Rabu, 30 Oktober 2013

ADA APAKAH SEBELUM ‘ADA’? ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (1)

Meskipun tema kali ini agak berbeda dari notes sebelumnya, tetapi tetap memiliki kaitan yang erat dan serial. Kalau sebelumnya bicara tentang keseimbangan alam semesta, maka kali ini kita akan beringsut kepada tema yang lebih ke hulu, yang menjadi akar dan cikal bakal dari keberadaan sains.

Temanya lantas menjadi lebih bersifat filosofis.Tetapi, sebagaimana saya katakan di notes sebelumnya, bukankah semua ilmu memang bersumber dari filosofi terlebih dahulu. Dan barulah dikembangkan ke ranah teknis yang bersifat saintifik. Di ranah teknis itulah lantas ada pembuktian-pembuktian yang bersifat empiris. Dan itu menjadi kekhasan sains yang bersifat obyektif. Semakin teknis semakin obyektif, semakin filosofis semakin subyektif.

Agar pembahasan ini bisa didiskusikan dengan beragam latar belakang subyek yang berbeda, tentu saja kita harus melibatkan unsur-unsur obyektif. Karena jika terlalu subyektif, hasilnya tidak akan bisa dinikmati oleh peserta diskusi secara general. Itulah sebabnya, pembahasan filosofis ini, sedikit banyak mesti tetap melibatkan sains yang obyektif, agar tidak berputar-putar pada ranah subyektif dengan gap yang terlalu besar secara individual.
-----------------------------------------------------------------------------------------

Sains modern yang semakin canggih ini tidak bisa terlepas dari sumber filosofinya. Perbedaan ‘keyakinan’ dalam ranah filosofis bisa memberikan arah yang berbeda kepada hasil akhir sains. Setidak-tidaknya pada persepsi subyektifnya. Meskipun secara metodologi saintifiknya sama. Karena sesungguhnyalah sains itu bersifat netral.

Kesimpulan obyektif bahwa alam semesta berkembang, misalnya, bisa bermakna subyektif yang berbeda. Bagi orang yang merujuk kepada Al Qur’an, hal ini akan menambah keimanannya lebih baik, karena ia telah membaca ayat-ayat yang menyatakan bahwa alam semesta ini memang berkembang. Bukan sekedar mencocok-cocokkan, tetapi baginya ini adalah sebuah bukti yang mengejutkan dan mengagumkan. Karena, tanpa harus menyengaja untuk melakukan 'cocokologi', masyarakat ilmiah telah menyodorkan kesimpulan yang sama dengan kitab sucinya. Meskipun sebagian dari masyarakat ilmiah itu lantas ada yang ‘tidak rela’ hasil kerja mereka ‘diklaim’ sebagai pembuktian kebenaran kitab suci.

Sedangkan bagi orang yang tidak bersinggungan dengan Al Qur’an, kesimpulan obyektif tentang berkembangnya alam semesta itu akan menghasilkan persepsi subyektif yang berbeda lagi. Mungkin, mereka juga merasa kagum atau ‘aneh’, karena merasa memperoleh ‘mainan baru’ atau realitas baru yang di luar dugaan mereka, tanpa harus mengaitkan dengan keberadaan Tuhan. Meskipun, bagi para ‘pejalan spiritual’ hal itu bisa saja dipertanyakan: lantas untuk apa, kalau hanya untuk merasa aneh dan memperoleh mainan baru? 'So what gitu loh', kata anak-anak muda sekarang.. :)

Begitulah, sains yang obyektif ternyata bisa berujung pada persepsi yang subyektif sesuai dengan filosofi yang mendasari seseorang dalam menggunakan sains. Maka, sains yang semula tidak berpihak, pada kenyataan menjadi ‘dipaksa’ berpihak juga. Mirip pisau dapur, yang fungsinya lantas bisa berubah-ubah sesuai penggunanya. Bagi seorang ibu, ia bisa digunakan untuk memasak. Tapi, bagi seorang psikopat pisau itu bisa digunakan untuk membunuh dan berbuat kriminal.

Filosofi dasar dalam berbuat sesuatu – termasuk dalam ranah sains – menjadi sedemikian pentingnya dalam mewarnai hasil akhir. Ini mirip dengan hadits Nabi yang sangat terkenal: innamal a’malu binniyat – sesungguhnya (kualitas) amalan itu bergantung kepada niatnya. Yang dalam konteks ini bisa menjadi: sesungguhnya obyektivitas sains itu tergantung kepada filosofi yang mendasarinya. Bagi seorang pencari Tuhan, sains bisa digunakan untuk membuktikan eksistensi-Nya. Sebaliknya, bagi seseorang yang tidak percaya Tuhan, Sains akan digunakannya untuk membuktikan ketidak-adaan-Nya.

Maka, terkait dengan pertanyaan mas Eka tentang ‘ada’ dan ‘tiada’, mau tidak mau kita harus menggunakan beberapa terminologi sains untuk membahasnya di ranah yang obyektif. Meskipun, ujung-ujungnya akan kembali memasuki ranah subyektif yang terserah kepada persepsi masing-masing. Bagi seseorang yang mengimani keberadaan Tuhan, ujungnya pasti akan bertemu dengan Tuhan. Sedangkan bagi mereka yang tidak mengimani Tuhan – atau setidak-tidaknya hanya ingin membuktikan ilmu untuk ilmu - ya mereka akan berhenti pada ‘keanehan’ baru yang selama ini belum pernah mereka rasakan saja.

Meskipun, mungkin itu akan mendorongnya mencari dan mencari lagi ‘keanehan-keanehan’ realitas alam semesta. Mirip dengan kisah ‘pemburu hantu’ yang terus menerus berburu hantu, sampai dia merasa jenuh sendiri karena setelah begitu banyak hantu yang ditangkapnya, ia menjadi tidak tahu sendiri harus melakukan apa setelahnya...

Perkembangan sains modern, khususnya dalam berburu asal-usul alam semesta memiliki suasana yang kurang lebih sama. Ada yang sekedar berburu ‘partikel-partikel hantu’ untuk membuktikan bahwa ‘hantu’ itu ada, tetapi ada juga yang ingin melanjutkan sampai pada pertanyaan filosofis: lantas di balik ‘hantu’ itu ada apa atau siapa? Saya meyakininya, keduanya akan bertemu di satu muara yang sama, yakni: Sesuatu yang Maha Aneh, yang selama ini belum kita pahami secara sempurna. Yang tidak pernah terbayangkan oleh akal manusia yang paling hebat sekalipun..!

Secara filosofi, manusia sudah berada di ambang antara ‘ada’ dan ‘tiada’. Bahwa, eksistensi yang kelihatan ada ini sebenarnya 'ada' ataukah 'tidak ada' sih?!! Karena, ternyata jika segala yang ada ini di-breakdown menjadi bagian-bagian lebih kecil yang menjadi penyusunnya, ujung-ujungnya mengarah kepada ‘ketiadaan’.

Benda-benda di-breakdown menjadi molekul. Molekul di-breakdown menjadi atom. Lantas di-breakdown lagi menjadi partikel-partikel sub atomik, quark, quantum, dan lautan energi yang semakin kehilangan sifat materialnya. Bahkan, kalau diteruskan akan terbentur kepada ‘dinding tebal’ sejarah munculnya segala eksistensi – materi ataupun energi – di saat-saat awal munculnya alam semesta. Yakni, saat materi dan energi tak ada bedanya lagi. Dan dimungkinkan sebagai muncul dari ketiadaan.

Bagi orang-orang yang tidak bertuhan, ada indikasi kuat untuk menghindari ketiadaan ini. Karena mereka takut akan bertemu ‘Sesuatu’ yang memunculkan alias mengadakan alias menciptakan segala eksistensi ini dari ‘tidak ada’ menjadi ‘ada’. Karena itu mereka berusaha mati-matian untuk mencari pembenaran dengan menggunakan sains, agar tidak perlu ada Tuhan dalam drama kolosal munculnya segala eksistensi ini. Tak kurang, ada Stephen Hawking yang berdiri di garda depan dalam soal kosmologi, atau Richard Dawkins dalam hal evolusi kehidupan, dan Sam Harris dalam bidang Neurosains, sebagaimana telah saya bahas dalam buku DTM-35: IBRAHIM PERNAH ATHEIS.

Sains memang bisa saja digunakan sebagai ‘pisau’ untuk beragam keperluan. Baik oleh orang-orang yang percaya Tuhan ataupun sebaliknya. Tetapi, semuanya akan kembali kepada filosofi dasar alias niatan yang melandasinya. Niatnya mencari kebenaran akan ketemu kebenaran, lewat sains. Niatnya ‘mencari-cari kesalahan’, juga akan menemukan kesalahan, lewat sains. Innamal a’malu binniyat..!

Ke-TIADA-an adalah sebuah keniscayaan bagi keber-ADA-an. Karena keduanya adalah pasangan filosofis dari sebuah eksistensi. Sesuatu disebut ADA, karena ada ketiadaan. Sebaliknya, TIADA itu disebut ada karena adanya suatu keberadaan. Lantas, bagaimana memahami ketiadaan dan keberadaan secara saintifik? Bukankah sains hanya bisa mengukur ‘yang ada’? Itulah sebabnya, seluruh hukum sains runtuh di titik singular alias ‘ketiadaan’.

Ini menjadi paradoks paling besar di era modern yang begitu mengagungkan-agungkan sains. Sehingga, misalnya, membuat ‘bingung’ Stephen Hawking yang jagoan astromatematika dalam berpendapat. Sekali waktu dia berpendapat bahwa alam semesta butuh Tuhan untuk mengadakannya dari tiada, tapi di kali lain dia berpendapat alam ini tidak butuh Tuhan, karena ada ‘fluktuasi kuantum’ di awal lahirnya alam semesta. Sebuah kegalauan yang membingungkan ‘secara filosofis’ bagi seorang pendekar sains abad 21, kalau tidak boleh disebut sebagai ‘ketidak-berdayaan’ dalam mengungkap realitas.

Ya, manusia dewasa ini sedang berada di tepi jurang yang sangat dalam dengan kemajuan sains yang telah dicapainya. Seluruh pencapaian yang luar biasa itu ternyata tak lebih hanya menempati sekitar 5% saja dari eksistensi alam semesta, yang disebut oleh para ilmuwan sebagai the known universe. Yang 95%-nya ternyata berada di dalam kegelapan yang ‘menakutkan’. Termasuk yang berupa materi gelap –dark matter– dan energi gelap –dark energy– yang begitu misterius. Dan lebih rumit lagi, kini muncul trend  kuat yang mengindikasikan adanya alam berdimensi lebih tinggi yang memiliki hukum-hukum alam sama sekali berbeda dengan yang kita pahami..!

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar