Sabtu, 31 Maret 2012

ALLAH TAK INGIN MEMPERSULIT HAMBANYA ~ APLIKASI KONSEP TAKDIR & KEHENDAK (10-habis)

oleh Agus Mustofa pada 30 Maret 2012 pukul 21:24

Sahabat DTM, sudahlah lupakan saja pembahasan tentang Takdir secara FILOSOFIS dan TEKNIS itu. Anggap saja Anda baru nonton film hologram, ataupun telah mengalami ‘ilusi penglihatan’, hhehe..! Saya mohon maaf jika telah bikin puyeng Anda dengan pembahasan yang ‘terkesan rumit’. Tetapi, itu memang harus saya lakukan karena ada yang menanyakannya. Dan, saya harus ‘bertanggungjawab’ untuk menjaga model pemahaman Islam yang saya usung dalam forum Diskusi Tasawuf Modern ini.

Tapi, Allah saja tak ingin mempersulit hamba-Nya. Ya, masa’ saya mencari-cari cara untuk terus bikin puyeng Anda. Bagi saya, sudah cukuplah penjelasan saintifik yang telah saya uraikan dalam 9 notes ini. Dan di tulisan ke sepuluh ini, saya ingin mengajak Anda untuk ‘mengendorkan saraf’ dalam memahami Takdir dan Kehendak-Nya secara OPERASIONAL saja. Sehingga, kita bisa langsung mengaplikasikannya secara mudah dalam kehidupan sehari-hari.

QS. Al Baqarah [2]: 185
…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…

Secara praktis dan operasional, sebenarnya saya sudah menguraikan konsep Takdir ini lebih mudah dalam buku serial ke-7: MENGUBAH TAKDIR. Bagi yang baru mengikuti materi takdir di forum ini, ada baiknya Anda membaca buku tersebut. Tidak harus beli di toko buku, bisa juga pinjan kepada teman Anda yang sudah punya. Sedangkan materi takdir yang lebih sulit - bersifat filosofis & teknis -  ada dalam buku serial ke-21: MEMBONGKAR TIGA RAHASIA.

Prinsip dasarnya, TAKDIR adalah ‘ketetapan’ Sang Pencipta bagi makhluk-Nya. Ada ketetapan yang terjadi tanpa campur tangan kita, dan ada yang bisa kita pengaruhi dengan usaha. Ketetapan yang tidak bisa kita campur-tangani itu disebut Qadar. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ‘Kadar’ alias kapasitas. Contohnya: Anda terlahir sebagai seorang laki-laki, atau perempuan. Di Indonesia. Dari orang tua yang ini. Pada tahun sekian. Dan seterusnya. Anda sama sekali tidak bisa ikut campur urusan Tuhan. Tiba-tiba saja Anda sudah terlahir dengan Qadar demikian. Apakah ini takdir? Ya, itulah takdir. Atau ‘ketetapan Allah’ yang sudah terjadi pada Anda saat itu.

Ketetapan Tuhan yang lain adalah Qodlo. Ini adalah ketetapan Tuhan yang bisa Anda campur-tangani. Sehingga, Qadar yang sudah terjadi pun bisa Anda ubah menjadi ketetapan yang berbeda dari sebelumnya. Misal, Anda terlahir sebagai seorang laki-laki. Tapi, Anda ingin menjadi perempuan. Pertanyaannya: apakah Anda bisa mengubah Takdir Anda sebagai laki-laki itu menjadi perempuan? Tentu saja bisa, kenapa tidak?!

Datanglah kepada dokter bedah kelamin. Dan lakukan operasi ganti kelamin serta lakukan suntik hormon, sehingga memunculkan tanda-tanda fisik sebagai seorang perempuan. Setelah itu, datanglah ke kecamatan atau pengadilan untuk mengubah status KTP Anda. Maka, Anda pun sudah resmi menjadi perempuan. Anda telah mengubah Takdir Anda di masa lalu menjadi takdir sekarang, yang sama sekali berbeda.

Bahwa, Anda kemudian tidak puas dengan hasil operasi ganti kelamin tersebut, itu urusan yang berbeda. Tetapi, secara biologis dan sosial Anda telah menjadi wanita..! Ini menjadi bukti bahwa Takdir memang bisa diubah, karena Allah telah memberikan peluang untuk terjadinya perubahan itu. Jadi Takdir adalah ketetapan yang bersifat Qadar dan Qodlo secara simultan. Bagaimana penjelasan teknis-filosofisnya? Lhaa, kalau yang ini Anda mengajak untuk puyeng lagi..! Baca saja, notes saya sebelumnya ya.. :)

Salah satu permasalahan mendasar dalam memahami Takdir adalah pada definisi tentang ‘Takdir’ itu sendiri. Ada yang mengatakan Takdir adalah ketetapan Allah yang ‘sudah ditentukan sebelumnya’. Dan ada pula yang mendefinisikan Takdir sebagai ketetapan yang seiring proses. Tetapi, kalau Anda mau memahami notes saya yang lalu, Anda akan memperoleh kesimpulan bahwa Takdir Allah tidak ditetapkan sebelumnya, melainkan ditetapkan real-time seiring dengan kejadian.

Begitu Anda berhasil operasi ganti kelamin, misalnya, ya saat itu pula Allah menakdirkan Anda telah berubah status dari laki-laki menjadi wanita..! Tidak ditentukan sebelumnya. Dan, itu baru kita ketahui setelah terjadi. Karena manusia memang mengambil kesimpulan berdasar bukti nyata yang dihadapinya.

Maka, bagi saya Takdir adalah realitas yang terjadi. Bukan yang belum terjadi. Lantas, apakah bisa diubah? Jawabnya jelas: bisa. Bagaimana cara mengubahnya? Ya, diusahakan. Kalau gagal? Ya berarti takdirnya: gagal. Sebagaimana juga bisa ‘sukses’. Semua itu bergantung pada usaha manusia ataukah kehendak Allah? Baca saja penjelasan Allah sendiri dalam ayat berikut ini.

QS. Ar Ra’d [13]: 11
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri

Menurut ayat di atas, siapakah yang memiliki kewenangan dan kemampuan untuk mengubah atau tidak mengubah? Jawabnya jelas: Allah. Tapi siapakah yang harus melakukan proses berubah itu? Jawabnya juga jelas: manusia. Artinya, berusahalah untuk mengubah keadaan Anda sekarang, agar Allah melakukan perubahan pada keadaan Anda berikutnya. Berpindah dari ‘Takdir saat ini’ ke ‘Takdir selanjutnya’.

Saya kira sudah sangat jelas tuntunan Allah dalam soal ‘mengubah takdir’ ini. Itu kalau Anda sepakat dengan saya bahwa Takdir adalah ketetapan yang ditentukan Allah seiring proses. Tetapi, jika Anda berpendapat bahwa Takdir adalah ketetapan Allah di ‘zaman dulu’, maka hasilnya akan mbuleti dan bikin puyeng Anda sendiri. Baik secara teknis-filosofis maupun teknis-operasional.

Akan muncul kontradiksi yang membingungkan.
Misal: Takdir Anda ini sebenarnya laki-laki ataukah perempuan?
Jawabnya: hanya Allah yang tahu. Bisa laki-laki, bisa perempuan. Bergantung… (?)

Terus: Takdir kelahiran Anda ini sebenarnya tanggal, bulan, dan tahun berapa ya?
Masa dijawab: hanya Allah yang tahu. Allah dulu menakdirkan saya tanggal berapa ya… (?)

Lha, sekarang ini Anda ditakdirkan sehat ataukah sakit?
Jawabnya juga: nggak tahu. Hanya Allah yang tahu.. (?)
Apa nggak tambah puyeng.. :(

Padahal, kalau Anda mendefiniskan Takdir sebagai ketetapan Tuhan yang telah ‘terbukti’ terjadi, akan dengan sangat mudah Anda menjawabnya. Bahwa Takdir Anda adalah terlahir sebagai seorang laki-laki, misalnya. Demikian pula, saya ditakdirkan Allah lahir tanggal 16 Agustus 1963. Dan saya,sekarang ditakdirkan Allah sehat, Alhamdulillah. Dan seterusnya…

Lantas, ada pertanyaan lanjutan begini misalnya:
Okelah, kalau Takdir ditetapkan seiring proses, apakah Anda tahu kapan Takdir kematian Anda?
Tentu saja saya menjawabnya: tidak tahu. Karena Takdir Allah itu kan belum jatuh kepada saya. Tapi, nanti ketika Allah sudah menakdirkan saya menemui ajal, Anda semua akan tahu bahwa takdir Allah atas saya adalah mati tanggal sekian, dengan cara begini dan begitu..! Sederhana bukan?

Sama juga dengan pertanyaan begini:  
kira-kira takdir Anda kelak masuk neraka ataukah masuk surga?
Bagi saya, belum tentu. Karena Takdir tersebut memang belum dijatuhkan kepada saya. Masih menunggu usaha yang saya lakukan dalam mengubah takdir yang telah saya peroleh. Katakanlah, sampai hari ini saya adalah orang jahat yang banyak dosa, maka ‘mestinya’ takdir saya kelak adalah masuk neraka. Karena Allah memang sudah memberikan kriteria siapa orang-orang yang pantas masuk neraka.

QS. Az Zukhruf [43]: 74
Sesungguhnya orang-orang yang berdosa kekal di dalam azab neraka jahanam.

Tetapi, kalau saya kemudian mengubah keadaan saya menjadi lebih baik: banyak melakukan amal kebajikan, bermanfaat sebesar-besarnya bagi umat manusia, dan bertaubat memohon ampunan atas segala dosa saya; mestinya saya bisa masuk surga. Karena, Allah juga sudah memberikan kriteria tentang siapa orang-orang yang pantas masuk surga itu. Masak kita nggak percaya kepada firman-firman Allah?

QS. Al Baqarah [2]: 82
Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.

QS. Al Maa-idah [5]: 39
Maka barangsiapa bertaubat sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

QS. Az Zumar [39]: 53
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

QS. Ali Imran [3]: 133
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,

Jadi, kalau sudah diampuni itu jaminannya adalah surga, seperti dijelaskan ayat di atas. Karena itu Allah mengajari orang-orang berdosa segera datang kepada-Nya untuk mohon ampun. Apa pun dosanya, pasti diampuni-Nya. Bahkan, mereka yang sudah dicap melampaui batas sekali pun. Karena, sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang…

Maka, dalam konteks ini kita bisa memahami ayat berikut ini yang mengatakan bahwa untuk bisa masuk surga, kita memang harus berusaha dan membuktikan kualitas kita. Hanya orang-orang yang sudah terbukti perjuangan dan kesabarannya sajalah yang bakal masuk surga. Yang belum terbukti melakukan jihad (memperjuangkan kebajikan di jalan Allah) dalam kesabaran, belum pantas memperoleh Takdir masuk surga.

QS. Ali Imran [3]: 142
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum terbukti bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum terbukti orang-orang yang sabar.

Maka, ringkas kata, Anda tak harus berpuyeng-puyeng untuk memahami konsep Takdir dalam tataran teknis-filosofis. Serahkan saja kepada mereka yang suka filsafat atau yang belajar di Fakultas Ushuluddin. Saya dan Anda, saya kira, lebih enak memilih yang praktis-operasional sajalah. Karena, hidup ini memang harus dijalani secara praktis, bukan untuk diperdebatkan dalam skala filosofis, iya kan..?!

QS. Al Hasyr [59]: 18
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Wallahu a’lam bishshawab

~ Salam Mengubah Takdir menjadi Lebih Baik ~

BUKAN FREE WILL, TAPI FREE CHOICE ~ LEBIH JAUH TENTANG TAKDIR & KEHENDAK (4-habis) ~

oleh Agus Mustofa pada 30 Maret 2012 pukul 12:05

Di bagian akhir tulisan saya tentang Takdir & Kehendak ini saya ingin menegaskan sekali lagi, perbandingan antara kehendak makhluk dengan kehendak Tuhan. Bahwa, kehendak makhluk itu berada di dalam kehendak Tuhan. Bagian yang tak terpisahkan, tetapi tidak sama. Ibarat setetes air di dalam samudera.

Apakah setetes air adalah bagian dari samudera? Tentu saja, jawabnya: ya. Apakah setetes air sama dengan samudera? Tentu saja, jawabnya: tidak. Air setetes dan dan air samudera adalah sama-sama air laut, tetapi banyak memiliki perbedaan. Mulai dari jumlahnya, kekayaan kandungannya, dinamikanya, power-nya, daya coverage-nya, informasi yang terkandung di dalamnya, dan seterusnya.

Meskipun, analogi ini tidak bisa sepenuhnya mewakili perbandingan antara makhluk dan Tuhan, tapi saya kira Anda bisa menangkap maksud saya. Bahwa, setetes air dan samudera adalah tidak sama, meskipun setetes air itu adalah bagian samudera yang sudah melebur di dalam samudera itu sendiri.

Karena itu, ketika kita berbicara soal kehendak makhluk di dalam Kehendak Allah, kita tidak boleh serta merta menyamakan antara keduanya. Seakan-akan kehendak kita SUDAH MEWAKILI kehendak Allah. Tentu terjadi distorsi pemahaman yang sangat jauh. Ibarat Anda mewakilkan kekuatan dan kekayaan samudera kepada setetes air laut. :(

Maka, perhatikanlah istilah yang layak digunakan untuk makhluk dan untuk Tuhan dalam hal ‘kehendak bebas’ ini. Untuk Tuhan lebih pantas kita gunakan FREE WILL – ‘kehendak bebas’. Sedangkan untuk manusia lebih pantas disebut free choice – ‘pilihan bebas’. Dari sini saja kita sudah paham seberapa bebas ‘pilihan’ yang dimiliki oleh manusia dibandingkan ‘KEHENDAK’ Tuhan.

Bahwa manusia tidak memiliki kemampuan berkehendak semau-maunya. Karena, ia sudah DIBATASI oleh desain penciptaannya. Badannya kecil, ototnya tidak seberapa, jangkauan pandangan dan pendengarannya terbatas, kekuatan organ tubuhnya juga ringkih, bahkan kemampuan otak yang dibangga-banggakan itu pun banyak mengalami distorsi. Jadi, mau berkehendak bebas macam apa sih manusia ini?!

Paling-paling, Anda hanya bisa memilih antara segelas coca-cola dan segelas air mineral. Atau, tambahkanlah sejauh perbendaharaan bahasa Anda tentang jenis makanan dan minuman, mulai dari dawet, bajigur, es teller, es cendol, teh panas, sampanye sampai vodka, dst. Semakin Anda berusaha menyebut daftar menu itu akan semakin tampak keterbatasan Anda. Hhehe.., ternyata hanya ‘segitu saja’ kehendaknya..!

Manusia TIDAK BISA berkehendak secara bebas. Yang bisa dia lakukan hanyalah MEMILIH dari apa yang sudah ada di sekitarnya. Bahkan, hanya dari yang dia KETAHUI saja. Tak lebih. Apa yang disebut ‘kebebasan’ itu ternyata secara natural sudah terbatasi dengan sendirinya oleh desain kemanusiaan kita. Saya suka dengan ungkapan ini: You can do every thing under My Rules..!

Maka, meskipun menurut saya tidak terlalu penting, jika hal ini mau diproyeksikan ke filosofi Newtonian, Einsteinian dan Holografik, kita bisa membedakan tingkat kebebasan makhluk terhadap Tuhan itu sedemikian rupa. Secara Newtonian, manusia memandang Tuhan sebagai SOSOK yang terpisah dari ruang dan waktu. Atau, malah ada yang memandangnya berada di dalam ruang & waktu. Misalnya ada yang mendefinisikan Tuhan berada di dalam surga. Atau, di langit. Atau di dalam hati. Atau, di alam akhirat. Sehingga menimbulkan komplikasi yang kontradiktif: Tuhan ada disana, dan tidak berada disini.. :(

Konsekuensi dari sudut pandang ini, makhluk menjadi ‘sosok berkehendak’ yang berada di luar Kehendak Tuhan. Sehingga muncullah istilah free-will bagi makhluk. Padahal, sebenarnya tidak adafree-will baginya. Yang ada ialah free-choice. Ketika pemahamannya sudah pada free-choice, sebenarnya kita sudah mulai melangkah ke filosofi Einsteinian yang memandang Tuhan meliputi makhluk-Nya. Bukan lagi sebagai sosok yang terpisah: Tuhan di surga, dan makhluk di Bumi.

Dalam tataran Einsteinian, ruang dan waktu alam semesta berada di dalam Tuhan. Tuhan sudah meliputi kehendak manusia. Sehingga kehendak manusia merupakan ‘bagian’ dari kehendak Tuhan. Jangan lagi membayangkan Tuhan sebagai ‘Sesuatu yang terpisah’ dari makhluk-Nya. Sayangnya, teori ini tidak bisa menjelaskan bagaimana ‘posisi’ makhluk di dalam Tuhan itu sendiri, karena Einsteinian hanya mendefinisikan alam semesta sebagai ruang berdimensi tiga. Sehingga kata ‘meliputi’ menjadi tidak jelas maknanya. Lha wong tidak ada ruangan yang lebih besar dari universe yang telah didefinisikan sebagai 3 dimensi.

Dengan munculnya teori Holografik, saya lantas bisa menjelaskan dengan lebih gamblang tentang 'posisi makhluk di dalam Tuhan’ secara lebih teknis. Termasuk, kehendak manusia di dalam Kehendak-Nya. Bahwa, makhluk bukan lagi ‘bagian’ dari eksistensi Tuhan, melainkan cuma hasil proyeksi dari diri-Nya.

Karena sifatnya proyeksi, maka hasil proyeksinya pasti memiliki derajat lebih rendah. Pasti juga, dimensinya lebih rendah. Pasti juga kualitasnya lebih rendah. Bergantung ini hasil proyeksi berapa kali dari masternya. Jika sebuah benda berdimensi tiga diproyeksikan sekali, ia akan menjadi benda berdimensi dua. Dan jika diproyeksikan lagi, ia akan menjadi benda berdimensi satu. Dan jika diproyeksikan lagi, dia akan menjadi ‘titik’, yang secara filosofis bermakna ‘ketiadaan’. Alias ilusi belaka. Ada simbolnya, tapi tidak ada isinya.

Dan menariknya, setiap kali kita memperoyeksikan benda, hasilnya selalu kehilangan sejumlah informasi seiring dengan hilangnya salah satu dimensi. Kalau ada sebuah kotak berbentuk kubus Anda sorot dengan lampu proyektor ke dinding, Anda tidak akan bisa lagi melihat ‘ketebalan’ kubus itu. Karena bentuknya sekarang menjadi sebuah 'bayangan' kotak tanpa ketebalan. Yang ada cuma panjang dan lebarnya saja. Selanjutnya, ketika diproyeksikan lagi Anda akan kehilangan sekali lagi sisi panjangnya atau sisi lebarnya. Karena ia akan membentuk sepotong 'garis'. Dan akhirnya, ketika diproyeksikan lagi, Anda akan kehilangan semua informasinya.

Begitulah perbandingan antara Kehendak Allah’ dengan ‘kehendak makhluk-Nya’. Karena kehendak makhluk adalah proyeksi dari Kehendak-Nya, maka Anda sebenarnya sudah kehilangan informasi sangat banyak tentang kehendak Allah itu. Anda sama sekali tidak akan bisa membayangkan Kehendak Allah, hanya dengan memahami kehendak manusia. Jika dipaksakan, akan menjadi absurd..!

Jadi, kalau saya ditanya: ‘’Di manakah unsur ‘free-choice’ (atau ‘bebas’nya) ketika peristiwa yang terjadi /kehendak manusia itu merupakan hasil “proyeksi holografik dari sebuah realitas tunggal” dari-Nya?’’

Maka, jawabnya ada dua:
Yang pertama, terjadi kesalahan mendasar secara filosofis (entah disengaja atau tidak) dalam mentranslate free-choice dengan ‘kehendak bebas’. Menurut saya, mestinya diterjemahkan sebagai ‘pilihan bebas’. Disini saya melihat ada kerancuan, atau keambiguan, atau kegamangan.

Yang kedua, jangan membayangkan ‘kehendak’ sebagai sosok materi, yang ketika diproyeksikan akan membentuk sesosok ‘kehendak’ pula. Kehendak adalah ‘daya dorong’ untuk melakukan sesuatu. Bentuknya tentu saja abstrak. Tidak bisa disosokkan. Sama dengan ‘waktu’ yang juga hasil proyeksi dari diri-Nya. Anda tentu tidak bisa mensosokkan waktu, meskipun ia adalah proyeksi diri-Nya. Lha wong ditanya ‘waktu’ itu apa sih, sudah kebingungan. Apalgi memahami dan melihat Masternya ‘waktu’.

Maka, lewat proyeksi holografik itu, manusia menjadi memiliki ‘daya dorong’ untuk melakukan sesuatu pula sebagaimana Allah. Tetapi, dalam skala yang sangat terbatas. Sehingga kita lebih pantas menyebutnya sebagai ‘pilihan bebas’. Bukan kehendak bebas.

Pertanyaan kedua tentang konsep free-choice dalam model Newtonian, Einsteinian, dan holografik sudah saya jawab dalam uraian di atas. Sedangkan pertanyaan ketiga: apakah Allah TAHU bahwa orang yang sakit itu sembuh (‘melihat’ proyeksi holografik diriNya yang real-time itu)? Ataukah Allah ‘menunggu’ respon dari manusia sakit itu untuk ‘mengubah’ takdirnya? Ataukah Allah tidak memiliki foreknowledge sama sekali?

Menurut saya, pertanyaan ketiga ini muncul dikarenakan belum utuhnya pemahaman penanya terhadap konsep holografik. Bahwa di dalam teori holografik tidak ada istilah ‘forekowledge’ ataupun ‘menunggu’, seakan-akan Allah berada di dalam deret waktu. Atau katakanlah: meliputi waktu. Karena, intisari konsep holografik adalah kejadian SEKARANG. Tidak ada masa lalu dan akan datang.

Setiap peristiwa adalah REAL-TIME sekarang semua. Urutan kejadian yang dibayangkan manusia itu hanya akibat dari persepsi otaknya, yang mengurutkan kejadian ‘sekarang-1, sekarang-2, sekarang-3, sekarang-4, dst…’ Karena itu, pertanyaan apakah ‘Allah tahu’ bahwa orang yang sakit itu AKAN sembuh?, sebenarnya TIDAK BERMAKNA dalam sudut pandang holografik. Karena, waktu di dalam-Nya tidak bergerak.

Kesalah kaprahan ini terjadi, karena kita MENGIRA Tuhan memandang realitas dengan menggunakan sudut pandang manusia yang berada di dalam ruang-waktu. Menjadi konyol. Dan ini memang menjadi kelemahan dari filosofi Einsteinian, yang lantas ditutupi oleh teori holografik.

Dalam sudut pandang holografik, Tuhan tidak bisa DIPREDIKSI sama sekali. Karena, tidak ada waktu untuk memprediksinya, sebagai konsekuensi proses yang real-time. Juga, dikarenakan kita sebagai manusia hanyalah PROYEKSI yang sudah mengalami DEGRADASI dalam skala tak berhingga dari ‘Sesuatu’ yang kualitasnya tak berhingga dan tak bisa kita bayangkan. Lha wong menebak kehendak saya saja Anda tidak bisa, padahal kehendak saya kan hanya proyeksi dari Kehendak-Nya, kok mau menebak-nebak kehendak Tuhan.

Maka, betapa pas dan indahnya ketika Allah membuat perumpamaan hubungan antara makhluk dengan Allah itu ibarat pelita dan cahaya. Makhluk ini hanyalah pancaran cahaya dari sebuah PELITA. Dimana pelita itu tersembunyi di balik kaca, di dalam sebuah lubang gelap yang misterius. Yang karenanya, Anda tidak akan pernah bisa melihat PELITA, Sang Sumber cahaya. Apalagi, kalau sekedar MENEBAK-NEBAK dari kejauhan berdasar cahaya yang dipancarkan-Nya. Ooalah, manusia.. manusia… !

QS. An Nuur (24): 35
Allah mencahayai langit dan bumi. Perumpamaan CAHAYA Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada PELITA besar. Pelita itu di dalam kaca. Kaca itu seakan-akan bintang  seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. (Yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat. Yang minyaknya hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan ini bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Wallahu ‘alam bishshawab

~ Salam ‘Menjadi Cahaya-Nya’ ~


Jumat, 30 Maret 2012

MEMAHAMI kehendakku DI DALAM KEHENDAK-NYA ~ LEBIH JAUH TENTANG TAKDIR & KEHENDAK (3) ~

oleh Agus Mustofa pada 29 Maret 2012 pukul 13:33

Bagian yang paling ‘membingungkan’ bagi sejumlah kawan di dalam forum DTM ini adalah hubungan antara kehendak makhluk di dalam KEHENDAK Tuhan. Ujung pangkal kebingungan itu saya lihat bermula ketika kita mengira bahwa KEHENDAK Tuhan itu sama dengan kehendak kita. Atau, setidak-tidaknya, kita merasa tahu kehendak Tuhan, dan bahkan menempatkan diri lebih tahu daripada Tuhan. Hhehe.., lha wong menebak kehendak saya saja Anda tidak bisa, kok mau menebak kehendak Tuhan.. ;)

Untuk bisa memahami posisi kehendak manusia di dalam kehendak Allah, saya ingin mengajak Anda menelusurinya dari ujung pangkalnya, dan mengambil pijakan dari sumber otentik: Firman Allah.

1). Bahwa seluruh alam semesta ini adalah MILIK-Nya dan DILIPUTI-Nya. Baik itu berupa dimensi ruang, waktu, materi, energi, dan informasi. Termasuk peristiwa ‘baik’ dan ‘buruk’, anugerah dan musibah, adalah milik-Nya dan berada di dalam-Nya. Diliputi-Nya.

QS. An Nisaa’ [4]: 126
Kepunyaan Allah-lah segala yang di langit dan segala yang di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu.

2). Bukan hanya diliputi-Nya, baik dan buruk itu ternyata juga BERASAL dari-Nya. Orang-orang yang menganggap kebaikan datang dari Allah, dan keburukan datang dari manusia disebut sebagai ‘tidak mengerti’ pembicaraan.

QS. An Nisaa’ [4]: 78
… Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?

3). Semua kejadian di alam semesta ini adalah KEHENDAK-NYA. Dan ketika menghendaki semua realitas ini Dia hanya mengatakan KUN – 'jadilah', maka mewujudlah segala yang Dia kehendaki itu. Termasuk ketika Allah menciptakan manusia.

QS. An Nahl [16]: 40
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "KUN (jadilah)", maka jadilah ia.

QS. Ali Imran (3): 59
Sesungguhnya misal (penciptaan) `Isa di sisi Allah, adalah seperti Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: KUN (jadilah), maka jadilah dia.

4). Karena manusia diliputi Allah, maka kehendak manusia pun diliputi atau berada di dalam Kehendak Allah. Bahkan, bukan hanya di dalam-Nya, melainkan ‘tidak bisa berkehendak’ kecuali dikehendaki-Nya.

QS. At Takwiir (81): 29
Dan kamu tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.

5). Lantas, kalau begitu apakah berarti kehendak manusia SAMA dengan kehendak Allah? Nah, disinilah distorsi pemahaman yang sering terjadi. Sehingga ada yang mengatakan: kalau kehendakku adalah kehendak Allah, kenapa saya masih disuruh bertanggung jawab? Kan ini sama saja dengan mempertanggungjawabkan kehendak Allah sendiri?

Kalau Anda mengikuti sejumlah notes saya tentang keberadaan makhluk di dalam Tuhan, mestinya Anda sudah bisa menarik kesimpulan yang cukup baik. Bahwa, berada di dalam Allah itu bukan berarti SAMA DENGAN Allah. Saya kira Anda masih ingat analogi ‘Himpunan Tak Berhingga’ yang memuat angka-angka. Jika Allah diibaratkan sebagai SEMESTA PEMBICARAAN dalam himpunan tak berhingga itu, maka makhluk bisa diibaratkan angka-angka yang menjadi anggotanya.

Misalnya, angka 1 adalah manusia, angka 2 adalah hewan, angka tiga tumbuhan, angka 4 adalah malaikat, dan seterusnya termasuk benda-benda langit, ruang, waktu, materi, energi, dan informasi, berserta dengan segala peristiwa yang terjadi di dalamnya. Maka, tentu Anda sudah bisa mengambil kesimpulan sendiri bahwa angka 1 tidaklah sama dengan angka ‘tak berhingga’. Atau dengan kata lain, manusia tidak sama dengan Tuhan meskipun manusia berada di dalam Tuhan.

Jika diperluas, kehendak manusia TIDAK SAMA dengan kehendak Tuhan. Penglihatan manusia TIDAK SAMA dengan penglihatan Tuhan. Pendengaran manusia TIDAK SAMA dengan pendengaran Tuhan. Dan segala sifat manusia TIDAK SAMA dengan sifat-sifat Tuhan. Manusia mendengar, Tuhan MAHA mendengar. Manusia melihat, Tuhan MAHA melihat. Manusia berkehendak, Tuhan MAHA berkehendak. Manusia berada dalam segala KETERBATASAN, sedangkan Allah dalam skala yang tak terbayangkan. Tak berhingga.

Perbandingan antara sifat manusia dengan sifat Tuhan adalah ibarat angka 1 dibagi dengan angka tak berhingga, hasilnya = NOL. Ya, manusia di dalam Allah adalah NOL alias semu. Ada lambangnya, tapi tak ada isinya. Itulah makna kalimat LAA ILAAHA ILLALLAH – tidak ada sesuatu pun yang eksis kecuali hanya Allah. Siapa pun yang tidak bisa menerima kemutlakan eksistensi Allah ini berarti dia telah mengingkari syahadatnya.

Maka, memahami kehendak manusia di dalam kehendak Allah haruslah proporsional. Tidak serta merta MENYAMAKAN kehendak makhluk dengan kehendak-Nya. Kehendak manusia hanya menempati BAGIAN yang sangat PARSIAL dalam kehendak-Nya yang holistik. Dengan kehendak yang parsial itulah manusia bisa mengalami kekeliruan dan kesalahan yang menyebabkan terjadi keburukan padanya. Ini pula yang dikatakan Allah di dalam firman-Nya, bahwa kebaikan berasal dari Allah, sedangkan keburukan berasal dari (keterbatasan) manusia. Sebuah pemahaman yang seakan-akan kontradiktif dengan ayat 'kehendakku di dalam kehendak-Nya' di atas. Padahal, semata-mata kita kurang memahaminya secara holistik.

QS. An Nisaa’ (4): 79
Segala kenikmatan yang kamu peroleh berasal dari Allah, dan segala bencana yang menimpamu disebabkan oleh (keterbatasan) dirimu sendiri…

6). Maka takdir jelek dan takdir baik itu sebenarnya terjadi disebabkan oleh keterbatasan manusia di dalam berkehendak. Seandainya dia berkehendak searah dengan kehendak Allah yang LEBIH HOLISTIK, maka dia akan memperoleh kebaikan. Tetapi, karena dia berkehendak dengan ‘kehendak Allah’ yang parsial di dalam dirinya, dia pun memperoleh musibah.

Maka, dalam konteks ini, kita menjadi paham kenapa ada takdir baik dan takdir buruk. Karena, manusia sering terburu nafsu menampilkan egonya lebih tinggi dari Ego Allah, mendahulukan kehendaknya daripada kehendak Allah, menyombongkan kepintarannya dibandingkan ilmu Allah, mendahulukan kepentingannya dibandingkan ‘kepentingan’ Allah, dan seterusnya.

Allah pun lantas mengingatkan, barangsiapa menonjolkan kepentingan egoistiknya, ia bakal menemui bencana. Dan barangsiapa mengikuti petunjuk-Nya ia akan memperoleh kebaikan. Disinilah muncul ayat tentang tanggung jawab itu.

QS. Al Mudatstsir (74): 37-38
Bagi siapa saja di antaramu yang berkehendak akan maju atau mundur. Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya,

Artinya, kehendak 'maju' itu berada di dalam kehendak Allah. Tetapi kehendak 'mundur' pun berada di dalam kehendak Allah. Silakan memilih dengan segala konsekuensinya. Karena nikmat dan bencana itu juga berasal dari Allah, disebabkan oleh pilihan yang kita lakukan sendiri.

7). Namun demikian, Allah pun BERKEHENDAK untuk mengampuni segala kekeliruan yang kita lakukan dikarenakan segala keterbatasan kita itu. Siapa pun yang datang kepada-Nya memohon ampunan pasti diampuninya, karena Dia adalah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Semua terserah kepada kehendak-Nya..!

QS. An Nisaa’ (4): 110
Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Wallahu a’lam bishshawab.

~ Salam ‘Mudah-mudahan Tidak Bingung Lagi’ ~


Kamis, 29 Maret 2012

'KEMARIN' ITU TIDAK ADA, 'BESOK' PUN TIDAK ADA ~ LEBIH JAUH TENTANG TAKDIR & KEHENDAK (2)

oleh Agus Mustofa pada 28 Maret 2012 pukul 22:57

Salah satu kesalahan yang mendasar dalam memahami Takdir adalah mencoba melihatnya dari sudut pandang Tuhan. Kita membayangkan bahwa kita adalah Tuhan, dengan segala Kemahatahuan-Nya. Padahal, kita tidak pernah bisa keluar dari ruang & waktu, bahkan untuk sekedar melihat alam semesta yang kita tempati. Apalagi, berkhayal menjadi Tuhan yang Maha Tahu.

Teori-teori ruang & waktu yang berkembang sejak era klasik sampai sekarang sebenarnya baru ‘menebak-nebak’ bentuk alam semesta. Dulu, tebakan Newton dianggap benar sepenuhnya. Ternyata Albert Einstein menemukan kelemahan yang mendasar, sehingga orang lebih memilih teori Einsteinian dalam memahami alam semesta secara lebih holistik. Dalam ruang-waktu yang variable.

Tapi, jangan salah, teori Einstein pun ternyata memiliki kelemahan mendasar dalam memahami ruang-waktu, yakni ketika di-cross-kan dengan fakta ‘interaksi real-time’ antar partikel sub atomic dalam ruang-waktu alam semesta. Teorinya menjadi runtuh bertabrakan dengan postulatnya sendiri: bahwa kecepatan tertinggi di alam semesta adalah cahaya. Dengan kata lain, rumus Einstein tidak bisa lagi digunakan untuk menjelaskan ‘secara holistik’ tentang ruang-waktu, dimana segala peristiwa terjadi di dalamnya.

Maka, pemahaman Takdir berlandaskan teori Einstein dengan sendirinya tidak lagi valid secara holistik. Dan hanya bisa digunakan secara parsial. Sehingga, kalau ada yang memahami alam semesta sebagaitime-space block Einsteinian, ia hanya akan menghasilkan sudut pandang parsial dalam memahami terjadinya peristiwa di dalam universe.

Justru karena itulah saya mengelaborasi teori yang lebih baru, yakni teori Holografik. Dimana teori ini dimunculkan untuk mengatasi kelemahan teori Einstein dalam hal interaksi real-time tersebut. Tetapi, sayangnya, pembahasan kritis yang diajukan oleh Brian Koentjoro malah ‘mundur lagi’ ke teori Einsteinian, sehingga nggak ketemu dalam frame yang sama. Padahal, dengan sangat jelas saya menggunakan pijakan holografik untuk menjelaskan Takdir dan Kehendak.

Bahwa, segala peristiwa ini adalah proyeksi holografik dari sebuah ‘realitas tunggal’ yang ada di dimensi lebih tinggi. Baik berupa peristiwa maupun berupa kehendak. Menggunakan teori Einstein tentang ruang waktu yang melengkung saja, ternyata tidak cukup. Karena, kelengkungan alam semesta yang demikian besar itu menjadi absurd ketika ditempuh dengan kecepatan cahaya sekali pun.

Cobalah bayangkan, ada dua benda langit yang berjarak 1 miliar tahun cahaya. Itu artinya, proses interaksi antara kedua benda langit itu membutuhkan waktu selama 1 miliar tahun. Ini menyalahi FAKTA bahwa interaksi antar keduanya terjadi secara real-time. Jadi, kalau Anda masih menggunakan teori Einstein, tanpa memadukan dengan teori holografik yang mengelaborasi adanya dimensi lebih tinggi, Anda akan terjebak pada pemahaman parsial yang mbuleti sendiri. Kenapa? Ya, karena teori ruang-waktu Einsteinian nggak cukup untuk membahasnya.

Teori itu tidak bisa menjelaskan hubungan takdir satu dengan takdir lainnya yang terpisah dalam rentang jarak yang jauh dalam skala universe. Misalnya, kenapa pusat gravitasi alam semesta masih saja ‘mengikat’ benda-benda langit yang bergerak menjauh dalam jarak miliaran tahun cahaya. Jadi, kenapa kita masih saja bertahan menggunakan teori Einstein untuk menjelaskan hubungan ruang-waktu universe dengan Tuhan? Padahal, Tuhan adalah ‘Sesuatu’ yang ‘meliputi’ universe.

Bagaimana Anda bisa memahami adanya ‘Sesuatu’ yang meliputi universe, sementara alam semesta didefinisikan sebagai ruang yang hanya berdimensi tiga? Disinilah teori Einstein tidak bisa menjelaskan, kecuali mengakui adanya ruang berdimensi lebih tinggi. Yang mana dimensi lebih tinggi itu memuat ruang-ruang langit berdimensi lebih rendah. Dan, seluruh interaksi antar benda langit bisa terjadi dengan cara ‘menerobos’ kedalaman dimensi yang lebih tinggi, yang menyebabkan waktu interaksi jauh lebih cepat, bahkan real-time.

Jadi, sebelum Anda memformulasikan hubungan antara Tuhan dengan makhluk-Nya, tidak bisa tidak Anda harus terlebih dulu menemukan penjelasan teknisnya. Disinilah kenapa saya ‘terpaksa’ menjelaskan secara njlentreh perbandingan teori-teori yang ada dengan berbagai kelemahannya, baru kemudian menyimpulkannya secara filosofis. Bahwa, hubungan antara Tuhan dengan makhluk-Nya itu bisa didekati dengan teori Holografik yang selangkah lebih maju dari teori Einstein tentang ruang dan waktu.

Menurut saya, teori ini sangat smart dalam menjelaskan realitas. Bahwa realitas ‘dulu’ dan ‘nanti’ itu sebenarnya tidak ada. Yang ada itu ‘sekarang’. Ruang adalah proyeksi diri-Nya: ‘sekarang’. Waktu juga proyeksi dirinya: ‘sekarang’. Dan seluruh peristiwa adalah proyeksi diri-Nya: ‘sekarang’. Semuanya terjadi secara real-time.

‘Kemarin’ sudah ‘tidak ada’. Sebagaimana ‘besok’ pun ‘tidak ada’. Kemarin adalah sekedar memori peristiwa yang membekas di sistem saraf otak kita. Realitasnya TIDAK ADA lagi. Badan Anda kemarin sudah tidak ada. Karena badan Anda yang sekarang ini sudah berbeda secara substantive dengan kemarin. Rambut sudah lebih panjang atau memutih. Kuku juga. Seluruh organ-organ dan triliunan sel tubuh Anda berbeda dengan sebelumnya, bahkan jika dibandingkan dengan semenit yang lalu.

Realitas adalah SEKARANG. Bukan tadi, atau nanti. Ini tidak bisa dijelaskan oleh teori Einstein, yang memandang ‘tadi’ dan ‘nanti’ itu ada secara parallel dengan ‘sekarang’. Yang begini ini, dengan sangat baik dijelaskan oleh teori holografik. Bahwa semua takdir bisa berlangsung secara real-time: sekarang. Kenapa bisa sekarang? Karena, ruang-waktu-peristiwa adalah sebentuk proyeksi belaka: disini dan sekarang. Sedang dimulai, sedang berlangsung, dan sekaligus diakhiri..!

Kita tidak punya pijakan apa pun untuk mengatakan bahwa Allah ‘sudah’ menakdirkan, atau ‘belum’ menakdirkan. Karena, yang disebut takdir itu adalah ketika ‘terjadi’: sekarang, sebagai proyeksi dari diri-Nya. Baik yang berupa kehendak, maupun peristiwanya. Kehendak Anda semenit yang lalu itu hanya ilusi. Tidak ada realitasnya. Yang ada ialah kehendak sekarang: saat ini. Yang sedang terjadi. Dan semua itu ada dalam kehendak Allah, ditentukan lewat takdir-Nya: saat ini juga. Maka, setiap makhluk di alam semesta ini hanya berpindah dari satu takdir ke takdir lainnya: sekarang.

QS. Al Hadiid (57): 3
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

QS. An Nisaa’ (4): 126
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu.

Karena bagi Allah ‘dulu’ dan ‘nanti’ adalah: ‘sekarang’, maka dengan sendirinya Dia menjadi Maha Mengetahui. Bukan karena waktu berjalan secara urutan ataupun paralel, melainkan karena waktu ‘tidak bergerak’ di dalam-Nya. Dimensi waktu yang bergerak itu adalah jika dipandang secara Einsteinian. Dalam pandangan holografik, waktu tidak bergerak. Karena ‘dulu’ dan ‘nanti’ hanyalah ‘kesan’ yang terbentuk di sistem saraf otak kita. Yang riil itu adalah: ‘sekarang’. Dan, Allah menempatkan seluruh kejadian ‘sekarang’ itu dalam kitab kenyataan bernama Lauh Mahfuzh. Yang bisa dihapus atau ditetapkan secara real-time oleh-Nya, dan langsung menjadi kenyataan. Terserah pada kehendak-Nya

QS. Al Hajj (22): 70
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.

QS. An Naml (27): 75
Tidak ada sesuatu pun yang gaib di langit dan di bumi, melainkan di dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).

QS. Ar Ra’d (13): 39
Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).

Pembahasan soal Takdir dan Kehendak ini memang cukup kompleks dan membutuhkan daya imajinasi yang baik, terutama dalam tataran filosofis. Karena, harus bisa merangkum seluruh kemungkinan yang rumit. Tetapi, dalam ranah operasional, sebenarnya Allah memberikan petunjuk yang sangat sederhana. Bahwa, karena setiap makhluk berada di dalam ruang dan waktu, maka manusia harus selalu menjadikan hari esoknya lebih baik dari sekarang.

Allah memberikan derajat keleluasaan tertentu kepada manusia untuk ‘mengubah takdir’ masa lalunya menjadi takdir masa depan yang lebih baik. Kalau takdir Anda kemarin adalah miskin, maka Anda diberi peluang untuk mengubahnya lewat sunnatullah, menjadi lebih kaya. Kalau Takdir Anda kemarin adalah ‘sakit’, maka Anda diberi peluang untuk mengubah Takdir masa lalu itu menjadi ‘sembuh’. Dan seterusnya.

QS. Ar Ra’d (13): 11
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan (takdir yang sudah terjadi) pada suatu kaum,sampai mereka mengubah keadaan (takdir yang sudah terjadi) yang ada pada diri mereka sendiri

Wallahu a’lam bishshawab

~ Salam ~