Senin, 13 Juni 2016

[9] – ISLAM KTP vs KEIMANAN


DIMANAKAH posisi keimanan dalam proses spiritualitas beragama kita?
Lebih lugas lagi, apakah “keimanan” itu menjadi penanda seorang muslim sudah mencapai tingkat tertinggi dalam spiritual Islam? Dan kemudian dijamin masuk surga?

Ketika Anda ingin memahami Islam secara strategis, maka pemahaman akan fase-fase spiritual semacam ini menjadi penting. Dengan memahami ini, kita bisa memperoleh roadmap - peta jalan - menuju puncak spiritual yang diajarkan Islam. Sebaliknya, orang yang tidak memahaminya akan kehilangan arah, kemana seharusnya dia melangkah dalam proses beragamanya. Dan kemudian terjebak ke dalam ritual dan seremonial belaka.

Dari sekian banyak ayat yang menginformasikan hal ini, saya menemukan ada empat tingkatan proses spiritual dalam Islam. Yang pertama adalah “Islam KTP”. Inilah fase paling awal dari proses spiritual seseorang dalam menjalani kedalaman ajaran Islam. Bisa juga disebut sebagai “Islam administratif”.

Seseorang telah bisa disebut sebagai seorang muslim, ketika dia sudah membaca dua kalimat syahadat. Yang di era modern ini, khususnya di Indonesia, lantas dicatat secara administratif dan dicantumkan di KTP sebagai orang yang beragama Islam. Orang yang demikian ini baru Islam secara formalitas. Keimanan belum masuk ke dalam jiwanya. Persis apa yang diceritakan dalam ayat berikut ini.

Qs. Al-Hujurat (49) : 14
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman”. Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk (islam)', karena keimanan itu belum masuk ke dalam hatimu. Namun jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Keimanan adalah keyakinan yang dibangun atas kepahaman, dan kemudian menghasilkan komitmen. Pada orang Badui itu, dia sudah berkomitmen lewat syahadatnya. Namun, sesungguhnya dia belum paham terhadap ajaran Islam ini. Sehingga komitmennya masih sangat rapuh. Dan gampang goyah. Keimanan adalah komitmen yang tidak tergoyahkan dikarenakan sudah memahami masalahnya.

Ketika keislaman dipraktekkan ke dalam ibadah sehari-harinya, akan kelihatan dan terasa perbedaan antara seseorang yang “berislam administratif” dengan yang sudah “berislam karena iman”. Keislaman yang administratif akan menghasilkan ibadah yang bersifat administratif pula, sedangkan yang karena iman akan meresap ke dalam jiwanya.

Sholatnya orang yang Islam KTP cenderung administratif. Yakni, sekedar sudah “tercatat oleh malaikat” dan orang-orang di sekitarnya bahwa dia sudah menjalani sholat –amilush sholah-. Bukan menegakkan shalat -aqimush sholah- dimana ia menjiwainya sampai meresap ke dalam jiwa.

Demikian pula puasanya adalah puasa administratif. Yakni puasa yang sekedar tidak makan dan minum atau yang membatalkannya, mulai dari fajar sampai maghrib. Tapi tidak mempuasakan jiwanya untuk memproses keimanannya supaya naik kelas menjadi bertakwa.

Termasuk pula, ibadah-ibadah lainnya seperti dzikir, zakat-sedekah, umroh-haji, dan lain sebagainya pun hanya bersifat administratif. Menggugurkan kewajiban belaka. Tak ada penghayatan yang menggetarkan jiwa dalam proses keberagamaannya.

Maka, inilah pentingnya “ngaji teori” sebelum kita ngaji praktek di dalam kehidupan nyata. Meskipun nilai beragama kita berada di tataran praktek, tetapi kalau tidak paham teorinya kita bakal “kesasar” alias tersesat. Setidak-tidaknya, prakteknya hanya akan berkualitas permukaan yang bersifat administratif belaka.

Bagaimana menurut Anda?


Sumber : http://agusmustofa.com/?page=ngaji&id=20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar