Rabu, 30 Oktober 2013

AL QUR’AN MENGHARGAI ILMUWAN ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (2)

Sudut pandang yang berbeda dalam memahami realita – yang sama sekalipun – memang akan menghasilkan persepsi yang berbeda pula. Bagi seorang saintis murni, pengembangan ilmu pengetahuan adalah untuk ilmu pengetahuan itu sendiri. Sedangkan bagi seorang spiritualis, pengembangan ilmu adalah menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Kedua-duanya sebenarnya mempunyai kepentingan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, meskipun tujuannya berbeda. Dalam bahasa Al Qur’an, orang-orang yang bergerak di dalam bidang keilmuan alias ILMUWAN itu disebut dengan istilah ULAMA.
------------------------------------------------------------------------------------

Disinilah pentingnya menyamakan definisi, yang akan berpengaruh pada persepsi. Ketika ada seseorang menyebut istilah ‘ilmuwan’, maka yang terbayang adalah seorang pakar sains. Tapi, ketika disebut istilah ‘ulama’ yang terbayang adalah seseorang yang hafal Al Qur’an, kitab kuning, dan pandai berbahasa Arab. Tentu saja ini adalah persepsi yang salah kaprah dan terdistorsi. Karena, terjemahan bahasa Indonesia terhadap kata ulama adalah ILMUWAN. Dan, orang yang disebut ‘alim’ itu adalah orang yang memiliki kadar keilmuan tinggi, yang dalam bahasa modern disebut sebagai pakar, scholar, expert, ataupun scientist.

Ilmuwan dalam bidang apa? Tentu saja segala macam ilmu pengetahuan, baik yang hard sciences maupun yang soft sciences. Yaitu, ilmu-ilmu alam yang ketat dengan obyektivitas, maupun ilmu sosial-politik-ekonomi-budaya dan sebagainya yang lebih lentur terhadap subyektivitas. Al Qur’an menghargai dan memuliakan para ulama alias ilmuwan. Yang dalam ayat berikut ini dikaitkan langsung dengan orang-orang yang beriman. Artinya, ke-ILMUWAN-an di dalam Islam memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan KEIMANAN.

QS. Al Ankabuut [29]: 43-44
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu (orang-orang yang ‘alim). Allah menciptakan langit dan bumi dengan hak (benar dan akurat). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (pelajaran) Allah bagi orang-orang yang beriman.

QS. Faathir [35]: 28
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (ilmuwan). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.

Ayat-ayat yang bercerita tentang kualitas para ulama alias ilmuwan itu bertaburan di dalam Al Qur’an. Ini menjadi informasi penting bagi kawan-kawan kita yang memiliki ‘persepsi terdistorsi’ bahwa seorang ulama hanyalah sekedar ‘ahli ilmu agama’ dalam pengertian sempit, sedangkan seorang ilmuwan adalah seorang pakar sains ataupun ilmu-ilmu duniawi. Penjelasan saya ini, setidak-tidaknya menjadi jawaban atas statement mas Eka berikut ini (atau, siapa saja yang masih memiliki pemahaman seperti ini): “... Sains memang baru saja menemukan 95% lagi dari universe dan selama ini kita hanya mengenal 5% nya saja. Yang jelas siapa yang menemukannya? Ilmuwan, bukan ulama...’’. Tentu, pendapat seperti ini keliru dalam sudut pandang Islam. Sebab, justru peradaban Islam telah melahirkan ratusan ilmuwan kelas dunia, yang karya-karyanya menjadi sumbangan yang tidak kecil bagi peradaban modern yang memang dewasa ini sedang berpindah kiblat ke Barat.

Karena itu, dalam sejarah keemasan Islam kita mengenal ratusan ulama alias ilmuwan. Seperti IBNU SINA yang ahli di bidang Kedokteran; KHAWARIZMI yang pakar Matematika, Geografi dan Astronomi; AL FARABI yang selain pakar Matematika dan sains juga Ilmuwan Politik; IBNU KHALDUN yang ahli Sosiologi dan Ekonomi; AL BIRUNI yang jagoan Farmasi, Astronomi, Matematika, Filsafat dan Sejarah; AR RAZI yang ahli Kimia, Pengobatan dan Biologi. Dan masih banyak lagi ilmuwan-ilmuwan kelas dunia yang lahir dari zaman keemasan Islam. Mereka adalah ULAMA dalam arti yang sesungguhnya. Bukan ‘ulama’ seperti yang dipahami oleh mas Eka atau yang sepaham dengannya.

Karena itu, dalam sudut pandang Islam, tidak ada pendikotomian antara ilmu Allah dan ilmu saintis seperti pertanyaan mas Eka di point 1: “Para ilmuwan sering diremehkan karena selalu dibandingkan dengan Allah, yaitu pengetahuan sains hanya setetes dari ilmu yang dipunyai Allah...’’ . Karena, para ilmuwan Islam selalu menempatkan diri dalam posisi memahami ilmu-Nya. Di dalam-Nya. Dan terus mencari jalan untuk ‘mendekatkan diri’ kepada-Nya, dengan cara mengungkap ayat-ayat kauniyah yang dihamparkan di alam semesta ciptaan-Nya.

Atau, seperti yang diungkapkannya dalam point ke-2, yang menganggap ilmu pengetahuan di dalam Islam adalah subyektif: “... Metode ilmiah dan sains telah diakui sebagai pendekatan yang lebih obyektif, dan justru berusaha tidak sesubyektif mungkin. Yang sering disebut sebagai pendekatan yang subyektif adalah pendekatan secara agama atau melalui lensa yang penuh aturan yang deterministis (sudah ada ketentuan menurut agama tertentu)...’’

Tentu saja tidak demikian. Karena, sebagaimana saya katakan di notes sebelumnya, ayat-ayat Al Qur’an adalah panduan yang bersifat filosofis. Karena, untuk teknisnya Allah telah memerintahkan kepada umat Islam agar langsung melakukan pengamatan dan observasi ke alam semesta sebagai sebuah realita. Dan itu bermakna harus menggunakan pendekatan saintifik yang obyektif. Dimana hasilnya akan menjadi feedback bagi peningkatan keimanan kepada Allah Sang Maha Pencipta lagi Maha Berilmu.

QS. Al Ghaasyiyah [88]: 17-20
Maka apakah mereka tidak mengobservasi (secara saintifik) unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?

Sedangkan mengenai point yang ke-3: “Para ilmuwan tidak ada yang "takut" atau peduli bahwa dia akan menemukan Tuhan dalam experimen atau rumus2nya...’’, justru disinilah letak perbedaan antara ilmuwan muslim dan non muslim. Atau, antara yang beragama dengan yang tidak beragama. Atau, setidak-tidaknya, antara yang ‘pejalan spiritual’ dengan yang ‘ilmu demi ilmu’.

Dalam prakteknya, seperti yang disebut oleh mas Eka di point yang ke-4, para ilmuwan itu memang ‘takut’ dianggap bertuhan dalam berilmu pengetahuan, sebagaimana saya kutipkan dari komentarnya berikut ini: “Khususnya tentang ilmuwan terkenal seperti Hawking dan Einstein, jarang sekali mereka menyinggung tentang agama dan tuhan karena mereka tidak ingin dikatakan terbias. Dan bila mereka menyinggung ttg tuhan, pastilah dengan cara yang diplomatis...’’. Dan kemudian diakhiri dengan kalimat: “...dalam bukunya berikutnya dia (Stephen Hawking red.) tidak ingin disalah artikan lagi lalu justru mengatakan bahwa alam semesta tak memerlukan tuhan.’’

Jadi, itulah perbedaan antara ilmuwan muslim yang disebut sebagai ulama dengan ilmuwan sekuler yang tak ingin melibatkan Tuhan dalam keilmuannya. Lantas, adakah yang salah dalam hal ini? Saya kira silakan saja. Karena, toh semua itu adalah pilihan, bergantung kepada filosofi dasar yang digunakan, atau niatnya dalam beramal. Niatnya pingin bertemu Tuhan lewat ilmu, ya bakal ketemu dengan Sang Pencipta Jagat Raya. Niatnya mencari ilmu demi ilmu, ya bakal ketemu dengan ‘ilmu’. Itu saja. Saya kira tidak sulit untuk memahaminya... :)

QS. Ar Ra’d [13]: 2
Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (dengan gaya-gaya) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing berdinamika sampai waktu yang ditentukan. Allah mengatur (segala) peristiwa, menjelaskan tanda-tanda, supaya kamu meyakini pertemuan dengan Tuhanmu.

Wallahu a’lam bissawab

~ salam ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar