Minggu, 16 Oktober 2011

MENGKAJI SURAT AL-MAA’UUN

QS Al Maa'uun [107] : 1-7

" Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?

.. Itulah orang yang menghardik anak yatim,

.. dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.

.. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,

.. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,

.. orang-orang yang berbuat riya,

.. dan enggan (menolong dengan) barang berguna."

Sahabat JERNIH yang (semoga) dirahmati oleh Allah...

Surat Al Maa’uun adalah salah satu surat yang populer di dalam Al Qur’an. Ada sebuah pernyataan menarik di dalamnya yaitu “Pendusta Agama.” Siapakah yang disebut sebagai pendusta agama itu? Apakah kita termasuk di dalamnya? Semoga tidak! Mari kita mengkaji secara singkat surah 107 ini.

Kata “pendusta agama” menjadi titik sentral di dalam surat ini. Mengapa Allah menggunakan kata pendusta dan agama? Tentu saja maksudnya adalah orang-orang yang “berjubah agama” akan tetapi perilakunya jauh dari ajaran agama Islam.

Apa itu orang yang berjubah agama?

Ya.. Mereka adalah orang yang rajin dalam “beribadah”. Shalat lima waktu, pintar doa dan dzikir, puasa tidak pernah bolong, naik haji berkali-kali, bahkan penampilannya pun sangat “agamis”, mungkin dengan mengenakan sorban, jubah, peci, dsb. Namun ternyata semua itu di mata Allah hanyalah “dusta” belaka.

Dusta? Bagaimana bisa begitu?

“ Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”

Sahabatku... Tentu kita paham bahwa masyarakat kita sebagian besar adalah masyarakat religius. Mulai dari pejabat, ulama, pengusaha, dan segenap lapisan masyarakat lainnya. Maka agak mengherankan jika angka kemiskinan di negeri ini masih sangat tinggi. Jika saja semua umat Islam memiliki kesadaran untuk berempati kepada anak yatim dan orang miskin, seharusnya angka kemiskinan tidak setinggi itu.

Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya :

Pertama, bahwa sebagian umat Islam tidak terketuk hati nuraninya melihat fakir miskin dan anak-anak terlantar. Ajaran agama Islam tidak benar-benar merasuk ke dalam pikiran dan hati mereka, karena agama itu sebatas KTP atau ritual-ritual belaka yang tanpa makna. Maka dari itu mereka tidak menganggap penting tentang nasib fakir miskin dan anak-anak terlantar. Bagi mereka jauh lebih penting menumpuk harta sebanyak mungkin, memikirkan jabatan, kekuasaan, dan popularitas. Itulah mengapa Pasal 34 UUD’45 hingga kini kian tidak jelas jluntrungannya. Padahal coba perhatikan! Hampir semua ayat yang berbicara tentang shalat selalu diikuti dengan perintah zakat!

Kedua, karena perintah zakat hanya dipahami sebagai ritual alias formalitas belaka. Zakat 2,5% dari penghasilan setahun sekali dirasa sudah cukup. Padahal seharusnya tidak begitu. Zakat dan sedekah seharusnya menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari, bukannya hanya dikeluarkan pada saat Idul Fitri dan Idul Adha saja. Itu pun sebaiknya kita juga memiliki kesadaran untuk mengeluarkan harta kita lebih dari standar minimal yaitu 2,5%. Saya sendiri agak heran ketika melihat sebagian orang yang penghasilannya bisa miliaran rupiah, akan tetapi ketika berzakat menggunakan standar minimal 2,5%. Saya pikir orang-orang itu tetap bisa hidup bahagia bahkan dengan 70% dari penghasilannya tersebut, meskipun ia harus menyisihkan, katakanlah, 30% saja untuk membantu fakir miskin dan anak-anak terlantar.

“ Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya....”

Luar biasa! Allah memberikan ancaman kepada orang-orang yang shalat!

Lho, apakah berarti shalat itu ibadah yang tidak direstui oleh Allah?

Tentu tidak!

Al Qur’an menjelaskan tentang orang-orang yang “lalai” dari shalatnya. Apa maksudnya lalai? Yaitu orang-orang yang tidak benar-benar shalat dari hati nuraninya. Mereka yang tidak benar-benar berkomunikasi dengan Allah dalam shalatnya. Shalatnya hanya menjadi olah raga dan rutinitas harian saja. Ayat demi ayat dibaca cepat-cepat, tanpa mengerti artinya, apalagi memahami maknanya.
Maka shalat mereka tidak berdampak pada perilaku mereka sehari-hari. Hati nuraninya tidak tersentuh oleh hikmah ayat-ayat Al Qur’an. Tentu saja pada akhirnya mereka lalai kepada “paket wajib” yang selalu menyertai perintah shalat, yaitu zakat untuk menyantuni fakir miskin dan anak-anak terlantar!

“ orang-orang yang berbuat riya (pamer), dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”

Apalagi orang-orang yang shalat hanya untuk pamer alias riya. Shalat karena ingin dianggap alim. Shalat karena kewajiban setor muka di hadapan atasannya, dan sebab-sebab lain yang menjadikan shalatnya bukan karena Allah.

Orang-orang semacam ini jelas akan merasa enggan dalam hal tolong-menolong. Kalaupun ia menolong seseorang, tentu karena maksud-maksud yang bermuatan kepentingan pribadi, dan bukan menolong karena kewajiban sebagai hamba Allah.

Mari kita renungkan kembali!

Sudahkah shalat kita menjadi media untuk berkomunikasi dengan Allah? Curhat dengan Allah? Meresapi kata demi kata yang kita ucapkan dalam shalat, sehingga hati kita bergetar ketika membaca ayat-ayat Allah?

Sudahkah shalat kita menjadikan kita berkepribadian Qur’ani? Yang hatinya selalu tersentuh sehingga “meneteskan air mata” ketika melihat anak-anak yatim dan orang-orang miskin yang kurang beruntung? Saya ingatkan sekali lagi! Hampir semua ayat tentang perintah shalat, selalu diikuti dengan perintah zakat!

Sudahkah shalat kita hanya untuk Allah? Bukan untuk siapa pun?

Sudahkah kita tolong-menolong semata-mata karena fitrah kita sebagai makhluk Tuhan di bumi yang memang diwajibkan untuk saling tolong-menolong agar tercipta kehidupan yang penuh harmoni, tanpa memandang status sosial, suku bangsa, dan agama?

Jika iya.. Insya Allah kita bukan termasuk “para pendusta agama.”

Sesungguhnya ajaran Islam itu sederhana, namun universal dan mendalam. Maka dari itu saya agak sedih ketika umat Islam sering meributkan hal-hal kecil yang tidak pernah diperintahkan di dalam Al Qur’an, sehingga menjadikan kita tidak lagi menjadi makhluk yang humanis, yang selalu menebar kasih sayang dan persaudaraan kepada sesama manusia, dan berbuat baik kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya.

Ibadah hanya kepada Allah, berempati kepada kaum miskin dan anak yatim, serta menjaga sikap saling tolong-menolong ..

Tidak sulit bukan?

Allahu’alam ..


Semoga bermanfaat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar