Kamis, 31 Oktober 2013

ADA APA SEBELUM UNIVERSE ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (3)

ni adalah pertanyan besar yang tidak mudah menjawabnya. Dan sedang menjadi mainstream pembicaraan di kalangan ilmuwan dunia. Baik yang bersifat filosofis maupun saintifik. Namun demikian, pembahasan di wilayah filosofis agaknya akan ‘lebih mudah’ – atau setidak-tidaknya memakan waktu lebih pendek – dibandingkan dengan pembahasan di wilayah saintifik. Kenapa bisa begitu? Karena, di wilayah filosofis ini kita ‘hanya’ membutuhkan ‘keyakinan’ asumsi – yang sumbernya bisa logika dan rasionalitas ataupun intuisi, ilham dan wahyu – sedangkan di wilayah sains membutuhkan pembuktian berdasar data empiris yang bergantung kepada banyak faktor yang menjadi kendalanya. Dalam sudut pandang Al Qur’an, wilayah filosofis itu bersumber dari ayat-ayat qauliyah, sedangkan wilayah sains bersumber dari ayat-ayat kauniyah.
-------------------------------------------------------------------------------------

Meskipun dasar filosofis ‘hanya’ menjadi asumsi bagi proses saintifik, tetapi sebenarnya disinilah awal dari semua langkah untuk mencapai kesimpulan yang baik – syukur-syukur benar. Jika asumsinya salah, secanggih apa pun proses saintifiknya, hasilnya pasti salah. Dengan kata lain, sebenarnya sains hanya berfungsi sebagai penjelas teknis dari sebuah filosofi yang menjadi asumsi. Dengan demikian, kita lantas bisa melihat betapa penting sebenarnya proses penyusunan asumsi yang baik dan benar itu. Ringkasnya: harus benar dulu secara filosofis, barulah kita berada di jalur yang benar dalam memperoleh kesimpulan saintifik yang benar.

Sesungguhnya, asumsi bisa dibangun dengan cara apa saja. Bisa diambil dari pengalaman sebelumnya, bisa dari kesimpulan saintifik yang mendahuluinya, bisa dari intuisi dan inspirasi yang bersifat internal, ataupun dari sumber-sumber tepercaya lainnya, termasuk kitab suci. Bagi seorang ilmuwan muslim yang menjadikan Al Qur’an sebagai panduan hidupnya ayat-ayat Al Qur’an bisa menjadi inspirasi yang luar biasa dalam membangun asumsi yang terarah.

Logika dasarnya, alam semesta dengan segala peristiwa di dalamnya adalah ciptaan Allah. Maka, jika ingin memahaminya, kita harus ‘bertanya’ kepada Yang Menciptakannya. Dan menariknya, ternyata Allah sudah ‘menjawab’ pertanyaan kita itu sebelum kita bertanya, lewat firman-firman-Nya di dalam Al Qur’an. Kita tinggal mencari saja ayat-ayat yang bisa menjadi inspirasi filosofis bagi semua peristiwa yang sedang kita hadapi. Disana ada ‘clue’ alias ‘tanda-tanda’, yang kemudian diistilahkan sebagai al ayat.

Ada yang disebut sebagai ayat-ayat qauliyah berupa teks Al Qur’an, dan ada yang dikenal sebagai ayat-ayat kauniyah berupa peristiwa alam yang dihamparkan di sekitar kita. Ayat-ayat qauliyah berfungsi sebagai dasar filosofis, sedangkan ayat-ayat kauniyah harus dieksplorasi menggunakan sains yang berbasis metode ilmiah.

Berikut ini adalah dalil dari ayat-ayat qauliyah sebagai dasar filosofis, maupun ayat kauniyah sebagai dasar observasi saintifik

QS. Yusuf [12]: 111
Sesungguhnya pada kisah-kisah (sejarah) mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi (kitab) yang membenarkan (meluruskan kitab-kitab) sebelumnya, dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman.

QS. Yusuf [12]: 105
Dan banyak sekali tanda-tanda di langit dan di bumi yang mereka lalui, tapi mereka berpaling darinya (tidak menghiraukannya).

Maka, bagi seorang ilmuwan muslim, proses filosofis dan saintifik itu berada di dalam ‘satu tarikan nafas’ belaka. Karena, baik yang qauliyah maupun yang kauniyah, kedua-duanya adalah ayat-ayat Allah. Yakni, ‘tanda-tanda’ alias clue yang diberikan sebagai petunjuk untuk melangkah lebih jauh dalam memahami realitas ciptaan-Nya.

Dikarenakan keduanya masih berupa clue, maka keduanya memang memerlukan penafsiran. Ada tafsir terhadap teks Al Qur’an, ada pula tafsir terhadap realitas alam semesta. Tafsir Al Qur’an berada di ranah filosofis yang cenderung subyektif, dan membutuhkan perangkat ilmu tafsir. Sedangkan tafsir alam semesta berada di dalam ranah obyektif yang membutuhkan perangkat sains. Meskipun, obyektivitas sains sendiri akan cenderung semakin subyektif ketika berada di wilayah soft science.

Karena semua itu adalah tafsir – baik yang qauliyah maupun kauniyah – maka kesimpulannya memang tidak akan pernah mutlak. Yang filosofis maupun yang saintifik, semuanya bersifat relatif. Kebenaran mutlak hanya tersimpan di dalam Al Qur’an sebagai sumber ayat qauliyah, dan alam semesta sebagai sumber ayat kauniyah. Itulah sebabnya, seluruh bentuk tafsir Al Qur’an selalu akan mengalami perubahan dan perkembangan, sebagaimana juga yang terjadi pada sains.

Dengan memahami semua ini, kita menjadi tahu peta persoalannya. Dan bisa memposisikan diri secara proporsional. Apalagi, ketika memasuki ranah diskusi antar pemikiran yang berbeda. Harus disamakan dulu frame-nya, agar diskusinya bisa ‘klik’ alias ‘nyambung’. Kalau tidak, hanya akan terjadi hit and run, dan dijamin tidak akan menemukan titik temu sebagai kesimpulannya. Yang satu berada di wilayah subyektif, yang lainnya berada di wilayah obyektif, misalnya. Atau, yang satu dan lainnya punya definisi berbeda terhadap masalah yang sama. Bagaimana mungkin bisa terjadi diskusi yang bagus dan berkualitas?

Lantas, bagaimanakah Al Qur’an memberikan dasar filosofi bagi eksistensi alam semesta ini? Ada apa sebelum universe? Sungguh ini pertanyaan yang sangat kental dengan filosofi yang cenderung subyektif, serta sangat sulit dijawab oleh sains yang mengandalkan obyektivitas. Kenapa? Karena, memang tidak ada obyeknya..!! Jadi,bagaimana bisa obyektif..??

Ketiadaan adalah kekosongan. Suatu kondisi dimana tidak ada apa-apa yang bisa kita sebut secara terinci. Dalam konteks alam semesta, yang disebut kosong mutlak itu adalah lenyapnya seluruh variabel penyusun universe. Materi tidak ada. Energi tidak ada. Ruang dan waktu pun tidak ada. Jika masih ada salah satunya, belum bisa disebut kosong alias tiada.

Ini berbeda dengan ‘kehampaan’. Hampa itu tidak kosong. Masih berisi, setidak-tidaknya energi. Meskipun saya tidak yakin ada sebuah ruang yang bisa benar-benar hampa secara mutlak terhadap materi. Diantaranya, terhadap ‘materi hantu’ yang dikenal sebagai neutrino yang bisa menembus apa saja tanpa bisa dideteksi ataupun dihalangi. Berdasar atas temuan materi hantu inilah, kemudian berkembang lebih luas menjadi dark matteryang misterius itu. Terdeteksi keberadaannya, tetapi tidak diketahui wujudnya. Bahwa ruang alam semesta yang tadinya dikira hampa itu ternyata tidaklah hampa. Melainkan berisi ‘materi gelap’.

Apalagi energi. Hampir bisa dipastikan, seluruh ruang alam semesta ini berisi energi, meskipun juga tidak bisa dideteksi secara langsung, sehingga disebut sebagai dark energy. Perbedaannya, hanyalah soal kerapatannya. Ruangan yang semula dikira hampa materi, ternyata mengandung materi dengan kerapatan yang rendah atau tak terdeteksi. Demikian pula, ruangan yang semula dikira hampa energi, dikarenakan kerapatan energinya yang sedemikian rendah sehingga tak terdeteksi. Atau, bisa juga dikarenakan peralatan kita yang tak bisa menangkapnya. Selama disitu ada gaya yang bekerja – termasuk gaya gavitasi yang mengisi seluruh penjuru alam semesta – maka disitu pun ada energi. Dan jika disitu ada energi, sangat boleh jadi hadir pula materi. Meskipun disebut sebagai materi gelap.

Walhasil, tidak ada ruang hampa yang benar-benar kosong di alam semesta. Apalagi, yang dimaksud kekosongan itu hanya isinya, yakni: materi dan energi. Sedangkan ruang dan waktu sebagai ‘wadahnya’ masih ada. Ini bukan kekosongan, melainkan ‘kehampaan’, yang sesungguhnya tidak benar-benar hampa.

Kekosongan adalah ketiadaan mutlak. Tak ada materi, tak ada energi, sekaligus tak ada ruang dan tak ada waktu..! Dalam kondisi ini, sains sudah tidak bisa lagi mengukur dan menghitungnya. Juga tak mampu menyodorkan bukti-bukti empiris yang menjadi andalannya. Bahkan secara filosofis disebut sebagai runtuh di titik singularitas. Ya, SAINS ternyata runtuh di fase KETIADAAN..!!

Maka, apalagi yang bisa disebut saat seluruh variabel penyusun alam semesta ini tiada. Karena sesungguhnya, tanpa adanya keempat variabel alam semesta itu, tidak ada peristiwa apa pun yang bakal terjadi. Termasuk bahasa yang kita gunakan untuk menyebut sesuatu. Itulah yang oleh Al Qur’an disebut sebagai suatu keadaan dimana kita belum bisa disebut.

QS. Al Insaan [76]: 1
Bukankah telah datang kepada manusia suatu masa dari (pergerakan) waktu, dimana ketika itu dia belum merupakan sesuatu yang bisa disebut?

Ayat ini sungguh luar biasa secara filosofis. Allah menginformasikan bahwa waktu mengalami dinamika, yang di suatu saat yang lalu segala realitas ini (termasuk manusia) belum  bisa disebut. Bukan ‘tidak ada’, melainkan tidak bisa disebut. Karena, di fase ini sangat boleh jadi segala variabel penyusun alam semesta belum eksis.

Kalau RUANG saja belum ada, bagaimana Anda bisa menentukan posisi sebuah peristiwa. Pertanyaan ‘dimana’, ‘kemana’, ‘yang mana’, dan semacamnya tidak memiliki pijakan sama sekali. Lha wong, tak ada ukuran apa pun untuk menentukan posisi. Demikian pula, ketika WAKTU tidak ada, maka pertanyaan ‘sebelum itu apa’, ‘sesudah itu bagaimana’, ‘kapan’, dan semacamnya juga tak ada maknanya. Termasuk ketika Anda bertanya: SEBELUM ada universe ini ada apa ya..?? Hhehe, pertanyaan ini kayaknya salah deh. Meaningless.Bukan salah yang tidak bisa menjawab pertanyaan ini, melainkan salah yang bertanya. Ternyata untuk bertanya pun harus punya ilmunya.. :)

Jadi, sebelum ada universe, berarti tidak ada ruang, waktu, materi, dan energi. Lantas apa yang ada? Hanyalah ‘Sesuatu’ yang TIDAK BISA DISEBUT, karena tidak ada perbendaharaan bahasa yang bisa menjelaskan Zat yang Tak Ada Yang Menyerupainya itu. Zat yang tak bisa lagi dijelaskan lewat pengetahuan manusia – yang memang sangat bergantung kepada keberadaan variabel-variabel alam semesta. Persis seperti yang diceritakan oleh ayat berikut ini - laisa kamitslihi syai'un - sebagai dasar filosofis untuk mengenali Eksistensi-Nya...

QS. Asy Syuura [42]: 11
(Dialah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagimu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangannya (pula). Dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.

Wallahu a’lambissawab

~ salam ~

Rabu, 30 Oktober 2013

AL QUR’AN MENGHARGAI ILMUWAN ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (2)

Sudut pandang yang berbeda dalam memahami realita – yang sama sekalipun – memang akan menghasilkan persepsi yang berbeda pula. Bagi seorang saintis murni, pengembangan ilmu pengetahuan adalah untuk ilmu pengetahuan itu sendiri. Sedangkan bagi seorang spiritualis, pengembangan ilmu adalah menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Kedua-duanya sebenarnya mempunyai kepentingan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, meskipun tujuannya berbeda. Dalam bahasa Al Qur’an, orang-orang yang bergerak di dalam bidang keilmuan alias ILMUWAN itu disebut dengan istilah ULAMA.
------------------------------------------------------------------------------------

Disinilah pentingnya menyamakan definisi, yang akan berpengaruh pada persepsi. Ketika ada seseorang menyebut istilah ‘ilmuwan’, maka yang terbayang adalah seorang pakar sains. Tapi, ketika disebut istilah ‘ulama’ yang terbayang adalah seseorang yang hafal Al Qur’an, kitab kuning, dan pandai berbahasa Arab. Tentu saja ini adalah persepsi yang salah kaprah dan terdistorsi. Karena, terjemahan bahasa Indonesia terhadap kata ulama adalah ILMUWAN. Dan, orang yang disebut ‘alim’ itu adalah orang yang memiliki kadar keilmuan tinggi, yang dalam bahasa modern disebut sebagai pakar, scholar, expert, ataupun scientist.

Ilmuwan dalam bidang apa? Tentu saja segala macam ilmu pengetahuan, baik yang hard sciences maupun yang soft sciences. Yaitu, ilmu-ilmu alam yang ketat dengan obyektivitas, maupun ilmu sosial-politik-ekonomi-budaya dan sebagainya yang lebih lentur terhadap subyektivitas. Al Qur’an menghargai dan memuliakan para ulama alias ilmuwan. Yang dalam ayat berikut ini dikaitkan langsung dengan orang-orang yang beriman. Artinya, ke-ILMUWAN-an di dalam Islam memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan KEIMANAN.

QS. Al Ankabuut [29]: 43-44
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu (orang-orang yang ‘alim). Allah menciptakan langit dan bumi dengan hak (benar dan akurat). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (pelajaran) Allah bagi orang-orang yang beriman.

QS. Faathir [35]: 28
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (ilmuwan). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.

Ayat-ayat yang bercerita tentang kualitas para ulama alias ilmuwan itu bertaburan di dalam Al Qur’an. Ini menjadi informasi penting bagi kawan-kawan kita yang memiliki ‘persepsi terdistorsi’ bahwa seorang ulama hanyalah sekedar ‘ahli ilmu agama’ dalam pengertian sempit, sedangkan seorang ilmuwan adalah seorang pakar sains ataupun ilmu-ilmu duniawi. Penjelasan saya ini, setidak-tidaknya menjadi jawaban atas statement mas Eka berikut ini (atau, siapa saja yang masih memiliki pemahaman seperti ini): “... Sains memang baru saja menemukan 95% lagi dari universe dan selama ini kita hanya mengenal 5% nya saja. Yang jelas siapa yang menemukannya? Ilmuwan, bukan ulama...’’. Tentu, pendapat seperti ini keliru dalam sudut pandang Islam. Sebab, justru peradaban Islam telah melahirkan ratusan ilmuwan kelas dunia, yang karya-karyanya menjadi sumbangan yang tidak kecil bagi peradaban modern yang memang dewasa ini sedang berpindah kiblat ke Barat.

Karena itu, dalam sejarah keemasan Islam kita mengenal ratusan ulama alias ilmuwan. Seperti IBNU SINA yang ahli di bidang Kedokteran; KHAWARIZMI yang pakar Matematika, Geografi dan Astronomi; AL FARABI yang selain pakar Matematika dan sains juga Ilmuwan Politik; IBNU KHALDUN yang ahli Sosiologi dan Ekonomi; AL BIRUNI yang jagoan Farmasi, Astronomi, Matematika, Filsafat dan Sejarah; AR RAZI yang ahli Kimia, Pengobatan dan Biologi. Dan masih banyak lagi ilmuwan-ilmuwan kelas dunia yang lahir dari zaman keemasan Islam. Mereka adalah ULAMA dalam arti yang sesungguhnya. Bukan ‘ulama’ seperti yang dipahami oleh mas Eka atau yang sepaham dengannya.

Karena itu, dalam sudut pandang Islam, tidak ada pendikotomian antara ilmu Allah dan ilmu saintis seperti pertanyaan mas Eka di point 1: “Para ilmuwan sering diremehkan karena selalu dibandingkan dengan Allah, yaitu pengetahuan sains hanya setetes dari ilmu yang dipunyai Allah...’’ . Karena, para ilmuwan Islam selalu menempatkan diri dalam posisi memahami ilmu-Nya. Di dalam-Nya. Dan terus mencari jalan untuk ‘mendekatkan diri’ kepada-Nya, dengan cara mengungkap ayat-ayat kauniyah yang dihamparkan di alam semesta ciptaan-Nya.

Atau, seperti yang diungkapkannya dalam point ke-2, yang menganggap ilmu pengetahuan di dalam Islam adalah subyektif: “... Metode ilmiah dan sains telah diakui sebagai pendekatan yang lebih obyektif, dan justru berusaha tidak sesubyektif mungkin. Yang sering disebut sebagai pendekatan yang subyektif adalah pendekatan secara agama atau melalui lensa yang penuh aturan yang deterministis (sudah ada ketentuan menurut agama tertentu)...’’

Tentu saja tidak demikian. Karena, sebagaimana saya katakan di notes sebelumnya, ayat-ayat Al Qur’an adalah panduan yang bersifat filosofis. Karena, untuk teknisnya Allah telah memerintahkan kepada umat Islam agar langsung melakukan pengamatan dan observasi ke alam semesta sebagai sebuah realita. Dan itu bermakna harus menggunakan pendekatan saintifik yang obyektif. Dimana hasilnya akan menjadi feedback bagi peningkatan keimanan kepada Allah Sang Maha Pencipta lagi Maha Berilmu.

QS. Al Ghaasyiyah [88]: 17-20
Maka apakah mereka tidak mengobservasi (secara saintifik) unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?

Sedangkan mengenai point yang ke-3: “Para ilmuwan tidak ada yang "takut" atau peduli bahwa dia akan menemukan Tuhan dalam experimen atau rumus2nya...’’, justru disinilah letak perbedaan antara ilmuwan muslim dan non muslim. Atau, antara yang beragama dengan yang tidak beragama. Atau, setidak-tidaknya, antara yang ‘pejalan spiritual’ dengan yang ‘ilmu demi ilmu’.

Dalam prakteknya, seperti yang disebut oleh mas Eka di point yang ke-4, para ilmuwan itu memang ‘takut’ dianggap bertuhan dalam berilmu pengetahuan, sebagaimana saya kutipkan dari komentarnya berikut ini: “Khususnya tentang ilmuwan terkenal seperti Hawking dan Einstein, jarang sekali mereka menyinggung tentang agama dan tuhan karena mereka tidak ingin dikatakan terbias. Dan bila mereka menyinggung ttg tuhan, pastilah dengan cara yang diplomatis...’’. Dan kemudian diakhiri dengan kalimat: “...dalam bukunya berikutnya dia (Stephen Hawking red.) tidak ingin disalah artikan lagi lalu justru mengatakan bahwa alam semesta tak memerlukan tuhan.’’

Jadi, itulah perbedaan antara ilmuwan muslim yang disebut sebagai ulama dengan ilmuwan sekuler yang tak ingin melibatkan Tuhan dalam keilmuannya. Lantas, adakah yang salah dalam hal ini? Saya kira silakan saja. Karena, toh semua itu adalah pilihan, bergantung kepada filosofi dasar yang digunakan, atau niatnya dalam beramal. Niatnya pingin bertemu Tuhan lewat ilmu, ya bakal ketemu dengan Sang Pencipta Jagat Raya. Niatnya mencari ilmu demi ilmu, ya bakal ketemu dengan ‘ilmu’. Itu saja. Saya kira tidak sulit untuk memahaminya... :)

QS. Ar Ra’d [13]: 2
Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (dengan gaya-gaya) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing berdinamika sampai waktu yang ditentukan. Allah mengatur (segala) peristiwa, menjelaskan tanda-tanda, supaya kamu meyakini pertemuan dengan Tuhanmu.

Wallahu a’lam bissawab

~ salam ~

ADA APAKAH SEBELUM ‘ADA’? ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (1)

Meskipun tema kali ini agak berbeda dari notes sebelumnya, tetapi tetap memiliki kaitan yang erat dan serial. Kalau sebelumnya bicara tentang keseimbangan alam semesta, maka kali ini kita akan beringsut kepada tema yang lebih ke hulu, yang menjadi akar dan cikal bakal dari keberadaan sains.

Temanya lantas menjadi lebih bersifat filosofis.Tetapi, sebagaimana saya katakan di notes sebelumnya, bukankah semua ilmu memang bersumber dari filosofi terlebih dahulu. Dan barulah dikembangkan ke ranah teknis yang bersifat saintifik. Di ranah teknis itulah lantas ada pembuktian-pembuktian yang bersifat empiris. Dan itu menjadi kekhasan sains yang bersifat obyektif. Semakin teknis semakin obyektif, semakin filosofis semakin subyektif.

Agar pembahasan ini bisa didiskusikan dengan beragam latar belakang subyek yang berbeda, tentu saja kita harus melibatkan unsur-unsur obyektif. Karena jika terlalu subyektif, hasilnya tidak akan bisa dinikmati oleh peserta diskusi secara general. Itulah sebabnya, pembahasan filosofis ini, sedikit banyak mesti tetap melibatkan sains yang obyektif, agar tidak berputar-putar pada ranah subyektif dengan gap yang terlalu besar secara individual.
-----------------------------------------------------------------------------------------

Sains modern yang semakin canggih ini tidak bisa terlepas dari sumber filosofinya. Perbedaan ‘keyakinan’ dalam ranah filosofis bisa memberikan arah yang berbeda kepada hasil akhir sains. Setidak-tidaknya pada persepsi subyektifnya. Meskipun secara metodologi saintifiknya sama. Karena sesungguhnyalah sains itu bersifat netral.

Kesimpulan obyektif bahwa alam semesta berkembang, misalnya, bisa bermakna subyektif yang berbeda. Bagi orang yang merujuk kepada Al Qur’an, hal ini akan menambah keimanannya lebih baik, karena ia telah membaca ayat-ayat yang menyatakan bahwa alam semesta ini memang berkembang. Bukan sekedar mencocok-cocokkan, tetapi baginya ini adalah sebuah bukti yang mengejutkan dan mengagumkan. Karena, tanpa harus menyengaja untuk melakukan 'cocokologi', masyarakat ilmiah telah menyodorkan kesimpulan yang sama dengan kitab sucinya. Meskipun sebagian dari masyarakat ilmiah itu lantas ada yang ‘tidak rela’ hasil kerja mereka ‘diklaim’ sebagai pembuktian kebenaran kitab suci.

Sedangkan bagi orang yang tidak bersinggungan dengan Al Qur’an, kesimpulan obyektif tentang berkembangnya alam semesta itu akan menghasilkan persepsi subyektif yang berbeda lagi. Mungkin, mereka juga merasa kagum atau ‘aneh’, karena merasa memperoleh ‘mainan baru’ atau realitas baru yang di luar dugaan mereka, tanpa harus mengaitkan dengan keberadaan Tuhan. Meskipun, bagi para ‘pejalan spiritual’ hal itu bisa saja dipertanyakan: lantas untuk apa, kalau hanya untuk merasa aneh dan memperoleh mainan baru? 'So what gitu loh', kata anak-anak muda sekarang.. :)

Begitulah, sains yang obyektif ternyata bisa berujung pada persepsi yang subyektif sesuai dengan filosofi yang mendasari seseorang dalam menggunakan sains. Maka, sains yang semula tidak berpihak, pada kenyataan menjadi ‘dipaksa’ berpihak juga. Mirip pisau dapur, yang fungsinya lantas bisa berubah-ubah sesuai penggunanya. Bagi seorang ibu, ia bisa digunakan untuk memasak. Tapi, bagi seorang psikopat pisau itu bisa digunakan untuk membunuh dan berbuat kriminal.

Filosofi dasar dalam berbuat sesuatu – termasuk dalam ranah sains – menjadi sedemikian pentingnya dalam mewarnai hasil akhir. Ini mirip dengan hadits Nabi yang sangat terkenal: innamal a’malu binniyat – sesungguhnya (kualitas) amalan itu bergantung kepada niatnya. Yang dalam konteks ini bisa menjadi: sesungguhnya obyektivitas sains itu tergantung kepada filosofi yang mendasarinya. Bagi seorang pencari Tuhan, sains bisa digunakan untuk membuktikan eksistensi-Nya. Sebaliknya, bagi seseorang yang tidak percaya Tuhan, Sains akan digunakannya untuk membuktikan ketidak-adaan-Nya.

Maka, terkait dengan pertanyaan mas Eka tentang ‘ada’ dan ‘tiada’, mau tidak mau kita harus menggunakan beberapa terminologi sains untuk membahasnya di ranah yang obyektif. Meskipun, ujung-ujungnya akan kembali memasuki ranah subyektif yang terserah kepada persepsi masing-masing. Bagi seseorang yang mengimani keberadaan Tuhan, ujungnya pasti akan bertemu dengan Tuhan. Sedangkan bagi mereka yang tidak mengimani Tuhan – atau setidak-tidaknya hanya ingin membuktikan ilmu untuk ilmu - ya mereka akan berhenti pada ‘keanehan’ baru yang selama ini belum pernah mereka rasakan saja.

Meskipun, mungkin itu akan mendorongnya mencari dan mencari lagi ‘keanehan-keanehan’ realitas alam semesta. Mirip dengan kisah ‘pemburu hantu’ yang terus menerus berburu hantu, sampai dia merasa jenuh sendiri karena setelah begitu banyak hantu yang ditangkapnya, ia menjadi tidak tahu sendiri harus melakukan apa setelahnya...

Perkembangan sains modern, khususnya dalam berburu asal-usul alam semesta memiliki suasana yang kurang lebih sama. Ada yang sekedar berburu ‘partikel-partikel hantu’ untuk membuktikan bahwa ‘hantu’ itu ada, tetapi ada juga yang ingin melanjutkan sampai pada pertanyaan filosofis: lantas di balik ‘hantu’ itu ada apa atau siapa? Saya meyakininya, keduanya akan bertemu di satu muara yang sama, yakni: Sesuatu yang Maha Aneh, yang selama ini belum kita pahami secara sempurna. Yang tidak pernah terbayangkan oleh akal manusia yang paling hebat sekalipun..!

Secara filosofi, manusia sudah berada di ambang antara ‘ada’ dan ‘tiada’. Bahwa, eksistensi yang kelihatan ada ini sebenarnya 'ada' ataukah 'tidak ada' sih?!! Karena, ternyata jika segala yang ada ini di-breakdown menjadi bagian-bagian lebih kecil yang menjadi penyusunnya, ujung-ujungnya mengarah kepada ‘ketiadaan’.

Benda-benda di-breakdown menjadi molekul. Molekul di-breakdown menjadi atom. Lantas di-breakdown lagi menjadi partikel-partikel sub atomik, quark, quantum, dan lautan energi yang semakin kehilangan sifat materialnya. Bahkan, kalau diteruskan akan terbentur kepada ‘dinding tebal’ sejarah munculnya segala eksistensi – materi ataupun energi – di saat-saat awal munculnya alam semesta. Yakni, saat materi dan energi tak ada bedanya lagi. Dan dimungkinkan sebagai muncul dari ketiadaan.

Bagi orang-orang yang tidak bertuhan, ada indikasi kuat untuk menghindari ketiadaan ini. Karena mereka takut akan bertemu ‘Sesuatu’ yang memunculkan alias mengadakan alias menciptakan segala eksistensi ini dari ‘tidak ada’ menjadi ‘ada’. Karena itu mereka berusaha mati-matian untuk mencari pembenaran dengan menggunakan sains, agar tidak perlu ada Tuhan dalam drama kolosal munculnya segala eksistensi ini. Tak kurang, ada Stephen Hawking yang berdiri di garda depan dalam soal kosmologi, atau Richard Dawkins dalam hal evolusi kehidupan, dan Sam Harris dalam bidang Neurosains, sebagaimana telah saya bahas dalam buku DTM-35: IBRAHIM PERNAH ATHEIS.

Sains memang bisa saja digunakan sebagai ‘pisau’ untuk beragam keperluan. Baik oleh orang-orang yang percaya Tuhan ataupun sebaliknya. Tetapi, semuanya akan kembali kepada filosofi dasar alias niatan yang melandasinya. Niatnya mencari kebenaran akan ketemu kebenaran, lewat sains. Niatnya ‘mencari-cari kesalahan’, juga akan menemukan kesalahan, lewat sains. Innamal a’malu binniyat..!

Ke-TIADA-an adalah sebuah keniscayaan bagi keber-ADA-an. Karena keduanya adalah pasangan filosofis dari sebuah eksistensi. Sesuatu disebut ADA, karena ada ketiadaan. Sebaliknya, TIADA itu disebut ada karena adanya suatu keberadaan. Lantas, bagaimana memahami ketiadaan dan keberadaan secara saintifik? Bukankah sains hanya bisa mengukur ‘yang ada’? Itulah sebabnya, seluruh hukum sains runtuh di titik singular alias ‘ketiadaan’.

Ini menjadi paradoks paling besar di era modern yang begitu mengagungkan-agungkan sains. Sehingga, misalnya, membuat ‘bingung’ Stephen Hawking yang jagoan astromatematika dalam berpendapat. Sekali waktu dia berpendapat bahwa alam semesta butuh Tuhan untuk mengadakannya dari tiada, tapi di kali lain dia berpendapat alam ini tidak butuh Tuhan, karena ada ‘fluktuasi kuantum’ di awal lahirnya alam semesta. Sebuah kegalauan yang membingungkan ‘secara filosofis’ bagi seorang pendekar sains abad 21, kalau tidak boleh disebut sebagai ‘ketidak-berdayaan’ dalam mengungkap realitas.

Ya, manusia dewasa ini sedang berada di tepi jurang yang sangat dalam dengan kemajuan sains yang telah dicapainya. Seluruh pencapaian yang luar biasa itu ternyata tak lebih hanya menempati sekitar 5% saja dari eksistensi alam semesta, yang disebut oleh para ilmuwan sebagai the known universe. Yang 95%-nya ternyata berada di dalam kegelapan yang ‘menakutkan’. Termasuk yang berupa materi gelap –dark matter– dan energi gelap –dark energy– yang begitu misterius. Dan lebih rumit lagi, kini muncul trend  kuat yang mengindikasikan adanya alam berdimensi lebih tinggi yang memiliki hukum-hukum alam sama sekali berbeda dengan yang kita pahami..!

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

Selasa, 29 Oktober 2013

MENGKRITISI AL QUR’AN SOAL KESEIMBANGAN SEMESTA

~ BENARKAH ALAM SEMESTA INI SEIMBANG ? ~

Berikut ini, sengaja saya meng-upload dalam bentuk note, diskusi lanjutan tentang keseimbangan alam semesta. Karena, dalam cuplikan buku DTM-37: ‘Menjawab Tudingan KESALAHAN Saintifik AL QUR’AN’ yang saya unggah beberapa waktu lalu, ada seorang kawan yang memberikan kritik cukup menarik terhadap isi buku tersebut. Kebetulan dia adalah ‘saudara seperguruan’ saya di Teknik Nuklir UGM, meskipun berbeda angkatan.. :)

Semoga note ini bisa menjadi bahan diskusi yang menarik bagi para sahabat DTM.
-----------------------------------------------------------------------------------------

Pertanyaan Eka Iman:
Pak Agus, menurut saya masih terdapat kesalahan penjelasan saintifik yang mendasar tentang keseimbangan alam semesta, sebagai berikut:

Pertama, alam semesta secara holistik tidaklah seimbang dibuktikan dari ENTROPI yang selalu berubah. ENTROPI alam semesta senantiasa BERTAMBAH. Hal ini menunjukan sifat ketidak-teraturan (disorder) dari sebuah sistem (universe).

Jawaban:
Sorry baru sempat jawab, mas Eka. Berikut ini adalah penjelasan atas kritik Anda. Entropi alam semesta yang terus menerus bertambah tidak bisa dijadikan dasar untuk menyimpulkan bahwa alam semesta secara universal tidak seimbang. Karena, itu hanya menunjukkan ketidak-seimbangan parsial dari sistem universe. Dimana Anda sendiri membuat kesimpulan: suatu ketika alam semesta bisa mencapai keseimbangannya, ketika ukuran alam semesta sudah sedemikian besarnya. (Lihat point keempat di bagian bawah).

Bagaimana mungkin keseimbangan hanya terjadi di bagian akhir sebuah proses? Kalau, di akhir ada keseimbangan, pasti di awalnya juga ada keseimbangan. Mirip sebuah bandul yang sedang bergerak yang akhirnya mencapai keadaan setimbang alias diam. Itu artinya, bandul tersebut awalnya diam alias setimbang, lantas ada yang menggerakkan sehingga tidak seimbang, dan akhirnya akan seimbang lagi. Begitulah alam semesta dalam pandangan saya setelah mempelajari ayat-ayat keseimbangan di dalam Al Qur’an. Secara KESELURUHAN alam semesta ini SEIMBANG, tetapi secara lokal-lokal ataupun parsial tidak seimbang.

Ketidakseimbangan lokal yang terjadi pada alam justru menunjukkan adanya ‘campur tangan’ dari AKTOR yang ‘menggerakkan bandul’ sehingga menjadi tidak seimbang. Tetapi kelak akan menjadi seimbang lagi, karena sesungguhnya FITRAH alam semesta ini memang SEIMBANG.. :)

Kedua, menurut penelitian dan experimen terkini tentang particle physics, telah ditentukan bahwa bila jumlah particle dan anti-particle sama (equal) maka alam semesta kita justru tidak akan terbentuk! Sama halnya dengan bila jumlah energy dan anti-energy (dark energy) sama maka alam semesta tidak akan terbentuk. Jadi justru yang menyebabkan alam semesta justru ketidakseimbangannya.

Jawaban:
Masih sama dengan jawaban saya di point pertama, alam semesta ini awalnya seimbang, dan kelak akan menjadi seimbang lagi seiring dengan waktu. Kenapa terjadi ketidak-seimbangan? Karena ada action yang menyebabkan sistem itu menjadi tidak seimbang. Action itulah yang menjadi penyebab terbentuknya alam semesta dalam bentuk ketidak-seragaman lokal alias ketidak-seimbangan lokal atau parsial. Tetapi, berangsur-angsur akan menurun karena diseimbangkan oleh pergerakan waktu sehingga kerapatan energinya menjadi sedemikian rendah, bahkan nol. Alias seimbang. Action itu adalah kesengajaan dari Sang Maha Pencipta... :)

Tentang dark-energy yang Anda sebut sebagai anti-energi, ini adalah sebuah ketidaklaziman. Karena memang tidak ada yang disebut anti-energi. Sebab, anti-energi adalah energi juga. Tapi, jika itu mau dipaksakan disebut sebagai anti-energi, it’s okay, saya mencoba memahami maksud Anda. Ini berbeda ketika kita bicara soal partikel dan anti-partikel, dimana anti-partikel adalah partikel yang memiliki bilangan kuantum berlawanan. Sehingga ketika ditabrakkan dengan partikel akan memunculkan reaksi anihilasi. Yang demikian ini tidak terjadi pada energi dan (yang Anda istilahkan) anti-energi.

Ketiga, alam semesta hanya tampak seimbang padahal (misalnya bumi mengorbiti /mengitari matahari dan juga bulan mengitari bumi serta tata surya (solar system) kita dalam keadaan yang seimbang). Namun kita tahu hal ini hanya semu sebab banyak benda-benda tata surya yang bisa menghancurkan bumi dan kehidupan di bumi seperti yg telah terjadi jutaan tahun yang lalu, yang menghilangkan dinosaurus dan jutaan mahluk lain.

Contoh lain adalah bahwa orbit dari bulan kita semakin lama semakin menjauh dari bumi sekitar 3.8 cm tiap tahun (dari pengukuran tembakan laser dari bumi ke reflectors di bulan). Jadi dalam jutaan bahkan milyaran tahun bulan akan terlepas dari bumi! Dan milyaran tahun lalu bulan jauh lebih dekat ke bumi yg menyebabkan keadaan bumi tak layak untuk kehidupan pada awal-awal terbentuknya bumi dan bulan.
Jadi keseimbangan adalah konsep yg semu.

Jawaban:
Sebagaimana telah saya kemukakan di depan, bahwa saya sependapat jika dikatakan alam semesta tidak seimbang dalam skala lokal. Yang karenanya, ada black holes, ada tata surya, bintang-bintang dan berbagai benda langit dengan segala bentuk ketidak-seimbangannya. Itu semua oke. Ibarat bandul yang sedang berayun-ayun dikarenakan ada yang menggerakkannya. Tetapi, sekali lagi, suatu ketika semua itu akan kembali kepada fitrahnya: SEIMBANG, dikarenakan besarnya gap antara gaya-gaya yang sekarang tidak seimbang itu akan semakin kecil, seiring dengan bertambahnya waktu. Dan kemudian menjadi nol.

Keempat, tidak hanya black holes yang menandai bahwa alam semesta ini dalam keadaan tidak seimbang, bahkan segala sesuatu dalam alam semesta kita adalah tidak seimbang! Dari sejak Big Bang hingga sekarang dan sampai kiamat, alam semesta yang kita diami ini TIDAKLAH SEIMBANG. Keseimbangan akan tercapai kelak bila seluruh unsur dan particle di alam semesta telah termakan oleh waktu dan jarak yang tak terhingga besarnya. Di saat itulah alam semesta akan seimbang...

Jawaban: Saya kira yang ini tidak perlu saya jawab lagi, karena sudah saya uraikan di atas.

Koreksi.
Maaf ada yang perlu dikoreksi dari pernyataan pak Agus mengenai gravitasi dan anti-gravitasi. Sampai sekarang belum ada observasi saintifik tentang adanya anti-gravitasi. Mungkinkah yang dimaksud bapak Agus adalah anti-matter, atau anti-particle, atau dark-matter atau dark-energy. Istilah saintifik yg saya kemukakan tsb sudah diakui adanya oleh para saintis, namun anti-gravity belum terbukti adanya.

Jawaban:
Istilah antigravitasi dalam tulisan saya tersebut adalah untuk menunjukkan adanya gaya yang memiliki arah berlawanan dengan gaya gravitasi. Yang dalam tulisan tersebut saya gunakan untuk menggambarkan adanya ‘gaya tolak’ yang sedemikian besar sehingga menghasilkan ledakan: Big Bang. Dan kemudian diimbangi oleh munculnya gaya gravitasi yang memiliki arah sebaliknya, menahan laju ledakan itu, ke arah pusat alam semesta.

Karena, sebagaimana kita ketahui gaya adalah vektor yang mempunyai arah. Sehingga bisa memiliki tanda (+) ataupun (-). Atau disebut dengan gravitasi dan anti-gravitasi. Ini berbeda dengan energi yang Anda sebut memiliki anti-energi, sangat sulit untuk memahaminya. Karena energi memang besaran skalar, bukan vektor yang memiliki arah. Dan dark energy itu menurut saya bukanlah anti-energi, melainkan tetap saja energi. Meskipun gelap alias tak nampak atau tersembunyi. Demikian pula dark matter bukanlah anti-matter, melainkan juga matter alias materi yang tersembunyi.

~ salam ~


~ KETIDAKSEIMBANGAN DI DALAM KESEIMBANGAN ~

Berikut ini adalah jawaban saya dari pertanyaan lanjutan yang disampaikan Mas Eka Iman, tentang apakah ketidak-seimbangan bisa berada di dalam keseimbangan; bukankah ketidak-seimbangan akan menghasilkan ketidak-seimbangan yang semakin besar jika dijumlahkan; dan dark-energy yang 'diduga' sebagai kekuatan pendorong terjadinya akselerasi galaksi-galaksi di kejauhan alam semesta.
-----------------------------------------------------------------------------------------

Bisakah sebuah ketidak-seimbangan berada di dalam keseimbangan? Tentu saja bisa. Contoh sehari-harinya sangat banyak. Mulai dari skala yang mikro sampai skala yang makro. Bahkan, kondisi yang sebaliknya pun juga bisa: keseimbangan di dalam ketidakseimbangan. Contohnya juga banyak.

Dalam skala mikro, molekul-molekul gas yang sedang dipanaskan di dalam sebuah tabung tertutup akan mengalami eksitasi alias ketidak-seimbangan, disebabkan oleh bertambahnya panas yang membuat molekul-molekul itu bergerak tambah cepat dan tak teratur. Tapi, dalam skala yang lebih besar, tabung itu tetap stabil dan mampu mewadahi ketidakstabilan di dalamnya. Kecuali, energi panas diberikan dalam jumlah yang semakin besar sehingga membuat tabungnya meledak.

Demikian pula air di dalam ember yang diaduk-aduk, akan memunculkan ketidak-seimbangan lokal di dalam ember seiring dengan kuatnya adukan. Tetapi, perhatikanlah embernya tetap stabil. Ketidak-seimbangan bisa terjadi di dalam keseimbangan yang lebih besar. Sebaliknya, ember itu bisa juga diputar-putar menjadi tidak stabil, dengan tetap menjaga keseimbangan air di dalam ember agar tidak tumpah.

Contoh-contoh semacam ini bisa diperluas dalam berbagai skala. Bahwa ketidak-seimbangan bisa ditempatkan di dalam sebuah keseimbangan, ataupun sebaliknya. Dinamisnya gerak aliran darah dan berbagai kelenjar di dalam tubuh. Dinamisnya pergerakan ikan-ikan di dalam akuarium. Dinamisnya gerakan penumpang di dalam mobil. Dinamisnya miliaran manusia di planet Bumi. Dinamisnya planet-planet di dalam tatasurya. Dinamisnya tatasurya di dalam galaksi. Dan seterusnya, dinamisnya benda-benda langit di dalam alam semesta yang secara holistik adalah seimbang. Beragam ketidak-seimbangan terjadi di dalam keseimbangan yang lebih holistik.

Ini mirip sebuah giroskop atau gasing yang bisa berputar-putar kencang tanpa jatuh, meskipun berada di ujung jari kita. Dilihat dalam skala yang lebih kecil ia dinamis dan tidak seimbang, tetapi dalam skala yang lebih besar ia stabil dan seimbang.

Jadi, sebuah keseimbangan tidak harus menunggu seluruh ketidak-seimbangan di dalamnya berakhir. Dengan kata lain, sebuah keseimbangan tidak harus terjadi setelah benda dalam keadaan diam sempurna. Karena memang tidak ada benda diam di alam semesta. Keseimbangan bisa terjadi secara simultan dari benda-benda yang sedang bergerak ataupun berubah posisi. Contoh lainnya adalah orang bersepeda. Ia bisa melakukan perubahan posisi sambil terus mempertahankan keseimbangannya agar tidak jatuh.

Dengan demikian, keseimbangan alam semesta sesungguhnya tidak perlu menunggu habisnya entropi, dimana alam semesta menjadi sepi tak ada peristiwa apa pun. Keseimbangan alam semesta secara universal bisa terjadi sambil tetap berdinamika dalam ketidak-seimbangan parsialnya. No problemo.. :)

Lantas pertanyaan berikutnya, apakah seluruh ketidak-seimbangan itu jika dijumlahkan akan menjadi tambah tidak seimbang? Belum tentu. Bergantung pada simpangan ketidak-seimbangannya. Jika sebuah bandul menyimpang ke kanan dan ke kiri, maka jumlah simpangan itu akan menjadi nol di titik setimbangnya. Demikian pula gelombang sinusoidal, amplitudo positifnya jika dijumlahkan dengan amplitudo negatifnya akan menjadi nol. Dengan kata lain, jumlah integral dari ketidak-seimbangan lokal tidak harus menjadi semakin kacau. Tetapi, bisa menjadi nol dalam skala yang lebih besar. Karena gaya bukanlah besaran skalar, melainkan vektor yang punya arah. Begitulah keadaan alam semesta, keseimbangan holistiknya justru merupakan hasil integral dari seluruh ketidak-seimbangan lokalnya.

Lantas, kenapa kecepatan galaksi bertambah cepat seiring jarak? Apakah betul ini dikarenakan adanya gaya lontar yang berasal dari dark energy? Menurut saya, pendapat ini masih sangat spekulatif. Hanya karena tidak bisa menjelaskan percepatan benda-benda langit yang semakin tinggi di jarak yang semakin jauh, lantas menyandarkan kesimpulannya pada dark energy. Padahal, belum tentu begitu. Peranan dark energy itu sampai sekarang masih belum diketahui, jadi sebaiknya kita tidak berspekulasi terlalu jauh dengan ‘memastikan’ ia memiliki gaya tolak yang menyebabkan akselerasi galaksi-galaksi.

Tanpa harus melibatkan peranan dark energy, kita bisa kok menjelaskan kenapa galaksi-galaksi yang jauh itu memiliki kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan galaksi yang dekat. Sehingga seakan-akan terjadi akselerasi seiring dengan jarak. Secara lebih detil, sebenarnya saya sudah menjelaskan hal ini di buku DTM-34: ‘Mengarungi Arsy Allah’.Tetapi, agar dapat gambaran umumnya, baiklah saya uraikan serba sedikit disini.

Bayangkanlah ada 5 buah galaksi yang berjajar, yakni galaksi A, B, C, D, E. Kita, sebagai pengamat pergerakan alam semesta, berada di tengah-tengah jajaran galaksi itu, yaitu di galaksi C. Misalkanlah, jarak antar galaksi itu adalah 5 satuan. Dari C ke B berjarak 5 satuan. Dari C ke D juga berjarak 5 satuan. Sehingga, dari C ke A adalah berjarak 10 satuan. Sebagaimana juga dari C ke E, adalah berjarak 10 satuan.

Sekarang, bayangkanlah semua galaksi itu bergerak menjauh dengan kecepatan konstan sampai mencapai jarak dua kali lipatnya. Sehingga, jarak antar galaksi menjadi 10 satuan. Sedangkan galaksi terjauhnya, jika dilihat dari galaksi C menjadi 20 satuan. Yakni, dari C ke A, ataupun dari C ke E.

Maka, apakah yang terjadi pada kecepatan galaksi-galaksi itu dilihat dari pusat pengamatan (galaksi C)? Galaksi terdekat (B dan D) akan mengalami perubahan kecepatan dari 5 satuan per detik menjadi 10 satuan per detik. Tapi, perhatikanlah, galaksi yang terjauh (A dan E) mengalami perubahan kecepatan dari 10 satuan per detik menjadi 20 satuan per detik. Sehingga, seakan-akan galaksi-galaksi itu mengalami akselerasi seiring dengan jarak yang semakin jauh dari pusat pengamatan..!

Padahal tidak. Pertambahan kecepatannya sebenarnya konstan di semua galaksi. Tetapi, karena dipengaruhi jarak pengamatan yang berbeda, seakan-akan terjadi akselerasi di jarak yang semakin jauh. Jadi, akselerasi di kejauhan alam semesta itu sebenarnya bersifat semu disebabkan oleh posisi pengamat. Bukan dikarenakan oleh gaya dorong dark energy.

Dengan ini, bukan berarti saya tidak sependapat dengan keberadaan dark matter dan dark energy. Saya sih sependapat, karena memang logis untuk menambah jumlah materi dan energi kritis yang diperlukan alam semesta agar bisa tetap stabil seperti ini. Tetapi, bukan sebagai gaya dorong atas terjadinya akselerasi benda-benda langit. Melainkan sebagai sumber gravitasi yang menahan alam semesta agar tidak lenyap, sebagaimana yang saya pahami dari ayat berikut ini.. :)

QS. Faathir (35): 41
Sesungguhnya Allah menahan (gerakan) langit dan bumi supaya jangan lenyap. Dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.

Wallahu a’lam bissawab.


~KESEIMBANGAN DINAMIS, BUKAN KESEIMBANGAN STATIS ~

Notes saya yang ketiga ini menjawab pertanyaan dan komentar mas Eka Iman, seputar hal-hal berikut: tentang akselerasi galaksi-galaksi terkait dengan red shift alias pergeseran spektrum merah; tentang keseimbangan statis dan keseimbangan dinamis; serta mengenai tafsir Al Qur’an terkait dengan sains dan keseimbangan alam semesta
-----------------------------------------------------------------------------------------

Saya memahami keseimbangan alam semesta, memang tidak dalam bentuk statis. Melainkan dinamis. Karena itu sebagian besar contoh yang saya sebutkan di dalam tulisan sebelumnya adalah keseimbangan dinamis itu, seperti giroskop dan bersepeda. Sedangkan, contoh lainnya adalah sebagai tambahan yang bersifat umum, tetapi masih terkait, meskipun masih harus dikelompokkan lagi sebagai closed system atau open system.

Karena itu, terkait dengan pergerakan galaksi-galaksi pun saya tidak memandangnya sebagai keseimbangan statis, melainkan keseimbangan dinamis. Dan karenanya, saya mempertimbangkan teori relativitas. Bahwa, kecepatan benda bisa teramati secara berbeda ketika dilihat dari stasiun pengamat yang tidak sama. Dengan catatan, kecepatan maksimumnya tidak boleh melampaui kecepatan cahaya.

Dan, karena kecepatan galaksi-galaksi itu saya asumsikan tidak mungkin melewati kecepatan cahaya, maka saya cukup menggunakan perbedaan stasiun pengamatan saja dalam memahami akselerasi galaksi di kejauhan alam semesta itu. Jika mas Eka belum menangkap substansi contoh lima galaksi yang saya uraikan di tulisan sebelumnya, mungkin kasus di bawah ini lebih mudah untuk dipahami, karena bisa langsung kita amati dalam kehidupan sehari-hari secara dekat.

Bayangkanlah Anda sedang berada di stasiun kereta api. Tak lama kemudian, sejumlah gerbong kereta api meninggalkan stasiun hingga mencapai kecepatan konstan 100 km/ jam. Di atas kereta itu, lantas ada orang berjalan searah dengan kecepatan kereta dengan laju 20 km/ jam. Pertanyaannya: berapa kecepatan orang tersebut dilihat dari stasiun kereta? Tentu dengan mudah Anda akan menjawab: 120 km/ jam. Karena, orang tersebut memang sedang berjalan di kereta yang sedang melaju, sehingga kecepatannya menjadi akumulatif. Disini berlaku penjumlahan vektor dari dua kecepatan yang searah, sehingga hasilnya bertambah besar. Tapi sebaliknya, jika orang itu berjalan berlawanan arah dengan kecepatan kereta, maka laju orang tersebut akan berkurang jika dilihat dari stasiun, menjadi 80 km/ jam.

Jika orang itu lantas berlari dengan kecepatan 100 km/ jam di atas kereta dengan arah yang sama, maka kecepatannya pun akan menjadi 200 km/ jam jika dilihat dari stasiun. Padahal, kita tahu, kecepatan orang tersebut tetap saja 100 km/ jam jika dilihat oleh penumpang lain yang duduk di kereta tersebut. Ini adalah rumus relativitas Newtonian yang terjadi pada benda-benda dengan kecepatan rendah, jauh dari kecepatan cahaya. Tapi, jika sudah mendekati kecepatan cahaya, rumus ini tidak berlaku dan harus menggunakan rumus relativitas Einstein.

Contoh ini saya kira lebih mudah dicerna untuk menggambarkan akselerasi galaksi di kejauhan alam semesta yang sedang kita bahas, yakni kenapa galaksi yang terjauh menjadi berlipat kecepatannya ketika dilihat dari galaksi C. Dalam kasus akselerasi galaksi, kita tinggal mengganti kecepatan konstan itu menjadi gerak dipercepat saja, dan efeknya pun akan tetap sama.

Maka, galaksi terjauh (A & E) dalam kasus tulisan sebelumnya, menjadi memiliki percepatan dua kali lipat jika dilihat dari galaksi pengamat C. Meskipun, akselerasinya tetap sama dengan rata-rata kecepatan galaksi lainnya jika dilihat dari galaksi yang bersebelahan (dari B & D). Mudah-mudahan contoh kasus ini lebih bisa dipahami.. :)

Sedangkan mengenai red shift alias pergeseran spektrum merah yang menggambarkan alam semesta sedang mengembang, saya setuju sepenuhnya. Bahwa alam semesta ini memang sedang mengembang. Dan Al Qur’an pun dengan sangat jelas menggambarkan hal itu dalam sejumlah ayat. Alam semesta menurut Al Qur’an memang tidak statis. Ia bergerak dinamis tapi seimbang. Sebagian ayat-ayatnya adalah berikut ini.

QS. Ar Rahman (55): 7
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan mizan (timbangan).

QS. Ar Ra’d (13): 2
Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (dengan gaya-gaya fundamental) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di 'Arasy. Dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan, menjelaskan tanda-tanda, supaya kamu meyakini pertemuan dengan Tuhanmu.

QS. Faathir (35): 41
Sesungguhnya Allah menahan (gerakan) langit dan bumi (dengan gaya penyeimbang) supaya jangan lenyap (tak terkendali). Dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.

Ketiga ayat tersebut dengan sangat jelas memberikan gambaran bahwa alam semesta sedang meninggi ke segala arah atau mengembang. Dengan kata lain, terus berdinamika. Sambil, Allah menambahkan lagi keterangan bahwa Dia menahan langit yang sedang berdinamika itu dengan mekanisme penyeimbang yang disebut sebagai mizan, agar tidak lenyap.

Karena itu, saya yang membangun kepahaman berdasar pada ayat-ayat Al Qur’an, memang sejak awal sudah sangat menyadari bahwa alam semesta tidak statis. Melainkan dinamis. Tetapi seimbang, yang kita kenal sebagai ‘keseimbangan dinamis’.

Sehingga ketika dikaitkan dengan red shift alias pergeseran spektrum merah – yang menjadi parameter alam sedang mengembang – saya tidak memiliki keberatan apa pun. Bahkan bersyukur, karena ternyata lagi-lagi informasi Al Qur’an memperoleh pembuktian dari data empiris: bahwa alam semesta memang sedang meninggi ke segala arah alias mengembang, dengan kecepatan pengembangan yang relatif seragam di segala penjurunya.

Yang perlu diperjelas, justru adalah data pergeseran warna merah seperti apa yang telah dipersepsi sebagai pertambahan akselerasi di galaksi-galaksi yang jauh dibandingkan yang dekat? Dan apakah benar gaya yang menimbulkan akselerasi itu berasal dari dark energy sebagaimana mas Eka sebutkan? Kenapa dark energy itu justru dipersepsi sebagai sumber ‘gaya tolak’, kok bukan sebagai ‘gaya tarik’ yang menahan laju pengembangan alam semesta? Karena, justru yang menjadi masalah adalah kenapa alam semesta yang sedang mengembang ini bisa bertahan selama belasan miliar tahun? Apa yang menahannya sehingga tidak lenyap tak terkendali?

Tanpa mengurangi rasa percaya saya kepada pemahaman mas Eka, saya minta Anda bersedia menjabarkan argumentasi Anda tentang akselerasi galaksi terkait dengan dark energy itu. Karena, kalau sekedar ‘katanya tetangga’, meskipun mereka dosen Astrofisis dan konsultan di CERN (Geneva), FermiLab (USA) dan CALTECH, NASA & JPL, tidak akan menjadi bahan diskusi yang menarik dalam forum ini. Saya tunggu penjabarannya mas, agar bisa kita bedah bersama.. :)

Selanjutnya, tentang tafsir Al Qur’an terkait dengan sains, dan lebih khusus lagi tentang keseimbangan alam semesta. Saya memang termasuk orang yang meyakini dan membuktikan bahwa Al Qur’an memiliki informasi-informasi yang bisa menjadi landasan bagi kita untuk memahami realitas alam semesta. Memang tidak berbicara teknis, melainkan filosofis. Tetapi, bukankah semua ilmu memang berangkat dari dasar filosofis terlebih dahulu, dan kemudian dikembangkan ke ranah teknis? Jadi, saya kira tidak ada yang salah dalam hal ini. Kita cuma berbeda filosofi dasarnya saja dalam memandang realitas, dan toh masih bisa bertemu dalam platform yang sama secara saintifik, bukan? Sehingga kita pun bisa melakukan diskusi gayeng seperti ini? No problemo. Saya tidak pernah memaksakan 'keimanan' saya kepada siapa pun dengan cara ‘pokoknya’.. :)

Cuma yang perlu saya tegaskan, sebenarnya Al Qur’an tidak butuh pembenaran apa pun, dari siapa pun. Tanpa usaha pembenaran, Al Qur’an telah menunjukan dirinya layak dijadikan rujukan dan sumber inspirasi. Bahkan sudah bertahan selama ribuan tahun. Teksnya pun tidak pernah berubah, meskipun satu huruf. Kitab suci ini telah memberikan inspirasi berupa dasar filosofis kepada miliaran umatnya untuk mengatasi realitas kehidupannya. Tinggal, apakah umatnya bisa menerjemahkan inspirasi filosofis itu ke dalam ranah teknis yang bermanfaat buat peradaban manusia atau tidak, itu bergantung pada niat dan usaha yang dilakukannya. Dengan niatan dan usaha yang baik, peradaban Islam terbukti pernah mencapai zaman keemasannya sebagaimana tercatat dalam sejarah. Termasuk berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi landasan bagi peradaban modern dewasa ini, bukan?

Hanya saja, memang sekarang umat Islam sedang mengalami masalah internal yang sangat akut terkait dengan penerapan filosofi dasar yang diinspirasikan oleh Al Qur’an itu. Bukan Al Qur’annya yang salah – sebagai sumber inspirasi dan petunjuk – melainkan umatnya yang harus belajar lebih keras dan berbenah diri.

Dan apa yang saya lakukan dengan puluhan buku yang sudah saya tulis selama sepuluh tahun terakhir ini sesungguhnya adalah sebuah langkah kecil untuk mengusahakan bangkitnya peradaban Islam yang pernah jaya itu. Melahirkan SDM-SDM yang ulul albab sebagaimana diajurkan oleh Al Qur’an berkali-kali. Tapi, tantangannya memang tidak ringan. Bukan hanya dari luar kalangan, melainkan justru dari dalam kalangan sendiri... :(

Wallahu a’lam bissawab.


~ TAK ADA AYAT AL QUR’AN YANG DIPAKSA SAINTIFIK ~

Sambil menunggu jawaban mas Eka atas pertanyaan saya, tentang dark energy terkait dengan akselerasi alam semesta, saya ingin mengklarifikasi beberapa persepsi dari komentar-komentar yang menganggap ada ‘upaya pemaksaan’ ayat Al Qur’an agar kelihatan saintifik. Ini saya anggap penting, karena distorsinya sangat mendasar. Setelah itu, sebagian tulisan ini kembali memberikan jawaban atas komentar tambahan mas Eka tentang kecepatan atau percepatan pengembangan alam semesta, yang dirasanya masih belum jelas.
-----------------------------------------------------------------------------------------

Ada beberapa komentar di forum ini yang menurut saya harus diklarifikasi agar tidak terjadi distorsi pemahaman yang semakin jauh, yakni yang terkait dengan persepsi seakan-akan saya sedang mencocok-cocokkan ayat Al Qur’an supaya kelihatan saintifik. Othak-athik mathuk, yang kesannya memaksakan kecocokan antara Al Qur’an dengan sains. Saya kira mereka tidak sepenuhnya paham tentang apa yang mereka kritik itu. Atau, belum membaca notes saya yang ketiga.

Kalau mereka sudah membaca, pasti tahu paragraf yang saya kutip berikut ini: ‘’Selanjutnya, tentang tafsir Al Qur’an terkait dengan sains, dan lebih khusus lagi tentang keseimbangan alam semesta. Saya memang termasuk orang yang meyakini dan membuktikan bahwa Al Qur’an memiliki informasi-informasi yang bisa menjadi landasan bagi kita untuk memahami realitas alam semesta. Memang tidak berbicara teknis, melainkan filosofis. Tetapi, bukankah semua ilmu memang berangkat dari dasar filosofis terlebih dahulu, dan kemudian dikembangkan ke ranah teknis?’’

Jadi, tidak ada niatan atau apalagi upaya untuk memaksa-maksa atau menarik-narik ayat Al Qur’an supaya kelihatan saintifik. Yang saya lakukan adalah mengambil informasi Al Qur’an sebagai inspirasi untuk memahami alam semesta. Bahwa, alam semesta sedang meninggi ke segala arah alias mengembang. Bahwa, pengembangan alam semesta itu ditahan oleh Allah supaya tidak lenyap, dengan mekanisme keseimbangan yang diistilahkan sebagai Mizan.

Kenapa saya merujuk kepada Al Qur’an? Karena, menurut keimanan saya, Dialah yang menciptakan alam semesta beserta isinya ini, maka Dia pula yang tahu bagaimana seharusnya memahami ciptaan-Nya. Di dalam ayat-ayat-Nya itu Dia memberikan clue atau tanda-tanda agar umat-Nya tidak salah melangkah. Selebihnya, ya harus dipelajari sendiri lewat sains yang terus berkembang. Dan sekali lagi, ayat-ayat tentang perintah mempelajari alam semesta secara saintifik itu bertaburan di dalam Al Qur’an.

Jadi, di bagian manakah saya melakukan othak-athik mathuk itu? Tidak ada. Maka, berdasar informasi Al Qur’an itulah saya mencoba membangun konsep berdasar kepahaman saya terhadap kosmologi dengan segala data empiris dan teori yang terus berkembang. Disinilah saya masuk ke ranah sains. Sedangkan informasi Al Qur’an saya jadikan panduan, bahwa meskipun alam semesta sedang mengembang, tetapi ‘INGAT’ ada mekanisme MIZAN yang menyebabkan alam semesta tidak akan lenyap dikarenakan akselerasi tak terkendali.

Inilah sebenarnya substansi diskusi saya dengan mas Eka. Apakah benar akselerasi alam semesta akan menyebabkannya semakin membesar tak terkendali sampai entropinya nol? Ataukah, tidak akan menjadi nol karena ada kekuatan penyeimbang yang bekerja secara dinamis, yang saya sebut sebagai ‘keseimbangan dinamis’ itu. Yang ibarat orang bersepeda, ia terus melakukan gerakan tetapi tidak terjatuh karena berada di dalam keseimbangan dinamis. Dan justru ia menjadi seimbang dikarenakan bergerak. Mau kecepatan konstan, ataupun gerakan dipercepat, no problemo. Selalu ada gaya penyeimbang yang bekerja pada sistem tersebut. Itulah yang oleh Al Qur’an diistilahkan Mizan. Kenapa selalu ada Mizan? Karena, sepeda itu ADA yang MENGENDALIKAN..!

Disinilah muncul perbedaan sudut pandang yang diakui oleh mas Eka, bahwa kami memang berbeda ‘keyakinan’. Saya meyakini alam semesta mengembang dengan keseimbangan dinamis dan 'melibatkan' Tuhan sebagai pengendali, sedangkan mas Eka cenderung untuk berpendapat alam semesta sedang berakselerasi tak terkendali sehingga kelak akan mencapai entropi nol.

Atau, mungkin mas Eka punya pendapat lain lagi? Saya tidak tahu. Karena itulah, saya ingin mas Eka menjawab pertanyaan saya tentang konsep yang diusungnya atau setidak-tidaknya yang dipahaminya secara holistik. Bukan cuma mencuplikkan data sepotong-sepotong, ataupun hipotesa yang masih sangat spekulatif tentang kaitan dark energy sebagai sumber akselerasi alam semesta. Selama hal ini belum dijawab dengan konsep yang utuh, maka diskusi ini tidak akan ‘klik’, dan cenderung hit and run. Alias nggak ketemu-ketemu substansinya.

Jadi, disini perlu saya kutipkan lagi pertanyaan saya di notes sebelumnya: ‘’Yang perlu diperjelas, justru adalah data pergeseran warna merah seperti apa yang telah dipersepsi sebagai pertambahan akselerasi di galaksi-galaksi yang jauh dibandingkan yang dekat? Dan apakah benar gaya yang menimbulkan akselerasi itu berasal dari dark energy sebagaimana mas Eka sebutkan? Kenapa dark energy itu justru dipersepsi sebagai sumber ‘gaya tolak’, kok bukan sebagai ‘gaya tarik’ yang menahan laju pengembangan alam semesta? Karena, justru yang menjadi masalah adalah kenapa alam semesta yang sedang mengembang ini bisa bertahan selama belasan miliar tahun? Apa yang menahannya sehingga tidak lenyap tak terkendali?’’.

Tentang mainstream terbaru dalam pembahasan kosmologi, yang melibatkan dark matter dan dark energy, insya Allah saya mengikutinya kok mas. Nggak usah khawatir saya ketinggalan terlalu jauh.. :)
Karena itu, saya siap mendengar dan membaca uraian Anda tentang hal ini. Dan sebagai informasi saja, saya sebenarnya telah membahas masalah ini cukup njlentreh dalam buku DTM-34: ‘Mengarungi Arsy Allah’. Bahkan bukan cuma kosmologi dalam arti universe, melainkan multiverse dengan meminjam teori membrane (M-Theory) yang sudah disempurnakan. Yang lagi-lagi, saya mengambil inspirasi dari ayat Al Qur’an yang menyebut langit itu ada tujuh. Sayangnya, karena jauh di Amrik, Anda belum sempat membaca buku saya tersebut.. :)

Selanjutnya tentang komentar mas Eka, terkait dengan contoh kasus kecepatan penumpang kereta api terhadap stasiun. Saya kira ada yang terlewat dalam membaca notes ke-3 tersebut. Karena dengan sangat jelas saya membedakan antara kecepatan konstan dan kecepatan yang dipercepat. Sehingga di bagian akhir paragraf itu saya menulis begini: “... Dalam kasus akselerasi galaksi, kita tinggal mengganti kecepatan konstan itu menjadi gerak dipercepat saja, dan efeknya pun akan tetap sama.’’

Sengaja saya membuat contoh kasus kereta api yang berkecepatan konstan, supaya mudah dibayangkan oleh peserta diskusi lainnya yang background-nya bermacam-macam. Tetapi, analogi itu dengan sangat sederhana bisa diubah menjadi akselerasi kereta api – bukan kecepatan konstan. Misalnya, kita langsung mengambil kecepatan kereta dari saat berhenti menjadi bergerak dipercepat. Maka, jika ada orang berlari dengan berakselerasi di atas kereta itu searah dengan gerak kereta, efeknya juga akan sama saja. Ia akan mengalami perlipatgandaan percepatan.. :)

Wallahu a'lam bissawab.

~ salam ~