Meskipun tema kali ini agak berbeda dari
notes sebelumnya, tetapi tetap memiliki kaitan yang erat dan serial. Kalau sebelumnya
bicara tentang keseimbangan alam semesta, maka kali ini kita akan beringsut kepada
tema yang lebih ke hulu, yang menjadi akar dan cikal bakal dari keberadaan sains.
Temanya lantas menjadi lebih bersifat
filosofis.Tetapi, sebagaimana saya katakan di notes sebelumnya, bukankah semua ilmu
memang bersumber dari filosofi terlebih dahulu. Dan barulah dikembangkan ke ranah
teknis yang bersifat saintifik. Di ranah teknis itulah lantas ada pembuktian-pembuktian
yang bersifat empiris. Dan itu menjadi kekhasan sains yang bersifat obyektif. Semakin
teknis semakin obyektif, semakin filosofis semakin subyektif.
Agar pembahasan ini bisa didiskusikan
dengan beragam latar belakang subyek yang berbeda, tentu saja kita harus melibatkan
unsur-unsur obyektif. Karena jika terlalu subyektif, hasilnya tidak akan bisa dinikmati
oleh peserta diskusi secara general. Itulah sebabnya, pembahasan filosofis ini,
sedikit banyak mesti tetap melibatkan sains yang obyektif, agar tidak berputar-putar
pada ranah subyektif dengan gap yang terlalu besar secara individual.
-----------------------------------------------------------------------------------------
Sains modern yang semakin canggih ini tidak bisa terlepas dari
sumber filosofinya. Perbedaan ‘keyakinan’ dalam ranah filosofis bisa memberikan
arah yang berbeda kepada hasil akhir sains. Setidak-tidaknya pada persepsi subyektifnya.
Meskipun secara metodologi saintifiknya sama. Karena sesungguhnyalah sains itu bersifat
netral.
Kesimpulan obyektif bahwa alam semesta berkembang, misalnya,
bisa bermakna subyektif yang berbeda. Bagi orang yang merujuk kepada Al Qur’an,
hal ini akan menambah keimanannya lebih baik, karena ia telah membaca ayat-ayat
yang menyatakan bahwa alam semesta ini memang berkembang. Bukan sekedar mencocok-cocokkan,
tetapi baginya ini adalah sebuah bukti yang mengejutkan dan mengagumkan. Karena,
tanpa harus menyengaja untuk melakukan 'cocokologi', masyarakat ilmiah telah menyodorkan
kesimpulan yang sama dengan kitab sucinya. Meskipun sebagian dari masyarakat ilmiah
itu lantas ada yang ‘tidak rela’ hasil kerja mereka ‘diklaim’ sebagai pembuktian
kebenaran kitab suci.
Sedangkan bagi orang yang tidak bersinggungan dengan Al Qur’an,
kesimpulan obyektif tentang berkembangnya alam semesta itu akan menghasilkan persepsi
subyektif yang berbeda lagi. Mungkin, mereka juga merasa kagum atau ‘aneh’, karena
merasa memperoleh ‘mainan baru’ atau realitas baru yang di luar dugaan mereka, tanpa
harus mengaitkan dengan keberadaan Tuhan. Meskipun, bagi para ‘pejalan spiritual’
hal itu bisa saja dipertanyakan: lantas untuk apa, kalau hanya untuk merasa aneh
dan memperoleh mainan baru? 'So what gitu loh', kata anak-anak muda
sekarang.. :)
Begitulah, sains yang obyektif ternyata bisa berujung pada
persepsi yang subyektif sesuai dengan filosofi yang mendasari seseorang dalam menggunakan
sains. Maka, sains yang semula tidak berpihak, pada kenyataan menjadi ‘dipaksa’
berpihak juga. Mirip pisau dapur, yang fungsinya lantas bisa berubah-ubah sesuai
penggunanya. Bagi seorang ibu, ia bisa digunakan untuk memasak. Tapi, bagi seorang
psikopat pisau itu bisa digunakan untuk membunuh dan berbuat kriminal.
Filosofi dasar dalam berbuat sesuatu – termasuk dalam ranah
sains – menjadi sedemikian pentingnya dalam mewarnai hasil akhir. Ini mirip dengan
hadits Nabi yang sangat terkenal: innamal a’malu binniyat – sesungguhnya
(kualitas) amalan itu bergantung kepada niatnya. Yang dalam konteks ini bisa menjadi:
sesungguhnya obyektivitas sains itu tergantung kepada filosofi yang mendasarinya.
Bagi seorang pencari Tuhan, sains bisa digunakan untuk membuktikan eksistensi-Nya.
Sebaliknya, bagi seseorang yang tidak percaya Tuhan, Sains akan digunakannya untuk
membuktikan ketidak-adaan-Nya.
Maka, terkait dengan pertanyaan mas Eka tentang ‘ada’ dan ‘tiada’,
mau tidak mau kita harus menggunakan beberapa terminologi sains untuk membahasnya
di ranah yang obyektif. Meskipun, ujung-ujungnya akan kembali memasuki ranah subyektif
yang terserah kepada persepsi masing-masing. Bagi seseorang yang mengimani keberadaan
Tuhan, ujungnya pasti akan bertemu dengan Tuhan. Sedangkan bagi mereka yang tidak
mengimani Tuhan – atau setidak-tidaknya hanya ingin membuktikan ilmu untuk ilmu
- ya mereka akan berhenti pada ‘keanehan’ baru yang selama ini belum pernah mereka
rasakan saja.
Meskipun, mungkin itu akan mendorongnya mencari dan mencari
lagi ‘keanehan-keanehan’ realitas alam semesta. Mirip dengan kisah ‘pemburu hantu’
yang terus menerus berburu hantu, sampai dia merasa jenuh sendiri karena setelah
begitu banyak hantu yang ditangkapnya, ia menjadi tidak tahu sendiri harus melakukan
apa setelahnya...
Perkembangan sains modern, khususnya dalam berburu asal-usul
alam semesta memiliki suasana yang kurang lebih sama. Ada yang sekedar berburu ‘partikel-partikel
hantu’ untuk membuktikan bahwa ‘hantu’ itu ada, tetapi ada juga yang ingin melanjutkan
sampai pada pertanyaan filosofis: lantas di balik ‘hantu’ itu ada apa atau siapa?
Saya meyakininya, keduanya akan bertemu di satu muara yang sama, yakni: Sesuatu
yang Maha Aneh, yang selama ini belum kita pahami secara sempurna. Yang tidak pernah
terbayangkan oleh akal manusia yang paling hebat sekalipun..!
Secara filosofi, manusia sudah berada di ambang antara ‘ada’
dan ‘tiada’. Bahwa, eksistensi yang kelihatan ada ini sebenarnya 'ada' ataukah 'tidak
ada' sih?!! Karena, ternyata jika segala yang ada ini di-breakdown
menjadi bagian-bagian lebih kecil yang menjadi penyusunnya, ujung-ujungnya mengarah
kepada ‘ketiadaan’.
Benda-benda di-breakdown menjadi molekul. Molekul di-breakdown
menjadi atom. Lantas di-breakdown lagi menjadi partikel-partikel sub atomik,
quark, quantum, dan lautan energi yang semakin kehilangan sifat materialnya. Bahkan,
kalau diteruskan akan terbentur kepada ‘dinding tebal’ sejarah munculnya segala
eksistensi – materi ataupun energi – di saat-saat awal munculnya alam semesta. Yakni,
saat materi dan energi tak ada bedanya lagi. Dan dimungkinkan sebagai muncul dari
ketiadaan.
Bagi orang-orang yang tidak bertuhan, ada indikasi kuat untuk
menghindari ketiadaan ini. Karena mereka takut akan bertemu ‘Sesuatu’ yang memunculkan
alias mengadakan alias menciptakan segala eksistensi ini dari ‘tidak ada’ menjadi
‘ada’. Karena itu mereka berusaha mati-matian untuk mencari pembenaran dengan menggunakan
sains, agar tidak perlu ada Tuhan dalam drama kolosal munculnya segala eksistensi
ini. Tak kurang, ada Stephen Hawking yang berdiri di garda depan dalam soal kosmologi,
atau Richard Dawkins dalam hal evolusi kehidupan, dan Sam Harris dalam bidang Neurosains,
sebagaimana telah saya bahas dalam buku DTM-35: IBRAHIM PERNAH ATHEIS.
Sains memang bisa saja digunakan sebagai ‘pisau’ untuk beragam
keperluan. Baik oleh orang-orang yang percaya Tuhan ataupun sebaliknya. Tetapi,
semuanya akan kembali kepada filosofi dasar alias niatan yang melandasinya. Niatnya
mencari kebenaran akan ketemu kebenaran, lewat sains. Niatnya ‘mencari-cari kesalahan’,
juga akan menemukan kesalahan, lewat sains. Innamal a’malu binniyat..!
Ke-TIADA-an adalah sebuah keniscayaan bagi keber-ADA-an. Karena
keduanya adalah pasangan filosofis dari sebuah eksistensi. Sesuatu disebut ADA,
karena ada ketiadaan. Sebaliknya, TIADA itu disebut ada karena adanya suatu keberadaan.
Lantas, bagaimana memahami ketiadaan dan keberadaan secara saintifik? Bukankah sains
hanya bisa mengukur ‘yang ada’? Itulah sebabnya, seluruh hukum sains runtuh di titik
singular alias ‘ketiadaan’.
Ini menjadi paradoks paling besar di era modern yang begitu
mengagungkan-agungkan sains. Sehingga, misalnya, membuat ‘bingung’ Stephen Hawking
yang jagoan astromatematika dalam berpendapat. Sekali waktu dia berpendapat bahwa
alam semesta butuh Tuhan untuk mengadakannya dari tiada, tapi di kali lain dia berpendapat
alam ini tidak butuh Tuhan, karena ada ‘fluktuasi kuantum’ di awal lahirnya alam
semesta. Sebuah kegalauan yang membingungkan ‘secara filosofis’ bagi seorang pendekar
sains abad 21, kalau tidak boleh disebut sebagai ‘ketidak-berdayaan’ dalam mengungkap
realitas.
Ya, manusia dewasa ini sedang berada di tepi jurang yang sangat
dalam dengan kemajuan sains yang telah dicapainya. Seluruh pencapaian yang luar
biasa itu ternyata tak lebih hanya menempati sekitar 5% saja dari eksistensi alam
semesta, yang disebut oleh para ilmuwan sebagai the known universe. Yang
95%-nya ternyata berada di dalam kegelapan yang ‘menakutkan’. Termasuk yang berupa
materi gelap –dark matter– dan energi gelap –dark energy– yang begitu
misterius. Dan lebih rumit lagi, kini muncul trend kuat yang mengindikasikan adanya alam berdimensi
lebih tinggi yang memiliki hukum-hukum alam sama sekali berbeda dengan yang kita
pahami..!
Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar