terjadi bila jemaah melempari tugu itu dengan membabi buta sehingga mengenai jemaah yang lain. Lakukanlah dengan baik, karena sesungguhnya tugu itu bukanlah setan itu sendiri, akan tetapi adalah simbolisasi dari setan. Setan yang sesungguhnya ada di dalam hawa nafsu yang tidak terkendali dan menjelma menjadi perbuatan yang jahat.

4. TAWAF

Tawaf adalah ritual haji mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali dengan berlawanan arah jarum jam. Ada dua makna penting dalam Tawaf ini, yaitu:

(i) Bahwa segala sesuatu di alam semesta ini sebenarnya adalah pusaran energi tanpa henti yang selalu digerakkan oleh Sang Konduktor alam semesta yang tidak lain dan tidak bukan adalah Allah Yang Maha Besar. Allah adalah Dzat Yang Maha Meliputi Segala Sesuatu, yang tidak pernah berhenti memainkan orkestra mulai dari peredaran gugus galaksi yang super luas hingga orkestra terkecil dalam sel tubuh makhluk hidup.

Maka dalam bertawaf, kita sebenarnya sedang meleburkan diri ke dalam orkestrasi Allah dalam pusaran energi Ka’bah, dengan selalu mengingat dan memuji nama-Nya. Setiap putaran selalu dimulai dengan bacaan, “Bismillahi Allahu Akbar” yang artinya “Dengan Nama Allah Yang Maha Besar“. Seperti itulah seharusnya kita menjalani hidup dalam setiap hembusan nafas, dengan mengingat Allah Yang Maha Besar, sehingga potensi kesombongan dalam diri ini bisa diredam.

(ii) Bahwa dalam bertawaf itu kita sekaligus menceburkan diri ke dalam realita hidup di dunia ini yaitu menghadapi berbagai macam karakter manusia.

Coba lihat! Ada jamaah yang bertawaf dengan tergesa-gesa, main tubruk sana tubruk sini seolah-olah tidak mempedulikan jamaah yang lain. Ada juga yang bertawaf sambil berteriak-teriak bangga. Ada yang sangat berhati-hati, saking berhati-hatinya ingin menyelamatkan diri sehingga malah lupa berdzikir kepada Allah. Maka sebaik-baik Tawaf adalah mereka yang mampu melakukannya dengan dzikir khidmat kepada Allah, akan tetapi tetap pada kesadarannya memperhatikan manusia di sekelilingnya. Itulah konsep Islam yaitu ‘habluminallah’ dan ‘habluminannas’, yaitu hubungan vertikal dan horizontal.

5. SA’I

Sa’i adalah berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa sebanyak tujuh kali. Ini merupakan napak tilas perjuangan Hajar, istri Nabi Ibrahim, ketika berusaha mencari mata air untuk putranya Ismail yang kehausan.

Ritual Sa’i ini bermakna perjuangan tanpa henti. Usaha dan kerja keras untuk meraih hasil. Maka biasanya, jamaah haji seusai melakukan Sa’i bisa meminum air Zamzam sebagai simbol hasil yang didapat dari jerih payahnya.


Nah, setelah kita mengetahui makna dan hikmah dalam ritual ibadah haji dengan cara menapaktilasi perjuangan Nabi Ibrahim dan keluarganya, mudah-mudahan kita bisa memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya seusai menjalankan ibadah haji.

Pakaian Ihram akan menjadikan kita sebagai seorang yang tidak membeda-bedakan manusia karena suku, ras, agama, pangkat, kekayaan, akan tetapi saling berbagi kasih sayang dan saling mendorong agar kita menjadi orang yang bertakwa.

Wuquf akan menjadikan kita sebagai manusia yang optimis menapak masa depan dengan penuh kebaikan dengan tidak mengulangi kesalahan di masa lalu.

Lempar Jumrah akan menjadikan kita lebih kuat dan gigih dalam memerangi nafsu setan dalam diri kita.

Tawaf akan menjadikan kita selalu mengingat bahwa kita adalah bagian yang sangat kecil yang selalu melebur dalam kekuasaan Allah, dan kita akan siap menghadapi realita kehidupan ini.

Sa’i akan menjadikan kita sebagai pribadi yang pantang menyerah dan giat dalam berusaha.

Mudah-mudahan semangat dalam haji kita akan terus menyala tidak hanya pada saat kita berada di Tanah Suci, melainkan akan terus dinyalakan hingga akhir hayat kita, Sehingga kita akan meraih derajat takwa, dan pada akhirnya akan menjadi orang yang benar-benar berserah diri kepada Allah, sebagaimana diteladankan Nabi Ibrahim

QS Al An’am [6] : 161-163)
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik". Katakanlah: "Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".”

Allahu’alam …

Semoga bermanfaat!


Minggu, 16 Oktober 2011

MENGKAJI SURAT AL-MAA’UUN

QS Al Maa'uun [107] : 1-7

" Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?

.. Itulah orang yang menghardik anak yatim,

.. dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.

.. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,

.. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,

.. orang-orang yang berbuat riya,

.. dan enggan (menolong dengan) barang berguna."

Sahabat JERNIH yang (semoga) dirahmati oleh Allah...

Surat Al Maa’uun adalah salah satu surat yang populer di dalam Al Qur’an. Ada sebuah pernyataan menarik di dalamnya yaitu “Pendusta Agama.” Siapakah yang disebut sebagai pendusta agama itu? Apakah kita termasuk di dalamnya? Semoga tidak! Mari kita mengkaji secara singkat surah 107 ini.

Kata “pendusta agama” menjadi titik sentral di dalam surat ini. Mengapa Allah menggunakan kata pendusta dan agama? Tentu saja maksudnya adalah orang-orang yang “berjubah agama” akan tetapi perilakunya jauh dari ajaran agama Islam.

Apa itu orang yang berjubah agama?

Ya.. Mereka adalah orang yang rajin dalam “beribadah”. Shalat lima waktu, pintar doa dan dzikir, puasa tidak pernah bolong, naik haji berkali-kali, bahkan penampilannya pun sangat “agamis”, mungkin dengan mengenakan sorban, jubah, peci, dsb. Namun ternyata semua itu di mata Allah hanyalah “dusta” belaka.

Dusta? Bagaimana bisa begitu?

“ Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”

Sahabatku... Tentu kita paham bahwa masyarakat kita sebagian besar adalah masyarakat religius. Mulai dari pejabat, ulama, pengusaha, dan segenap lapisan masyarakat lainnya. Maka agak mengherankan jika angka kemiskinan di negeri ini masih sangat tinggi. Jika saja semua umat Islam memiliki kesadaran untuk berempati kepada anak yatim dan orang miskin, seharusnya angka kemiskinan tidak setinggi itu.

Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya :

Pertama, bahwa sebagian umat Islam tidak terketuk hati nuraninya melihat fakir miskin dan anak-anak terlantar. Ajaran agama Islam tidak benar-benar merasuk ke dalam pikiran dan hati mereka, karena agama itu sebatas KTP atau ritual-ritual belaka yang tanpa makna. Maka dari itu mereka tidak menganggap penting tentang nasib fakir miskin dan anak-anak terlantar. Bagi mereka jauh lebih penting menumpuk harta sebanyak mungkin, memikirkan jabatan, kekuasaan, dan popularitas. Itulah mengapa Pasal 34 UUD’45 hingga kini kian tidak jelas jluntrungannya. Padahal coba perhatikan! Hampir semua ayat yang berbicara tentang shalat selalu diikuti dengan perintah zakat!

Kedua, karena perintah zakat hanya dipahami sebagai ritual alias formalitas belaka. Zakat 2,5% dari penghasilan setahun sekali dirasa sudah cukup. Padahal seharusnya tidak begitu. Zakat dan sedekah seharusnya menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari, bukannya hanya dikeluarkan pada saat Idul Fitri dan Idul Adha saja. Itu pun sebaiknya kita juga memiliki kesadaran untuk mengeluarkan harta kita lebih dari standar minimal yaitu 2,5%. Saya sendiri agak heran ketika melihat sebagian orang yang penghasilannya bisa miliaran rupiah, akan tetapi ketika berzakat menggunakan standar minimal 2,5%. Saya pikir orang-orang itu tetap bisa hidup bahagia bahkan dengan 70% dari penghasilannya tersebut, meskipun ia harus menyisihkan, katakanlah, 30% saja untuk membantu fakir miskin dan anak-anak terlantar.

“ Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya....”

Luar biasa! Allah memberikan ancaman kepada orang-orang yang shalat!

Lho, apakah berarti shalat itu ibadah yang tidak direstui oleh Allah?

Tentu tidak!

Al Qur’an menjelaskan tentang orang-orang yang “lalai” dari shalatnya. Apa maksudnya lalai? Yaitu orang-orang yang tidak benar-benar shalat dari hati nuraninya. Mereka yang tidak benar-benar berkomunikasi dengan Allah dalam shalatnya. Shalatnya hanya menjadi olah raga dan rutinitas harian saja. Ayat demi ayat dibaca cepat-cepat, tanpa mengerti artinya, apalagi memahami maknanya.
Maka shalat mereka tidak berdampak pada perilaku mereka sehari-hari. Hati nuraninya tidak tersentuh oleh hikmah ayat-ayat Al Qur’an. Tentu saja pada akhirnya mereka lalai kepada “paket wajib” yang selalu menyertai perintah shalat, yaitu zakat untuk menyantuni fakir miskin dan anak-anak terlantar!

“ orang-orang yang berbuat riya (pamer), dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”

Apalagi orang-orang yang shalat hanya untuk pamer alias riya. Shalat karena ingin dianggap alim. Shalat karena kewajiban setor muka di hadapan atasannya, dan sebab-sebab lain yang menjadikan shalatnya bukan karena Allah.

Orang-orang semacam ini jelas akan merasa enggan dalam hal tolong-menolong. Kalaupun ia menolong seseorang, tentu karena maksud-maksud yang bermuatan kepentingan pribadi, dan bukan menolong karena kewajiban sebagai hamba Allah.

Mari kita renungkan kembali!

Sudahkah shalat kita menjadi media untuk berkomunikasi dengan Allah? Curhat dengan Allah? Meresapi kata demi kata yang kita ucapkan dalam shalat, sehingga hati kita bergetar ketika membaca ayat-ayat Allah?

Sudahkah shalat kita menjadikan kita berkepribadian Qur’ani? Yang hatinya selalu tersentuh sehingga “meneteskan air mata” ketika melihat anak-anak yatim dan orang-orang miskin yang kurang beruntung? Saya ingatkan sekali lagi! Hampir semua ayat tentang perintah shalat, selalu diikuti dengan perintah zakat!

Sudahkah shalat kita hanya untuk Allah? Bukan untuk siapa pun?

Sudahkah kita tolong-menolong semata-mata karena fitrah kita sebagai makhluk Tuhan di bumi yang memang diwajibkan untuk saling tolong-menolong agar tercipta kehidupan yang penuh harmoni, tanpa memandang status sosial, suku bangsa, dan agama?

Jika iya.. Insya Allah kita bukan termasuk “para pendusta agama.”

Sesungguhnya ajaran Islam itu sederhana, namun universal dan mendalam. Maka dari itu saya agak sedih ketika umat Islam sering meributkan hal-hal kecil yang tidak pernah diperintahkan di dalam Al Qur’an, sehingga menjadikan kita tidak lagi menjadi makhluk yang humanis, yang selalu menebar kasih sayang dan persaudaraan kepada sesama manusia, dan berbuat baik kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya.

Ibadah hanya kepada Allah, berempati kepada kaum miskin dan anak yatim, serta menjaga sikap saling tolong-menolong ..

Tidak sulit bukan?

Allahu’alam ..


Semoga bermanfaat!

Minggu, 09 Oktober 2011

SUDAHKAH KITA MENJADI KHALIFAH DI BUMI

Oleh Hanya Copas Tulisan Bermutu pada 8 Oktober 2011 pukul 11:42
SUDAHKAH KITA MENJADI KHALIFAH DI BUMI
--------------------------------------------------------------------------

Oleh : Agus Mustofa dalam buku MEMBONSAI ISLAM


Coba kita tengok diri sendiri: keteladanan apa yang telah kita bisa – umat Islam –tawarkan kepada dunia dan seisinya?

Apakah kita telah berjasa membangun peradaban manusia global yang maju? Apakah kita telah berjihad membangun Sains dan Teknologi untuk mengelola Planet Bumi bagi kesejahteraan masyarakat dunia? Atau, apakah kita telah berperan penting dalam mengamankan Bumi dari kehancuran yang semakin nyata di masa depan? Ataukah kita telah terlibat secara aktif untuk membentuk tata dunia yang mengantarkan manusia di planet Bumi ini menuju kedamaian dan keadilan?

