Sebagai
seorang muslim Indonesia pastinya sangat tidak asing lagi dengan benda yang
sering digunakan oleh kaum laki-laki ketika sedang ibadah sholat ataupun untuk
acara-acara tertentu yang masih berbau religi. Ya, itu adalah peci hitam yang
umumnya dari bahan beludru. Peci, sejarahnya sangat kental dengan pergerakan
nasional bangsa Indonesia. Dalam hal ini, Bung Karno memang pelopor.
Dalam
buku otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno bercerita bagaimana ia
bertekad mengenakan peci sebagai lambang pergerakan. Di masa itu kaum
cendekiawan pro-pergerakan nasional enggan memakai blangkon, misalnya, tutup
kepala tradisi Jawa. Jika kita lihat gambar Wahidin dan Cipto memakai blangkon,
itu sebelum 1920-an.
Ada
sejarah politik dalam tutup kepala ini. Di sekolah “dokter pribumi”, STOVIA,
pemerintah kolonial punya aturan: siswa “inlander” (pribumi) tak boleh memakai
baju eropa. Maka para siswa memakai blangkon dan sarung batik jika dari ”Jawa”.
Bagi yg datang dari Maluku atau Menado, misalnya, lain. Bagi siswa asal Manado
atau Maluku, yang biasanya beragama Kristen, boleh memakai pakaian eropa:
pantalon, jas, dasi, mungkin topi.
Dari
sejarah ini, tampak usaha pemerintah kolonial untuk membagi-bagi penduduk dari
segi asal-usul “etnis”dan “agama”. Maka banyak aktivis pergerakan nasional
menolak memakai blangkon. Apalagi mereka umumnya bersemangat “kemajuan”,
modernisasi. Jadi penolakan terhadap kostum tradisi mengandung penolakan
terhadap politik kolonial “divide et impera” dan penolakan terhadap adat lama.
Lalu apa gantinya?
Untuk
pakai topi seperti belanda-belanda itu akan terasa menjauhkan diri dari rakyat.
Juni 1921, Bung Karno menemukan solusi. Ia memilih pakai peci. Waktu itu ada
pertemuan Jong Java di Surabaya. Bung Karno datang,dan ia memakai peci. Tapi ia
sebenarnya takut diketawakan. Tapi ia berkata pada dirinya sendiri, kalau mau
jadi pemimpin, bukan pengikut, harus berani memulai sesuatu yang baru. Waktu
itu, menjelang rapat mulai, hari sudah agak gelap. Bung Karno berhenti
sebentar. Ia bersembunyi di balik tukang sate. Setelah ragu sebentar, ia
berkata kepada diri sendiri: “Ayo maju. Pakailah pecimu. Tarik nafas yang
dalam! Dan masuk SEKARANG!!!” Lalu ia masuk ke ruang rapat. “Setiap orang
memandang heran padaku tanpa kata‐kata”, kata Bung Karno
mengenangkan saat itu. Untuk mengatasi kekikukan, Bung Karno bicara. “Kita
memerlukan suatu lambang daripada kepribadian Indonesia”. Peci, kata Bung Karno
pula, “dipakai oleh pekerja-pekerja dari bangsa Melayu”. Dan itu “asli
kepunyaan rakyat kita. Menurut Bung Karno, kata “peci” berasal dari kata “pet”
(topi) dan “je”, kata Belanda untuk mengesankan sifat kecil. Baik dari sejarah
pemakaian dan penyebutan namanya,peci mencerminkan Indonesia: satu bangunan
“inter-kultur”.
Maka
tak mengherankan bila dari mana pun asalnya, agama apapun yang dianutnya, kaum
pergerakan memakai peci. Kesimpulan bawah sesungguhnya peci itu bukanlah sebuah
simbol agama, tapi merupakan simbol budaya dari bangsa Indonesia khususnya dan
bangsa Melayu pada umumnya. Dalam hal ibadah mengapa kebanyakan orang Islam
mengenakan peci (yang laki-laki), itu dimaksudkan untuk menutup kepala dari
tertutupnya rambut disaat sujud ketika sholat. Dan dibeberapa Negara memiliki
penutup kepala sendiri yang dikenakan dalam sholat, seperti kain sorban oleh orang
Arab, peci panjang orang Turki, bahkan di Indiapun juga berbeda. (Ed. Alfin
El-Mlipaki).
Sejarah Songkok/Peci
Menurut
Rozan Yunos dalam "The Origin of the Songkok or Kopiah" dalam The
Brunei Times, 23 September 2007, songkok diperkenalkan para pedagang Arab, yang
juga menyebarkan agama Islam. Pada saat yang sama, dikenal pula serban atau
turban. Namun, serban dipakai oleh para cendekiawan Islam atau ulama, bukan
orang biasa.
"Menurut
para ahli, songkok menjadi pemandangan umum di Kepulauan Malaya sekitar abad
ke-13, saat Islam mulai mengakar," tulis Rozan.
Lucunya,
orang-orang arab yang dipandang sebagai penyebar peci atau songkok di tanah
melayu malah meninggalkan tradisi itu. Sehingga pengamat sejarah berspekulasi
soal keberadaan peci Indonesia.
Di
beberapa negara Islam, sesuatu yang mirip songkok tetap populer. Di Turki, ada
fez dan di Mesir disebut tarboosh. Fez berasal dari Yunani Kuno dan diadopsi
oleh Turki Ottoman. Di Istanbul sendiri, topi fez ini juga dikenal dengan nama
fezzi. Paling mendekati adalah fezzi, yang pelafalannya "pechi" mirip
dengan peci di Indonesia.
Di
Asia Selatan (India, Pakistan, dan Bangladesh) fez dikenal sebagai Roman Cap
(Topi Romawi) atau Rumi Cap (Topi Rumi). Ini menjadi simbol identitas Islam dan
menunjukkan dukungan Muslim India atas kekhalifahan yang dipimpin Kekaisaran
Ottoman.
Namun
bentuk peci agak berbeda. Pada bagian atas peci memilik lipatan jahitan lebih
kaku dibanding penutup kepala dari negara-negara arab. Karenanya, ada yang
menyebut bahwa peci hasil modifikasi blangkon Jawa dengan surban Arab.
Sunan Kalijaga
Konon,
peci merupakan rintisan dari Sunan Kalijaga. Pada mulanya beliau membuat
mahkota khusus untuk Sultan Fatah yang diberi nama kuluk yang memiliki bantuk
lebih sederhana daripada mahkota ayahnya, Raja terakhir Majapahit Brawijaya V.
Kuluk
ini mirip kopiah, hanya ukurannya lebih besar. Hal itu agar sesuai ajaran Islam
yang egaliter. Raja dan rakyat sama kedudukannya di hadapan Allah SWT. Hanya
ketakwaan yang membedakan.
Sempilan:
Ada pula yang berpendapat Laksmana Ceng Ho yang membawa peci ke Indonesia. PECI
berasal dari kata PE (artinya delapan) dan CHI (artinya energi), sehingga arti
peci itu sendiri merupakan alat untuk penutup bagian tubuh yang bisa
memancarkan energinya ke delapan penjuru angin.
Lalu
SONGKOK yang berarti KOSONG DARI MANGKOK. Artinya, hidup ini seperti mangkok
yang kosong. Harus diisi dengan ILMU dan BERKAH. Sementara kata KOPIAH berasal
dari KOSONG KARENA DI PYAH. Maknanya: kosong karena dibuang (di pyah). Apa yang
dibuang? Kebodohan dan rasa iri hati serta dengki yang merupakan penyakit
bawaan syaitan.
Keabsahan
kisah di atas masih perlu dipertanyakan tentunya. Yang jelas, peci merupakan
pemandangan umum di tanah melayu sejak abad 13. Saat Raja Ternate Zainal Abidin
(1486-1500) belajar agama Islam di madrasah Giri, ia membawa oleh-oleh peci
saat pulang ke kampung halaman.
Jean
Gelman Taylor, yang meneliti interaksi antara kostum Jawa dan kostum Belanda
periode 1800-1940, menemukan bahwa sejak pertengahan abad ke-19, pengaruh itu
tercermin dalam pengadopsian bagian-bagian tertentu pakaian Barat. Pria-pria
Jawa yang dekat dengan orang Belanda mulai memakai pakaian gaya Barat.
Menariknya, blangkon atau peci tak pernah lepas dari kepala mereka.
Ikon Nasional
Peci
memang khas umat Islam, tapi patut diingat peci juga ikon nasional. Siapa pun
berhak memakai peci sebagai lambang identitas Indonesia. Inilah yang digagas
oleh Soekarno, sang Founding Father negeri ini.
Dalam
buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, sang penulis Cindy Adams
menuturkan kisahnya begini...
Pemuda
itu masih berusia 20 tahun. Dia tegang. Perutnya mulas. Di belakang tukang
sate, dia mengamati kawan-kawannya, yang menurutnya banyak lagak, tak mau pakai
tutup kepala karena ingin seperti orang Barat.
Dia
harus menampakkan diri dalam rapat Jong Java itu, di Surabaya, Juni 1921. Tapi
dia masih ragu. Dia berdebat dengan dirinya sendiri. "Apakah engkau
seorang pengekor atau pemimpin?" "Aku seorang pemimpin."
"Kalau begitu, buktikanlah," batinnya lagi. "Majulah. Pakai pecimu.
Tarik nafas yang dalam! Dan masuklah ke ruang rapat… Sekarang!"
Setiap orang ternganga
melihatnya tanpa bicara. Mereka, kaum intelegensia, membenci pemakaian
blangkon, sarung, dan peci karena dianggap cara berpakaian kaum lebih rendah.
Dia pun memecah kesunyian
dengan berbicara: "…Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian
Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para
buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita
tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia
Merdeka."
Itulah awal mula Sukarno
mempopulerkan pemakaian peci.