Selasa, 30 November 2010

SALAH KAPRAH TENTANG ‘WAKTU’


Banyak orang yang salah kaprah menangkap substansi ‘waktu’. Sehingga, karenanya, keliru menyikapi pergerakan waktu. Dan, lantas tidak berani ‘berijtihad’ untuk mengolah ibadah-ibadah khusus yang terkait dengan ‘penentuan’ waktu. Atau, bahkan salah mempersepsi makhluk bernama ‘waktu’ ini sebagai penyusun Dzat Allah, Tuhan Penguasa Segala Sesuatu.

Apakah sebenarnya ‘waktu’ itu? Apakah ia adalah pergerakan Matahari? Sehingga ketika Matahari tidak ada atau tidak tampak, ’waktu’ pun tidak ada? Atau, apakah ia adalah pergerakan Bulan, sehingga ketika bulan menghilang, ’waktu’ pun ikut menghilang? Ataukah ia adalah ’jarum jam’ yang terus bergerak, sehingga ketika jarum jam terdiam, ’waktu’ juga ikut diam? Ataukah, waktu adalah berubahnya ’angka’ di sebuah jam digital, sehingga ketika baterainya habis, dan jam digitalnya mati, lantas waktu ikut mati?

Ataukah, waktu hanyalah ’perasaan’ kita saja, sehingga ketika kita tidak merasakannya, berarti waktu itu telah lenyap dari kehidupan kita? Atau sebaliknya, waktu adalah sesuatu yang ’mutlak’? Yang meskipun nggak ada matahari, bulan, jarum jam, angka digital, dan perasaan, waktu tetap saja berjalan mengikat segala dinamika kehidupan?

Lantas, apakah orang zaman dulu yang belum mengenal jam, tidak melihat waktu sebagai sesuatu yang ’bergerak’ karena tak ada jarum jam yang diamati? Tetapi, bukankah mereka tahu pasti bahwa dirinya semakin tua, keriput, dan kemudian mati seiring dengan perjalanan usia? Mereka tidak melihat ’jam kronologis’ namun melihat ’jam biologis’ yang terus berdenyut dalam tubuh mereka.

Sebagian yang lain, melihat waktu dalam benda-benda alam, berupa pergerakan matahari, bulan dan bintang. Namun, bagaimanakah dengan mereka yang berada di negara yang berbeda? Misalnya, mereka yang di kutub dan yang di negara tropis. Bukankah mereka melihat posisi matahari secara berbeda? Sehingga, waktu sehari bagi mereka juga berbeda panjangnya. Lantas, apakah waktu yang berlaku bagi mereka berbeda dengan kita? Ataukah sekedar ’tampak berbeda’ saja?

Apalagi, jika kita berada di planet yang berbeda. Ukuran waktunya pun semakin jauh berbeda. Satu hari di Bumi adalah 24 jam. Tetapi satu hari di planet Saturnus, misalnya, adalah 10 jam. Karena, yang namanya ’satu hari’ itu memang diukur dari satu kali putaran planet (rotasi), yakni terjadinya satu kali siang dan satu kali malam. Artinya sehari semalam Bumi = 24 jam, sehari semalam Saturnus = 10 jam.

Lebih berbeda, adalah sehari semalam di planet Venus, yakni memakan waktu 5.832 jam. Yang jika dibandingkan dengan planet Bumi, itu sama dengan 243 hari. Sama-sama sehari semalam, di planet Venus panjangnya 243 kali hari bumi. Ya, ternyata sehari di Bumi, dan di planet-planet lain adalah berbeda panjangnya.

Tetapi, 1 jam di planet Bumi = 1 jam di planet Saturnus = 1 jam di planet Venus. Yaitu, sama-sama 60 menit. Atau 3.600 detik. Demikian pula 1 detik di seluruh penjuru alam semesta adalah sama, yakni diukur dari getaran atom Cesium-133 sebanyak 9.192.631.770 kali. Itulah yang dinamakan 1 detik, sebagai ukuran denyut waktu paling kecil.

Lantas, kalau atom Cesium-133 itu, karena sesuatu hal musnah dari alam semesta, apakah yang namanya ’denyut waktu’ juga bakal lenyap? Tentu saja tidak. Sebagaimana, jika matahari, bulan, bintang, planet, dan benda-benda lainnya yang kita jadikan sebagai ’patokan’ itu lenyap, tentu saja ’waktu’ tidak ikut lenyap. Yang namanya ’waktu’ akan tetap ada...!

Jadi, waktu adalah waktu. ’Sesuatu’ yang ’gerakannya’ menjadikan alam semesta ’bertambah tua’. Sel-sel tubuh kita bertambah usia. Organ-organ, tulang, kulit, dan seluruh penjuru tubuh kita menjadi mengeriput. Dan, jiwa kita bertambah dewasa. (Meskipun ruh tidak ikut berubah. Karena ruh kita adalah sebagian dari Ruh-Nya yang kekal abadi, tak terikat oleh pergerakan waktu...J)

Ya, semua yang ada di sekitar kita terus berubah menuju pada kerusakannya. Dan akhirnya, hancur total dalam ’batas usia’ yang telah dijanjikan-Nya..! Lenyap dalam ’ketiadaan’ yang kekal abadi, musnah ke dalam ’Eksistensi-Nya’ ...

Lantas bagaimana kaitannya dengan Eksistensi-Nya? Apakah berarti, Allah tersusun dari waktu? Karena ternyata waktu adalah ’sesuatu’ yang ’mewadahi’ seluruh dinamika alam semesta? Yang telah ’meliputi’ segala eksistensi, sebagaimana DIA yang meliputi segala makhluk-Nya? Dan, semua ini digiring menuju pada kehancuran, yang tidak diragukan lagi kejadiannya, kembali kepada Diri-Nya..?

Bagaimana eksistensi ’waktu’, ketika alam semesta itu hancur? Apakah ’waktu’ ikut hancur? Ternyataiya, waktu ikut hancur. Sehingga, ketika itu tidak ada lagi yang namanya ’waktu’... (Dalam skala waktu alam semesta, ini bukan saat kiamat pertama yang hanya menghancurkan planet Bumi dan sekitarnya, melainkan terjadi pada Kiamat Kedua, yang memusnahkan alam semesta beserta isinya).

Dulu yang namanya ’waktu’ itu pernah tidak ada. Ibarat stopwatch, yang tombolnya belum dipencet, waktu belum berjalan. Memang ada stopwatch-nya, tetapi stopwatch bukanlah ’waktu’. Ia adalah ’benda’. Sedangkan, waktu adalah ’sesuatu’ yang tidak tampak, yang ’bergerak’ dan ’berdinamika’ ketika stopwatch dipencet...

Maka ibaratnya, dulu ada waktu ke nol. Dan sebelum waktu ke nol itu, waktu tidak bergerak. Alias tidak ada. Dan kelak, suatu ketika stopwatch itu akan berhenti pula, sehingga waktu pun diam tak lagi berdinamika. Saat itulah, waktu lenyap. Termasuk jika, stopwatch-nya dihancurkan.

Begitulah kira-kira perumpamaan ’waktu’. Ia ada bersamaan dengan ’benda’ alias ’materi’. Ia ada bersamaan dengan ’ruang’, yang mewadahi. Ia bersama dengan ’energi’ yang menjadi ’baterai’. Ia ada bersamaan dengan ’informasi’ yang menjadi media agar kita mengetahui makna yang terkandung di dalamnya. Alam semesta terbentuk seketika secara bersamaan tersusun dari: ’waktu-ruang-materi-energi-informasi’.

Jika ada salah satunya, pasti ada empat yang lainnya. Dan jika hilang salah satunya, pasti juga akan hilang semuanya. Maka, pada waktu ke nol, ruang-materi-energi-informasi juga nol. Dan ketika waktu mulai ada, maka ruang-materi-energi-informasi itu pun menjadi ada. Dan ketika, suatu saat nanti, ’waktu’ musnah maka seluruh ’ruang-materi-energi-informasi’ itu bakal musnah. Kemana? Kembali kepada ketiadaan, yang menjadi asalnya.

Tapi, ’ketiadaan’ itu apa? Ketiadaan adalah: TIDAK ADA-nya ’waktu-ruang-materi-energi-informasi’. Alias tidak adanya ’alam semesta’. Darimana munculnya ketiadaan itu? Dari sebuah ’Keberadaan’ yang menjadi sumber munculnya seluruh eksistensi di alam semesta ini. ’Keberadaan’ itu adalah DZAT yang mewadahi alam semesta yang terdiri dari ’waktu-ruang-materi-energi-informasi’. Dan bukan sebaliknya.

QS. An Nisaa’ (4): 126
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu.

Dia, yang kita sebut Allah itu, meliputi segala sesuatu, sehingga seluruh eksistensi ini ada di dalam Diri-Nya. Karena memang tidak ada zat yang lebih besar dari Dzat-Nya. Ruang, materi, energi, waktu, dan informasi pun berada di dalam-Nya. Dan ketika semua itu lenyap, juga lenyap ke dalam Diri-Nya.

Maka muncullah sejumlah pertanyaan yang sering kita dengar:

Jadi, kalau begitu, Allah berada dimana?
Oh, pertanyaan yang salah...!
Karena, bukankah ruangannya sudah musnah?
Maka, pertanyaan ’dimana’ tidak lagi memiliki makna...

Oke, jika demikian, sesudah itu apa?
Oh, pertanyaannya salah lagi...!
Karena, bukankah ’waktu’ sudah musnah?
Sehingga istilah ’sesudah’ dan ’sebelum’ pun menjadi tak bermakna...

Terus, kalau begitu, Allah itu apa, seberapa, dan bagaimana?
Oh, lagi-lagi pertanyaannya salah...!
Karena, bukankah ‘materi, energi, dan informasi’ sudah musnah pula?
Segala ukuran dan penjelasan tentang Diri-Nya sudah tak ada artinya...

Hhhh, lantas...?
Masih salah juga...!!
Bukankah seluruh bahasa sudah tidak ada?
Jadi apa gunanya kita bertanya. Apalagi kita sendiri sebagai makhluk yang terdiri dari ’waktu-ruang-materi-energi-informasi’ juga sudah musnah...

Ya, semua yang terlintas dibenak kita ternyata bukanlah DIA.
Karena, sesungguhnya DIA bukanlah seperti apa pun yang kita gambarkan.
Segala yang ada ini ternyata hanya ’tanda-tanda’ yang menuntun kita untuk ’memahami’ ’Sesuatu’ yang tak akan pernah ’terpahami’ oleh siapa pun juga.

Dia memang ‘ada’, tetapi sekaligus ‘tidak ada’...
DIA memang ‘terlihat’ tetapi sekaligus ‘tidak terlihat’ ...
DIA memuat ’waktu-ruang-materi-energi-informasi’, tetapi DIA bukan itu semua...
DIA adalah ’Sesuatu’ yang bisa dijelaskan, tetapi sekaligus juga tidak bisa dijelaskan...
DIA disebut sebagai ‘kemutlakan’ tetapi sekaligus ‘bukan kemutlakan’...
Dia adalah segala-galanya, tetapi sekaligus bukan apa pun jua...

Setiap yang kita persepsikan tentang DIA, ternyata bukanlah DIA.
Karena, benak dan seluruh potensi kita tidak akan pernah bisa mewadahi dan menjelaskan Eksistensi-Nya...!

QS. Az Zumar (39): 67
Dan mereka belum mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persepsikan.

Wallahu ’alam bishshawab.
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 30 November 2010 pukul 2:16


Sabtu, 27 November 2010

SALAH KAPRAH MEMAHAMI ‘SERIAL DISKUSI TASAWUF MODERN’


Ada kesalahkaprahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Apalagi ketika kita memahaminya dengan ‘hati jernih’ dan ‘tidak apriori’. Yaitu, persepsi terhadap buku-buku ‘Serial Diskusi Tasawuf Modern’ yang saya terbitkan selama ini.

Sejak awal terbitnya, buku-buku tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk menampilkan ‘kebenaran baru’. Karena, bagi saya memang tidak ada kebenaran lama maupun kebenaran baru. Kebenaran adalah ’kebenaran’, yang mutlak milik Allah semata. Yang kita lakukan sebagai manusia hanyalah mencoba melihat dan memahami kebenaran mutlak itu dari sudut pandang yang berbeda dan terbatas, sebagai makhluk. Karena itu, kebenaran setiap kita adalah bersifat relatif, sesuai dengan background masing-masing.

Dalam prakteknya, memang ’kebenaran mutlak’ selalu menjadi ’kebenaranku’, ’kebenaranmu’, dan ’kebenarannya’. Dan semua itu, sama-sama bukan kebenaran yang sesungguhnya. Melainkan sekedar ’tafsir kebenaran’ belaka. Jadi, kadang terasa lucu juga jika kita memperdebatkan dan memperebutkan yang namanya ’kebenaran’. Lha wong, itu bukan milik kita. Melainkan milik Allah. Sehingga dengan tegas, Allah mengatakan di dalam Kitab-Nya bahwa yang tahu tentang kebenaran itu hanya Allah sendiri. Bukan kita. Dialah nanti yang akan menilai apakah seseorang itu ’tidak benar’, ’kurang benar’, ’agak benar’, ’lebih benar’, dan ’semakin benar’. Tetapi tidak akan pernah ’benar’ dengan sebenar-benarnya.

Lantas, kenapa saya menulis buku-buku ’Serial Diskusi Tasawuf Modern’ yang seakan-akan ingin memperbarui ’kebenaran lama’ menjadi ’kebenaran baru’? Mestinya, pembaca sudah bisa menyimpulkan dari sub judul yang selalu saya cantumkan di halaman sampul setiap buku saya itu. Bahwa ini sekedar ’ajakan berdiskusi’. Karenanya, saya namakan: ’Serial Diskusi Tasawuf Modern’. Bukan ’Serial Kebenaran Tasawuf Modern’, misalnya.

Tapi, kenapa saya mesti mengajak umat Islam untuk berdiskusi? Jawabnya sederhana saja: karena saya ingin menyambut perintah Allah, mengajak manusia menuju jalan Tuhan dengan cara yang dianjurkan-Nya. Sebagaimana ayat yang sering saya kutip, berikut ini.

QS. An Nahl (16): 125
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan berdiskusilah dengan mereka secara baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Saya tidak bosan-bosannya menyampaikan ayat ini di berbagai forum, termasuk disini. Bahwa setiap kita diberi tugas oleh Allah untuk menyampaikan ’kebenaran mutlak’ milik Allah itu kepada orang lain. Padahal, sudah pasti kita tidak memiliki ’kepahaman mutlak’ sebagaimana dimaksudkan Allah? Ternyata tiidak apa-apa, cukup sejauh yang kita pahami saja. Dan, Allah tetap memerintahkan kepada kita untuk melakukan syiar, mengajak manusia ke jalan Tuhan.

Lantas bagaimana caranya? Ikuti saja kalimat dalam ayat tersebut, yakni harus menggunakan hikmah (substansi alias kedalaman makna beragama) dan yang kedua harus menggunakan mau’idhatul hasanah (metode dan sistematika pengajaran yang baik). Tapi, bukankah sebaik apa pun metodenya dan sedalam apa pun hikmah yang terkandung di dalamnya, setiap kita memiliki perbedaan dalam memahami? Lantas bagaimana kalau terjadi kondisi semacam itu? Ya, ikuti saja kalimat berikutnya dalam ayat di atas: ... ’’berdiskusilah dengan cara yang baik...’’

Nah, buku-buku saya adalah sebuah upaya untuk mengimplementasikan kandungan ayat tersebut. Sebuah ajakan diskusi dengan penuh hikmah dan mau’idhatul khasanah. Tapi, lantas dipersepsi sebagai menyalahkan orang lain dan membenarkan diri sendiri. Itulah yang saya maksudkan terjadi kesalahkaprahan pada sebagian orang dalam mempersepsi buku-buku saya.

Bagi yang membaca buku-buku saya dengan hati jernih dan tidak apriori, insya Allah akan melihat bahwa apa yang saya sampaikan itu sekedar ’kebenaran relatif’ dalam sudut pandang ’saya’. Dan sangat mungkin berbeda dengan ’kebenaran relatif’ dalam sudut pandang ’Anda’ dan ’mereka’. Karena sesungguhnya, saya sangat tahu diri bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah semata.

Pengungkapan pemikiran yang berbeda itu memang saya sengaja, kenapa? Tentu saja supaya terjadi diskusi, sebagaimana sub judul yang selalu saya tuliskan di sampul buku-buku itu. Kalau saya menampilkan pemikiran yang sama dengan kebanyakan pembaca, tentu tidak akan terjadi diskusi. Tidak mengena pada maksud diterbitkannya buku tersebut.

Lantas, kenapa harus dalam bentuk diskusi? [Syukurlah saya tidak menyampaikan dalam bentuk doktrin... :)]. Karena Allah memerintahkan kepada kita, agar umat Islam dalam peroses beragamanya tidak Cuma ikut-ikutan. Harus paham benar apa yang dilakukan. Bertabayyun. Ingatlah, di akhirat nanti, setiap kita akan dimintai pertanggungjawaban masing-masing. Kenapa melakukan ini, kenapa melakukan itu, dan apa alasannya. Lha, kalau cuma ikut-ikutan tentu kita akan ’gelagapan’ ketika Hari Pengadilan itu datang.

Lantas, kenapa saya menyampaikan semua itu dengan gaya ’seakan-akan’ saya sudah benar? Ah, masa iya, saat mengajak Anda berdiskusi, saya harus sambil mengatakan bahwa pendapat saya ini ’tidak benar’. Tentu, Anda tidak tertarik untuk berdiskusi. Lha wong, saya sebagai ’penyampai materi’ sudah tidak yakin terhadap apa yang saya kemukakan. Namun sebaliknya, bukankah saya juga tidak pernah mengatakan bahwa pendapat saya ini adalah sebuah ’kebenaran’. Dan bukankah di setiap akhir ulasan, saya selalu mengatakan ’Allahu a’lam bishshawab – hanya Allah yang lebih tahu kebenarannya’...?

Maka, sesungguhnya yang terjadi hanya sekedar sensitivitas dalam berdiskusi. Karena argumentasi yang saya sampaikan seakan-akan menabrak pendapat seseorang, atau sekelompok orang. Padahal yang saya maksudkan adalah ajakan untuk berdiskusi dengan sudut pandang berbeda, terbuka, dan egaliter alias sederajat, dalam memahami ilmu-ilmu Allah. Tentu, agar ajakan diskusi ini memperoleh sambutan dari khalayak, saya harus pintar-pintar ’menarik perhatian’. Tanpa harus mengorbankan misi ataupun melakukan klaim-klaim kebenaran.

Namun yang lebih penting dari itu semua, apa yang saya lakukan ini sebenarnya didorong oleh rasa keprihatinan yang sangat mendalam terhadap SDM umat Islam yang stagnan alias ’jalan di tempat’. Umat yang didesain Allah sebagai umat teladan ini, ternyata sekarang tidak lagi menjadi teladan dalam kancah peradaban dunia sebagaimana zaman keemasan Islam. Bukan hanya 10 – 20 tahun, melainkan sudah 700 tahun terakhir. Di bidang politik kita tidak teladan. Di bidang ekonomi kita tidak teladan. Di bidang militer kita tidak teladan. Di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kita juga tidak teladan. Sebutlah seluruh bidang-bidang dalam kehidupan kita, apakah umat Islam teladan..?! Bahkan di rumah tangga, pergaulan antar-tetangga, bermasyarakat dan bernegara, kita tidak menjadi teladan.

Ada apa ini dengan umat Islam? Umat yang didesain sebagai umat teladan kok tidak menjadi teladan? Pasti ada yang ’salah kaprah’ dengan kita dalam beragama. Kalau cara beragama kita benar, tidak akan begini jadinya umat Islam. Pasti akan menjadi teladan di segala bidang. Ekonomi, politik, militer, sains & teknologi, kesehatan dan kedokteran, pendidikan, dan lain sebagainya. Itulah yang disebut Allah sebagai tatanan masyarakat yang ’rahmatan lil alamin’ dimana umat Islam sebagai khalifah alias panutannya.

Maka, saya ingin mengajak semua umat Islam untuk menata kembali cara beragamanya. Dimulai dari mana? Tentu saja dari ’pola pikir’ dulu. Mind-set yang Qur’ani. Kalau pola pikirnya saja sudah keliru, tentu semua tindakan berikutnya akan keliru. Dan tidak menghasilkan efek yang dijanjikan oleh al Qur’an. Buku-buku yang saya tulis dan forum-forum yang saya hadiri, adalah media untuk mengurai benang kusut yang belum kelihatan ujung pangkalnya itu. Saya kira, kita harus 'banyak bicara' untuk mengurai masalahnya terlebih dahulu. Kita harus berdiskusi tentang segala hal terkait dengan agama dan prakteknya dalam masyarakat. Dan, setelah itu baru melakukan action secara lebih tertata. Kalau dalam pembicaraan aja kita belum bisa mendeteksi masalahnya, maka sudah pasti action kita tidak akan terarah.

Memang, barangkali akan butuh waktu panjang, lintas generasi, untuk mengatasi masalah kemunduran SDM ini. Tetapi, tidak bisa tidak, harus kita mulai sekarang. Masalah yang paling utama, adalah membuka pola pikir umat Islam seluas-luasnya. Membiasakan diri menerima kebenaran darimana pun itu datangnya. Karena kebenaran yang kita miliki ternyata berbeda dengan kebenaran yang orang lain miliki. Sikap membuka diri terhadap segala kebenaran yang bersumber dari semangat Al Qur’an ini akan menghasilkan arus informasi dan alternatif penyelesaian masalah yang sangat berguna bagi umat Islam ke masa depan. Bukan malah menutup diri terhadap dinamika realitas yang terus bergerak.

Umat Islam selalu ketinggalan kereta. Karena tidak terbiasa berada bersama dengan kenyataan yang melingkupinya. Dan lebih senang terkungkung pada masa lalunya. Padahal Islam dan Al Qur’an diwariskan kepada kita semua untuk menjadi solusi bagi masalah-masalah keumatan yang semakin kompleks ke masa depan. Maka, kita harus menggali terus mutiara-mutiara hikmah yang ada di dalam al Qur’an. Karena sesungguhnya di dalam kitab ajaib inilah solusi yang akan mengentas umat Islam untuk menjadi umat teladan kembali di pentas dunia...

QS. Ali Imran (3): 110
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Menyuruh kepada yang ma`ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman hanya kepada Allah semata ...

 Wallahu a’lam bishshawab.

~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 26 November 2010 pukul 19:29 ·