oleh Agus Mustofa pada 29 Agustus 2011 pukul 11:33
Sangat
boleh jadi, Idul Fitri di Indonesia tahun ini berbeda lagi. Padahal di kebanyakan
negara muslim lainnya tidak terjadi. Entahlah, kenapa begitu sulit menyatukan dua
pendapat mayoritas itu disini. Padahal keduanya sama-sama bisa menghisab dan sama-sama
bisa merukyat...
Sulitnya
menyatukan dua pendapat ini, seakan-akan menjadi cermin atas ego partisan yang masih
begitu kuat di antara golongan-golongan umat Islam. Padahal, mestinya solusinya
tidaklah sulit untuk dipecahkan. Masalah sebenarnya bukanlah ’tidak bisa’, melainkan
’tidak mau’ saja. Dengan kata lain, jika kedua pihak yang berbeda itu ’mau’ semua
ini akan selesai dengan ending yang sangat melegakan umat yang sudah lama terombang-ambing
dalam kebingungan yang tidak perlu ini.
Masalah
utamanya tidak lebih dari sekedar ’kesepakatan definisi’ tentang datangnya ’bulan
baru’ alias penampakan hilal. Dalam hal ini adalah bulan Syawal. Bahwa, dalam kalender
Hijriyah yang berpatokan pada putaran Bulan terhadap Bumi, satu bulan disandarkan
pada lamanya Bulan mengitari Bumi satu putaran. Dari titik A ke titik A lagi, dari
horison ke horison lagi, yang lamanya 29,5 hari.
Periode
satu putaran Bulan terhadap Bumi itu terlihat oleh manusia dari permukaan Bumi sebagai
munculnya Bulan dalam bentuk Bulan sabit yang sangat tipis, kemudian semakin menebal,
dan mencapai Bulan Purnama, lantas menjadi berbentuk sabit lagi sampai tenggelam.
Maka,
datangnya bulan baru (dalam hal ini Syawal) selalu ditandai oleh munculnya bulan
sabit alias hilal di ufuk barat, yang tampak pada saat
matahari tenggelam di hari terakhir Ramadan. Perbedaan muncul dikarenakan adanya
prinsip yang berbeda.
Kelompok
pertama berpendapat, bahwa jika hilal sudah berada di atas horison alias diatas nol
derajat garis datar Bumi, itu sudah menunjukkan datangnya bulan baru. Berapa pun
ketinggian hilal, pokoknya sudah diatas nol derajat, itu artinya bulan Ramadan sudah
habis, dan tidak boleh berpuasa lagi. Esok hari adalah 1 Syawal.
Kelompok
kedua berpendapat, bahwa untuk bisa disebut sebagai bulan baru hilal itu harus ’terlihat’. Karena ada hadits Nabi
yang menyebutkan bahwa, barangsiapa melihat hilal maka hentikanlah
puasa Ramadan. Dan jika hilal belum terlihat, maka genapkanlah puasanya menjadi
30 hari.
Masalahnya
memang, satu bulan Hijriyah itu berumur 29,5 hari. Sehingga kadang, kita berpuasa
29 hari, dan di waktu lain kita berpuasa 30 hari karena menggenapkan sampai terbenamnya
matahari. Kita akan berpuasa 29 hari, jika 0,5 harinya itu sudah muncul di awal
Ramadan. Dan kita berpuasa 30 hari, jika 0,5 harinya hadir di akhir Ramadan.
Untuk
tahun ini, sebenarnya 0,5 hari itu sudah muncul di awal Ramadan. Sehingga, di akhir
Ramadan ini hilal sudah berada di atas horison meskipun tidak sampai 2 derajat.
Bagi kelompok pertama, ini dianggap sudah cukup sebagai bukti bahwa bulan Syawal
sudah datang. Karena itu, puasanya hanya 29 hari. Dan tanggal 30 sudah shalat Idul
Fitri.
Namun,
bagi kelompok kedua, belum cukup hitungan di atas kertas itu, karena bisa saja salah.
Karena itu harus dibuktikan dengan ’melihat’ munculnya hilal di ufuk Barat. Jika tidak terlihat, keputusannya
adalah menggenapkan puasa menjadi menjadi 30 hari. Tetapi jika terlihat, mereka
akan mencukupkan puasanya hanya 29 hari. Dan kita shalat Id bersama. Oh, betapa
indahnya...
Sayangnya,
kemungkinan besar, hilal tidak akan terlihat karena bulan sabit itu demikian tipisnya.
Ia akan menampakan diri di atas horison tidak sampai 2 derajat. Dari pengalaman
para ahli astronomi, bulan sabit baru akan tampak oleh mata atau bahkan oleh peralatan
jika berada di ketinggian minimal 4 derajat. Karena itu, di sejumlah negara dibuat
kesepakatan, bahwa yang disebut bulan baru itu adalah jika hilal sudah setinggi minimal 4 derajat di atas horison.
Nah,
selama kedua belah pihak bersikukuh dengan pendapat masing-masing tentang datangnya
bulan baru, maka ’masalah yang tidak perlu’ ini akan terus ada. Di Mesir, perbedaan
ini dengan sangat mudah diatasi oleh pemerintah. Yakni, dengan menyerahkan kepada
ahlinya. Masing-masing golongan yang berbeda tidak boleh melakukan perhitungan dan
rukyat sendiri-sendiri, melainkan diserahkan kepada lembaga astronomi milik negara.
Para
ahli Astronomi itulah yang menghitung, dan kemudian merukyat di lapangan dengan
menggunakan peralatan yang mereka miliki. Hasilnya diserahkan kepada lembaga fatwa
yang dikenal sebagai Darul Ifta’ yang berisi para ahli fiqih dari Universitas
Al Azhar. Maka, sidang isbat yang terjadi sangatlah singkat dan tidak ruwet. Cukup
melakukan cross-check hasil pengamatan lembaga astronomi dari berbagai
wilayah, dan kemudian melegitimasi. Hasilnya diumumkan oleh pemerintah, dan ditetapkan
sebagai keputusan resmi yang harus diikuti oleh seluruh warga.
Di
Indonesia belum ada ketegasan dan kesepakatan seperti itu sehingga masalahnya tidak
selesai-selesai. Tapi kita semua berharap, mudah-mudahan perbedaan ini tidak akan
berlarut-larut ke masa depan. Tentu saja seiring dengan kedewasaan kita dalam beragama.
Bahwa berbeda itu memang membawa rahmat, jika digunakan untuk kemaslahatan umat.
Tetapi, menjadi mudharat jika umat menjadi terpecah belah dan tidak nyaman dalam
beribadah. Allah tidak pernah mempersulit hamba-hamba-Nya dalam beribadah. Ambillah
yang mudah, jangan dipersulit...
QS. Al Baqarah (2): 185
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang
di dalamnya diturunkan Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda. Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir
di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan maka (berpuasalah) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki KEMUDAHAN bagimu, dan TIDAK menghendaki KESUKARAN
bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan
Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Saya
sendiri, tahun ini menjalankan puasa 29 hari. Dan shalat Idul Fitri pada tanggal
30 Agustus 2011. Karena, kebetulan saya menjadi khatib di Pasuruan pada tanggal
tersebut. Perbedaan jangan menjadikan kita terpecah. Tetapi, menjadi pelajaran berharga
untuk bisa saling menghormati perbedaan…
~
salam hangat ~
Selamat
berhari raya Idul Fitri
Selamat
berlebaran bersama keluarga tercinta
Semoga
Allah menerima amal ibadah kita semua...