Ada kesalahkaprahan yang sebenarnya tidak
perlu terjadi. Apalagi ketika kita memahaminya dengan ‘hati jernih’ dan ‘tidak apriori’.
Yaitu, persepsi terhadap buku-buku ‘Serial Diskusi Tasawuf Modern’ yang saya
terbitkan selama ini.
Sejak awal terbitnya, buku-buku tersebut
sama sekali tidak dimaksudkan untuk menampilkan ‘kebenaran baru’. Karena, bagi saya
memang tidak ada kebenaran lama maupun kebenaran baru. Kebenaran adalah ’kebenaran’,
yang mutlak milik Allah semata. Yang kita lakukan sebagai manusia hanyalah mencoba
melihat dan memahami kebenaran mutlak itu dari sudut pandang yang berbeda dan terbatas,
sebagai makhluk. Karena itu, kebenaran setiap kita adalah bersifat relatif, sesuai
dengan background masing-masing.
Dalam prakteknya, memang ’kebenaran mutlak’
selalu menjadi ’kebenaranku’, ’kebenaranmu’, dan ’kebenarannya’. Dan semua itu,
sama-sama bukan kebenaran yang sesungguhnya. Melainkan sekedar ’tafsir kebenaran’
belaka. Jadi, kadang terasa lucu juga jika kita memperdebatkan dan memperebutkan
yang namanya ’kebenaran’. Lha wong,
itu bukan milik kita. Melainkan milik Allah. Sehingga dengan tegas, Allah mengatakan
di dalam Kitab-Nya bahwa yang tahu tentang kebenaran itu hanya Allah sendiri. Bukan
kita. Dialah nanti yang akan menilai apakah seseorang itu ’tidak benar’, ’kurang
benar’, ’agak benar’, ’lebih benar’, dan ’semakin benar’. Tetapi tidak akan pernah
’benar’ dengan sebenar-benarnya.
Lantas, kenapa saya menulis buku-buku
’Serial Diskusi Tasawuf Modern’ yang seakan-akan ingin memperbarui ’kebenaran lama’
menjadi ’kebenaran baru’? Mestinya, pembaca sudah bisa menyimpulkan dari sub judul
yang selalu saya cantumkan di halaman sampul setiap buku saya itu. Bahwa ini sekedar
’ajakan berdiskusi’. Karenanya, saya namakan:
’Serial Diskusi Tasawuf Modern’. Bukan ’Serial Kebenaran Tasawuf Modern’, misalnya.
Tapi, kenapa saya mesti mengajak umat
Islam untuk berdiskusi? Jawabnya sederhana saja: karena saya ingin menyambut perintah
Allah, mengajak manusia menuju jalan Tuhan dengan cara yang dianjurkan-Nya. Sebagaimana
ayat yang sering saya kutip, berikut ini.
QS. An Nahl (16):
125
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan berdiskusilah dengan mereka secara baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.
Saya tidak bosan-bosannya menyampaikan
ayat ini di berbagai forum, termasuk disini. Bahwa setiap kita diberi tugas oleh
Allah untuk menyampaikan ’kebenaran mutlak’ milik Allah itu kepada orang lain. Padahal,
sudah pasti kita tidak memiliki ’kepahaman mutlak’ sebagaimana dimaksudkan Allah?
Ternyata tiidak apa-apa, cukup sejauh yang kita pahami saja. Dan, Allah tetap memerintahkan
kepada kita untuk melakukan syiar, mengajak manusia ke jalan Tuhan.
Lantas bagaimana caranya? Ikuti saja kalimat
dalam ayat tersebut, yakni harus menggunakan hikmah (substansi alias kedalaman makna beragama) dan
yang kedua harus menggunakan mau’idhatul
hasanah (metode dan sistematika
pengajaran yang baik). Tapi, bukankah sebaik apa pun metodenya dan sedalam apa pun
hikmah yang terkandung di dalamnya, setiap kita memiliki perbedaan dalam memahami?
Lantas bagaimana kalau terjadi kondisi semacam itu? Ya, ikuti saja kalimat berikutnya
dalam ayat di atas: ... ’’berdiskusilah
dengan cara yang baik...’’
Nah, buku-buku saya adalah sebuah upaya
untuk mengimplementasikan kandungan ayat tersebut. Sebuah ajakan diskusi dengan
penuh hikmah dan mau’idhatul
khasanah. Tapi, lantas dipersepsi sebagai menyalahkan orang lain dan membenarkan
diri sendiri. Itulah yang saya maksudkan terjadi kesalahkaprahan pada sebagian orang
dalam mempersepsi buku-buku saya.
Bagi yang membaca buku-buku saya dengan
hati jernih dan tidak apriori, insya Allah akan melihat bahwa apa yang saya sampaikan
itu sekedar ’kebenaran relatif’ dalam sudut pandang ’saya’. Dan sangat mungkin berbeda
dengan ’kebenaran relatif’ dalam sudut pandang ’Anda’ dan ’mereka’. Karena sesungguhnya,
saya sangat tahu diri bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah semata.
Pengungkapan pemikiran yang berbeda itu
memang saya sengaja, kenapa? Tentu saja supaya terjadi diskusi, sebagaimana sub judul yang selalu
saya tuliskan di sampul buku-buku itu. Kalau saya menampilkan pemikiran yang sama
dengan kebanyakan pembaca, tentu tidak akan terjadi diskusi. Tidak mengena pada
maksud diterbitkannya buku tersebut.
Lantas, kenapa harus dalam bentuk diskusi?
[Syukurlah saya tidak menyampaikan dalam bentuk doktrin... :)]. Karena Allah memerintahkan
kepada kita, agar umat Islam dalam peroses beragamanya tidak Cuma ikut-ikutan.
Harus paham benar apa yang dilakukan. Bertabayyun. Ingatlah, di akhirat nanti, setiap
kita akan dimintai pertanggungjawaban masing-masing. Kenapa melakukan ini, kenapa
melakukan itu, dan apa alasannya. Lha,
kalau cuma ikut-ikutan tentu kita akan ’gelagapan’ ketika Hari Pengadilan itu datang.
Lantas, kenapa saya menyampaikan semua
itu dengan gaya ’seakan-akan’ saya sudah benar? Ah, masa iya, saat mengajak Anda berdiskusi,
saya harus sambil mengatakan bahwa pendapat saya ini ’tidak benar’. Tentu, Anda
tidak tertarik untuk berdiskusi. Lha
wong, saya sebagai ’penyampai materi’ sudah tidak yakin terhadap apa yang saya
kemukakan. Namun sebaliknya, bukankah saya juga tidak pernah mengatakan bahwa pendapat
saya ini adalah sebuah ’kebenaran’. Dan bukankah di setiap akhir ulasan, saya selalu
mengatakan ’Allahu a’lam bishshawab
– hanya Allah yang lebih tahu kebenarannya’...?
Maka, sesungguhnya yang terjadi hanya
sekedar sensitivitas dalam berdiskusi. Karena argumentasi yang saya sampaikan seakan-akan
menabrak pendapat seseorang, atau sekelompok orang. Padahal yang saya maksudkan
adalah ajakan untuk berdiskusi dengan sudut pandang berbeda, terbuka, dan egaliter
alias sederajat, dalam memahami ilmu-ilmu Allah. Tentu, agar ajakan diskusi ini
memperoleh sambutan dari khalayak, saya harus pintar-pintar ’menarik perhatian’.
Tanpa harus mengorbankan misi ataupun melakukan klaim-klaim kebenaran.
Namun yang lebih penting dari itu semua,
apa yang saya lakukan ini sebenarnya didorong oleh rasa keprihatinan yang sangat
mendalam terhadap SDM umat Islam yang stagnan alias ’jalan di tempat’. Umat yang didesain
Allah sebagai umat teladan ini, ternyata sekarang tidak lagi menjadi teladan dalam
kancah peradaban dunia sebagaimana zaman keemasan Islam. Bukan hanya 10 – 20 tahun,
melainkan sudah 700 tahun terakhir. Di bidang politik kita tidak teladan. Di bidang
ekonomi kita tidak teladan. Di bidang militer kita tidak teladan. Di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi kita juga tidak teladan. Sebutlah seluruh bidang-bidang
dalam kehidupan kita, apakah umat Islam teladan..?! Bahkan di rumah tangga, pergaulan
antar-tetangga, bermasyarakat dan bernegara, kita tidak menjadi teladan.
Ada apa ini dengan umat Islam? Umat yang
didesain sebagai umat teladan kok tidak menjadi teladan? Pasti ada yang ’salah
kaprah’ dengan kita dalam beragama. Kalau cara beragama kita benar, tidak akan begini
jadinya umat Islam. Pasti akan menjadi teladan di segala bidang. Ekonomi, politik,
militer, sains & teknologi, kesehatan dan kedokteran, pendidikan, dan lain sebagainya.
Itulah yang disebut Allah sebagai tatanan masyarakat yang ’rahmatan lil alamin’ dimana umat Islam sebagai khalifah alias panutannya.
Maka, saya ingin mengajak semua umat Islam
untuk menata kembali cara beragamanya. Dimulai dari mana? Tentu saja dari ’pola
pikir’ dulu. Mind-set yang Qur’ani. Kalau pola pikirnya saja sudah
keliru, tentu semua tindakan berikutnya akan keliru. Dan tidak menghasilkan efek
yang dijanjikan oleh al Qur’an. Buku-buku yang saya tulis dan forum-forum yang saya
hadiri, adalah media untuk mengurai benang kusut yang belum kelihatan ujung pangkalnya
itu. Saya kira, kita harus 'banyak bicara' untuk mengurai masalahnya terlebih dahulu.
Kita harus berdiskusi tentang segala hal terkait dengan agama dan prakteknya dalam
masyarakat. Dan, setelah itu baru melakukan action secara lebih tertata. Kalau dalam pembicaraan
aja kita belum bisa mendeteksi masalahnya, maka sudah pasti action kita tidak akan terarah.
Memang, barangkali akan butuh waktu panjang,
lintas generasi, untuk mengatasi masalah kemunduran SDM ini. Tetapi, tidak bisa
tidak, harus kita mulai sekarang. Masalah yang paling utama, adalah membuka pola
pikir umat Islam seluas-luasnya. Membiasakan diri menerima kebenaran darimana pun
itu datangnya. Karena kebenaran yang kita miliki ternyata berbeda dengan kebenaran
yang orang lain miliki. Sikap membuka diri terhadap segala kebenaran yang bersumber
dari semangat Al Qur’an ini akan menghasilkan arus informasi dan alternatif penyelesaian
masalah yang sangat berguna bagi umat Islam ke masa depan. Bukan malah menutup diri
terhadap dinamika realitas yang terus bergerak.
Umat Islam selalu ketinggalan kereta.
Karena tidak terbiasa berada bersama dengan kenyataan yang melingkupinya. Dan lebih
senang terkungkung pada masa lalunya. Padahal Islam dan Al Qur’an diwariskan kepada
kita semua untuk menjadi solusi bagi masalah-masalah keumatan yang semakin kompleks
ke masa depan. Maka, kita harus menggali terus mutiara-mutiara hikmah yang ada di
dalam al Qur’an. Karena sesungguhnya di dalam kitab ajaib inilah solusi yang akan mengentas umat Islam untuk menjadi
umat teladan kembali di pentas dunia...
QS. Ali Imran (3):
110
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Menyuruh kepada
yang ma`ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman hanya kepada Allah semata ...
Wallahu a’lam bishshawab.
~ salam ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar