DIMANAKAH
posisi keimanan dalam proses spiritualitas beragama kita?
Lebih
lugas lagi, apakah “keimanan” itu menjadi penanda seorang muslim sudah mencapai
tingkat tertinggi dalam spiritual Islam? Dan kemudian dijamin masuk surga?
Ketika Anda ingin
memahami Islam secara strategis, maka pemahaman akan fase-fase spiritual
semacam ini menjadi penting. Dengan memahami ini, kita bisa memperoleh roadmap - peta jalan - menuju
puncak spiritual yang diajarkan Islam. Sebaliknya, orang yang tidak memahaminya
akan kehilangan arah, kemana seharusnya dia melangkah dalam proses beragamanya.
Dan kemudian terjebak ke dalam ritual dan seremonial belaka.
Dari sekian banyak ayat
yang menginformasikan hal ini, saya menemukan ada empat tingkatan proses
spiritual dalam Islam. Yang pertama adalah “Islam KTP”. Inilah fase paling awal
dari proses spiritual seseorang dalam menjalani kedalaman ajaran Islam. Bisa
juga disebut sebagai “Islam administratif”.
Seseorang telah bisa
disebut sebagai seorang muslim, ketika dia sudah membaca dua kalimat syahadat.
Yang di era modern ini, khususnya di Indonesia, lantas dicatat secara
administratif dan dicantumkan di KTP sebagai orang yang beragama Islam. Orang
yang demikian ini baru Islam secara formalitas. Keimanan belum masuk ke dalam
jiwanya. Persis apa yang diceritakan dalam ayat berikut ini.
Qs. Al-Hujurat (49) : 14
Orang-orang
Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman”. Katakanlah: "Kamu belum
beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk (islam)', karena keimanan itu belum
masuk ke dalam hatimu. Namun jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia
tidak akan mengurangi sedikit pun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Keimanan adalah
keyakinan yang dibangun atas kepahaman, dan kemudian menghasilkan komitmen.
Pada orang Badui itu, dia sudah berkomitmen lewat syahadatnya. Namun,
sesungguhnya dia belum paham terhadap ajaran Islam ini. Sehingga komitmennya
masih sangat rapuh. Dan gampang goyah. Keimanan adalah komitmen yang tidak
tergoyahkan dikarenakan sudah memahami masalahnya.
Ketika keislaman
dipraktekkan ke dalam ibadah sehari-harinya, akan kelihatan dan terasa
perbedaan antara seseorang yang “berislam administratif” dengan yang sudah
“berislam karena iman”. Keislaman yang administratif akan menghasilkan ibadah
yang bersifat administratif pula, sedangkan yang karena iman akan meresap ke
dalam jiwanya.
Sholatnya orang yang
Islam KTP cenderung administratif. Yakni, sekedar sudah “tercatat oleh
malaikat” dan orang-orang di sekitarnya bahwa dia sudah menjalani sholat –amilush
sholah-. Bukan menegakkan shalat -aqimush sholah-
dimana ia menjiwainya sampai meresap ke dalam jiwa.
Demikian pula puasanya
adalah puasa administratif. Yakni puasa yang sekedar tidak makan dan minum atau
yang membatalkannya, mulai dari fajar sampai maghrib. Tapi tidak mempuasakan
jiwanya untuk memproses keimanannya supaya naik kelas menjadi bertakwa.
Termasuk pula,
ibadah-ibadah lainnya seperti dzikir, zakat-sedekah, umroh-haji, dan lain
sebagainya pun hanya bersifat administratif. Menggugurkan kewajiban belaka. Tak
ada penghayatan yang menggetarkan jiwa dalam proses keberagamaannya.
Maka, inilah pentingnya
“ngaji teori” sebelum kita ngaji praktek di dalam kehidupan nyata. Meskipun
nilai beragama kita berada di tataran praktek, tetapi kalau tidak paham
teorinya kita bakal “kesasar” alias tersesat. Setidak-tidaknya, prakteknya
hanya akan berkualitas permukaan yang bersifat administratif belaka.
Bagaimana
menurut Anda?
Sumber : http://agusmustofa.com/?page=ngaji&id=20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar