Rabu, 22 Juni 2016

SEJARAH DAN ASAL USUL PECI HITAM

Sebagai seorang muslim Indonesia pastinya sangat tidak asing lagi dengan benda yang sering digunakan oleh kaum laki-laki ketika sedang ibadah sholat ataupun untuk acara-acara tertentu yang masih berbau religi. Ya, itu adalah peci hitam yang umumnya dari bahan beludru. Peci, sejarahnya sangat kental dengan pergerakan nasional bangsa Indonesia. Dalam hal ini, Bung Karno memang pelopor.

Dalam buku otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno bercerita bagaimana ia bertekad mengenakan peci sebagai lambang pergerakan. Di masa itu kaum cendekiawan pro-pergerakan nasional enggan memakai blangkon, misalnya, tutup kepala tradisi Jawa. Jika kita lihat gambar Wahidin dan Cipto memakai blangkon, itu sebelum 1920-an.

Ada sejarah politik dalam tutup kepala ini. Di sekolah “dokter pribumi”, STOVIA, pemerintah kolonial punya aturan: siswa “inlander” (pribumi) tak boleh memakai baju eropa. Maka para siswa memakai blangkon dan sarung batik jika dari ”Jawa”. Bagi yg datang dari Maluku atau Menado, misalnya, lain. Bagi siswa asal Manado atau Maluku, yang biasanya beragama Kristen, boleh memakai pakaian eropa: pantalon, jas, dasi, mungkin topi.
Dari sejarah ini, tampak usaha pemerintah kolonial untuk membagi-bagi penduduk dari segi asal-usul “etnis”dan “agama”. Maka banyak aktivis pergerakan nasional menolak memakai blangkon. Apalagi mereka umumnya bersemangat “kemajuan”, modernisasi. Jadi penolakan terhadap kostum tradisi mengandung penolakan terhadap politik kolonial “divide et impera” dan penolakan terhadap adat lama. Lalu apa gantinya?

Untuk pakai topi seperti belanda-belanda itu akan terasa menjauhkan diri dari rakyat. Juni 1921, Bung Karno menemukan solusi. Ia memilih pakai peci. Waktu itu ada pertemuan Jong Java di Surabaya. Bung Karno datang,dan ia memakai peci. Tapi ia sebenarnya takut diketawakan. Tapi ia berkata pada dirinya sendiri, kalau mau jadi pemimpin, bukan pengikut, harus berani memulai sesuatu yang baru. Waktu itu, menjelang rapat mulai, hari sudah agak gelap. Bung Karno berhenti sebentar. Ia bersembunyi di balik tukang sate. Setelah ragu sebentar, ia berkata kepada diri sendiri: “Ayo maju. Pakailah pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuk SEKARANG!!!” Lalu ia masuk ke ruang rapat. “Setiap orang memandang heran padaku tanpa katakata”, kata Bung Karno mengenangkan saat itu. Untuk mengatasi kekikukan, Bung Karno bicara. “Kita memerlukan suatu lambang daripada kepribadian Indonesia”. Peci, kata Bung Karno pula, “dipakai oleh pekerja-pekerja dari bangsa Melayu”. Dan itu “asli kepunyaan rakyat kita. Menurut Bung Karno, kata “peci” berasal dari kata “pet” (topi) dan “je”, kata Belanda untuk mengesankan sifat kecil. Baik dari sejarah pemakaian dan penyebutan namanya,peci mencerminkan Indonesia: satu bangunan “inter-kultur”.

Maka tak mengherankan bila dari mana pun asalnya, agama apapun yang dianutnya, kaum pergerakan memakai peci. Kesimpulan bawah sesungguhnya peci itu bukanlah sebuah simbol agama, tapi merupakan simbol budaya dari bangsa Indonesia khususnya dan bangsa Melayu pada umumnya. Dalam hal ibadah mengapa kebanyakan orang Islam mengenakan peci (yang laki-laki), itu dimaksudkan untuk menutup kepala dari tertutupnya rambut disaat sujud ketika sholat. Dan dibeberapa Negara memiliki penutup kepala sendiri yang dikenakan dalam sholat, seperti kain sorban oleh orang Arab, peci panjang orang Turki, bahkan di Indiapun juga berbeda. (Ed. Alfin El-Mlipaki).

Sejarah Songkok/Peci

Menurut Rozan Yunos dalam "The Origin of the Songkok or Kopiah" dalam The Brunei Times, 23 September 2007, songkok diperkenalkan para pedagang Arab, yang juga menyebarkan agama Islam. Pada saat yang sama, dikenal pula serban atau turban. Namun, serban dipakai oleh para cendekiawan Islam atau ulama, bukan orang biasa.

"Menurut para ahli, songkok menjadi pemandangan umum di Kepulauan Malaya sekitar abad ke-13, saat Islam mulai mengakar," tulis Rozan.

Lucunya, orang-orang arab yang dipandang sebagai penyebar peci atau songkok di tanah melayu malah meninggalkan tradisi itu. Sehingga pengamat sejarah berspekulasi soal keberadaan peci Indonesia.

Di beberapa negara Islam, sesuatu yang mirip songkok tetap populer. Di Turki, ada fez dan di Mesir disebut tarboosh. Fez berasal dari Yunani Kuno dan diadopsi oleh Turki Ottoman. Di Istanbul sendiri, topi fez ini juga dikenal dengan nama fezzi. Paling mendekati adalah fezzi, yang pelafalannya "pechi" mirip dengan peci di Indonesia.
Di Asia Selatan (India, Pakistan, dan Bangladesh) fez dikenal sebagai Roman Cap (Topi Romawi) atau Rumi Cap (Topi Rumi). Ini menjadi simbol identitas Islam dan menunjukkan dukungan Muslim India atas kekhalifahan yang dipimpin Kekaisaran Ottoman.

Namun bentuk peci agak berbeda. Pada bagian atas peci memilik lipatan jahitan lebih kaku dibanding penutup kepala dari negara-negara arab. Karenanya, ada yang menyebut bahwa peci hasil modifikasi blangkon Jawa dengan surban Arab.

Sunan Kalijaga
Konon, peci merupakan rintisan dari Sunan Kalijaga. Pada mulanya beliau membuat mahkota khusus untuk Sultan Fatah yang diberi nama kuluk yang memiliki bantuk lebih sederhana daripada mahkota ayahnya, Raja terakhir Majapahit Brawijaya V.

Kuluk ini mirip kopiah, hanya ukurannya lebih besar. Hal itu agar sesuai ajaran Islam yang egaliter. Raja dan rakyat sama kedudukannya di hadapan Allah SWT. Hanya ketakwaan yang membedakan.

Sempilan: Ada pula yang berpendapat Laksmana Ceng Ho yang membawa peci ke Indonesia. PECI berasal dari kata PE (artinya delapan) dan CHI (artinya energi), sehingga arti peci itu sendiri merupakan alat untuk penutup bagian tubuh yang bisa memancarkan energinya ke delapan penjuru angin.

Lalu SONGKOK yang berarti KOSONG DARI MANGKOK. Artinya, hidup ini seperti mangkok yang kosong. Harus diisi dengan ILMU dan BERKAH. Sementara kata KOPIAH berasal dari KOSONG KARENA DI PYAH. Maknanya: kosong karena dibuang (di pyah). Apa yang dibuang? Kebodohan dan rasa iri hati serta dengki yang merupakan penyakit bawaan syaitan.

Keabsahan kisah di atas masih perlu dipertanyakan tentunya. Yang jelas, peci merupakan pemandangan umum di tanah melayu sejak abad 13. Saat Raja Ternate Zainal Abidin (1486-1500) belajar agama Islam di madrasah Giri, ia membawa oleh-oleh peci saat pulang ke kampung halaman.

Jean Gelman Taylor, yang meneliti interaksi antara kostum Jawa dan kostum Belanda periode 1800-1940, menemukan bahwa sejak pertengahan abad ke-19, pengaruh itu tercermin dalam pengadopsian bagian-bagian tertentu pakaian Barat. Pria-pria Jawa yang dekat dengan orang Belanda mulai memakai pakaian gaya Barat. Menariknya, blangkon atau peci tak pernah lepas dari kepala mereka.

Ikon Nasional
Peci memang khas umat Islam, tapi patut diingat peci juga ikon nasional. Siapa pun berhak memakai peci sebagai lambang identitas Indonesia. Inilah yang digagas oleh Soekarno, sang Founding Father negeri ini.

Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, sang penulis Cindy Adams menuturkan kisahnya begini...
Pemuda itu masih berusia 20 tahun. Dia tegang. Perutnya mulas. Di belakang tukang sate, dia mengamati kawan-kawannya, yang menurutnya banyak lagak, tak mau pakai tutup kepala karena ingin seperti orang Barat.
Dia harus menampakkan diri dalam rapat Jong Java itu, di Surabaya, Juni 1921. Tapi dia masih ragu. Dia berdebat dengan dirinya sendiri. "Apakah engkau seorang pengekor atau pemimpin?" "Aku seorang pemimpin." "Kalau begitu, buktikanlah," batinnya lagi. "Majulah. Pakai pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuklah ke ruang rapat… Sekarang!"
Setiap orang ternganga melihatnya tanpa bicara. Mereka, kaum intelegensia, membenci pemakaian blangkon, sarung, dan peci karena dianggap cara berpakaian kaum lebih rendah.
Dia pun memecah kesunyian dengan berbicara: "…Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka."
Itulah awal mula Sukarno mempopulerkan pemakaian peci.

Senin, 13 Juni 2016

[9] – ISLAM KTP vs KEIMANAN


DIMANAKAH posisi keimanan dalam proses spiritualitas beragama kita?
Lebih lugas lagi, apakah “keimanan” itu menjadi penanda seorang muslim sudah mencapai tingkat tertinggi dalam spiritual Islam? Dan kemudian dijamin masuk surga?

Ketika Anda ingin memahami Islam secara strategis, maka pemahaman akan fase-fase spiritual semacam ini menjadi penting. Dengan memahami ini, kita bisa memperoleh roadmap - peta jalan - menuju puncak spiritual yang diajarkan Islam. Sebaliknya, orang yang tidak memahaminya akan kehilangan arah, kemana seharusnya dia melangkah dalam proses beragamanya. Dan kemudian terjebak ke dalam ritual dan seremonial belaka.

Dari sekian banyak ayat yang menginformasikan hal ini, saya menemukan ada empat tingkatan proses spiritual dalam Islam. Yang pertama adalah “Islam KTP”. Inilah fase paling awal dari proses spiritual seseorang dalam menjalani kedalaman ajaran Islam. Bisa juga disebut sebagai “Islam administratif”.

Seseorang telah bisa disebut sebagai seorang muslim, ketika dia sudah membaca dua kalimat syahadat. Yang di era modern ini, khususnya di Indonesia, lantas dicatat secara administratif dan dicantumkan di KTP sebagai orang yang beragama Islam. Orang yang demikian ini baru Islam secara formalitas. Keimanan belum masuk ke dalam jiwanya. Persis apa yang diceritakan dalam ayat berikut ini.

Qs. Al-Hujurat (49) : 14
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman”. Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk (islam)', karena keimanan itu belum masuk ke dalam hatimu. Namun jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Keimanan adalah keyakinan yang dibangun atas kepahaman, dan kemudian menghasilkan komitmen. Pada orang Badui itu, dia sudah berkomitmen lewat syahadatnya. Namun, sesungguhnya dia belum paham terhadap ajaran Islam ini. Sehingga komitmennya masih sangat rapuh. Dan gampang goyah. Keimanan adalah komitmen yang tidak tergoyahkan dikarenakan sudah memahami masalahnya.

Ketika keislaman dipraktekkan ke dalam ibadah sehari-harinya, akan kelihatan dan terasa perbedaan antara seseorang yang “berislam administratif” dengan yang sudah “berislam karena iman”. Keislaman yang administratif akan menghasilkan ibadah yang bersifat administratif pula, sedangkan yang karena iman akan meresap ke dalam jiwanya.

Sholatnya orang yang Islam KTP cenderung administratif. Yakni, sekedar sudah “tercatat oleh malaikat” dan orang-orang di sekitarnya bahwa dia sudah menjalani sholat –amilush sholah-. Bukan menegakkan shalat -aqimush sholah- dimana ia menjiwainya sampai meresap ke dalam jiwa.

Demikian pula puasanya adalah puasa administratif. Yakni puasa yang sekedar tidak makan dan minum atau yang membatalkannya, mulai dari fajar sampai maghrib. Tapi tidak mempuasakan jiwanya untuk memproses keimanannya supaya naik kelas menjadi bertakwa.

Termasuk pula, ibadah-ibadah lainnya seperti dzikir, zakat-sedekah, umroh-haji, dan lain sebagainya pun hanya bersifat administratif. Menggugurkan kewajiban belaka. Tak ada penghayatan yang menggetarkan jiwa dalam proses keberagamaannya.

Maka, inilah pentingnya “ngaji teori” sebelum kita ngaji praktek di dalam kehidupan nyata. Meskipun nilai beragama kita berada di tataran praktek, tetapi kalau tidak paham teorinya kita bakal “kesasar” alias tersesat. Setidak-tidaknya, prakteknya hanya akan berkualitas permukaan yang bersifat administratif belaka.

Bagaimana menurut Anda?


Sumber : http://agusmustofa.com/?page=ngaji&id=20

Minggu, 12 Juni 2016

[8] – BENARKAH ANDA MEYAKINI ALLAH?

Kadang kita perlu mengubah kalimat pertanyaan untuk meng-crosscheck keyakinan kita. Supaya dapat sudut pandang yang berbeda. Dan lantas yakin bahwa kita benar-benar yakin akan suatu masalah. Dalam hal ini terkait dengan pertanyaan di sesi sebelum ini:
Apakah Anda termasuk dalam kategori orang yang beriman?"

Jawaban“iya” yang saya sampaikan atas pertanyaan itu ternyata masih dianggap sebagai sebuah kesombongan. Adalah sombong, orang-orang yang memasukkan dirinya sendiri ke dalam golongan orang-orang beriman. Karena itu, saya merasa perlu membahas dan menegaskan kembali soal ini dengan sudut pandang yang berbeda. Agar tidak terjadi mispersepsi dan misleading dalam memahaminya.

“Apakah Anda meyakini Keberadaan Allah?”
Bagaimana Anda menjawab pertanyaan ini?
Kalau pertanyaan itu diarahkan kepada saya, maka saya akan menjawabnya dengan mantap: “tentu, sangat yakin!” Dengan kata lain, saya “sangat beriman” atas keberadaan Allah.
Lantas, apakah saya akan “dinilai sombong” dengan jawaban ini? Sehingga, saya sebaiknya mengatakan saja: “hanya Allah yang tahu”? Bagaimana menurut Anda?

Iman adalah komitmen. Maka, ketika saya mengatakan bahwa saya beriman kepada Allah, itu adalah komitmen saya untuk menjadikan Allah sebagai Tuhan satu-satunya dalam kehidupan saya. Tentu yang demikian ini bukan “sombong”. Melainkan “ikrar” untuk memasuki dan menjalani agama ini dengan benar.

Tanpa ikrar ini, proses keberagamaan kita menjadi kehilangan arah. Tidak ada komitmen. Bersyahadat adalah berkomitmen: hanya menuhankan Allah sebagai satu-satunya Tuhan, dan menjadikan Rasulullah sebagai teladan kehidupan. Itu artinya kita beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Lantas, apakah seseorang dikatakan “sombong” ketika menyatakan diri: “saya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?”

Ketika kita sudah berkomitmen seperti ini, maka dengan sendirinya kita sudah termasuk dalam barisan orang-orang yang beriman. Jadi, sekarang apakah jawaban Anda ketika diberi pertanyaan: “Apakah Anda termasuk golongan orang-orang yang beriman?”

Mudah-mudahan jawabannya kini sudah lebih mantap: “Ya, saya termasuk dalam barisan orang-orang yang beriman”. Beriman kepada Allah. Beriman kepada Rasulullah. Beriman kepada para malaikat-Nya. Beriman kepada kitab-kitab-Nya. Beriman kepada Takdir. Dan beriman kepada hari Akhir. Alhamdulillah, kini Anda sudah termasuk ke dalaman golongan orang-orang yang beriman..

Itulah justru yang dikehendaki oleh Allah.

Qs. Al Baqarah (2) : 136
“(Hai orang-orang mukmin) katakanlah:"Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”.

Qs. Al Baqarah (2) : 3-4
“Mereka beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka (juga) beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka meyakini akan adanya (kehidupan) akhirat.”

Jadi, sekali lagi, keimanan adalah komitmen. Dan komitmen atas keyakinan itulah yang kemudian kita perjuangkan sepanjang hidup. Di dalamnya kita akan mengalami fase-fase keimanan, yang lantas menjadi nilai kita di hadapan Allah.

Memang, “nilai keimanan” itu hanya Allah yang tahu. Tetapi, “keimanan” itu sendiri adalah komitmen yang harus kita deklarasikan, agar proses spiritual keagamaan kita memperoleh arah yang jelas. Yang dalam ayat di atas, justru diperintahkan untuk “mengatakan” secara eksplisit, sebagai ikrar dalam beragama.

Bagaimana menurut Anda?

Sumber : http://agusmustofa.com/?page=ngaji&id=19

Sabtu, 11 Juni 2016

[7] – APAKAH ANDA TERMASUK KATEGORI ORANG BERIMAN?

Seorang kawan bertanya: “Apakah Anda termasuk kategori orang beriman?
Dengan tegas saya jawab: “iya”.
Kawan yang lain nyeletuk: “Hanya Allah yang tahu, apakah Anda beriman ataukah tidak”.

Manakah yang benar, kita harus “mengusahakan” proses keimanan kita ataukah “memasrahkan” proses keimanan itu kepada Allah?
Dua-duanya benar. Keimanan adalah proses yang harus disengaja. Bukan sekedar pemberian dari Allah. Dimana kita hanya “pasrah bongkokan” menunggu datangnya keimanan.

Keimanan adalah keyakinan. Keyakinan adalah hasil dari proses pembelajaran dan pemahaman yang panjang. Jatuh bangun selama bertahun-tahun, dalam perjuangan yang istiqomah. Bergelimang peluh dan air mata. Bahkan cucuran darah. Orang yang berproses dalam perjuangan yang demikian, insya Allah keimanannya berakar kuat dalam sanubarinya.

Berbeda dengan orang yang pasrah bongkokan “menunggu” datangnya “hidayah”. Mereka tidak melakukan perjuangan. Melainkan bermalas-malasan menunggu di sudut ruang hidupnya. Berharap belas kasih dari Allah yang memang Maha Pemurah. Tetapi, sekali lagi: tanpa perjuangan. Cuma menadahkan tangan.

Puluhan ayat Al Qur’an memerintahkan perjuangan dalam hidup ini. Termasuk memperjuangan keimanan. Allah menyebut para pejuang kehidupan itu sebagai mujahid. Dan kalau mati dalam perjuangan disebut mati syahid. Bukan hanya dalam perang. Tetapi di semua lini kehidupan. Mulai dari diri sendiri dalam bentuk meningkatkan kualitas keyakinan alias keimanan. Dilanjutkan dengan menjaga, menafkahi, mendidik keluarga. Dan diteruskan dengan memberikan manfaat kepada lingkungan dan umat secara keseluruhan.

Proses keimanan adalah proses perjuangan. Bukan pasrah bongkokan. Yang karenanya, Allah menghargai para pejuang itu dengan “harga mahal”: surga penuh kenikmatan. Persis seperti yang diajarkan Allah dalam ayat berikut ini.

Qs. Ali Imran (3): 142
“Apakah kamu MENGIRA bahwa kamu akan masuk SURGA, padahal belum terbukti bagi Allah orang-orang yang berjihad (berjuang secara istiqomah) diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar (dalam perjuangannya).”

Surga bukan diperoleh hanya dengan menadahkan tangan kepada Allah. Meskipun Allah Maha pemurah. Tetapi, harus diperjuangkan dengan sengaja dan istiqomah. Apalagi menadahkan tangan sambil bermalas-malasan. Allah tidak suka.

Maka, kembali ke pertanyaan di awal kajian kita kali ini: “Apakah Anda termasuk orang yang beriman?” Dengan tegas saya jawab: “iya”. Bukan karena sombong merasa sudah beriman, melainkan “berkomitmen” untuk berjuang sepenuh hati di jalan Allah. Karena, inti dari keimanan itu sebenarnya adalah “komitmen” yang didasarkan pada kepahaman dan keyakinan atas kebenaran agama ini. Bahwa Allah Maha Mengetahui atas kualitas keimanan kita, itu adalah benar adanya. Namun Allah juga meminta ketegasan kita, apakah kita “meyakini” kebenaran agama ini? Dan kemudian “berkomitmen” untuk memperjuangkannya secara personal maupun sosial. Secara moral maupun spiritual.

Maka, kalau Anda ditanya seperti itu: “Apakah Anda termasuk orang beriman ataukah tidak”, apa jawaban Anda? Mudah-mudahan Anda akan dengan tegas dan bangga mengatakan bahwa Anda berada di barisan orang-orang beriman. Orang-orang yang memiliki komitmen jelas untuk memperjuangkan kualitas keberagamaan Anda. Sekaligus ingin menjadi orang yang bermanfaat sebesar-besarnya bagi kemaslahatan umat di dalam ridha Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bagaimana menurut Anda?

Jumat, 10 Juni 2016

[6] – YANG TIDAK BERIMAN, NGGAK USAH BERPUASA

"TEGA BENAR…”.
Mungkin ada yang mengomentari demikian terhadap judul diatas. Tapi itulah memang kesimpulan dari memahami ayat Al Qur’an terkait dengan perintah berpuasa di bulan Ramadan. Bukan dalam konteks emosional, melainkan dalam konteks akademis.

Berikut ini adalah ayat utama yang memerintahkan kita untuk berpuasa.

Qs. Al-Baqarah (2) : 183
“Wahai orang-orang yang BERIMAN, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Cobalah perhatikan, siapakah yang dipanggil Allah untuk menjalankan ibadah puasa dalam bulan Ramadan? Jawabnya: orang yang BERIMAN.

Dengan kata lain, Allah tidak memanggil orang-orang yang tidak beriman. Setidak-tidaknya, nggak usah melanjutkan membaca ayat tersebut. Karena, kalimat berikutnya itu hanya ditujukan kepada mereka yang beriman. Yakni: perintah puasa agar menjadi orang yang bertakwa.

Berarti, jika kita tidak termasuk orang beriman, kita tidak diwajibkan berpuasa? Dan tidak berpeluang untuk menjadi orang yang bertakwa? Ya. Karena bagi orang yang tidak beriman, ibadah puasa yang semestinya penuh makna menjadi tidak berarti apa-apa. Tidak menyehatkan. Tidak membuatnya lebih bertakwa. Apalagi, lebih mendekatkan dia kepada Allah. Puasa hanya akan berdampak secara lahiriah maupun batiniah ketika kita mendahuluinya dengan keimanan.

 Maka, sungguh sedemikian penting keimanan sebagai pondasi bagi proses beragama. Sehingga tidak heran, Allah memberikan pilihan secara sangat tegas terkait hal ini.

Qs. Al-‘Israa’ (17) : 107
“Katakanlah: BERIMAN-lah kamu kepadanya atau TIDAK USAH beriman (sekalian). Sesungguhnya orang-orang yang diberi PENGETAHUAN sebelumnya, apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil BERSUJUD.”

Menurut ayat diatas, keimanan memiliki keterkaitan erat dengan pengetahuan. Yakni, sebuah kepahaman atas suatu masalah yang menyebabkan dia menjadi YAKIN. Itulah Iman. Seseorang tidak akan bisa “yakin” kalau tidak memiliki pengetahuan atas suatu hal. Dan dia tidak akan memiliki pengetahuan tentang hal itu, kalau tidak mempelajarinya. Dan dia tidak akan bisa mempelajarinya, kalau tidak menggunakan akal kecerdasannya secara sehat.

Itulah yang saya maksudkan dengan pembahasan kemarin, bahwa keimanan memiliki kaitan erat dengan akal kecerdasan. Sehingga runtutannya menjadi demikian: orang berakal mesti menggunakan kecerdasannya untuk belajar, yang dengan belajar itu ia kemudian menjadi paham dan yakin, dan lantas memiliki komitmen untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Itulah PROSES KEIMANAN. Bukan sekedar ikutan-ikutan percaya.

Maka, kembali kepada ayat tentang puasa di atas, panggilan untuk berpuasa hanya ditujukan kepada mereka yang sudah beriman. Yakni, orang yang sudah memiliki pengetahuan tentang “seluk beluk puasa”, sehingga dia “yakin” bahwa puasa ini sangat “bermanfaat” secara lahiriah maupun batiniah. Dan, kemudian dia berkomitmen untuk menjalankannya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan niat yang dijaganya secara istiqomah dalam perbuatannya.

Jika ini yang terjadi, maka kalimat berikutnya di dalam ayat puasa itu bakal menunjukkan dampaknya. Yakni: la’allakum tattaqun - menjadi orang yang bertakwa. Karena, memang, ketakwaan adalah hasil akhir dari proses puasa yang berbasis pada keimanan.

Bagaimana menurut Anda?

Kamis, 09 Juni 2016

[5] - BERIMANLAH DENGAN AKAL SEHAT

KUALITAS amal ibadah kita sangat dipengaruhi oleh kualitas niat. Begitulah yang kita simpulkan dari dua sesi pembahasan sebelum ini. Selanjutnya, niat dan amal yang baik bakal menghasilkan kualitas keimanan yang baik pula.

---------------------------------------------------------------------------------------------

Jika kita berniat puasa yang menyehatkan, konsekuensinya adalah mengikuti cara Rasul dalam mengatur pola makan yang baik dan benar. Yakni: halalan thayyiban.
Halal adalah “yang tidak haram”.
Sedangkan thayyib adalah “yang baik”: secara kandungan gizi, sesuai porsi, dan longgar frekuensinya.
Makan yang terlalu banyak, tak seimbang gizinya, dan terlalu sering frekuensinya pastilah “tidak thayyib”. Meskipun halal. Puasa yang demikian, pasti tidak berdampak menyehatkan. Malah bikin sakit.

Demikian pula ketika kita berniat puasa yang menuju pada ketakwaan.
Konsekuensinya: selama Ramadan ini kita mesti mendidik diri sendiri untuk terus berperilaku lebih terkontrol dalam kebaikan.
Orang yang bertakwa adalah orang yang suka menolong orang lain dengan harta bendanya dalam keadaan lapang maupun sempit, tidak mudah marah dan gampang memaafkan orang yang menyakitinya, serta selalu ingat Allah ketika berbuat dosa, memohon ampunan kepada-Nya dan tidak meneruskan perbuatan buruknya.
Begitulah Allah mengindikasikan tipikal orang-orang bertakwa di dalam Al Quran

Qs. ‘Ali ‘Imran (3) : 133-135.
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang orang yang BEERTAKWA,
(yaitu) orang orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang berbuat kebajikan.
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

Niat ibadah yang lillahi ta’ala tidaklah berseberangan dengan niat puasa yang “menyehatkan dan menjadikan takwa”. Justru menjadi penyempurna.

Bahwa, kita berpuasa “yang menyehatkan dan menjadikan takwa” itu dikarenakan Allah dan Rasul-Nya menyuruh kita untuk demikian.
Allah dan Rasul menyuruh kita menjadi orang yang sehat lahir dan batin dengan cara berpuasa.
Tidak ada kontradiksi disini.

Sehingga tak perlu disimpulkan: kalau niatnya “pingin sehat dan bertakwa” berarti tidak lillahi ta’ala. Dan sebaliknya, kalau lillahi ta’ala tidak usah meniatkan “sehat dan takwa”. Semuanya berada di dalam “satu tarikan nafas” belaka.

Justru inilah manisfestasi dari keimanan dalam Islam.
Keimanan adalah “keyakinan logis” terhadap aturan agama. Bukan keyakinan yang ikut-ikutan.

Qs. Yunus (10) : 100
“Dan tidak ada seorang pun akan BERIMAN kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan KEMURKAAN kepada orang-orang yang tidak mempergunakan AKAL-nya (dalam berproses menuju keimanan itu).

Termasuk keimanan kepada Allah sekalipun. Kenapa kita beriman kepada Allah dan menjadikan Dia Tuhan dalam hidup kita, misalnya? Tentu, dikarenakan Allah pantas diagungkan sebagai Tuhan. Dialah Tuhan yang Maha Segala-galanya. Seandainya tidak pantas, pastilah kita akan mencari tuhan yang lain. Tuhan yang sebenarnya. Bukan yang tuhan-tuhanan, dan tidak pantas kita posisikan sebagai Tuhan.

Demikian pula, kenapa kita melakukan ibadah? Karena kita memang membutuhkan ibadah itu. Sebuah aktivitas yang memberikan banyak kemanfaatan bagi diri sendiri maupun masyarakat luas. Lahiriah maupun batiniah. Badan maupun jiwa. Yang karenanya, kita lantas bersyukur kepada Allah yang demikian mengasihi dan menyayangi kita, karena telah memberikan cara untuk me-manage hidup kita melalui peribadatan.

Qs. Al Baqarah (2) : 185
“Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, hendaklah ia berpuasa di dalamnya. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka), maka (hendaklah ia mengganti puasanya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki KEMUDAHAN bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah ATAS PETUNJUK-Nya yang diberikan kepadamu, SUPAYA kamu BERSYUKUR."

Bagaimana menurut Anda?

Rabu, 08 Juni 2016

[4] – UNTUK SIAPAKAH IBADAHMU?

SELAIN “niat” yang bertujuan obyektif - seperti yang kita bahas kemarin - “niat” juga memiliki tujuan subyektif. Perbedaannya terletak pada “apa” dan “siapa” yang menjadi tujuan puasa atau ibadah kita. Pada intinya, “niat” harus dikaitkan dengan “tujuan”. Sebuah perbuatan yang tidak dikaitkan dengan tujuan, menjadi tidak jelas langkah operasionalnya. Dan kemudian kita sebut sebagai ”nggak niat”.

Coba bayangkan, hari ini Anda keluar rumah “tanpa tujuan”. Kira-kira apa yang menjadi “niat” Anda keluar rumah? Menjadi nggak jelas, bukan? Berbeda dengan ketika Anda bepergian dengan tujuan yang jelas. Untuk bisnis, misalnya. Maka, Anda akan bisa menentukan hal-hal apa saja yang Anda perlukan untuk mencapai tujuan bisnis tersebut. Mulai dari kesiapan konsep, modal, SDM, peralatan, bahkan jaringan pemasaran.

Tujuan yang jelas akan menentukan cara yang jelas dalam mencapainya. Dan ini kemudian menjadikan “niat” kita menjadi jelas juga. Orang-orang yang tidak jelas dalam menjalankan pekerjaannya sering kita sebut sebagai orang yang ”nggak niat” bekerja. Lha wong tujuan nggak jelas, operasional nggak jelas, lantas apa yang mau dia peroleh dengan cara yang seperti itu?

Demikian pula dengan puasa dan ibadah kita pada umumnya. Letakkanlah “tujuan Anda” beribadah dalam koridor yang jelas. Yang secara pertanyaan, telah saya sampaikan dalam diskusi kemarin: “untuk APA” dan “untuk SIAPA” puasa yang kita lakukan ini. Yang dalam kajian hari ini kita bisa memperluasnya: bukan hanya puasa, melainkan ibadah pada umumnya.

Secara obyektif tujuan puasa adalah “supaya sehat” dan “supaya bertakwa”. Selain bersumber pada hadits shumu tashihu yang dianggap kontroversial sebenarnya ada sejumlah hadits yang mengajarkan tentang pentingnya “puasa sebagai obat” untuk mencapai kesehatan tubuh kita, yang diriwayatkan secara sahih oleh Imam Muslim. Sedangkan puasa untuk ketakwaan, jelas-jelas disampaikan Allah dalam Qs. Al-Baqarah (2):183.

Dalam tema hari ini, kita membahas “niat” dalam konteks “tujuan subyektif” melalui pertanyaan: Untuk Siapa Ibadahmu? Jawaban yang benar atas pertanyaan ini bakal menentukan “niat yang benar” pula. Yang pada gilirannya, akan menghasilkan amalan yang benar, dan akhirnya hasil yang benar.

Jadi, “untuk SIAPAKAH ibadahmu?” Untuk Allah-kah? Atau untuk dirimu sendiri? Kalau untuk Allah, apakah Allah memang membutuhkan ibadahmu? Sehingga, sampai ada yang mengatakan bahwa Allah itu “menjadi Tuhan” karena disembah oleh makhluk-Nya. Dan jika tidak ada yang menyembah-Nya, maka eksistensi Tuhan pun menjadi tidak ada.

Ataukah, ibadah kita ini sebenarnya ya untuk diri kita sendiri. Karena Allah memang tidak membutuhkan apa pun dari makhluk-Nya. Allah adalah Allah, yang tetap menjadi Tuhan meskipun seluruh makhluk tidak menyembah-Nya.

Namun, jika ibadah kita ini untuk diri sendiri, lantas dimana “posisi Allah” dalam hakikat peribadatan kita? Jangan-jangan ibadah yang demikian itu berubah menjadi praktek “menyembah dan mempertuhankan” diri kita sendiri…?!

Bagaimana menurut Anda?

Selasa, 07 Juni 2016

[3] – UNTUK APAKAH PUASAMU?

ALHAMDULILAH hari ini kita telah memasuki Ramadan hari pertama. Marhaban ya Ramadan. Marhaban pula untuk sahabat semuanya di bulan suci yang penuh hikmah, barokah dan maghfirah. Semoga Allah menyampaikan usia kita untuk menikmati bulan suci ini sampai hari terakhirnya.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Hal pertama yang harus kita mantapkan dalam jiwa kita setiap melakukan ibadah adalah menata NIAT. Rasulullah mengajari kita bahwa kualitas setiap amalan yang kita lakukan bergantung pada kualitas niatnya. Innamal a’malu binniyat. Niatnya bagus, kualitas amalnya bagus. Niatnya buruk, kualitas amalnya ikut buruk. Meskipun jenis dan kuantitas amalannya sama.

Secara fikih, banyak diantara kita yang menganggap “niat” hanyalah sekedar ucapan lisan maupun sirri (dalam hati) saat hendak melakukan perbuatan. Misalnya, menjelang puasa diwajibkan untuk mengucapkan kalimat niat: nawaitu shauma ghadin an’adai fardhi syahri ramadhana hadzihissanati lillahi ta’ala… “saya berniat puasa esok hari untuk menunaikan kewajiban dalam bulan Ramadan tahun ini karena Allah semata”.

Dalam sudut pandang tasawuf, “niat” memiliki makna yang sangat mendalam. Dan menjadi “ruh” setiap ibadah. Itulah sebabnya, Rasulullah sampai mengatakan: “(kualitas) amalan bergantung pada niat”. Ini bukan bermakna sekedar rukun dan syariat, melainkan bermakna hakikat. Bahwa, ibadah yang sama bisa memiliki dampak yang berbeda ketika niatnya juga berbeda.

Puasa yang diniatkan untuk “menjadi sehat”, berbeda dengan puasa yang diniatkan untuk sekedar “menjalankan kewajiban”. Orang yang meniatkan puasanya sebagai cara untuk menjadi sehat, mereka akan berusaha menata “pola makan” dan “pola hidupnya” lewat puasa. Sehingga, puasa akan benar-benar berdampak bagi kesehatan. Sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah: shuumu tashihu - “berpuasalah niscaya kamu sehat”.

Sayangnya, fakta di lapangan masih menunjukkan bahwa umat Islam justru makan lebih banyak di bulan Ramadan. Buktinya, peredaran sembilan bahan pokok (beras, tepung, minyak goreng, telur, dlsb) justru meningkat di sekitar Ramadhan dan lebaran.

Selain itu, Allah juga mengajarkan di dalam firman-Nya bahwa puasa bertujuan untuk menjadi bertakwa, sebagaimana disebutkan di dalam Al Quran

Qs. Al Baqarah (2) : 183
“Wahai orang-orang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang terdahulu, mudah-mudahan kalian menjadi bertakwa”.

Maka, selain meniatkan puasa untuk tujuan kesehatan, kita juga perlu meniatkan secara sungguh-sungguh puasa kita untuk tujuan ketakwaan. Yakni, kemampuan “mengontrol diri” secara perilaku.
Niat yang kuat untuk menata perilaku lewat puasa akan menghasilkan dampak yang signifikan dalam akhlaq kita, dibandingkan dengan mereka yang berpuasa hanya karena “terbawa arus” Ramadan yang terjadi di sekitarnya. Para pelaku puasa, seusai Ramadan insya Allah akan menjadi lebih sabar, lebih ikhlas, lebih pemaaf, lebih bijak, lebih dermawan, lebih jujur, lebih adil, dan lain sebagainya.

Maka, mumpung masih di awal Ramadan marilah kita menata “niat” dalam arti yang sesungguhnya. Bukan sekedar ucapan yang menjadi rukun ibadah kita. Yang dengan niat itu kita puasakan “pencernaan dan metabolisme” tubuh kita secara lahiriah. Sekaligus mempuasakan “pikiran dan perasaan” saat beraktivitas dalam keseharian. Sebuah niat yang akan menjaga kualitas amal ibadah puasa di bulan Ramadan untuk mencapai kualitas yang setinggi-tingginya.

Bagaimana menurut Anda?

Senin, 06 Juni 2016

[2] – KALENDER BIZONAL vs KALENDER UNIFIKASI MENGUATKAN METODE RQG

MENJELANG bulan suci Ramadan 1437 H, para ulama dari berbagai negeri Islam melakukan kongres di Turki dalam tajuk “International Hijri Calendar Unity Congress”. Acara tersebut digelar oleh Kementerian Agama Turki bekerjasama dengan ICOP (Islamic Crescent Observation Project), The European Council for Fatwa and Research, dan Kandili Observatory.

Kongres yang dihadiri oleh 130 delegasi dari berbagai negeri Islam itu sedang berusaha menyatukan pemahaman dan persepsi tentang perlunya kalender yang berlaku universal bagi umat Islam di seluruh dunia. Sebuah upaya yang sangat menggembirakan dan perlu dukungan kita semua. Karena, sungguh kita prihatin dengan perpecahan di segala bidang yang terjadi selama ini – bahkan hanya untuk mempersepsi sebuah kalender yang berlaku global pun kita nggak bisa akur selama ratusan tahun.

Beberapa nama terkenal hadir di acara tersebut, diantaranya adalah Yusuf al Qaradlawi selaku ketua persatuan ulama dunia, Muhammad Syaukat Audah pendiri dan ketua ICOP, Nidhal Guessoum pakar Astrofisika Aljazair yang kini menjadi guru besar di American University of Sharjah UEA, Jamaludin Abdurraziq ilmuwan Maroko pencetus Kalender Unifikasi, dan Syaraf Al Qudah pakar Syariah Jordania. Sedangkan dari Indonesia, hadir Prof. Dr. Syamsul Anwar Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, dan Hendro Setyanto Msi sebagai anggota Lajnah Falakiyah PBNU.

Intinya, para ulama Islam dunia kini semakin mengarah kepada penyatuan kalender yang berbasis pada pengamatan astronomi modern. Dan lagi, mengarah kepada hari yang sama untuk tanggal yang sama, ataupun tanggal yang sama untuk hari yang sama, di seluruh muka bumi. Artinya, jika di suatu negeri tanggal 1 Ramadan jatuh hari Senin, maka negeri-negeri di seluruh dunia harus berada pada hari dan tanggal yang sama.

Ini berbeda dengan Kalender Bizonal, yang menentukan adanya dua tanggal dan dua hari yang berbeda di permukaan bumi, seperti kalender Masehi. Misalnya, di Indonesia hari Senin, di Amerika masih hari Minggu. Dalam kalender unifikasi, seluruh permukaan bumi ditetapkan sebagai hari yang sama, seiring dengan tenggelamnya matahari.

Pedoman kalender unifikasi adalah terjadinya konjungsi atau ijtimak di bagian yang paling barat permukaan Bumi. Maka, seluruh permukaan bumi di sebelah timurnya memiliki hari yang sama dalam jangkauan 24 jam. Artinya, patokan utamanya adalah posisi terjadinya peristiwa konjungsi sebagai penanda habisnya bulan lama, dan datangnya bulan baru.

Pedoman ini mirip dengan apa yang saya utarakan dalam konsep Rukyat Qobla Ghurub (RQG). Bahwa penanda datangnya bulan baru adalah peristiwa “konjungsi”. Sedangkan penanda datangnya hari baru adalah waktu “maghrib” yang terjadi seiring dengan tenggelamnya matahari di masing-masing negeri. Sangat sederhana.

Sebagai contoh, hari Minggu, 5 Juni 2016, konjungsi bakal terjadi pukul 10.00 wib. Maka, bulan Ramadan 1437 H sudah hadir di seluruh permukaan bumi. Namun, permulaan hari di Indonesia adalah sekitar 7,5 jam kemudian saat maghrib menjelang. Sedangkan di Arab Saudi, maghrib akan datang sekitar 4-5 jam berikutnya. Tetapi, seluruh negeri di muka bumi memiliki hari dan tanggal yang sama.

Sebuah upaya yang semakin maju untuk menyamakan persepsi umat Islam Global. Meskipun masih ada beberapa kriteria yang harus dikaji lebih lanjut untuk menyempurnakannya. Semoga ke masa depan, umat Islam bisa memperoleh jalan keluar terbaiknya. 

Bagaimana menurut Anda?