Rabu, 26 Januari 2011

KETIKA SIFAT ILAHIAH MERESONANSI JIWA

Barangkali tulisan ini akan menjadi penutup serial note tentang ’Hati dan Diri’ manusia yang telah kita bahas berhari-hari. Saya yakin, masih sangat banyak pertanyaan yang bergelayutan di benak Anda, tentang eksistensi manusia terkait perjalanan spiritualnya. Tetapi, rupanya kita harus membatasi pembahasan karena beberapa alasan. Diantaranya agar tidak membosankan. Selain itu, saya memang mau izin untuk beberapa hari ke depan tidak aktif dalam forum diskusi ini, karena ada agenda lain yang harus saya selesaikan.

Dalam kesempatan ini saya ingin merangkum pembahasan yang sudah kita lakukan, sambil memberikan point pentingnya dalam perjalanan spiritual seorang muslim.

1). Bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang luar biasa, sehingga disebut sebagai ciptaan terbaik alias ahsanu taqwim. Selain itu, dalam berbagai ayat Qur’an kita juga bisa menemui firman-firman Allah yang mengangkat manusia dalam derajat sedemikian tingginya. Sehingga, malaikat dan iblis pun diperintahkan untuk bersujud kepadanya. Meskipun, kemudian Iblis menolak, dan hanya malaikat yang bersujud.

2). Manusia diciptakan mengikuti fitrah Allah, QS. Ar-Rum (30): 30, dibentuk dengan badan & jiwa yang ditiupi ruh ilahiah, sehingga menjadi hidup. Badan manusia adalah ’benda mati’ yang tersusun dari zat-zat biokimiawi, dengan struktur dan desain luar biasa canggih. Yang, sampai sekarang masih menyisakan misteri dahsyat bagi ilmu pengetahuan modern. Bahkan, saya yakin, sampai berakhirnya dunia sekalipun.

Jiwa manusia adalah badan halus yang berada di balik badan fisik. Ia tersusun dari energi, yang dalam ilmu kedokteran jiwa disebut sebagai bioplasma. Badan energi kita itu memiliki bentuk seperti badan materi yang meliputinya. Ia punya tangan energial, punya kaki energial, punya kepala energial, otak energial, mata, telinga, hidung, dan seluruh organ energial. Karena itu, jika organ materialnya mengalami kerusakan, jiwanya juga akan mengalami gangguan energial. Terutama, adalah jika otak materialnya mengalami kerusakan, maka otak energialnya pun terganggu. Dalam ilmu kedokteran disebut sebagai mengalami penyakit jiwa.

Selain badan dan jiwa, manusia memiliki ruh. Yakni, ’daya hidup’ yang berasal dari Sang Pencipta. Inilah sifat-sifat Tuhan yang diresonansikan kepada badan dan jiwa saat penciptaan di dalam rahim seorang ibu. Karena ditiupi sebagian ruh Allah, maka badan dan jiwa yang tadinya mati menjadi hidup. Teresonansi oleh Sifat Maha Hidup Allah. Selain itu, badan dan jiwa itu menjadi memiliki kehendak, karena teresonansi oleh sifat Allah yang Maha Berkehendak. Juga menjadi terimbas sifat-sifat lainnya seperti mendengar, melihat, berkata-kata, berkreasi, berbuat, dan lain sebagainya, yang merupakan sifat-sifat Allah.

3). Jiwa menempati posisi sentral dalam kehidupan seorang manusia. Dialah yang bertanggungjawab atas segala perbuatan manusia. Dia juga yang bisa merasakan suka, duka, sedih, bahagia, marah, kecewa, dendam, benci, cinta, ikhlas, sabar, ingkar dan berserah diri. Bukan badan, dan bukan ruh. Sebab, badan hanya ’alat’ saja bagi jiwa. Sedangkan ruh hanya ’daya hidup’ yang ditularkan Allah kepada manusia.
Maka, berpuluh ayat di dalam al Qur’an menganjurkan kita untuk meningkatkan kualitas jiwa. Kutubnya ada dua, yaitu badan dan ruh. Jiwa bakal menuju kualitas terendahnya ketika terseret kepada hal-hal yang bersifat materialistik ’badaniyah’ semata, sehingga lupa kepada nilai-nilai ketuhanan yang ada di dalam ruhnya. Kehidupannya hanya mengurusi kebutuhan dan kesenangan badaniyah belaka. Tiap hari yang dipikirkan cuma makan, minum, pakaian, harta benda, jabatan, seksualitas, popularitas, dan sebagainya yang bertumpu pada kepentingan ego semata. Orang yang demikian bakal terjebak pada keserakahan yang melalaikannya terhadap tujuan dan misi hidup yang lebih penting sebagai makhluk mulia.

Sebaliknya, ia akan mencapai derajat tertinggi jika memanfaatkan seluruh potensinya untuk melakukan hal-hal yang menuju nilai-nilai ruhiyah. Nilai-nilai ketuhanan yang diajarkan oleh agama. Yakni, yang terangkum dalam mekanisme hablum minallah dan hablum minannas untuk menuju visi tatanan hidup yang rahmatan lil alamin, bermanfaat buat seluruh makhluk Allah.

4). Di dalam al Qur’an, manusia diajari untuk meningkatkan kualitas jiwanya seiring dengan akal kecerdasan. Dimana ini sangat terkait dengan fungsi otak manusia beserta segala mekanismenya. Meningkatkan kemampuan otak, sama saja dengan meningkatkan kualitas jiwa. Karena itu, umat Islam harus melatih fungsi otaknya untuk mencapai jiwa berkualitas tinggi.
Mekanisme otak itu melibatkan dua fungsi dasar yang membentuk akal, yakni kecerdasan intelektual yang bekerja secara ilmiah lewat rasio, logika dan analisa, serta kecerdasan emosional yang bekerja pada sistem limbik dengan memanfaatkan Hipocampus sebagai memori rasional dan Amygdala sebagai memori emosional. Seorang manusia harus melatih diri agar fungsi Hipocampus dan Amygdalanya bekerja secara seimbang, sehingga menghasilkan ’emosi yang rasional’ atau ’rasio yang emosional’. Sebab, di sistem limbik inilah terjadinya pertarungan antara kecerdasan rasional dan emosional. Dan seringkali rasionalitas kalah oleh emosi yang cenderung tanpa perhitungan.

5). Mekanisme sistem limbik tecermin pada getaran jantung. Jika sistem limbik sedang dalam kondisi ’emosi yang tidak rasional’, maka jantung akan bergetar tidak stabil, sehingga mengalami disharmoni dengan frekuensi otak. Ini menyebabkan ketidakseimbangan di seluruh tubuh. Baik yang bekerja secara sarafi maupun hormonal. Sebaliknya, jika sistem limbik sedang dalam keadaan ’emosi yang rasional’, maka jantung akan bergetar lembut dan menghasilkan frekuensi yang sinkron dengan otak. Saat itu, seluruh tubuh akan ikut harmonis.

Maka, ’kelembutan’ getaran jantung bisa dijadikan tolok ukur bagi optimal tidaknya kerja sistem limbik di dalam otak. Sekaligus, menunjukkan keseimbangan kondisi kejiwaan seseorang. Disinilah terjadi sinkronisasi antara fungsi badan dan fungsi jiwa. Badannya sehat, jiwanya tenteram. Sebaliknya, jika tidak sinkron, akan memunculkan penyakit yang dalam istilah kedokteran disebut sebagai psychosomatis. Yaitu, penyakit tubuh yang disebabkan oleh jiwa yang sakit.

Selain itu, kini juga berkembang ilmu yang disebut Psycho-neuro-imunology. Yaitu, ilmu yang menjelaskan eratnya hubungan antara fungsi jiwa, fungsi sarafi, dan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Ternyata orang-orang yang menata hidupnya secara religius menuju kepada nilai-nilai spiritual memiliki daya tahan tubuh yang lebih baik dan hidup lebih sehat sampai ajal datang menjemputnya.

6). Dalam ranah spiritual, jiwa digambarkan memiliki ’arsy atau tingkatan energi yang semakin halus untuk mencapai kualitas tertingginya. Dimulai dari ’arsy material berupa pengalaman fisikal sehari-hari, dilanjutkan ke ’arsy energial yang memunculkan pengalaman-pengalaman kejiwaan yang khas, sampai ’arsy ruhiyah yang memunculkan pengalaman spiritual tertinggi dalam hubungannya dengan Allah.

Pencapaian ’arsy yang lebih tinggi itu terjadi seiring dengan penghalusan sifat alias akhlaknya. Semakin tinggi akhlaknya, semaki tinggi pula perjalanan spiritualnya. Kenapa bisa demikan? Karena, sesungguhnya perjalanan spiritual adalah sebuah perjalanan menuju Sifat-Sifat Allah, yang telah diimbaskan dalam bentuk ruh ke dalam diri manusia.

Maka, semakin tinggi tingkat spiritual seorang hamba, akan terlihat dari semakin tingginya akhlak yang dijalaninya. Akhlak adalah ’emosi rasional’ yang sudah tertanam sebagai sifat dan kebiasaan. Itu pula yang ditunjukkan oleh para Nabi. Semakin tinggi akhlaknya, semakin tinggi tingkat spiritualnya, dan semakin dekat ia dengan Sang Maha Penyantun, Allah Azza wajalla...

Akhlak mulia adalah sifat-sifat ilahiah yang merembes ke dalam jiwa seorang manusia bersumber dari sifat-sifat Allah di dalam ruhnya. Resonansi itu terjadi disebabkan adanya sinkronisasi getaran antara badan, jiwa dan ruh. Semakin sinkron semakin harmonilah frekuensinya, dan secara energial tergambar di poros jantung-otak yang semakin lembut.

7). Maka, secara sederhana, proses pencapaian tingkat spiritual yang tinggi bisa dilakukan dengan cara menata akhlak. Melatih kejujuran, melatih kesabaran, melatih keikhlasan, melatih ketaatan, melatih sifat pengorbanan, dan melatih sifat berserah diri hanya kepada Allah. Jika ini sukses, maka dengan sendirinya, Arsy jiwa kita akan naik tingkat mendekati sifat-sifat ilahiah yang ada di dalam ruh kita sendiri.Apa yang kita lakukan sehari-hari adalah cerminan dari sifat-sifat ilahiah tersebut...!

Bagaimana prakteknya? Cobalah mulai melakukan dengan melatih kejujuran. Inilah ’akhlak dasar’ yang dipersyaratkan oleh Rasulullah kepada seseorang yang ingin menjalankan agama Islam secara substansial. Cobalah menjadi orang dengan kepribadian ’terbuka’. Baik terhadap diri sendiri, terhadap orang lain dan terhadap Allah. Cobalah berkata tanpa kepura-puraan.

Apa yang ada di mulut, sinkronkan dengan yang ada di hati (pikiran dan perasaan), sinkron dengan perbuatan sehari-hari. Jangan mengatakan sesuatu yang tidak sama dengan yang ada di hati. Lebih-lebih, jangan berbuat sesuatu yang berbeda dengan bisikan hati. Jika Anda bisa melakukan ini selama setahun saja, insya Allah Anda sudah akan ’naik kelas’ ke tingkat yang lebih tinggi.

Setelah itu, cobalah untuk mengendalikan amarah. Menjadi orang yang ’sulit marah’, tapi gampang memaafkan. Karena, ini menjadi tanda-tanda orang yang bertakwa, QS. 'Ali 'Imran (3) : 133-135. Bukan ’menahan’ amarah, melainkan ’mengendalikan’ amarah. Seseorang bisa mengendalikan amarah, hanya jika ia mampu menata sistem limbiknya menjadi bersifat ’emosi yang rasional’. Jika tidak, maka yang ada hanyalah ’menahan’ amarah, sehingga bakal meledak di waktu yang lain saja.

Jika Anda mampu menajalaninya setahun saja, maka Anda bisa melanjutkan dengan melatih sifat ikhlas. Yaitu, berkorban sebanyak-banyaknya untuk kepentingan orang lain. Merendahkan ego, meninggikan kemaslahatan bersama.

Berikutnya, jika sudah semakin ikhlas, Anda bisa melatih sifat sabar. Yakni, tidak ’tergesa-gesa’ dalam mencapai suatu tujuan, serta ’tahan’ menghadapi ujian. Yang ini, juga cukup setahun saja secara terus menerus alias istiqomah. Dan setelah itu yang terakhir adalah latihan untuk taat kepada Allah.

Bukan ketaatan yang ditaat-taatkan, melainkan ketaatan yang penuh ‘kejujuran’, ‘keikhlasan’ dalam pengorbanan, dan ‘kesabaran’ dalam menjalankan segala perintah Allah. Jika Anda bisa melakukan ini ‘sinkron’ antara bisikan ruh, jiwa, dan perbuatan , maka insya Allah, Anda sudah berada di level tertinggi di dalam Islam, yaitu: berserah diri hanya kepada Allah semata. Anda telah menjadi muslim yang paripurna. Dan bakal menjadi kesayangan Allah, sebagaimana Nabi ibrahim sang khalilullah..!

QS. An Nisaa’ (4): 125
Dan siapakah orang yang paling baik agamanya daripada orang yang ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.
 
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 25 Januari 2011 pukul 18:49


Senin, 24 Januari 2011

‘ARSY JIWA BERTINGKAT MENUJU ’ARSY ALLAH

Sebagaimana saya sampaikan di note sebelumnya, bahwa secara garis besar kita bisa membagi diri manusia ke dalam tiga kelompok, yakni: badan, jiwa dan ruh. Badan mewakili materi, jiwa mewakili energi, dan ruh mewakili sifat-sifat Allah yang tidak bisa dijelaskan substansinya. Ketiga entitas itu tidak bisa dipisahkan, karena bersifat kontinum di dalam diri manusia. Kecuali, telah mati.

Di dalam al Qur’an memang tidak ada ayat yang menyebutkan secara eksplisit tentang pembagian itu, apalagi dengan menyebutkan angka pengelompokannya, 3 atau 7. Yang ada ialah penyebutan secara terpisah-pisah, bahwa manusia memiliki badan yang terbuat dari saripati tanah, sehingga bisa dikategorikan sebagai materi.

Di ayat lain lagi, Allah menyebut ‘jiwa’ dengan istilah yang beragam. Satu ketika disebut Nafs, yang diterjemahkan sebagai 'diri', atau kadang 'nafsu'. Di kali lain disebut dengan istilah Hati – Qalb maupunFuad. Di kali lain lagi disebut dengan istilah ‘Aql dan Lubb. Maka, di kalangan para pelaku spiritual lantas muncul pemetaan terhadap istilah-istilah itu, yang dipersepsi sebagai tingkatan kualitas jiwa.

Tujuannnya adalah sebagai ‘panduan’ atau ‘jalan’ atau ‘metode’ bagi upaya melatih tingkat kehalusan jiwa. Dimulai dari yang bersifat materialistik menuju ke nilai-nilai ruhiyah di tingkatan tertinggi yang sulit digambarkan lagi. Berdasar pemeringkatan kualitas jiwa itulah para pelaku spiritual menyusun metode-metode pencapaian, yang kemudian dikenal sebagai Thoriqoh, yang dalam bahasa Arab bermakna ‘jalan’ alias ‘cara’. Setiap penganut tarekat bisa memiliki metode yang berlain-lainan dalam upaya meningkatkan kualitas jiwanya, bergantung kepada mursyid alias pembimbingnya.

Yang demikian ini, dikarenakan di dalam al Qur’an tidak ada penjelasan eksplisitnya. Sehingga, metode itu lantas menjadi sangat beragam bergantung kepada background masing-masing mursyid tarekat. Dan ini bukan hanya terjadi pada pelaku spiritual Islam, melainkan juga pada para spiritualis non muslim. Termasuk para pelaku meditasi. Dan menariknya, mereka mengarah kepada pemeringkatan 7 kualitas perjalanan jiwa secara universal.

Oleh sebab itu, saya menyebut dalam note sebelumnya: ‘entah ini kebetulan atau tidak’, karena memang demikianlah pada tataran prakteknya. Namun, saya termasuk yang yakin bahwa tidak ada sesuatu yang kebetulan di alam semesta ini. Permasalahannya, hanya pada detil-detil penjelasan yang belum terungkap saja.

Saya mencoba menghubungkan perjalanan kualitas jiwa ini dengan dimensi langit, yang di dalam al Qur’an ‘kebetulan’ disebut ada tujuh. Dalam perjalanan Isra’ Mi’raj, Rasulullah pun digambarkan ‘naik’ sampai ke langit ke tujuh untuk memperoleh suasana kebatinan yang membuat ‘penglihatan spiritualnya’ terbuka luas. Sampai-sampai beliau digambarkan 'terpesona' di puncak dimensi alam semesta yang bernama Sidratul Muntaha itu, QS. An Najm: 14-18.

Dimanakah puncak langit yang bernama Sidratul Muntaha itu? Saya meyakininya tidak jauh dari kita. Yakni, sudah meliputi kita semua. Tetapi, berada di dimensi yang berbeda. Setiap kita, sebenarnya sudah diliputi oleh Sidratul Muntaha itu. Karena, ia berada di langit ke tujuh yang luasnya mencakup langit-langit di bawahnya.

Saya sering mengumpamakan dengan cara penyederhanaan, bahwa susunan langit itu seperti sebuah bola di dalam bola, di dalam bola, di dalam bola sampai tujuh lapis. Artinya, langit pertama dimana kita berada ini, sebenarnya ‘terendam’ di dalam bola yang lebih besar bernama langit kedua. Sedangkan ‘bola’ langit kedua juga ’terendam’ di dalam bola langit ketiga yang lebih besar. Langit ketiga di dalam langit keempat, di dalam langit kelima, keenam, sampai ke tujuh. Dan yang ketujuh, terendam di dalam Dzat Allah yang tidak terikat dimensi.

Sehingga, ketika Rasulullah sampai di langit ketujuh, sebenarnya beliau tidak beranjak kemana-mana. Yaitu, masih di sekitar Palestina saja – setelah melakukan Israa’. Sebab, meskipun posisi keberadaannya di langit ke satu, sebenarnya beliau secara bersamaan sedang 'terendam' di dalam langit kedua, sekaligus terendam di langit ketiga, keempat sampai ke tujuh.

Dan itu, bukan hanya berlaku bagi Rasulullah, melainkan kita semua. Bahkan seluruh makhluk yang berada di alam semesta ini, sedang 'terendam' di dalam lapisan-lapisan langit seperti itu. Lantas apa yang membedakannya? Kenapa Rasulullah sampai di puncak langit, sedangkan kita tidak? Itu terkait dengan kualitas jiwa. Apakah jiwa kita sedang terikat di langit pertama, ataukan sudah sinkron dengan langit kedua, atau harmoni dengan langit ketiga, dan seterusnya sampai langit ketujuh. Itulah yang saya sebuat sebagai ’arsy jiwa. Alias tingkat kualitas jiwa.

Jika ’kualitas jiwa’ kita masih berada di alam materi, maka kita hanya akan berkutat di langit pertama saja. Tetapi jika kualitas jiwa kita ’naik’ ke frekuensi energi yang lebih tinggi, maka jiwa kita akan berada di ’arsy yang lebih tinggi pula, yakni di tataran kualitas ’energi gerak’ – mekanik.

Frekuensi jiwa yang lebih tinggi adalah ketika meningkat ke ’arsy gelombang elektromagnetik di getaran kulit atom, lantas menuju ke getaran inti atom yang lebih ke dalam, kemudian lebih halus lagi ke partikel-partikel kuantum, lebih lanjut ke getaran ’partikel dasar’ penyusun alam semesta, dan akhirnya berada pada tataran 'arsy tertinggi setiap manusia yakni: ruh kita sendiri. Di tingkat ini, jiwa seorang manusia sudah sedemikian ’dekat’ dengan ’Arsy Allah, karena Ruh adalah sifat-sifat Allah itu sendiri, yang ditularkan kepada manusia.

Tentang partikel dasar penyusun alam semesta, saya memang berharap banyak agar bisa terungkap lebih gamblang. Saya sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Abdussalam yang memprediksi alam semesta ini sebenarnya tersusun dari ’sesuatu’ yang tunggal saja. Untuk itu, dia memperoleh penghargaan Nobel di bidang Fisika Teori.

Pada dasarnya, dia mengajukan teori bahwa seluruh gaya-gaya yang menyusun alam semesta ini hanya satu saja. Yang kadang tampak sebagai gaya listrik dan gaya magnet, gaya nuklir lemah dan kuat, serta gaya gravitasi. Dia meramalkan seluruh gaya itu kelak akan terbukti sebagai satu kesatuan tunggal belaka. Dan sebagiannya sudah terbukti, yakni gaya listrik dan gaya magnet yang dulu dianggap terpisah, ternyata bisa disatukan menjadi gaya elektromagnetik.

Demikian pula di tingkat kuantum, dengan gaya nuklir kuat dan lemah, serta gaya gravitasi, kelak diprediksi akan menyatu dalam sebuah formula universal. Di tingkat inti atom, ’gaya nuklir kuat’ menghasilkan gaya penyatuan proton, neutron, dan partikel lainnya untuk membentuk inti. Sedangkan ’gaya nuklir lemah’ lebih berperan pada tingkat partikel yang lebih halus. Gaya gravitasi berperan pada ’gaya ikat’ antar benda raksasa pengisi alam semesta.

Saya berharap, penelitian god-particle yang dilakukan di CERN itu akan mengantarkan para ilmuwan kepada apa yang diprediksikan oleh Prof Abdussalam, yakni munculnya suatu ’partikel dasar’ yang mewakili ’ketauhidan’ alam semesta. Ini akan menjadi bukti, bahwa partikel-partikel kuantum itu ternyata masih ’tersusun dari’ sesuatu yang lebih substansial di ’arsy paling halus eksistensi alam semesta. Dimana, ini akan menjadi tataran frekuensi tertinggi sebelum menyentuh alam ruh, yang sudah sulit untuk dijelaskan lagi.

Jadi bagaimanakah kesimpulannya, tentang  lapisan badan yang tujuh di dalam diri manusia? Pada intinya, manusia tersusun dari bahan dasar yang kontinum mulai dari ’arsy yang paling kasar berupa materi, menuju ’arsy yang lebih halus berupa energi, dan lebih halus lagi berupa ruh.

Peningkatan kualitas jiwa itu mirip dengan meningkatnya ’arsy energi di dalam eksistensi alam semesta, yakni mulai dari materi yang ’berubah eksistensinya’ menjadi energi gerak, kemudian masuk ke kedalaman atom menjadi energi elektromagnetik, menukik masuk lagi ke inti atom menjadi energi nuklir kuat, merambah ke partikel-partikel kuantum, dan membuncah di sosok partikel dasar penyusun alam semesta.

Disinilah kontinum ’arsy materi-energi itu berinteraksi dengan sifat-sifat ketuhanan berupa ruh ilahiah. Arsy kemanusiaan bergetaran di sekitar Arsy Allah. Dan, semua itu terjadi di dalam diri kita sendiri. Di kedalaman susunan triliunan sel-sel yang dikoordinasikan oleh otak sebagai organ komando aktifitas kehidupan kita. Itulah saat-saat 'badan energial' kita 'melebur' di dalam ruh kita sendiri..! Bersambung ... :)

QS. Al Insyiqaaq (84): 19-20
Sesungguhnya kamu melalui (kualitas) tingkat demi tingkat. Mengapa mereka tidak beriman (yakin)?

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 23 Januari 2011 pukul 20:28


Minggu, 23 Januari 2011

MENGENAL TUJUH LAPIS ’BADAN’ MANUSIA

Kita mencoba masuk lebih dalam ke diri manusia. Semakin ke dalam semakin halus tingkatannya, semakin tinggi frekuensinya, dan semakin dahsyat energinya. Sekaligus, semakin abstrak bentuknya. Secara umum, ’tubuh’ manusia bisa dibagi menjadi 3 eksistensi dasar, yaitu: badan, jiwa, dan Ruh. Badan adalah eksistensi paling kasar, jiwa lebih halus, dan ruh adalah yang paling halus. Tetapi, karena Jiwa memiliki tingkatan-tingkatan lagi, maka secara keseluruhan diri manusia lantas terdiri dari 7 lapisan, yang semakin ke dalam semakin tinggi kualitasnya.

Badan tersusun dari zat-zat biokimiawi seperti C, H, O, N, S, P, Ca, Na, dan lain sebagainya. Unsur-unsur itu ’dilebur’ dan disenyawakan oleh Sang Pencipta menjadi susunan tubuh yang terdiri dari susunan atom-atom. Kemudian, menjadi susunan molekul, menjadi susunan sel, menjadi jaringan sel, organ-organ, dan akhirnya menjadi tubuh seutuhnya. Inilah karya terbaik yang disebut al Qur’an sebagai ahsani taqwim ~ ’sebaik-baik bentuk’ makhluk hidup.

Seluruh tubuh itu dikoordinasikan oleh organ komando yang sangat hebat fungsinya, yakni Otak. Organ berbentuk bubur di dalam kepala ini mengomando tubuh lewat mekanisme sarafi dan hormonal, sehingga tubuh kita menjadi satu kesatuan koordinasi yang luar biasa canggihnya.

Otak juga dibantu 6 macam ’radar’ dalam bentuk alat pengindera, yakni: mata, telinga, hidung, perasa, peraba, dan hati. Semua itu, secara global sudah kita bahas serba sedikit, agar memperoleh pemetaan masalahnya secara holistik. Dan, semua yang telah kita bahas itu ternyata baru 'badan kasar' yang berada di lapis pertama eksistensi manusia.

Badan kasar manusia adalah ’alat’ atau fasilitas yang berfungsi untuk menjembatani alam dunia dengan sosok yang lebih halus di dalamnya. Itulah yang dikenal sebagai jiwa. Atau bioplasma, dalam istilah kedokteran jiwa. Inilah sosok halus badan manusia yang tersusun dari energi. Ada sejumlah lapisan energi di dalam tubuh manusia yang membentuk badan lebih halus, lebih halus, dan semakin halus, sampai menuju ke inti eksistensi seorang manusia.

Entah kebetulan atau tidak, banyak kalangan spiritual ~ yang Islam maupun non ~ memiliki persepsi yang mirip satu sama lain. Bahwa tubuh manusia ini terdiri dari 7 lapisan badan. Mulai dari yang kasar sampai yang terhalus. Sebutannya berbeda-beda, tetapi mengacu ke sesuatu yang kurang lebih sama. Ada yang menyebutnya: nafs, qalb, ruh, sirr, sirr as sirr, khafi dan akhfa. Ada pula yang meminjam istilah-istilah dalam al Qur’an dengan menyebut urutan: Jism, Nafs, Aql, Qalb, Fuad, Lubb, dan Ruh.

Di kalangan meditasi juga dikenal istilah: cakra dasar, cakra seks, cakra solar pleksus, cakra jantung, cakra tenggorok, cakra mata ketiga, dan cakra mahkota. Dan beberapa lagi istilah yang digunakan oleh beberapa kalangan yang berbeda, tetapi uniknya mengacu ke jumlah 'tujuh', mirip dengan jumlah langit yang diceritakan al Qur’an. Saya sendiri mencoba melihat realitas lapisan tubuh manusia ini dari sisi pemahaman yang berbeda, yakni dalam sudut pandang sains yang menjadi ’kacamata’ pendekatan Tasawuf Modern.

Selain badan kasar yang berupa material, badan manusia memiliki lapisan yang lebih halus. Yakni yang kita kenal sebagai jiwa. Sifatnya energial. Dalam sains dipahami, bahwa energi adalah suatu kuantitas dan kualitas yang terdapat pada materi secara inheren. Jika di situ ada materi, maka di situ pula ada energi.

Kualitas dan besarnya energi, seiring dengan kualitas susunan materinya. Sebagai contoh, sebuah kayu memiliki energi yang tersimpan di dalam kayu itu. Sepotong besi juga memiliki energi di dalamnya. Tetapi, kualitas energi kayu dan besi berbeda dikarenakan susunan atom-atom dan molekulnya berbeda. Tentu saja besi lebih kuat dari pada kayu, karena struktur penyusunnya yang lebih bagus.

Demikian pula dengan tubuh manusia. Setiap kita memiliki susunan tubuh yang berbeda, sehingga kualitas jiwa kita juga berbeda. Semakin hebat struktur tubuhnya, terutama otak, maka semakin hebat pula kualitas jiwanya. Semua manusia memiliki jiwa berupa ’badan energial’ itu di dalam badan kasarnya.

Susunannya sama dengan badan kasarnya, tetapi dalam bentuk energial. Dia punya otak energial, punya jantung energial, punya mata energial, telinga energial, dan anggota badan energial lainnya. Jika badan kasarnya mengalami kerusakan, maka badan energialnya juga mengalami kerusakan. Jika otak materialnya mengalami kerusakan, dengan sendirinya, otak energialnya juga mengalami kerusakan. Itulah sebabnya, kenapa orang gila mengalami kerusakan otak fisik, sekaligus psikologisnya.

Secara fisika dan sufistik, kita lantas bisa menggambarkan lapisan badan-badan manusia itu mengikuti tingkat kehalusan energinya. Lapisan pertamanya adalah material dengan susunan fisikal yang sudah kita bahas. Lapisan kedua, adalah jiwa energial yang paling rendah kualitasnya, yakni setingkat getaran mekanik.

Lapisan ketiga, yang lebih halus, adalah setingkat energi elektromagnetik yang bersumber dari getaran atomik. Lapisan keempat, lebih halus lagi, setara dengan energi inti atom, atau yang kita kenal sebagai energi nuklir. Lapisan kelima adalah energi yang bersumber dari partikel di tingkat kwantum. Lapisan ke enam adalah energi yang muncul dari partikel penyusun paling dasar, yang kini sedang diteliti. Dan, lapisan yang ketujuh adalah Ruh, yang berisi sifat-sifat ketuhanan.

Secara energial, jiwa itu semakin ke dalam semakin tinggi kualitasnya. Dan semakin besar kekuatannya. Energi mekanik kalah besar dibandingkan energi elektromagnetik. Tapi, energi elektromagnetik kalah hebat dibandingkan energi nuklir. Dan energi nuklir, kalah dahsyat dibandingkan energi kuantum.

Semakin ke dalam semakin halus, tetapi semakin dahsyat. Eksistensi materialnya semakin hilang dan bergeser ke eksistensi energial. Jika energi mekanik masih sangat material, maka yang namanya 'kuantum' itu eksistensi materialnya sudah bisa dikatakan hampir lenyap. Ia disebut sebagai ‘pilinan energi’.

Kalau ini kita paralelkan dengan tingkat-tingkat langit secara inner-cosmos ~ dalam jiwa setiap manusia ~ maka kita akan memperoleh tingkatan demikian: materi berada di langit pertama, getaran energi mekanik di langit kedua. Getaran energi elektromagnetik berada di langit ke-3. Getaran energi nuklir ada di langit ke-4. Dan getaran energi kuantum berada di langit ke-5.

Di balik energi kuantum ini masih ada satu level energi lagi, yaitu getaran partikel yang disebut sebagai ‘god-particle’ dan kini sedang diselidiki keberadaannya dengan menggunakan mesin pemecah partikel -Large Hadron Collider (LHC). Mesin raksasa dengan panjang sekitar 27 km itu diinstal di perbatasan negara Prancis dan Swiss. Partikel yang sedang diteliti itu diperkirakan adalah partikel yang menjadi asal muasal penyusun alam semesta. Lebih tua dari energi kuantum yang sekarang dianggap sebagai penyusun segala jenis benda.

Jika partikel itu diketemukan, maka partikel kuno itu akan menjadi getaran paling halus di level energi penyusun alam semesta. Partikel itu kini sudah semakin jelas 'sosok'nya, meskipun masih butuh waktu untuk mengungkapnya secara lebih gamblang. Maka, inilah getaran energi paling halus yang sejajar dengan langit ke-6.

Sedangkan langit ke-7 sudah bukan berada di level-level energi itu, melainkan berada di dimensi Ruh. Apakah Ruh? Dia bukan energi, melainkan sifat-sifat ketuhanan. Substansi dasarnya tidak diketahui, karena itu Allah memberikan semacam warning ketika bicara tentang Ruh: tidaklah kalian diberi ilmunya, kecuali cuma sedikit...!

QS. Al Israa’ (17): 85
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan SEDIKIT".

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 22 Januari 2011 pukul 17:14


Sabtu, 22 Januari 2011

BERAGAMA DENGAN ’HATI’ ATAUKAH ’AKAL’

Bagi sebagian orang, pertanyaan tersebut bisa saja masih membingungkan. Tetapi, ketika kita membahasnya dari sisi mekanisme otak dan jantung, mungkin menjadi lebih jelas persoalannya. Bahwa hati adalah getaran jantung yang berasal dari otak, khususnya dari Sistem Limbik. Sedangkan akal adalah fungsi Sistem Limbik yang seimbang antara peranan Amygdala dan Hipocampusnya.

Masalahnya, Sistem Limbik itu memang bisa bekerja tidak seimbang. Yakni, bisa dominan emosi yang dikendalikan amygdala, atau dominan rasionalitas yang dikendalikan oleh hipocampus. Kedua-duanya kurang baik. Yang baik adalah mekanisme Sistem Limbik yang bekerja seimbang.

Olah pikir di bagian cortex harus berjalan maksimum. Baik rasionya, logikanya, analisanya, kreatifitasnya, pusat-pusat penglihatan, pendengaran, bahasa, maupun berbagai mekanisme ilmu pengetahuan lainnya, karena semua itu bakal mewujud menjadi memori rasional di Hipocampus. Lantas, memori Hipocampus itu dipadukan dengan memori emosional yang ada di Amygdala, sampai memunculkan getaran yang disebut sebagai ‘emosi rasional’. Nah, emosi rasional inilah yang menggetarkan jantung sebagai perasaan yang baik.

Jika Sistem Limbik tidak bekerja seimbang, maka kemungkinannya ada dua. Yang pertama, Amygdala terlalu dominan. Maka, muncullah emosi yang ’tidak rasional’, sehingga lepas kendali dan menjadi dorongan ’hawa nafsu’. Yaitu, dorongan yang bersifat merusak. Gejolak Limbik seperti ini akan disalurkan ke jantung dalam bentuk getaran yang bergejolak juga. Getaran jantung dan otak tidak sinkron.

Dari proses ini akan muncul sifat-sifat kasar yang merusak, seperti iri, benci, dendam, serakah, sombong, marah berlebihan, dan lain sebagainya. Cobalah lihat, betapa tidak rasionalnya orang-orang yang sedang diliputi rasa iri dan dengki misalnya. Lha wong orang lain sukses, kok kita kebakaran jenggot. Sebaliknya, kalau orang lain gagal, kita malah bersuka cita. Begitu pula perasaan dendam, serakah, dan lain-lainnya. Itu adalah emosi yang tidak rasional yang tidak diridhai Allah.

QS. Al Baqarah [2]: 90
Alangkah BURUK-nya mereka yang menjual diri dengan keingkaran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena DENGKI bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya...

QS. An Nisaa’ [4]: 135
... Maka janganlah kamu mengikuti HAWA NAFSU karena ingin menyimpang dari kebenaran...

Kemungkinan kedua, Hipocampus yang terlalu dominan sehingga hanya menghasilkan pikiran-pikiran tanpa rasa. Alias rasio yang ’tidak emosional’. Maka, akan muncul perasaan yang ’tidak menggetarkan’. Denyut jantungnya tanpa ’rasa’. Orang-orang yang demikian ini terjebak pada akal pikiran semu yang hambar. Allah mencontohkan, seperti orang yang bersedekah, tanpa diiringi perasaan santun, sehingga menyakiti hati orang yang diberi. Rasional tapi tak berperasaan.

QS. Al Baqarah [2]: 263
Perkataan yang baik dan pemberian ma`af (masih) lebih baik dibandingkan SEDEKAH yang diiringi dengan sesuatu yang MENYAKITKAN (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.

Sebaliknya, jika Sistem Limbik bekerja secara seimbang, ia akan memunculkan ’emosi yang rasional’ atau ’rasio yang emosional’. Keduanya akan menghasilkan getaran yang mengimbas jantung secara terkontrol. Inilah yang oleh al Qur’an disebut sebagai Qalbun Salim. Hati yang tertata secara rasional dan emosional. Contoh yang diambil adalah Nabi Ibrahim, yaitu nabi yang sangat terkenal dengan kekuatan akalnya, sekaligus berhati lembut. Kekuatan akal pikiran Ibrahim diceritakan Al Qur’an dalam bentuk pencariannya terhadap Allah, Sang Penguasa alam semesta, QS. 6: 75-79. Namun, sekaligus, Allah juga memujinya sebagai nabi yang berhati lembut dan santun, QS. 9:114.

QS. Ash Shaaffat [37]: 83-84
Dan sesungguhnya IBRAHIM benar-benar termasuk golongannya (Nuh). Ketika ia datang kepada Tuhannya dengan HATI yang berserah diri (Qalbun Salim).

Qalbun salim adalah hati yang sudah melakukan pembuktian-pembuktian secara ilmiah dalam proses  beragama, sehingga memperoleh perasaan yang menggetarkan, dalam bentuk penyerahan diri kepada Allah. Dalam istilah diatas, adalah ‘rasio yang emosional’ atau ‘emosi yang rasional’. Yakni, penggabungan fungsi Hipocampus dan Amygdala dalam kinerja Sistem Limbik yang seimbang.

Maka, AKAL adalah fungsi keseimbangan antara rasio dan emosi. Atau, antara pikiran dan perasaan. Karena ia berbentuk FUNGSI, maka Akal bukanlah ’benda’. Sehingga, di dalam al Qur’an, kata ’AKAL’ selalu ditampilkan dalam bentuk ’kata kerja’, bukan ’kata benda’.Afala ta’qilun ~ apakah kamu tidak berakal?, misalnya. Atau di kali lain Allah berfirman, ...wayaj’alurrijsa alalladzina laa ya’qiluun ~  ’’...dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.’’

Sedangkan ORANG yang BERAKAL mendapat sebutan ULUL ALBAB. Yakni, orang yang menggabungkan perasaan dengan pikirannya, secara seimbang. Berpikir dengan ilmu pengetahuan dan merasakan dengan emosi yang rasional. Maka, dia akan menemukan Allah sebagai Tuhan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dengan Qalbun Salim-nya.

QS. Ali Imran [3]: 190-191
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (ULUL ALBAB), (yaitu) orang-orang yang MERASAKAN hadirnya Allah (yadzkurunallah) sambil berdiri, duduk, dan berbaring, dan mereka BERPIKIR secara ilmiah (yatafakkaruna) tentang penciptaan langit dan bumi (lantas berkesimpulan): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Jadi, kalau ditanya ketegasannya: beragama dengan hati atau dengan akal? Maka, jawabannya pasti: dengan Akal. Fungsi Akal sudah merangkum hati, sedangkan fungsi hati belum merangkum akal. HATI masih bisa tersesat, sedangkan AKAL malah diwajibkan digunakan dalam beragama karena akan membimbing untuk bertemu Tuhan.

Sehingga, dalam berbagai ayat Allah mengatakan: ’’...tidak bisa mengambil pelajaran dari dalam al Qur’an kecuali orang-orang yang menggunakan akalnya...’’ Sementara, di ayat lainnya, Allah malah banyak menceritakan orang-orang yang hatinya berpenyakit, mengeras, dan tertutup, sehingga menjadi orang yang tersesat...!

QS. Al Baqarah [2]: 10
Dalam HATI mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.

QS. Al Baqarah [2]: 7
Allah telah mengunci-mati HATI dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.

QS. Al Maa-idah [5]: 13
karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan HATI mereka keras membatu...

Dan masih banyak lagi ayat-ayat di dalam al Qur’an yang menjelaskan bahwa fungsi hati (Qalb) tidak selalu baik, karena ia hanya berfungsi sebagai alat resonansi dari Sistem Limbik yang sangat mungkin tidak bekerja seimbang antara Amygdala dan Hipocampusnya. Tetapi, jika keduanya bekerja sinkron, Sistem Limbik akan berfungsi sebagai Akal dan menghasilkan getaran Qalb yang seimbang. Dalam penelitian BrainHeart yang sudah kita bahas sebelumnya, akan menghasilkan gelombang yang sinkron antara Otak & Jantung. Dan menjadi Qalbu yang baik.

QS. Al Baqarah [2]: 269
Allah menganugrahkan Al Hikmah (kefahaman yang mendalam tentang Al Qur'an) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang BERAKAL-lah yang dapat mengambil PELAJARAN (dari firman Allah).

QS. Ali Imran [3]: 7
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu...
Dan TIDAK BISA mengambil pelajaran (darinya) KECUALI orang-orang yang BERAKAL.


Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~

(bersambung nggak..?, bersambung nggak..?, Kayaknya, bersambung ya..?)


Jumat, 21 Januari 2011

YANG BELUM BERAKAL, TIDAK PERLU BERAGAMA

Syarat pertama seseorang untuk beragama adalah BERAKAL. Inilah yang dalam ilmu Fiqh disebut sebagai Aqil Baligh alias ’sudah sampai akalnya’. Dengan kata lain, yang akalnya belum sampai nggakmenjalankan hukum Fiqh pun menjadi tidak apa-apa.

Siapakah orang yang akalnya belum sampai atau tidak sampai itu? Ada dua kelompok, yakni anak-anak yang belum dewasa, dimana perkembangan otaknya ’belum sempurna’. Dan yang kedua, adalah orang-orang yang mengalami kerusakan otak, sehingga cara berpikirnya ’tidak genap’. Kerusakan otak itu bisa dikarenakan gila, idiot, pikun, dan sejumlah kerusakan otak di bagian memori atau kepribadian lainnya. Baik karena penuaan, penyakit ataupun kecelakaan.

Anak-anak mengalami perkembangan dan penyempurnaan otak sejak masih di dalam rahim sampai beberapa tahun setelah kelahiran. Seiring perkembangan otak, akalnya pun berkembang. Demikian pula jiwanya. Otak, akal, dan jiwa adalah ’bagian’ diri manusia yang terus berkembang, secara fisis dan psikologis

Pada hari pertama pembentukan janin, seorang manusia sudah bersyahadat tentang keberadaan Allah. Hal itu diceritakan di dalam al Qur’an al Karim. Meskipun ia belum punya otak. Lantas siapakah yang bersyahadat itu? Bukankah jiwa seseorang terkait erat dengan keberadaan otaknya? Dan, sudah bisa dipastikan saat itu, otak janin belum terbentuk. Ketika itu, manusia baru berbentuk satu sel induk yang disebut sebagai stem cell, berasal dari penyatuan sel telur ibu dan sel sperma bapak.

Susunan saraf dan cikal bakal otak, baru terbentuk di sekitar hari ke 18. Awalnya, tubuh manusia hanya berbentuk sebuah sel yang terus menerus membelah. Dari satu sel menjadi dua sel, menjadi empat sel, menjadi 8, 16, 32, 64, dan seterusnya. Dan belasan hari kemudian baru mengarah ke pembentukan otak dan saraf-saraf pendukungnya. Lantas, jiwa yang manakah yang dimintai bersyahadat oleh Allah.

QS. Al A’raaf (7): 172
Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari punggung (sulbi) mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa (nafs) mereka: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul, kami bersaksi". (Yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lalai terhadap hal ini",

Kecerdasan paling awal pada diri manusia sebenarnya memang bukan berada di otaknya, melainkan di susunan genetikanya. Itulah yang ’bersyahadat’ pertamakali, di awal penciptaan manusia. Kecerdasan genetikalah yang diperintah oleh Allah untuk mengendalikan proses pembelahan cikal bakal manusia. Di dalamnya ada program yang menyebabkan seluruh proses pembentukan badan manusia terkontrol dengan sangat teliti. Membentuk tangan, membentuk kaki, badan, kepala, otak, susunan saraf, organ-organ dalam, tulang, kulit, dan lain sebagainya. Sebuah kecerdasan ’bawah sadar’ yang bekerja mengikuti ’fitrah ketuhanan’, karena sudah diminta bersyahadat oleh Allah untuk bertuhan dan taat kepada perintah-Nya.

Sampai sekarang seluruh sel-sel dalam tubuh kita yang jumlahnya puluhan triliun ini tetap bersyahadat dan patuh kepada perintah Allah. Mereka tetap berfungsi sebagai tubuh dengan segala tugasnya. Dan kemudian membentuk sebuah sistem ’kerajaan’ yang berpusat di otak, menjadi sosok jiwa yang lebih sempurna. Sebagai catatan, setiap 1 kg tubuh mengandung sekitar 1 triliun sel.

Jika dulu, jiwa berada di alam ’bawah sadar’, maka kini ia muncul di ’alam sadar’. Meskipun sebagian besarnya tetap berada di alam ’bawah sadar’. Konon, porsi alam bawah sadar manusia jauh lebih besar dibandingkan kemampuan sadarnya. Sebagian besar ahli jiwa mengatakan, sekitar 90 persen jiwa kita berada di alam bawah sadar. Hanya sekitar 10 persen saja yang berada di alam sadar.

Tetapi, menariknya, tanggungjawab beragama pada diri manusia dikaitkan dengan jiwa yang berada di ’alam sadar’. Bukan yang ’bawah sadar’. Keputusan-keputusan saat kondisi sadarlah yang harus dipertanggung-jawabkan sebagai akhir dari proses beragama. Karena itu, lantas sangat terkait dengan perkembangan akal. Dan itu seiring dengan perkembangan otak manusia.

Kecerdasan yang tadinya bekerja di alam 'bawah sadar’ dalam susunan genetika inti sel, lantas bertumbuh menjadi sebuah kecerdasan ’alam sadar’ yang bersemayam di dalam otak. Ia mendewasa seiring dengan proses penyempurnaan struktur otak yang terus berkembang.

Sejak hari ke 18 itulah struktur otak dan susunan saraf menjadi semakin kompleks. Dan, berkembang dengan kecepatan yang luar biasa menakjubkan. Setiap menit, sel-sel otak janin bertambah sekitar 25.000 sel. Sehingga, sembilan bulan kemudian otak memiliki sekitar 100 miliar sel saraf, dan 200 miliar sel glia sebagai sel-sel penunjang fungsi kerjanya. Organ berbentuk bubur dengan bobot sekitar 1,5 kg itu pun menjadi pusat kecerdasan manusia yang tiada ternilai. Dan menghasilkan peradaban manusia yang kita lihat sepanjang sejarah kemanusiaan.

Susunan saraf otak membentuk sirkuit-sirkuit yang sangat rumit, dengan kecanggihan yang tiada terkira, mengalahkan komputer dengan microchip terhebat mana pun yang ada di dunia. Otak menjadi alat penerjemah dari ’sesuatu’ yang berada di ’alam bawah’ sadar, yang porsinya jauh lebih besar itu, ke alam sadar disekitarnya..!

Secara umum, otak dibagi menjadi 3 wilayah besar. Wilayah pertama adalah batang otak dan otak kecil. Bagian ini berfungsi menghubungkan otak dengan susunan saraf yang menghidupi seluruh tubuh manusia, lewat sumsum tulang belakang. Di bagian inilah fungsi vital kehidupan manusia diatur. Diantaranya adalah denyut jantung, gerakan paru-paru, tekanan darah, dan mengatur keseimbangan gerakan. Daerah ini menjadi semacam saklar kehidupan yang mengatur on-off otak, alias mati tidaknya seorang manusia.

Wilayah kedua, adalah Otak Tengah dengan Sistem Limbiknya. Wilayah ini mengatur fungsi luhur manusia yang meliputi fungsi rasional dan emosional. Hasilnya adalah getaran yang meresonansi jantung, dan dikenal sebagai ’perasaan’.

Sedangkan wilayah ketiga, adalah permukaan kulit otak alias cortex cerebri. Inilah wilayah otak yang khas dimiliki oleh manusia, yang dengannya peradaban manusia terbentuk. Permukaan otak ini terbagi menjadi dua belahan, kanan dan kiri. Yang sebelah kanan bekerja secara intuitif dan artistik, tidak runtut. Sedangkan yang sebelah kiri bekerja dengan mekanisme matematis yang lebih runtut mengandalkan rasio, logika dan analisa. Namun, kedua belahan otak itu adalah bagian dari otak yang ’berpikir’. Bukan bagian yang emosional. Memori emosional tetap tersimpan di dalam Amygdala, dalam Sistem Limbik.

Proses penyempurnaan otak janin bukan hanya terjadi saat masih di dalam rahim, melainkan sampai masa kanak-kanak, beberapa tahun setelah kelahiran. Kematangan emosional dan rasionalitas misalnya, berjalan tidak bersamaan. Sampai masa 3 tahun pertama, yang berkembang pada anak-anak adalah Amygdalanya.

Karena itu, proses pembelajaran pada anak di usia tersebut sebaiknya menggunakan pendekatan emosional, sesuai dengan bagian otak yang sedang berkembang. Barulah diatas usia 3 tahun, anak-anak mengalami perkembangan otak rasional secara lebih baik, sehingga pembelajaran bisa disesuaikan secara lebih masuk akal. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan masa perkembangan bagian-bagian otaknya akan menyisakan masalah di masa dewasanya...! (bersambung lagi...)
 
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 20 Januari 2011 pukul 14:04


Kamis, 20 Januari 2011

PERBEDAAN OTAK MANUSIA & BINATANG

Dalam bahasa Arab ada ungkapan yang sangat terkenal, yakni Al insaanu hayawaan naatiq, yang bermakna: ’manusia adalah hewan yang berakal’. Dengan kata lain, jika manusia tidak menggunakan akalnya akan menjadi seperti binatang. Itu pula yang disebut al Qur’an dalam QS. 7: 179, yakni orang-orang yang tidak menggunakan Hati (Qalb), penglihatan (bashar), dan pendengaran (sama’) untuk memahami dan mengerti suatu masalah yang dihadapinya.

Maka dalam konteks pembahasan otak, kita lantas bisa mencari keterkaitan antara bagian-bagian otak dengan fungsi akal pada manusia. Binatang punya otak, manusia juga punya otak. Tetapi, kenapa binatang yang punya otak itu dikatakan tidak punya akal? Kalau begitu, tidak selalu makhluk yang punya otak disebut ’berakal’. Jadi rupanya, ’fungsi akal’ itu terkait erat dengan keberadaan ’sesuatu’ di otak manusia yang tidak terdapat pada binatang. Apakah bagian di otak manusia yang tidak terdapat pada otak binatang?

Secara sederhana, perbedaan yang mendasar antara otak binatang dan manusia terdapat pada lapisan terluar otaknya. Inilah yang disebut sebagai Cortex Cerebri, atau sering disebut Cortex saja. Disinilah pusat aktifitas ’pikiran’ manusia berada. Dan, ternyata seluruh peradaban manusia dihasilkan oleh aktifitas kulit otak ini. Itu pula, kenapa dunia binatang tidak memiliki peradaban seperti manusia - tidak punya sains, teknologi, seni budaya, bahkan agama - karena mereka tidak mempunyai cortex tersebut di otaknya.

Lebih jauh, adalah menarik mendapati kenyataan bahwa pusat penglihatan dan pendengaran manusia ternyata juga terdapat di cortex-nya. Pusat penglihatan berada di kulit otak bagian belakang, sedangkan pusat pendengaran berada di bagian samping. Berarti, proses 'melihat' dan 'mendengar' itu sebenarnya identik dengan proses berpikir. Orang yang melamun, meskipun bisa melihat dengan mata dan mendengar dengan telinga, dia tidak bisa ’memahami’ apa yang sedang dilihat dan didengarnya. Pada saat demikian, dia tidak sedang mengaktifkan daya pikir cortexnya secara utuh, sehingga bisa disebut setara dengan ’binatang’. Itulah orang yang disebut ’lalai’ oleh al Qur’an.

Penyetaraan manusia dengan binatang bukan hanya dikaitkan dengan fungsi ’melihat’ dan ’mendengar’ yang tanpa berpikir, melainkan juga terkait dengan ’merasakan’ getaran Qalb yang melahirkan ’kepahaman’. Seperti sudah kita bicarakan, getaran Qalb yang ada di jantung merupakan resonansi getaran yang berasal dari Sistem Limbik di otak tengah. Dengan kata lain, Qalb merupakan cerminan apa yang terjadi di Sistem Limbik. Masalahnya, getaran apakah yang paling dominan sedang mengisi Sistem Limbik, maka itulah yang diresonansikan ke jantung.

Apakah Sistem Limbik hanya berisi getaran emosional yang bersumber dari Amygdala? Ternyata tidak, karena Sistem Limbik juga merujuk ke getaran rasional yang bersumber dari Hipocampus. Getaran yang muncul di otak tengah ini sebenarnya sudah merupakan 'perpaduan' antara emosi dan rasio. Itulah yang dikenal sebagai ’perasaan’ yang kemudian menggetarkan jantung.

Pada kenyataannya, Hipocampus merupakan pusat memori yang menyimpan ’kesimpulan’ proses-proses rasional yang terjadi di Cortex. Secara fisiologis, Hipocampus terbentuk dari perluasan kulit otak yang melipat ke bagian dalam otak tengah. Bentuknya seperti huruf C. Dengan demikian, meskipun hipocampus berada di bagian dalam otak, sebenarnya ia adalah bagian dari cortex yang bekerja secara rasional, logis, dan analitis pula.

Maka, proses berpikir lewat penglihatan dan pendengaran yang terjadi di cortex pun bakal masuk dan tersimpan di Hipocampus. Dan setelah dikoordinasikan dengan fungsi amygdala, beserta komponen Sistem Limbik lainnya, ia akan menjadi getaran yang diteruskan ke jantung sebagai desiran Qalb. Saat itulah kita ’merasakan’ sensasi perasaan.

Sehingga, sungguh menarik memahami mekanisme otak terkait dengan yang disebut AKAL. Ternyata akal adalah PERPADUAN antara fungsi utama otak manusia yang ada di kulit luar alias Cortex, dengan emosi yang ada di dalam Amygdala, dan kemudian menimbulkan getaran perasaan yang terasa di jantung (Qalb). Dengan kata lain, di Cortex-lah terjadi proses berpikir, di Sistem Limbik terjadi percampuran antara pikiran rasional dan perasaan emosional, dan di jantunglah indikasi maksimum-tidaknya proses berakal tersebut.

Yang demikian ini diceritakan di dalam al Qur’an, bahwa orang-orang yang berakal adalah orang-orang yang memadukan fungsi antara pikiran (cortex) dan perasaan (sistem limbik) secara maksimum, sehingga ketika memperoleh keyakinan (kesimpulan tertinggi berupa keimanan) bakal menggetarkan jantung-hati (Qalb), yang berada di dalam dada.

QS. Ali Imran (3): 191
(Orang yang berakal adalah) orang-orang yang mengingat (yadzkuruna) Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka berpikir (yatafakkaruna) tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

QS. Al Anfaal (8): 2
Sesungguhnya orang-orang yang beriman (yakin seyakin-yakinnya) itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah bergetarlah hati (Qalb) mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal,

Maka apakah kesimpulan yang bisa diambil terkait dengan Akal dan Otak?
Ternyata peran akal sangat dipengaruhi oleh keberadaan ’kulit otak’ yang disebut sebagai cortex. Otak binatang tidak memiliki bagian ini, sehingga dia tidak mempunyai akal. Sedangkan ’perasaan’, muncul di otak tengah yang dikenal sebagai Sistem Limbik. Sistem ini tidak hanya terdiri dari emosi yang bersumber pada Amygdala belaka, melainkan juga dipengaruhi oleh pikiran-pikiran rasional yang berasal dari Hipocampus.

Karena itu, kita lantas mengenal adanya 'perasaan yang rasional' dan 'perasaan yang emosional'. Misalnya, ada perasaan sedih yang tidak jelas 'jluntrungannya', tetapi ada juga perasaan sedih yang jelas penyebabnya. Ada perasaan gembira yang tidak jelas asal-usulnya, tapi ada pula yang jelas penyebabnya. Ada perasaan takut dan khawatir yang muncul tiba-tiba, tapi ada yang didahului suatu peristiwa sebelumnya. Dan seterusnya. Namun, sangat jelas bahwa semua perasaan itu tetap saja muncul menjadi getaran Qalb di dalam dada kita...! (Bersambung)

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 19 Januari 2011 pukul 16:28