Sudut pandang yang berbeda dalam memahami realita – yang sama sekalipun
– memang akan menghasilkan persepsi yang berbeda pula. Bagi seorang saintis murni,
pengembangan ilmu pengetahuan adalah untuk ilmu pengetahuan itu sendiri. Sedangkan
bagi seorang spiritualis, pengembangan ilmu adalah menjadi jalan untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan. Kedua-duanya sebenarnya mempunyai kepentingan untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan, meskipun tujuannya berbeda. Dalam bahasa Al Qur’an, orang-orang
yang bergerak di dalam bidang keilmuan alias ILMUWAN itu disebut dengan istilah
ULAMA.
------------------------------------------------------------------------------------
Disinilah
pentingnya menyamakan definisi, yang akan berpengaruh pada persepsi. Ketika ada
seseorang menyebut istilah ‘ilmuwan’, maka yang terbayang adalah seorang pakar sains.
Tapi, ketika disebut istilah ‘ulama’ yang terbayang adalah seseorang yang hafal
Al Qur’an, kitab kuning, dan pandai berbahasa Arab. Tentu saja ini adalah persepsi
yang salah kaprah dan terdistorsi. Karena, terjemahan bahasa Indonesia terhadap
kata ulama adalah ILMUWAN. Dan, orang yang disebut ‘alim’ itu adalah orang yang memiliki kadar keilmuan
tinggi, yang dalam bahasa modern disebut sebagai pakar, scholar, expert, ataupun scientist.
Ilmuwan
dalam bidang apa? Tentu saja segala macam ilmu pengetahuan, baik yang hard sciences maupun yang soft sciences. Yaitu, ilmu-ilmu alam
yang ketat dengan obyektivitas, maupun ilmu sosial-politik-ekonomi-budaya dan sebagainya
yang lebih lentur terhadap subyektivitas. Al Qur’an menghargai dan memuliakan para
ulama alias ilmuwan. Yang dalam ayat berikut ini dikaitkan langsung dengan orang-orang
yang beriman. Artinya, ke-ILMUWAN-an di dalam Islam memiliki keterkaitan yang sangat
erat dengan KEIMANAN.
QS. Al Ankabuut [29]: 43-44
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada
yang memahaminya kecuali orang-orang
yang berilmu (orang-orang yang ‘alim). Allah menciptakan langit dan bumi dengan hak (benar dan akurat). Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (pelajaran) Allah bagi orang-orang yang beriman.
QS. Faathir [35]: 28
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya
yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (ilmuwan). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun.
Ayat-ayat
yang bercerita tentang kualitas para ulama alias ilmuwan itu bertaburan di dalam
Al Qur’an. Ini menjadi informasi penting bagi kawan-kawan kita yang memiliki ‘persepsi
terdistorsi’ bahwa seorang ulama hanyalah sekedar ‘ahli ilmu agama’ dalam pengertian
sempit, sedangkan seorang ilmuwan adalah seorang pakar sains ataupun ilmu-ilmu duniawi.
Penjelasan saya ini, setidak-tidaknya menjadi jawaban atas statement mas Eka berikut ini (atau, siapa saja yang masih
memiliki pemahaman seperti ini): “...
Sains memang baru saja menemukan 95% lagi dari universe dan selama ini kita hanya
mengenal 5% nya saja. Yang jelas siapa yang menemukannya? Ilmuwan, bukan ulama...’’. Tentu, pendapat seperti ini keliru dalam
sudut pandang Islam. Sebab, justru peradaban Islam telah melahirkan ratusan ilmuwan
kelas dunia, yang karya-karyanya menjadi sumbangan yang tidak kecil bagi peradaban
modern yang memang dewasa ini sedang berpindah kiblat ke Barat.
Karena
itu, dalam sejarah keemasan Islam kita mengenal ratusan ulama alias ilmuwan. Seperti
IBNU SINA yang ahli di bidang Kedokteran; KHAWARIZMI yang pakar Matematika, Geografi
dan Astronomi; AL FARABI yang selain pakar Matematika dan sains juga Ilmuwan Politik;
IBNU KHALDUN yang ahli Sosiologi dan Ekonomi; AL BIRUNI yang jagoan Farmasi, Astronomi,
Matematika, Filsafat dan Sejarah; AR RAZI yang ahli Kimia, Pengobatan dan Biologi.
Dan masih banyak lagi ilmuwan-ilmuwan kelas dunia yang lahir dari zaman keemasan
Islam. Mereka adalah ULAMA dalam arti yang sesungguhnya. Bukan ‘ulama’ seperti yang
dipahami oleh mas Eka atau yang sepaham dengannya.
Karena
itu, dalam sudut pandang Islam, tidak ada pendikotomian antara ilmu Allah dan ilmu
saintis seperti pertanyaan mas Eka di point 1: “Para ilmuwan sering diremehkan karena selalu
dibandingkan dengan Allah, yaitu pengetahuan sains hanya setetes dari ilmu yang
dipunyai Allah...’’ . Karena, para
ilmuwan Islam selalu menempatkan diri dalam posisi memahami ilmu-Nya. Di dalam-Nya.
Dan terus mencari jalan untuk ‘mendekatkan diri’ kepada-Nya, dengan cara mengungkap
ayat-ayat kauniyah yang dihamparkan di alam semesta ciptaan-Nya.
Atau,
seperti yang diungkapkannya dalam point ke-2, yang menganggap ilmu pengetahuan di
dalam Islam adalah subyektif: “... Metode
ilmiah dan sains telah diakui sebagai pendekatan yang lebih obyektif, dan justru
berusaha tidak sesubyektif mungkin. Yang sering disebut sebagai pendekatan yang
subyektif adalah pendekatan secara agama atau melalui lensa yang penuh aturan yang
deterministis (sudah ada ketentuan menurut agama tertentu)...’’
Tentu
saja tidak demikian. Karena, sebagaimana saya katakan di notes sebelumnya, ayat-ayat
Al Qur’an adalah panduan yang bersifat filosofis. Karena, untuk teknisnya Allah
telah memerintahkan kepada umat Islam agar langsung melakukan pengamatan dan observasi
ke alam semesta sebagai sebuah realita. Dan itu bermakna harus menggunakan pendekatan
saintifik yang obyektif. Dimana hasilnya akan menjadi feedback bagi peningkatan keimanan kepada Allah Sang
Maha Pencipta lagi Maha Berilmu.
QS. Al Ghaasyiyah [88]: 17-20
Maka apakah mereka tidak mengobservasi (secara saintifik) unta bagaimana
dia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana
ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
Sedangkan
mengenai point yang ke-3: “Para ilmuwan
tidak ada yang "takut" atau peduli bahwa dia akan menemukan Tuhan dalam
experimen atau rumus2nya...’’, justru disinilah letak perbedaan antara ilmuwan
muslim dan non muslim. Atau, antara yang beragama dengan yang tidak beragama. Atau,
setidak-tidaknya, antara yang ‘pejalan spiritual’ dengan yang ‘ilmu demi ilmu’.
Dalam
prakteknya, seperti yang disebut oleh mas Eka di point yang ke-4, para ilmuwan itu
memang ‘takut’ dianggap bertuhan dalam berilmu pengetahuan, sebagaimana saya kutipkan
dari komentarnya berikut ini: “Khususnya
tentang ilmuwan terkenal seperti Hawking dan Einstein, jarang sekali mereka menyinggung
tentang agama dan tuhan karena mereka tidak ingin dikatakan terbias. Dan bila mereka
menyinggung ttg tuhan, pastilah dengan cara yang diplomatis...’’. Dan kemudian
diakhiri dengan kalimat: “...dalam bukunya
berikutnya dia (Stephen Hawking red.) tidak ingin disalah artikan lagi lalu justru
mengatakan bahwa alam semesta tak memerlukan
tuhan.’’
Jadi,
itulah perbedaan antara ilmuwan muslim yang disebut sebagai ulama dengan ilmuwan
sekuler yang tak ingin melibatkan Tuhan dalam keilmuannya. Lantas, adakah yang salah
dalam hal ini? Saya kira silakan saja. Karena, toh semua itu adalah pilihan, bergantung kepada
filosofi dasar yang digunakan, atau niatnya dalam beramal. Niatnya pingin bertemu
Tuhan lewat ilmu, ya bakal ketemu dengan Sang Pencipta Jagat Raya. Niatnya mencari
ilmu demi ilmu, ya bakal ketemu dengan ‘ilmu’. Itu saja. Saya kira tidak sulit untuk
memahaminya... :)
QS. Ar Ra’d [13]: 2
Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (dengan gaya-gaya) yang
kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan.
Masing-masing berdinamika sampai waktu yang ditentukan. Allah mengatur (segala)
peristiwa, menjelaskan tanda-tanda, supaya kamu meyakini pertemuan dengan Tuhanmu.
Wallahu
a’lam bissawab
~
salam ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar