Banyak orang yang salah kaprah menangkap substansi ‘waktu’.
Sehingga, karenanya, keliru menyikapi pergerakan waktu. Dan, lantas tidak berani
‘berijtihad’ untuk mengolah ibadah-ibadah khusus yang terkait dengan ‘penentuan’
waktu. Atau, bahkan salah mempersepsi makhluk bernama ‘waktu’ ini sebagai penyusun
Dzat Allah, Tuhan Penguasa Segala Sesuatu.
Apakah sebenarnya ‘waktu’ itu? Apakah ia adalah pergerakan
Matahari? Sehingga ketika Matahari tidak ada atau tidak tampak, ’waktu’ pun tidak
ada? Atau, apakah ia adalah pergerakan Bulan, sehingga ketika bulan menghilang,
’waktu’ pun ikut menghilang? Ataukah ia adalah ’jarum jam’ yang terus bergerak,
sehingga ketika jarum jam terdiam, ’waktu’ juga ikut diam? Ataukah, waktu adalah
berubahnya ’angka’ di sebuah jam digital, sehingga ketika baterainya habis, dan
jam digitalnya mati, lantas waktu ikut mati?
Ataukah, waktu hanyalah ’perasaan’ kita saja, sehingga ketika
kita tidak merasakannya, berarti waktu itu telah lenyap dari kehidupan kita? Atau
sebaliknya, waktu adalah sesuatu yang ’mutlak’? Yang meskipun nggak ada matahari,
bulan, jarum jam, angka digital, dan perasaan, waktu tetap saja berjalan mengikat
segala dinamika kehidupan?
Lantas, apakah orang zaman dulu yang belum mengenal jam, tidak
melihat waktu sebagai sesuatu yang ’bergerak’ karena tak ada jarum jam yang diamati?
Tetapi, bukankah mereka tahu pasti bahwa dirinya semakin tua, keriput, dan kemudian
mati seiring dengan perjalanan usia? Mereka tidak melihat ’jam kronologis’ namun
melihat ’jam biologis’ yang terus berdenyut dalam tubuh mereka.
Sebagian yang lain, melihat waktu dalam benda-benda alam, berupa
pergerakan matahari, bulan dan bintang. Namun, bagaimanakah dengan mereka yang berada
di negara yang berbeda? Misalnya, mereka yang di kutub dan yang di negara tropis.
Bukankah mereka melihat posisi matahari secara berbeda? Sehingga, waktu sehari bagi
mereka juga berbeda panjangnya. Lantas, apakah waktu yang berlaku bagi mereka berbeda
dengan kita? Ataukah sekedar ’tampak berbeda’ saja?
Apalagi, jika kita berada di planet yang berbeda. Ukuran waktunya
pun semakin jauh berbeda. Satu hari di Bumi adalah 24 jam. Tetapi satu hari di planet
Saturnus, misalnya, adalah 10 jam. Karena, yang namanya ’satu hari’ itu memang diukur
dari satu kali putaran planet (rotasi), yakni terjadinya satu kali siang dan satu
kali malam. Artinya sehari semalam Bumi = 24 jam, sehari semalam Saturnus = 10 jam.
Lebih berbeda, adalah sehari semalam di planet Venus, yakni
memakan waktu 5.832 jam. Yang jika dibandingkan dengan planet Bumi, itu sama dengan
243 hari. Sama-sama sehari semalam, di planet Venus panjangnya 243 kali hari bumi.
Ya, ternyata sehari di Bumi, dan di planet-planet lain adalah berbeda panjangnya.
Tetapi, 1 jam di planet Bumi = 1 jam di planet Saturnus = 1
jam di planet Venus. Yaitu, sama-sama 60 menit. Atau 3.600 detik. Demikian pula
1 detik di seluruh penjuru alam semesta adalah sama, yakni diukur dari getaran atom
Cesium-133 sebanyak 9.192.631.770 kali. Itulah yang dinamakan 1 detik, sebagai ukuran
denyut waktu paling kecil.
Lantas, kalau atom Cesium-133 itu, karena sesuatu hal musnah
dari alam semesta, apakah yang namanya ’denyut waktu’ juga bakal lenyap? Tentu saja
tidak. Sebagaimana, jika matahari, bulan, bintang, planet, dan benda-benda lainnya
yang kita jadikan sebagai ’patokan’ itu lenyap, tentu saja ’waktu’ tidak ikut lenyap.
Yang namanya ’waktu’ akan tetap ada...!
Jadi, waktu adalah waktu. ’Sesuatu’ yang ’gerakannya’ menjadikan
alam semesta ’bertambah tua’. Sel-sel tubuh kita bertambah usia. Organ-organ, tulang,
kulit, dan seluruh penjuru tubuh kita menjadi mengeriput. Dan, jiwa kita bertambah
dewasa. (Meskipun ruh tidak ikut berubah. Karena ruh kita adalah sebagian dari Ruh-Nya
yang kekal abadi, tak terikat oleh pergerakan waktu...J)
Ya, semua yang ada di sekitar kita terus berubah menuju pada
kerusakannya. Dan akhirnya, hancur total dalam ’batas usia’ yang telah dijanjikan-Nya..!
Lenyap dalam ’ketiadaan’ yang kekal abadi, musnah ke dalam ’Eksistensi-Nya’ ...
Lantas bagaimana kaitannya dengan Eksistensi-Nya? Apakah berarti,
Allah tersusun dari waktu? Karena ternyata waktu adalah ’sesuatu’ yang ’mewadahi’
seluruh dinamika alam semesta? Yang telah ’meliputi’ segala eksistensi, sebagaimana
DIA yang meliputi segala makhluk-Nya? Dan, semua ini digiring menuju pada kehancuran,
yang tidak diragukan lagi kejadiannya, kembali kepada Diri-Nya..?
Bagaimana eksistensi ’waktu’, ketika alam semesta itu hancur?
Apakah ’waktu’ ikut hancur? Ternyataiya, waktu ikut hancur. Sehingga, ketika
itu tidak ada lagi yang namanya ’waktu’... (Dalam skala waktu alam semesta, ini
bukan saat kiamat pertama yang hanya menghancurkan planet Bumi dan sekitarnya, melainkan
terjadi pada Kiamat Kedua, yang memusnahkan alam semesta beserta isinya).
Dulu yang namanya ’waktu’ itu pernah tidak ada. Ibarat stopwatch, yang tombolnya belum dipencet,
waktu belum berjalan. Memang ada stopwatch-nya,
tetapi stopwatch bukanlah ’waktu’. Ia adalah ’benda’. Sedangkan,
waktu adalah ’sesuatu’ yang tidak tampak, yang ’bergerak’ dan ’berdinamika’ ketika stopwatch dipencet...
Maka ibaratnya, dulu ada waktu ke nol. Dan sebelum waktu ke
nol itu, waktu tidak bergerak. Alias tidak ada. Dan kelak, suatu ketika stopwatch itu akan berhenti pula, sehingga waktu pun
diam tak lagi berdinamika. Saat itulah, waktu lenyap. Termasuk jika, stopwatch-nya dihancurkan.
Begitulah kira-kira perumpamaan ’waktu’. Ia ada bersamaan dengan
’benda’ alias ’materi’. Ia ada bersamaan dengan ’ruang’, yang mewadahi. Ia bersama
dengan ’energi’ yang menjadi ’baterai’. Ia ada bersamaan dengan ’informasi’ yang
menjadi media agar kita mengetahui makna yang terkandung di dalamnya. Alam semesta
terbentuk seketika secara bersamaan tersusun dari: ’waktu-ruang-materi-energi-informasi’.
Jika ada salah satunya, pasti ada empat yang lainnya. Dan jika
hilang salah satunya, pasti juga akan hilang semuanya. Maka, pada waktu ke nol,
ruang-materi-energi-informasi juga nol. Dan ketika waktu mulai ada, maka ruang-materi-energi-informasi
itu pun menjadi ada. Dan ketika, suatu saat nanti, ’waktu’ musnah maka seluruh ’ruang-materi-energi-informasi’
itu bakal musnah. Kemana? Kembali kepada ketiadaan, yang menjadi asalnya.
Tapi, ’ketiadaan’ itu apa? Ketiadaan adalah: TIDAK ADA-nya
’waktu-ruang-materi-energi-informasi’. Alias tidak adanya ’alam semesta’. Darimana
munculnya ketiadaan itu? Dari sebuah ’Keberadaan’ yang menjadi sumber munculnya
seluruh eksistensi di alam semesta ini. ’Keberadaan’ itu adalah DZAT yang mewadahi
alam semesta yang terdiri dari ’waktu-ruang-materi-energi-informasi’. Dan bukan
sebaliknya.
QS. An Nisaa’ (4): 126
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu.
Dia, yang kita sebut Allah itu, meliputi segala sesuatu, sehingga
seluruh eksistensi ini ada di dalam Diri-Nya. Karena memang tidak ada zat yang lebih
besar dari Dzat-Nya. Ruang, materi, energi, waktu, dan informasi pun berada di dalam-Nya.
Dan ketika semua itu lenyap, juga lenyap ke dalam Diri-Nya.
Maka muncullah sejumlah pertanyaan yang sering kita dengar:
Jadi, kalau begitu, Allah berada dimana?
Oh, pertanyaan yang salah...!
Karena, bukankah ruangannya sudah musnah?
Maka, pertanyaan ’dimana’ tidak lagi memiliki makna...
Oke, jika demikian, sesudah itu apa?
Oh, pertanyaannya salah lagi...!
Karena, bukankah ’waktu’ sudah musnah?
Sehingga istilah ’sesudah’ dan ’sebelum’ pun menjadi tak bermakna...
Terus, kalau begitu, Allah itu apa, seberapa, dan bagaimana?
Oh, lagi-lagi pertanyaannya salah...!
Karena, bukankah ‘materi, energi, dan informasi’ sudah musnah
pula?
Segala ukuran dan penjelasan tentang Diri-Nya sudah tak ada
artinya...
Hhhh, lantas...?
Masih salah juga...!!
Bukankah seluruh bahasa sudah tidak ada?
Jadi apa gunanya kita bertanya. Apalagi kita sendiri sebagai
makhluk yang terdiri dari ’waktu-ruang-materi-energi-informasi’ juga sudah musnah...
Ya, semua yang terlintas dibenak kita ternyata bukanlah DIA.
Karena, sesungguhnya DIA bukanlah seperti apa pun yang kita
gambarkan.
Segala yang ada ini ternyata hanya ’tanda-tanda’ yang menuntun
kita untuk ’memahami’ ’Sesuatu’ yang tak akan pernah ’terpahami’ oleh siapa pun
juga.
Dia memang ‘ada’, tetapi sekaligus ‘tidak ada’...
DIA memang ‘terlihat’ tetapi sekaligus ‘tidak terlihat’ ...
DIA memuat ’waktu-ruang-materi-energi-informasi’, tetapi DIA
bukan itu semua...
DIA adalah ’Sesuatu’ yang bisa dijelaskan, tetapi sekaligus
juga tidak bisa dijelaskan...
DIA disebut sebagai ‘kemutlakan’ tetapi sekaligus ‘bukan kemutlakan’...
Dia adalah segala-galanya, tetapi sekaligus bukan apa pun jua...
Setiap yang kita persepsikan tentang DIA, ternyata bukanlah
DIA.
Karena, benak dan seluruh potensi kita tidak akan pernah bisa mewadahi dan menjelaskan Eksistensi-Nya...!
QS. Az Zumar (39): 67
Dan mereka belum mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya
pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan
Maha Tinggi Dia dari apa
yang mereka persepsikan.
Wallahu ’alam bishshawab.
~ salam ~