Dalam bahasa agama : sudahkah kita menjadi ‘khalifatu fil ardhi’ sebagaimana desain penciptaan kita sebagai manusia?

Marilah kita tengok kembali Al Qur’an, bahwa umat Islam sebenarnya adalah umat teladan. Umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Yang tujuan hidupnya adalah membentuk masyarakat dunia yang penuh dengan kema’rufan dan jauh dari kemungkaran. Serta mengorientasikan kehidupannya hanya kepada Allah.

Inilah umat yang didesain Sang Pencipta untuk menjadi pemimpin planet Bumi, dan menyejahterakan penduduknya dalam arti yang sebenar-benarnya. Menebarkan kasih sayang dan kesejahteraan secara adil dan merata, untuk manusia dan kemanusiaan. ‘Rahmatan lil’alamiin ..’

Kayaknya, perlu kita coba untuk bercermin. Sudahkah tujuan penciptaan kita itu terwujud dalam kehidupan kita? Kalau belum, dan kita semua tahu itu belum, pertanyaannya adalah : kenapa?

Kenapa “umat terbaik” yang didisain menjadi ‘khalifatu fil ardhi’ ini belum menjadi khalifah? Kenapa sang pemimpin belum juga menjadi pemimpin? Dan kenapa Sang Teladan belum menjadi teladan di muka bumi ciptaan Allah?

Sebagian kawan menjawab, bahwa kita sudah pernah menjadi teladan di jaman-jaman keemasan Islam. Kita pernah memunculkan tokoh-tokoh menonjol dalam dunia internasional. Dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan beberapa, juga dalam bidang politik. Tetapi, semua itu kini lenyap seperti tidak berbekas.

Umat Islam, kini berada dalam suatu posisi yang kurang menguntungkan. Baik dalam bidang politik, sains, teknologi, ekonomi, militer, maupun kualitas SDM secara keseluruhan. Bahkan umat Islam kini seperti terpojok dalam sebuah ‘Image Building’ yang serba sulit dan sangat merugikan performa secara keseluruhan.

Suatu ketika ada seorang tamu ‘bule Eropa’ datang ke rumah saya. Selama sekitar 2-3 jam kami berdiskusi tentang Islam dan keislaman. Sampai suatu saat ia menyoroti betapa tidak menguntungkannya posisi Islam dan Umat Islam di mata dunia internasional sekarang ini.
Tanpa ada maksud memojokkan, ia berkata begini: “Saya dan kawan-kawan saya sering mendengar yang tidak enak-enak dari dunia Islam. Yang paling sering adalah isu teror dan bunuh membunuh, seperti yang sering terjadi di Indonesia, Philipina, Timur Tengah, bahkan di Eropa dan AS. “

Yang kedua, katanya, adalah isu korupsi. Negara-negara Islam atau yang mayoritas berpenduduk Islam seperti Indonesia memiliki ‘budaya korupsi’ yang luar biasa. Hampir setiap hari, media massa, cetak maupun elektronik memuat berita tentang korupsi.

Yang ketiga, cerita tentang kemiskinan dan ketidakadilan dalam bidang kesejahteraan. Begitu banyak cerita orang kelaparan, sakit busung lapar, dan berbagai penyakit lainnya, akibat dari ketidakadilan dan salah urus terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang tidak mampu, lemah atau dilemahkan oleh keadaan.

Yang keempat, katanya, ia seringkali mendengar dan melihat demikian banyaknya cerita bencana yang terus menerus mengguncang. Mulai dari gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, banjir dan tanah longsor, dengan korban yang mengerikan ..!

Sampai di sini sebenarnya saya sudah sangat resah dan hampir tak tahan, mendengarkan celotehan tamu saya itu. Hati saya menjadi miris mendengarnya. Karena semua yang dia gambarkan itu seperti terpampang nyata di depan mata saya. Dia bukan sedang membual, tapi sedang menginventarisasi masalah ..!!

Namun, ia seperti tidak tahu kegelisahan saya. Dia masih meneruskan celotehannya. Dia paparkan panjang lebar, soal budaya sehari-hari kalangan umat Islam. Setidak-tidaknya di Indonesia yang mayoritas muslim.  Banyak yang menurutnya “kurang enak”. Misalnya, dalam soal makan dan perilaku hidup boros.

Dia sering melihat orang kita, kalau makan suka mengambil porsi berlebihan. Nasinya banyak, lauknya menggunung. Tapi setelah dimakan ternyata tidak habis. Lantas dibuang! Padahal banyak orang yang kelaparan di sekitar kita ...

“Berbeda dengan kami”, katanya. Kami terbiasa mengambil makan secukupnya. Jika kurang , mengambil lagi secukupnya. Selalu habis dimakan. Tidak pernah membuang-buang makanan. Kami selalu teringat banyak negara miskin yang kekurangan makanan, karena itu kami tidak tega untuk membuang-buang makanan seperti itu.

Dan ini yang lebih menusuk hati saya, ia mengatakan begini : “saya kira negara kami lebih kaya dari di sini, tetapi kenapa orang-orang di sini lebih boros dibandingkan masyarakat kami?”
Saya tercenung beberapa lama, tak ingin memberi tanggapan apa pun. Karena, semua itu memang terpampang di sekitar kita. Sebuah realitas, yang harus saya pahami dengan hati besar. Sekaligus keprihatinan.

Sebenarnya masih banyak lagi obrolan kami yang memiriskan hati, tapi tak perlu saya kemukakan di sini. Cukup kami yang merasakan. Saya bisa menerima ungkapan kritis itu dengan lapang hati, meskipun terasa sakit.

“Untungnya”, bule Eropa itu adalah seorang muslim. Sehingga saya tidak begitu malu. Meskipun ia tergolong mualaf. Baru masuk Islam. Jadi, sebenarnya waktu itu, kami sedang sama-sama melakukan ‘autocritic’. Mengkritik diri sendiri. Kami sama-sama tahu, bahwa semua itu bukan salah ajaran Islam. Tetapi perilaku umatnya yang memang belum Islami ..!
Meskipun, sungguh ini sangat memilukan hati. Kenapa umat yang didesain untuk menjadi umat terbaik ini kondisinya begini rupa.

Kenapa tidak kita ciptakan kondisi yang baik-baik, enak-enak, dan menyejukkan hati. Misalnya kenapa tidak muncul penemuan-penemuan sains dan teknologi yang bermanfaat buat masyarakat dunia oleh ilmuwan-ilmuwan muslim? Atau, kenapa tidak kita munculkan jihad untuk memperbaiki kembali ekosistem dan lingkungan hidup yang semakin rusak, dan menyengsarakan penduduk bumi?

Atau bagaimana kita bisa menciptakan SDM-SDM berkualitas dunia lewat sistem pendidikan yang Islami dan berwawasan masa depan yang sarat dengan sains dan teknologi. Bagaimana pula membangun solidaritas terhadap kaum miskin dan mengentas anak-anak terlantar dalam kerangka yang diajarkan oleh Al Qur’an.

Atau, bagaimana kita bisa menyatukan kembali persaudaraan Islam atas kelompok-kelompok yang terpecah belah di berbagai belahan dunia Islam termasuk di Indonesia sebagai negara yang umat Islamnya terbesar di dunia. Dan sebagainya ..

Mari kita mengkritisi diri sendiri lebih jauh. Kita coba bercermin ke segala penjuru untuk memahami wajah kita dewasa ini. Ke masa lalu, ke masa depan, maupun ke sekitar kita, kini. Untuk apa? Untuk mencari tahu, kenapa wajah kita yang seharusnya mempesona, tidak lagi menarik seperti yang seharusnya ..

Dan jika, kemudian kita menemukan wajah kita banyak noda atau bahkan bopeng-bopeng, janganlah cermin itu yang kita pecah. Marilah bersama-sama kita obati diri dan wajah ini, kita berupaya mencari jalan keluarnya dengan besar hati dan penuh kesabaran, sambil memohon petunjuk kepada-Nya ..

Mudah-mudahan Allah berkenan mengampuni dosa-dosa kita, dan membimbing kita semua untuk menjadi umat teladan, sebagaimana di jaman Rasulullah SAW. Ya, menjadi umat terbaik di muka Bumi, seperti yang telah digambarkan oleh Allah di dalam Al Qur’an Al Karim ..