QS. Al
An’am [6] : 161
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah
ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; AGAMA
IBRAHIM YANG LURUS; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang
musyrik".
Abraham
atau Ibrahim. Siapakah dia? Tentu saja setiap umat Yahudi, Nasrani, dan Mukmin
sudah tidak asing lagi dengan sosok yang satu ini, yang sering disebut-sebut
sebagai "Bapak Agama Samawi", sehingga agama-agama itu disebut
sebagai “Agama Ibrahimi (Abrahamic Faith)”, dikarenakan Allah telah meletakkan fondasi-fondasi
agama seperti halnya: shalat, zakat, puasa, dan haji di tangan Ibrahim.
Mari
kita mencoba untuk mengenal lebih jauh dan mengambil pelajaran berharga dari
sosok Ibrahim yang kita cintai dan kita kagumi ini.
Jika
kita mempelajari lebih dalam kisah tentang Ibrahim dalam Al Qur’an, maka ada
beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari kehidupan Ibrahim, yang insya
Allah jika kita lakukan akan sangat bermanfaat dalam hidup ini.
Menurut
beberapa sumber sejarah dan kitab suci, Ibrahim dilahirkan di sekitar kawasan
Irak (sumber lain menyebutkan Ibrahim berasal dari sekitar Turki). Ibrahim
dilahirkan di tengah-tengah masyarakat dan keluarga penyembah berhala. Ibrahim
muda adalah seorang yang cerdas dan kritis. Maka dari itu ia tidak segan-segan
mempertanyakan kebiasaan aneh yang dilakukan masyarakat dan keluarganya yang
selalu melakukan penyembahan terhadap patung-patung berhala. Bagi Ibrahim, hal
ini tidak masuk akal, bahwa patung-patung yang merupakan benda mati harus
diperlakukan sebagai “Tuhan-Tuhan” yang harus disembah dan dimintai pertolongan
dan berkah.
Maka
Ibrahim muda memutuskan untuk melakukan pencarian terhadap Tuhan yang sejati.
Ibrahim mengarahkan perhatiannya kepada benda-benda langit yang besar, yang
mungkin merupakan jawaban atas pencariannya. Dimulai dari kemunculan bintang,
yang dianggap Ibrahim sebagai “Tuhan”. Namun setelah bintang tenggelam dan
digantikan bulan, maka Ibrahim menunjuk bulan itu sebagai “Tuhannya”. Namun
bulan itu pun tenggelam dan digantikan matahari yang jauh lebih besar, dan
segera Ibrahim berkata, “Benda terbesar inilah Tuhanku yang sebenarnya.” Namun
sekali lagi, matahari itu pun tenggelam, dan digantikan lagi oleh bintang dan
bulan.
Maka
akal kecerdasan Ibrahim pun membuat kesimpulan bahwa Tuhan sebenarnya adalah
Sang Pencipta bumi dan langit beserta isinya. Kisah ini bisa anda baca pada
Surat Al-An’am [6] : 74-79.
Ibrahim
segera memulai syi’ar agama, dan dimulai dari masyarakatnya yang menyembah
berhala. Pada suatu malam, Ibrahim melakukan penghancuran besar-besaran
terhadap berhala-berhala tersebut, dan menyisakan satu patung besar saja dengan
mengalungkan kapak yang telah digunakannya untuk menghancurkan patung-patung
lainnya.
Maka
keesokan harinya, hebohlah masyarakat penyembah berhala tersebut. Dengan marah
mereka menuduh Ibrahim, karena mereka tahu bahwa Ibrahim selama ini selalu
kritis terhadap kebiasaan penyembahan berhala tersebut. Ibrahim dengan enteng
mengatakan, “Patung besar itulah yang telah melakukannya!” Semakin marahlah
masyarakat penyembah berhala tersebut. Mereka mengatakan bahwa tidak mungkin
patung besar yang merupakan benda mati itu bisa melakukan pengrusakan terhadap
patung-patung lainnya. Maka sekali lagi Ibrahim menjawab dengan cerdas, “Jika
demikian, kenapa kalian tetap saja menyembah benda-benda mati tersebut yang
tidak memiliki daya untuk melakukan apa pun?”. Kisah ini bisa anda baca pada
Surat Al-Anbiyaa’ [21] : 51-67, dan Surat Maryam [19] : 42-46.
Ibrahim
telah memberikan argumen-argumen cerdas dan kritis, namun tetap disampaikannya
dengan cara lemah lembut, terutama kepada ayahnya yang juga merupakan seorang
penyembah berhala. Namun, masyarakat sudah terlanjur marah, dan memutuskan
untuk membakar Ibrahim hidup-hidup. Ibrahim tidak mundur sedikit pun, dan penuh
keyakinan bahwa Allah Yang Maha Kuasa akan melindunginya. Benar saja, bahwa api
itu tidak dapat membakar tubuh Ibrahim. Kisah ini bisa anda baca pada Surat
Al-Anbiyaa’ [21] : 68-69.
Setelah
Ibrahim diselamatkan oleh Allah, maka ia memutuskan untuk meninggalkan kaum dan
keluarganya, untuk berdakwah kepada umat manusia. Dalam perjalanannya Ibrahim
berkenalan dengan Sarah dan menikahinya. Namun hingga keduanya berusia lanjut,
Allah belum mengaruniakan anak. Maka Sarah mengizinkan Ibrahim untuk menikahi
seorang budak dari Mesir yang bernama Hajar. Dari Hajar inilah Ibrahim
mendapatkan seorang putra yang bernama Ismail. Tidak lama kemudian Allah
mengaruniakan seorang putra lagi, kali ini dari rahim Sarah, dan dinamai Ishak.
Kelak Ismail menurunkan garis keturunan bangsa Arab, sedangkan Ishak menurunkan
garis keturunan bangsa Israel. Al Qur’an tidak secara spesifik menjelaskan
tentang kehidupan keluarga Ibrahim ini, namun anda bisa melihat rujukannya pada
Kitab Kejadian di Perjanjian Lama.
Di hari
tuanya, sekali lagi Ibrahim mendapatkan ujian dari Allah. Sudah sekian lama
Ibrahim mendambakan seorang putra. Maka ketika lahir seorang Ismail dari rahim
Hajar, sudah tentu Ibrahim sangat menyayangi putra sulungnya itu. Namun tiba-tiba
Allah memerintahkan kepada Ibrahim, melalui mimpinya, untuk mengorbankan putra
semata wayangnya itu. Ibrahim tentu saja sangat bersedih. Akan tetapi Ibrahim
tidak berani untuk menolak perintah Allah itu, karena Ibrahim benar-benar
seorang yang penyabar dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Maka Ibrahim
dengan penuh keyakinan, memenuhi perintah Allah untuk mengorbankan putranya.
Ismail sendiri adalah seorang yang berbakti, dan menguatkan keyakinan ayahnya
untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah.
Ketika
pisau telah diletakkan di leher Ismail, maka turunlah firman Allah yang
memerintahkan Ibrahim untuk menggantikan putranya tersebut dengan seekor domba.
Yang nantinya daging hewan tersebut harus dibagikan kepada kaum fakir miskin.
Allah melihat ketulusan, kesabaran, dan keikhlasan tiada tara pada seorang
Ibrahim untuk mengabdi kepada-Nya, maka Ibrahim lulus dari ujian Allah
tersebut. Peristiwa ini setiap tahun diperingati dalam Hari Raya Kurban atau
Idul Adha.
Ibrahim
juga diberi gelar sebagai orang pertama yang disebut sebagai “muslim” yang
artinya : Orang yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Dari garis
keturunannya pula lahir nabi-nabi besar yang pernah ada di Bumi ini. Anda bisa
baca kisah pengorbanan Ismail ini pada Surat Ash-Shaaffaat [37] : 101-110.
Dari
kisah teladan Ibrahim ini, ada beberapa hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik
oleh kita:
1). Ibrahim berpendapat bahwa perilaku keluarga dan masyarakat
penyembah berhala itu sebagai kebiasaan yang tidak masuk akal. Maka di sini Ibrahim
telah menggunakan potensi akal kecerdasannya untuk mencari kebenaran sejati.
2). Meskipun Ibrahim dibesarkan di tengah-tengah keluarga dan
masyarakat penyembah berhala, namun Ibrahim berani menentang kebiasaan tersebut
dan memilih untuk berpegang kepada agama Allah. Ini adalah sebuah teladan,
bahwa dalam beragama tidak boleh sekedar ikut-ikutan. Jadi anda tidak usah
khawatir ketika akal dan hati nurani anda sedang “bertabrakan” dengan tradisi
masyarakat dan pendapat kebanyakan orang. Ikuti saja apa yang menurut anda
paling baik.
3). Ibrahim tidak pernah lelah mencari Tuhan yang sejati,
sehingga Allah memberikan jawaban atas pencariannya itu. Sebuah pembelajaran
penting, bahwa kebenaran adalah sebuah usaha pencarian tanpa henti. Jangan
sampai anda merasa sudah cukup dalam mencari kebenaran, hanya karena anda lahir
sebagai seorang “Muslim” dan ber-KTP “Islam”.
4). Ibrahim melakukan syi’ar agama dengan argumen-argumen yang
cerdas dan tajam, namun dikemas dalam perkataan yang santun dan penuh
kelembutan. Ini adalah pelajaran penting, bahwa dalam berdiskusi kita harus
senantiasa menunjukkan bukti-bukti rasional, dengan sopan santun dan penuh
kelembutan. Agama bukanlah hal yang bisa dipaksakan dengan doktrin-doktrin,
apalagi dengan penyajian yang kasar dan emosional.
5). Ibrahim diselamatkan oleh Allah dari kobaran api. Maka ini
adalah sebuah pembelajaran bagi kita, bahwa keyakinan yang tinggi bisa
menghasilkan kekuatan dashyat.
6). Ketika bukti-bukti keberadaan Allah telah sedemikian nyata
bagi Ibrahim, maka Ibrahim berkomitmen untuk melakukan pengabdian dengan tulus
dan ikhlas hanya kepada Allah bukan yang lain.
7). Meskipun Ibrahim telah diangkat menjadi Nabi, namun bukan
berarti Allah tidak lagi mengujinya. Justru Allah memberikan ujian terberat
yaitu perintah untuk mengorbankan anak satu-satunya, Ismail. Ibrahim terbukti,
dengan ketaatan dan keikhlasan luar biasa, lulus dari ujian ini. Maka orang
semacam Ibrahim inilah yang layak mendapatkan predikat seorang “Muslim” alias
orang yang benar-benar berserah diri kepada Allah, bukan sekedar 'Muslim
label'.
Pelajaran
yang bisa kita dapatkan adalah belum layak seorang disebut muslim selama ia
belum bisa berkorban demi kemaslahatan umat manusia, atas nama Allah.
Secara
garis besar, bisa kita simpulkan bahwa ada keterkaitan yang erat antara akal,
keyakinan, ketaatan, dan keikhlasan. Gunakan akal kecerdasan kita untuk
mencapai keyakinan. Akal itu akan mengantarkan kita kepada bukti-bukti nyata
keberadaan Allah sehingga kita yakin. Kalau kita sudah yakin, tidak ada alasan bagi
kita untuk tidak taat dan ikhlas hanya kepada Allah semata.
Mudah-mudahan
kita bisa meneladani seorang Ibrahim, Bapak Agama Samawi, sehingga kita
benar-benar akan menjadi seorang Muslim Sejati!
Allahu'alam
..
Semoga
bermanfaat!