Minggu, 12 Mei 2013

NASIHAT BAGI PARA MUALAF

Sahabat JERNIH yang dirahmati oleh Allah ...

Saya senang menghabiskan waktu senggang bersama teman-teman sejawat untuk duduk santai, ngobrol tentang hakikat kehidupan, membangun kehidupan yang damai, dan tentu saja berbicara tentang pencarian Tuhan. Biasanya saya mengarahkan pembicaraan pada hal-hal yang sederhana, yang universal dan bisa diterima semua pihak, dan sebisa mungkin tidak membawa-bawa dalil agama. Namun demikian, teman-teman saya menganggap bahwa saya ‘cukup mengerti’ tentang ilmu agama, sehingga saya pun seringkali menuruti kemauan mereka untuk sedikit demi sedikit membedah ajaran Islam, termasuk ayat-ayat Al Qur’an.

Saya memiliki banyak teman dari kalangan Non-Mukmin, dan kami pun bisa “get along” dalam bertukar pikiran dengan mereka. Alhamdulillah, beberapa di antara mereka akhirnya memutuskan untuk memeluk agama Islam setelah diskusi yang intensif (sebagiannya adalah warga asing).

Sebelum atau sesudah berikrar syahadat, biasanya mereka meminta nasihat pada saya, bagaimana sebaiknya mereka dalam menghadapi keluarga atau teman-teman yang memiliki keyakinan seperti keyakinannya yang lama.

Nasihat ini yang selalu saya berikan kepada mereka : “Tetaplah menjaga silaturahim dengan mereka, dan tunjukkan bahwa kamu saat ini adalah pribadi yang jauh lebih baik daripada sebelumnya.”

Ya .. sebagian mualaf terkadang kurang tepat dalam menyikapi hubungan dengan keluarga dan teman-temannya. Biasanya para mualaf adalah orang-orang yang mengalami kehampaan dalam keyakinannya yang lama, sehingga begitu ia menemukan cahaya di dalam Islam, mereka begitu gembira dan seringkali terjebak di dalam euforia, yaitu kegembiraan yang berlebihan.

Akibatnya, mereka memberitakan keimanannya yang baru itu dengan cara yang seringkali malah tidak simpatik. Misalkan saja mengatakan bahwa agamanya yang paling sempurna dan paling benar, sekaligus menjelek-jelekkan keyakinan lamanya. Meyakini agamanya paling sempurna dan benar itu baik, akan tetapi alangkah baiknya jika tidak digembar-gemborkan di media umum. Alangkah lebih simpatiknya jika kalimat “Saya memilih Islam karena Islam adalah agama paling sempurna dan terbaik”, digantikan dengan kalimat “Saya mememukan Tuhan, kebahagiaan, dan ketenangan batin di dalam agama Islam yang saya anut ini.” Tentunya kalimat terakhir tersebut akan tetap merupakan ‘promosi terbuka’ terhadap Islam, tanpa harus menyinggung perasaan umat lainnya.

Yang lebih menyedihkan lagi, apabila ada seorang mualaf yang terlalu bersemangat dan mencoba ‘meluruskan’ keimanan orangtua dan keluarganya, sehingga ujung-ujungnya bertengkar. Yang seharusnya ia lakukan adalah meyakinkan kepada orangtua dan keluarganya, bahwa ia tetaplah anak yang berbakti dan bagian dari anggota keluarga. Ia akan tetap mencintai orangtua dan saudara-saudaranya, tidak ada yang berubah, dan apa adanya.

Tidak perlu sekali-sekali menyentil ‘institusi keagamaan’, kecuali jika orangtua dan saudara anda sudah memiliki kematangan dalam berpikir. Dan tidak perlu pula untuk meributkan hal-hal yang tidak substansial, misalkan saja apabila ibu anda memasak makanan yang mengandung babi. Tidak perlu diributkan, ambil saja menu yang tidak ada babinya.

Dengan menjadi mualaf, malah justru harus dibuktikan bahwa ia sekarang menjadi seorang anak yang lebih penyayang dan berbakti kepada orangtuanya, dan tidak pernah lagi berkata-kata buruk kepada orangtuanya.

QS Al Ahqaf [46] : 15
Kami perintahkan kepada manusia supaya BERBUAT BAIK KEPADA KEDUA IBU BAPAKNYA, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk MENSYUKURI NIKMAT ENGKAU yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat BERBUAT AMAL SALEH yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk ORANG YANG BERSERAH DIRI (MUSLIM)."

QS Al Israa [17] : 23
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu BERBUAT BAIK KEPADA IBU BAPAKMU dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka JANGANLAH sekali-kali kamu MENGATAKAN ‘AH’ dan JANGANLAH kamu MEMBENTAK mereka dan UCAPKANLAH kepada mereka PERKATAAN YANG MULIA.”

Dalam hemat saya, tidak perlu pula seorang mualaf mengganti namanya menjadi “kearab-araban”. Gunakan saja nama pemberian orangtua kita, sebagai wujud rasa terima kasih kita kepada orangtua. Toh, Islami tidaknya seseorang tidak bergantung dari nama akan tetapi perbuatannya, bukan?

Jika sudah berbuat demikian namun tetap saja ‘dimusuhi’ oleh orangtua dan keluarga?

Ya, tetaplah bersikap lemah lembut, bersabar, dan memaafkan mereka, seperti yang telah difirmankan di dalam banyak ayat dalam Al Qur’an, di antaranya :

QS Asy Syuara [42] : 43
Tetapi orang yang BERSABAR dan MEMAAFKAN sesungguhnya yang demikian itu LEBIH DIUTAMAKAN.”

QS Ali Imran [3] : 159
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku LEMAH LEMBUT terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu MAAFKANLAH MEREKA, MOHONKANLAH AMPUN BAGI MEREKA, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad (untuk tetap memegang teguh keyakinan), maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”

Lalu bagaimana jika orangtua dan keluarga kita tetap tidak bisa menerima, dan bahkan melakukan hal-hal agresif seperti kekerasan secara fisik? Jawabannya ada pada teladan Ibrahim : Dengan tetap menjaga sikap lemah lembut dan sopan santun, maka tinggalkanlah mereka untuk sementara waktu.

QS At Taubah [9] :114
Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu mendurhakai Allah, maka Ibrahim BERLEPAS DIRI (meninggalkan) dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang SANGAT LEMBUT HATINYA LAGI PENYANTUN.

Maka demikian, bisa disimpulkan bagaimana para mualaf menyikapi orangtua dan keluarganya yang berbeda keyakina n :

- Tetaplah mencintai mereka apa adanya.

- Bersikaplah lebih baik kepada mereka dibandingkan sebelum memutuskan menjadi mualaf.

- Tidak perlu menyentil masalah institusi keagamaan, jika memang benar-benar tidak diperlukan.

- Bersikaplah sabar dan memaafkan jika situasinya sulit.

- Jika keadaannya sudah berbahaya untuk tetap menjalin hubungan, maka tinggalkan mereka untuk sementara waktu dengan tetap penuh penghormatan.

Maka orangtua manakah yang tidak tersentuh hatinya tatkala melihat anaknya yang menjadi pribadi yang menyenangkan, mententeramkan, santun, dan berbakti kepada orangtuanya, sebagai dampak dari keimanannya yang baru tersebut?

Lebih jauh lagi, secara umum seorang mualaf harus menunjukkan peningkatan kualitas diri dengan menunjukkan budi pekerti luhur ..

QS Al Qalam [68] : 4
Dan sesungguhnya kamu benar-benar BERBUDI PEKERTI LUHUR.”

.. menyeru setiap manusia dengan hikmah dan tauladan yang baik ..

QS An Nahl [16] : 125
SERULAH (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan HIKMAH dan SURI TAULADAN YANG BAIK dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

.. dan aktif menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan, sebagai bukti bahwa anda PANTAS disebut sebagai UMAT YANG TERBAIK!

QS Ali Imran [3] : 110
Kamu adalah UMAT TERBAIK yang dilahirkan untuk manusia, MENYERU KEPADA KEBAIKAN, dan MENCEGAH KEJAHATAN, dan BERIMAN KEPADA ALLAH ...”

Allahu’alam ...

Semoga bermanfaat!

Kamis, 09 Mei 2013

Jazz Tujuh Langit

Jazz Tujuh Langit
Oleh Redaksi Kenduri Cinta

Ada yang berbeda dalam tata panggung Kenduri Cinta edisi April 2013 yang jatuh pada tanggal 12. Bonang, Saron, Rebana, Kendhang, berjajar rapi di atas panggung – yang ukurannya lebih luas daripada biasanya – bersama dengan biola, keyboard, saxophone, drum. Belum saja pukul setangah delapan malam, jamaah sudah ramai berdatangan, mengisi baris-baris gelaran di depan panggung, turut menikmati gladi resik kelompok Kiaikanjeng yang berkolaborasi dengan Beben and Friends.

Tepat pukul delapan, acara dibuka dengan tadarus Surah Al-Fath, lalu diprologi oleh Mas Baim, Mas Adi, Mas Anjar, Mas Boim, dan Mas Rusdi. Sebagaimana mukadimah yang ditulis sendiri oleh Cak Nun untuk tema kali ini, jazz itu ‘mengalir’, bukan ‘aliran’. Dan dia tidak terbatas hanya dalam dunia musik, tetapi juga dalam bentuk-bentuk proses kehidupan yang kita jalani.

Lalu tujuh. Orang Jawa punya beberapa kata baik yang mengandung unsur tujuh (atau pitu dalam Bahasa Jawa) : pitulungan, pituduh. Lalu kita menyebut wujud kesepakatan kita dengan kata ‘setuju’, bukan sepuluh atau yang lain. Juga orang Betawi punya tokoh pahlawan yang namanya Si Pitung.

Tak hanya di Indonesia. Kita mengenal ada SEVEN WONDERS, SEVEN HABITS. Lalu sekarang juga marak kebiasaan nongkrong anak-anak muda di SEVEN ELEVEN. Maka pasti tujuh ini bukan hanya urusan orang Jawa. Ini rahasia Tuhan.

Al-Fatihah terdiri dari tujuh butir ayat. Sebelum sampai pada tujuh, kita harus terlebih dulu mengenal enam. Enam itu masa. Enam itu akhir. Kalau misalnya rumah kita bernomor 6, kemungkinan kita akan lama tinggal di rumah itu, atau bahkan mungkin akan seterusnya di situ. Allah sendiri menceriterakan penciptaan langit dalam enam masa. Al-Quran berakhir pada surah ke-114 (1+1+4=6).

Nama-nama Nabi yang diperkenalkan kepada kita ada 25; 2+5=7. Tujuh ini angkanya Nabi Muhammad. Thoriqoh Syadziliyah mengatakan bahwa Nabi Muhammad itu pembuka dari yang tertutup dan penutup dari yang masa lalu. Nabi Muhammad berkedudukan sebagai penutup sekaligus pembuka.

Kembali ke langit. Di dalam Al-Quran langit disebut berpasangan dengan bumi, sammawati wal ardl. Bumi disebut dalam bentuk kata tunggal, sementara langit disebut dalam kata jamak; menujukkan bahwa dia berlapis-lapis.

Dalam kesempatan ini juga diperkenalkan Ketua KC yang baru, Bang Boim (Muhammad Ridwan) – yang sebelumnya pada 2006-2007 juga pernah mengetuai KC. Pada edisi KC kali ini, beberapa teman dari lingkar Maiyah di kota lain turut datang. Mas Adhon dari Bangbang Wetan Surabaya diminta naik ke atas panggung.

“Di BBW itu ya mungkin hampir sama dengan forum KC ini, tapi saya belum bisa mengkomparasikan juga karena baru kali ini saya bisa datang ke KC. Tapi sekilas saya lihat muatan ilmu di sini lebih berbobot. Kalau durasinya ya hampir sama, sampai menjelang Shubuh. Saya sendiri di BBW sejak pertama kali forum itu diadakan, tapi nggak rutin datangnya. Yang saya rasakan di setiap forum adalah rasa nyaman. Meskipun dari banyak yang disampaikan ada yang saya nggak ngerti, tapi ada keasyikan yang saya rasakan dalam kebersamaan di Maiyah ini. Saya merasa sangat mudah menjalin persahabatan melalui forum-forum Maiyah.”

Feel The Jazz

“Nggak terasa sudah satu tahun saya di KC,” ujar Mas Beben mengawali sesi pertama, “Dengan apresiasi yang luar biasa dari KC, setahun sangat tidak terasa. Main di mana-mana, Beben Jazz itu cirinya dua : topi dan kacamata. Karena kadang ketika main di festival jazz saya merasa sepi dalam keramaian, maka saya bersembunyi di belakang kacamata saya. Dan itu saya selalu merem. Tapi hari ini di KC, saya mau buka kacamata saya untuk Anda semua.”

“Saya tidak berusaha untuk menunjukkan apa-apa, tidak ingin menunjukkan main gitar yang mlintir, yang akrobatik. Saya hanya ingin berusaha main jazz dengan khusyuk, karena dari kekhusyukan ini lahir keindahan. Di sini saya ingin berbagi kebahagiaan dengan kalian semua.”

Mas Beben dan kawan-kawan – ada Nick di saxophone, Ivan di keyboard, Ricky di bass, dan Nair di drum – membawakan lima lagu. Lagu pertama berasal dari era ’80-an, Just The Two of Us dari Grover Washington. Dilanjut dengan lagu pop Prancis yang di-Inggris-kan yang kemudian menjadi lagu kedua terpopuler abad XX setelah Yesterday-nya The Beatles, Autumn Leaves dibawakan dalam blues. Lagu ketiga Fly Me to The Moon dalam funk, lalu What A Wonderdul World dalam swing dan bossas, dipungkasi dengan So Danco Samba-nya Antonio Carlos Jobim.

“Luar biasa apresiasi yang kami dapatkan di sini. Serunya, penonton sudah sangat mengerti kapan harus tepuk tangan di jazz. Setiap aliran musik punya cara tepuk tangan tersendiri. Kalau di rock Anda bisa tepuk tangan di sepanjang lagu. Kalau musik klasik, belum boleh tepuk tangan kalau belum selesai. Di jazz, seperti yang Anda lakukan tadi, tepuk tangan tiap ada improvisasi.”

“Jazz itu musik yang memerdekakan. Lalu kenapa mesti belajar? Supaya kita makin tahu apa yang kita mau. Ada orang yang inginnya musik seperti ini, tapi tidak bisa mewujudkannya karena kurang secara keilmuan. Di situlah pentingnya belajar; supaya apa yang dia inginkan sesuai dengan refleksikan.”

“Orang yang makin bisa hidup menjadi diri sendiri, hidup sesuai yang dia pilih. Bukan hidup yang memilih dia. Kalau kita punya kesempatan seperti itu, berbahagialah. Kita di dalam komunitas jazz Kenduri Cinta ini diajak nge-jazz secara nggak langsung. Tanpa sadar kita makin punya kemerdekaan itu.”

Mas Beben mengundang siapapun yang berkeinginan belajar musik secara teknis untuk datang bergabung ke Komunitas Jazz Kemayoran atau ke Kandank Jurank Doank.

“Salah satu filosofi jazz adalah bermain sambil mendengar. Bukannya tidak mau latihan, tapi kita selalu ingin ada misteri dalam permainan. Ada spontanitas. Bermain sambil mendengar, akhirnya dengan pertalian batin kita, kita bisa bermain kompak.”

“Luar biasa prolog yang dibuat oleh Cak Nun. Waktu terima e-mail-nya, saya sangat terharu sampai menangis beberapa kali di depan istri saya. Saya terharu karena Cak Nun sangat nge-jazz – bukan hanya sebagai aliran musik, tapi sebagai sikap hidup. Miles Davis dan John Coltrane pun belum tentu bisa nulis se-jazzy Cak Nun. Dan senior-senior jazz saya belum ada yang bisa ngomong sedalam itu.”

“Dalam rangka Jazz Tujuh Langit, selama seminggu saya dan istri saya ke Jogja untuk rekreasi sambil jam session dengan Kiaikanjeng. Banyak musisi di Indonesia yang lupa pada hakikat atau falsafah musik. Saya di Jogja menemukan bahwa masih banyak musisi-musisi sejati di Jogja. Saya belajar banyak di sana.”

Sebelum masuk ke sesi kedua, yaitu Kiaikanjeng bersama Mbak Via, Mas Wahyu membacakan mukadimah yang ditulis Cak Nun, berjudul sama dengan judul acara malam ini.

Bergembira Bersama Kiaikanjeng dan Mbak Via

Tepuk tangan riuh rendah dari jamaah begitu Kiaikanjeng membunyikan gamelan. Di vokal ada Mas Zainul Arifin dan Mbak Via, menyanyikan lagu Kelahiran. 

“Tadinya saya bilang nggak bisa waktu diajak Cak Nun untuk nge-jazz, karena saya ini kan penyanyi pop, nggak bisa nyanyi jazz yang meliuk-liuk. Di bayangan saya jazz itu kan keren. Tapi lalu Cak Nun menjelaskan apa yang dimaksud jazz di sini, maka saya baru ngerti,” Mbak Via menyapa jamaah, “Saking senengnya Kiaikanjeng mau main jazz, terus bikin baju baru. Tak pesenke ning tonggoku.”

“Setelah mendengar penjelasan Cak Nun mengenai jazz, lho kalau begitu ternyata setiap hari kami ini nge-jazz. Nomor satunya keikhlasan, kadang nggak latihan untuk memunculkan spontanitas. Setiap pentas kita selalu nge-jazz, karena nggak pernah tahu lagu apa yang mau dibawakan. Kadang sudah menyiapkan lagu ini, tapi di panggung, Cak Nun menyuruh kami membawakan lagu yang lain. Karena Cak Nun itu Mr. Suddenly.”

Lagu kedua dari Kiaikanjeng dan Mbak Via ada Tembang Setan, lalu disusul dengan Semua Bernyanyi, dan kemudian Gundul Pacul. 

Kolaborasi Kiaikanjeng dan Inna Kamarie

Sesi ketiga, kolaborasi antara Kiaikanjeng dan Mbak Inna Kamarie, membawakan tiga lagu. Yang pertama lagu Menungso dengan beberapa adaptasi, lagu kedua Someone Like You; lagu ketiga Summer Time. 

TIGA TINGKAT JAZZ

“Jadi ada tiga tingkat jazz yang akan saya jelaskan pada Anda,” Cak Nun menyampaikan konsep mengenai jazz, “Jazz itu ada outputnya di bidang musik, ada outputnya di bidang kebudayaan yang lebih luas, dan ada outputnya di bidang kehidupan yang bukan hanya budaya tapi juga ada agama, politik, ekonomi. Jazz itu satu sikap hidup, satu cara memperlakukan hidup. Dia berpedoman pada sifat Tuhan. Sifat Tuhan yang pertama itu selalu menguak yang gaib. Kalau Allah itu ‘alimul ghoib, Mengetahui segala yang gaib. Kalau manusia mempelajari segala yang gaib.”

Jazz adalah pekerjaan untuk selalu mencari peluang-peluang yang belum pernah ada, selalu melakukan ijtihad atau jihad hati dan pikiran, mencari kemungkinan-kemungkinan. Dan itu bisa terjadi bukan hanya pada musik.

“Maka di dalam Islam ada jazzakumullah. Jadi jazz ini orang yang sudah mendapat ijazah. Kalau di kalangan kiai, ijazah diberikan pada santri yang sudah dianggap pantas untuk mencapai suatu level dan dia dikasih kepercayaan untuk melakukan pekerjaan yang lebih tinggi atau lebih besar. Kemudian kata ‘ijazah’ direbut oleh dunia sekolahan yang sangat kapitalistik seolah-olah dari mereka.”

“Jazz itu sikap hidup, jadi tidak setiap orang punya kewajiban untuk seperti Beben yang mengaplikasikannya dalam aransemen dan composing nada dan irama. Orang boleh menerapkan watak jazz itu di berbagai bidang. Anda kalau berdagang tidak jazzy ya gitu-gitu aja. Anda harus menguak kemungkinan-kemungkinan baru. Anda harus ber-ijtihad. Anda harus kembali pada dasar, yaitu orang hidup itu cuma ada tiga : Anda milih untuk ijtihad (inovatif dan kreatif), ittiba’ (mengikuti sesuatu yang dipahami), atau taqlid (anut grubyuk, pokoke melok).”

“Tapi ini tidak berlaku untuk orang pikun. Orang pikun tidak terikat pada tiga hal itu. misalnya dia lupa bahwa dirinya presiden, maka dia jadi Ketua Partai Demokrat. Itu pikun. Dia pikir puncak kariernya adalah menjadi ketua partai, padahal dia sudah presiden. Dan itu tidak bisa disalahkan karena dia pikun. Jadi Anda jangan marah-marah. Ini saya selalu mencarikan alasan supaya semua orang masuk surga. Enak to nek karo aku.”

“Jadi Kiaikanjeng ini bersikap jazz, tapi mereka tidak punya peluang untuk bener-bener menciptakan output musikal karena waktu mereka digunakan untuk melayani masyarakat secara sosial, kebudayaan, dan agama. Maka jazz-nya muncrat-muncrat pada berbagai hal. Output musik sedikit-sedikit ya bisa, tapi tidak bisa secara total menjadi musisi jazz karena waktu. Nek ndelok raine kan gak cocok blas, jan ra ono potongan. Maka di luar negeri mereka selalu diremehkan awalnya, tapi setelah selesai bermain orang-orang menciumi tangan mereka.”

“Mereka kalau sudah sampai pada puncak jazzy-nya selalu merem. Waktu di Conservatorio, pusat musik klasik di Napoli – kotanya Maradonna waktu dia main sepakbola, mereka mainnya sampai memejamkan mata. Tangannya sudah nggak tahu ke mana. Begitu sukses waktu itu, karena orang Italy nggak ngerti not gamelan.”

“Tapi mereka nge-jazz di wilayah kedua, yaitu di wilayah kebudayaan. Misalnya, tadi Mbak Inna menyanyikan lagu Menungso, itu kan lagu Jawa asli, tapi kemudian oleh Sabrang di-Bahasa Inggris-kan menjadi Man on the land.”

Kiaikanjeng membuktikan bahwa sesungguhnya tidak ada bedanya manusia di dunia ini. Kenapa kemudian jazz hanya ada di Amerika? Kalau blues di New Orleans, di Chicago? Kenapa jazz hanya berbentuk seperti itu tadi? Kenapa tidak mungkin dia muncul di warung-warung, tidak muncul di perilaku-perilaku yang penuh terobosan?

Kiaikanjeng menyambung semua kemungkinan kebudayaan itu. Misal, pernah lagu Israel, lagu Arab, lagu Jawa, diuleg jadi satu oleh Kiaikanjeng. “Kenapa tiba-tiba kamu menjadi orang Arab, orang Yahudi, orang Jawa? Wong kamu berasal dari gen yang sama.”

“Kita semua terkotak-kotak dan dan akan menyatu kembali dengan watak jazz. Kalau tidak, manusia tidak akan pernah bersatu lagi.”

Bahkan tidak ada yang membayangkan bahwa puncak jazz adalah tilawatil Quran. Se-jazz-jazz-nya musik, dia masih memerlukan kunci awal, masih ada disiplin, meskipun dia cari peluang masuk di antara dua ketukan. Tapi qiro’ah, tidak memerlukan kunci awal dan setiap titik bunyinya merupakan improvisasi.

“Qori’ adalah pelaku jazz yang sebenarnya, kecuali yang kuliah akhir-akhir ini karena mereka kemudian dipaket-paket, ada qiro’ah sab’ah, ada model Mesir, model apa. Kalau jazz ya sakmodel-modele.”

“Level ketiga adalah nggak cuma di kebudayaan, tapi sampai ke agama dan segala macam. Anda jangan menyangka lagu Summer Time itu lagu Amerika. Ya memang dari Amerika, tapi apakah Anda pernah mempelajari nasabnya? Kayak kata ‘jazz’ itu dari mana? Dalam Bahasa Inggris tidak ada lho kebiasaan kata j-a-z-z. itu pasti agak Arab-Arab dikit. Dalam habitat Bahasa Inggris kata ‘jazz’ itu kan aneh.”

“Kayak lagu Summer Time, orang mendengarkannya kan tergantung pada khasanah sejarahnya. Kalay kayak saya, saya pernah hidup di Amerika dalam kesengsaraan, jadi saya nggak bisa romantik dengan summer time. Apalagi saya kemudian direpotin dengan Negro-Negro; saya mendidik mereka untuk bisa jadi manusia modern, dan itu susah banget.”

“Dan, di dalam jazz tidak ada lho yang namanya fals. Kalau Anda ngomong ada suara fals, itu buakn fals tapi tidak pada tempatnya. Seharusnya bukan dia yang nongol, tapi kok dia. Misalnya Do kurang dikit, lho kenapa dia di situ?”

“Yang disebut fals sebenarnya adalah kekeliruan manajemen, karena seluruh benda, bunyi, dan apapun saja dalam kehidupan ini, dijamin oleh Tuhan tidak ada yang sia-sia, tidak ada yang mubadzir.”

“Kalau mau cari fals, itu adalah menteri yang seharusnya tidak jadi menteri. Ini kan serba fals semua, dan karena semuanya fals, maka menjadi satu harmoni. Presidene fals, partaine fals, menterine fals, saiki rakyate melu fals sisan.”

Cak Nun kemudian meminta untuk dibunyikan kembali lagu Summer Time, dan Beliau menyanyikan sholawat dalam iringan musik tersebut.

“Ini bukan pementasan, ini memberi contoh kepada Anda bahwa Anda bisa melakukan terobosan-terobosan. Saat ini Indonesia sedang buntu berat, kalau Anda tidak punya daya terobosan dalam hidup Anda, Anda mau nunggu siapa? Anda yang harus melakukannya sendiri. Jadi sebenarnya jazz ini dzikir, yang mengingatkan Anda kalau Anda bisa menembus.”

“Dalam pola-pola pembacaan Alquran maupun dialek etniknya, ada 7 macam. ‘Alimul ghoibi wa syahadah merupakan sifat Tuhan yang utama. Allah itu menguak kegaiban. Dia menyaksikan dan mengalami. Dia menyamar seolah belum tahu, padahal kan dia juga yang bikin, itu semata-mata untuk supaya kita belajar menjadi muta’alimul ghoibi wa syahadah.”

“Pada ayat lain Tuhan bilang, ‘Wahai jin dan manusia!’ Selalu jin dulu, baru manusia. Ini belum ada tafsirnya – mau Jalalain, Ibnu Katsir. Kenapa jin dulu yang disebut? Karena manusia kalau meningkat dia akan menjadi jenius, maka dia menjadi bagian dari jin.” Sontak jamaah tertawa terpingkal-pingkal.

“Pernah ada pentas jazz pake ngaji? Itu karena kurang jazz! Bagaimana dunia ngaji nyambung banget sama jazz. Sehebat-hebatnya jazz dia masih pakai gitar, tapi ngaji, sudah nggak ada bunyi alat musik yang berani berbunyi saking utuhnya improvisasi entitas ngaji itu.”

Cak Nun kemudian memperdengarkan satu dialek ngaji yang terdengar ‘tradisional’ dan sangat Jawa. Tapi rupanya itu bukan Jawa, melainkan Sudan.

“Ini juga terobosan. Boleh dong ada jazz Arab, jazz Jawa. Palaran-palaran itu juga jazzy sekali. Mari kita men-jazz-kan dunia.”

“Silahkan ikut naik untuk Sudjiwo Tedjo! Pak Tedjo ini vokalnya terbaik, dia masuk surga karena suaranya,” Cak Nun menyambut Presiden Jancuker itu dengan gojegan, “Maksude sing mlebu surgo suarane thok, nek wonge mbuh.”

MENUJU TAUHID

Sekarang giliran Syekh Nursamad Kamba angkat suara, “Saya nggak paham musik, tapi dari yang disuguhkan sejak awal jadi mengerti, Oh ini to yang namanya jazz. Ini sebenarnya tanpa ceramah sudah paham. Jazz ini kalau bahasa agamanya tauhid, tauhid yang sejati. Dalam beragama ada proses pendidikan. Kalau dalam antropologi agama, sosiologi agama, dan psikologi agama, ada perkembangan dari keberagamaan. Dari yang awalnya melihat Tuhan itu banyak, sampai kemudian berkembang ke kesadaran bahwa Tuhan itu Mahaesa.”

Dalam proses penerapannya juga mengalami perkembangan. Kita masih terikat oleh lembaga-lembaga keagamaan. Kita masih merasa perlu melembagakan diri dalam institusi tertentu. Kita mengikat diri untuk beragama. Sepanjang kita mengurung diri dalam lembaga-lembaga, dalam pengkotak-kotakan agama, kita tidak akan sampai pada seni dalam beragama atau seni tauhid. Tauhid itu keesaan Allah yang kita merupakan bagian di dalamnya.

Tauhid yang sesungguhnya adalah dengan seni jazz yang tersimpul dalam asmaul husna. Dalam asmaul husna, Tuhan itu Maha Kaya tapi juga Maha Miskin. Kalau orang sampai pada taraf tauhid sejati, dia memberi atas nama Tuhan, dan menerima juga atas nama Tuhan. Tuhan menjelma menjadi manusia dalam tataran yang berbeda. Maka dikatakan bahwa TUhan itu lathiful kabir, lebih halus daripada yang paling halus.

Dalam kitab suci, Tuhan seolah-oleh menampakkan Diri-Nya sebagai Maha narsis. Itu maksudnya supaya Tuhan bisa menjadi sosok idola bagi setiap makhluk-Nya. Kalau sudah menjadi idola, seorang idola kalau meminta kepada yang diidolakannya, sudah bukan merupakan beban, melainkan terdengar sebagai perintah yang dengan senang hati ditunaikan.

“Setiap agama yang datang ke Indonesia itu kan menciptakan peradaban, kerajaan. Karena pemahaman agama yang seperti itu yang menciptakan dorongan untuk berinteraksi secara individual maupun sosial, maka pendidikan agama harus berkembang supaya orang-orang beragama menjadi efektif, aktif dalam interaksi sosial untuk bisa membangun peradaban. Saya rasa itu penting bagi kita untuk menyikapi keterikatan kita pada institusi-institusi agama.”

Orang yang sampai pada taraf seni tauhid tidak perlu terikat dengan batasan-batasan tertentu untuk melangkah pada kebaikan. Dia punya logikanya sendiri, seperti orang yang ahli beladiri yang sudah tidak lagi memikirkan teori-teori untuk bergerak. Mereka sudah melampaui teori, mereka sudah sampai pada taraf kreatif.

TUJUH LANGIT DI DALAM TUHAN

“Tujuh langit itu bukan Anda di langit pertama terus mau ke langit kedua. Bukan Bumi berada di langit keberapa. Yang dimaksud bukanlah lapisan-lapisan jasad. Bukan bumi ‘dan’ langit, melainkan ‘di dalam’. Langit yang di dalamnya ada Bumi itu ada di dalam kita, dan manusia ada di dalam Tuhan. Jadi bukannya Tuhan ada di sana, langit ada di sana. Anda bisa mencapai langit ketujuh sekarang juga, tergantung apakah Anda telah suwung atau tidak.”

“Kalau di dalam dirimu masih ada yang membebanimu, kalau di dalam dirimu masih ada dirimu, kalau di dalam dirimu masih ada yang seharusnya tidak membebanimu, maka kamu tak akan bisa terbang. Di dalam dirimu jangan ada dirimu. Kebanyakan orang, di dalam dirinya hanya ada dirinya, hanya ada ego dan eksistensinya. Kalau dirimu suwung, berarti yang ada di dalam dirimu hanyalah iradlah Allah. Kamu jadi presiden, itu iradlah Allah. Kamu bikin KC, itu iradlah Allah, karena kita di dalam Allah. Lalu, apakah kita di dalam Allah atau sebaliknya? Itu soal dialektika, soal sawang-sinawang.”

Mbak Tedjo kemudian bernyanyi diiringi gamelan Kiaikanjeng, menyanyikan lagu Jancuk.

“Supaya Anda tidak salah paham, supaya para ulama tidak marah sama Tedjo, saya kasih tahu epistemologi ‘jancuk’. Jawa Timur bagian timur menyebutnya ‘jancuk’, sementara Jawa Timur bagian barat menyebutnya ‘dancuk’. Ini hanya soal aksentuasi pendengaran tiap orang yang berbeda-beda.”

“Banyak orang salah paham, pengajian kok pakai misuh-misuh. Sebentar, ‘dancuk’ itu berasal dari kata ‘diencuk’, itu kan menunjuk pada yang paling dasar dari harga diri manusia. ‘Diancuk’ merupakan reaksi kemarahan orang terhadap perbuatan jahat. Tidak ada kata ‘dancuk’ yang diucapkan dalam rangka kejahatan. Justru dia merupakan protes terhadap kejahatan. Itu semua dilakukan atau diucapkan lalu muncul sebagai idiom budaya karena kemurnian manusia untuk selalu bereaksi melawan kedzaliman. Jadi Jancukers adalah kumpulan orang-orang yang melawan kedzaliman.”

“Semua yang buruk-buruk aku tunjukkan baiknya, dan aku menolak untuk menunjukkan buruknya yang baik-baik meskipun aku tahu. Biar engkau kembali pada cita-cita yang suwung.”

Dengan diiringi gamelan Kiaikanjeng, Mbak Inna dan Mbak Via membawakan lagu Gerimis Aje

“Saya minta doa, bersama Pak Nursamad, saya dan teman-teman Kiaikanjeng diundang ke Maroko bulan Juni, kemudian dikejar juga oleh Madagaskar. Ini segera kita urus. Mungkin dibantu temen-temen KC untuk pengurusannya ke Maroko.”

“Saya kira di sana Zainul yang akan paling senang karena menurut Ustadz Nursamad di sana kebanyakan penganut Qodiriyah. Kalau orang Syiah kan dimarahi karena syahadatnya ditambahi. Itu jazz dalam bdang tauhid. Kan boleh to diterusin? Misalkan ditambahi ‘saya bersaksi bahwa pohon itu hiijau, bahwa kacang itu enak pol’. Di Iran, ada sebagian Syiah yang menambah syahadat dengan ‘Imam Khomeini waliyulloh’. Itu dianggap kafir, sesat.”

“Kalau suaranya Zainul diperdengarkan di sana, insya Allah pingsan-pingsan orang sana, sebagaimana yang terjadi di Mesir. Mereka sampai hari ini masih terngiang-ngiang dan minta-minta betul, cuman kita suruh sembuhkan dulu lah itu keroyokan di sepakbola.”

“Dulu kami sudah ada rencana untuk mengunjungi Moammar Khadafi, tapi rupanya dia sudah berniat untuk jihad fisabilillah, sehingga akhirnya nggak jadi. Khadafi itu seorang politisi jazz yang tidak mau naik pangkat, jadi kolonel terus. Maka dia disikat oleh seluruh aturan militer dunia. Kalau Indonesia kan diapusi dengan televisi dan koran sudah selesai.”

“Kalau Anda masih terikat oleh ritme yang konvensional, belum nge-jazz. Saya ini dari dulu sudah nge-jazz, tidurnya lima menit, setengah jam, dan jam berapa saja. Yon Koeswoyo pernah saya ajak ke sini. Lalu dia bertanya, ‘Jam piro Cak?’ Saya jawab, ‘Yo jam sepuluh munggah lah’.”

“Dia nggak bisa, karena ternyata tidurnya selalu jam 10. Saya bilang, ‘Lho kok sama dengan saya?’ Dia bingung, ‘Lho jare mau acarane jam 10 munggah?’”

“Ya kalau kata perjanjian kan jam 10 itu tadi, tapi kalau kita bikin sendiri jam 10 itu nanti jam 5 pagi, kan nggak apa-apa to? Lajeng kulo kedah matur wow ngaten? Sinambi jumpalitan? Iki aku diweruhi anakku cilik iku.”

Kemudian Mas Zainul Arifin, seorang Qodiriyah dari Trowulan, bersama dengan Mbak Via dan diiringi musik Kiaikanjeng, membawakan satu nomor sholawat yang dipadukan dengan lagu Barat L-O-V-E.

“Itu yang saya sebut jazz dalam perolehan budaya, bukan hanya musik. Jadi hasilnya adalah mempersatukan apa-apa yang sebelumnya tidak tersambung. Ini tadi dari Alexandria ke Madura, mampir Situbondo bentar, baru ke Amerika. Tapi diantarkan oleh Madura juga. Untuk supaya tahu bahwa yang bisa bikin komposisi begini ini cuma Indonesia. Yang punya ide seperti ini hanya Indonesia karena calonnya, dua tahun lagi insyaAllah Indonesia akan ada kebangkitan-kebangkitan kecil. Akan ada penguasaan-penguasaan, akan ada nasionalisasi di beberapa bidang. Jadi tidak seenaknya investor-investor luar negeri datang mengeruk. Akan ada aturan-aturan baru, tidak boleh menjual bahan mentah di bidang mining dan sebagainya. Akan ada perbaikan-perbaikan. Nah nanti secara internasional mereka akan ikut. Pada suatu hari, mereka capek juga. Selama ini ada pertarungan-pertarungan antara penjajah dengan kita yang dijajah, seharusnya kita membela orang yang dijajah. Tapi soal politik kapan-kapan saja.”

Mbah Tedjo, yang juga sering tampil bersama Kiaikanjeng, mengatakan bahwa dia menikmati musik kothekan barusan. Kemudian dia bertanya kepada Cak Nun mengapa masyarakat kita belakangan ini menghadapi kematian dalam nuansa kesedihan, hitam-hitam, dengan cara Barat semua? Di mana sikap hidup Ono tangis layu-layu, tangise wong wedi mati, gedhongono kuncenono, wong mati mongso wurungo?

“Anak saya yang paling kecil, si Rampak, suatu hari menari-nari kayak Tedjo tadi sambil teriak-teriak.”

“Jadi anak saya itu lari-lari sambil teriak ‘Ibu mati, yes, hore! Ibu mati, yes!’ begitu,” cerita Mbak Via, “Karena Tante saya tidak terbiasa dengan yang begitu, dia panik, dipikirnya saya mau mati beneran. Lalu dipanggillah Rampak, ditanya kenapa teriak-teriak begitu.”

“Dia jawabnya, ‘Lho kenapa memangnya? Nggak seneng po mati? Yo seneng to mati, nggak seneng po ketemu Allah?’ Maksud dia, orang mati itu ketemu Allah, maka bersenang-senanglah. Menurut dia ketemu Allah itu menggembirakan, maka sia lari-lari keliling seperti itu.”

“Pembelajaran menyangkut ilmu Tuhan, meneliti sendiri seperti apapun, wacana utamanya tetap informasi Tuhan,” lanjut Cak Nun, “Kalimat tayyibah (astaghfirullah, alhamdulilah, Allahu akbar, masyaAllah) sebenarnya tidak ada hubungannya dengan susah atau senang. Kalau memang ada psikologi susah atau senang, mending kita milih senang. Karena tidak ada apapun yang tidak menyenangkan. Di tahun 73 saya menulis di majalah Basis, judulnya ‘Ia Mati, Alhamdulillah’.”

“Sekarang ini kebudayaan dan psikologi sosial manusia sudah mendegradasikan kalimat-kalimat Tuhan itu untuk fakultas-fakultas budaya. Jadi kalau dapat duit, alhamdulillah. Jadi alhamdulillah direndahkan. Padahal tidak ada yang tidak alhamdulillah, tidak ada yang tidak Allahu akbar, tidak ada yang tidak masya Allah, tidak ada yang tidak Subhanallah.”

“Bahkan ualma-ulama tidak memandu masyarakat untuk konvensinya dulu. Apa bedanya masyaAllah dengan subhanallah? Konvensinya dulu? Kalau misalnya ada pohon tumbang, itu apa yang harus diucapkan? Karena kalimat tayyibah sudah sedemikian terdegradasi dalam masyarakat kita, kalau suatu ketika ada rumah kebakaran lalu kita bilang alhamdulilah, ya dikepruki wong. Itu yang salah bukan alhamdulillah-nya, tapi degradasi yang dilakukan oleh cara berpikir manusia terhadap kata-kata itu. Padahal tidak ada yang tidak memenuhi syarat untuk dikasih ucapan kalimat tayyibah.”

“Kamu manusia, harus berangkat dari fakultas-fakultas ini menuju universitas. Sekarang kan tidak ada universitas. Yang ada adalah kumpulan fakultas-fakultas. Yang ada kan sarjana fakultas. Jadi universitas itu penipuan. Yang ada adalah paguyuban fakultas-fakultas.”

“Yang ditanyakan Tedjo adalah secara kebudayaan rakyat kita sudah sampai universitas, tiba-tiba kita menjadi orang modern balik menjadi fakultas lagi. Kalau gini alhamdulillah kalau gini subhanallah.”

“Misal dulu ada golnya David Villa, penyiar pertandingannya orang Arab, ada kejadian di mana kipernya maju hampir ke depan gawang lawan, sama David Villa direbut bolanya, maju dikit, dilambungkan menuju gawang kiper yang sudah lari tadi. Ini kiper sipat kuping mlayu mbalik sampai gawangnya, dan betul pada langkah terakhir dia bisa menepis bolanya. Penyiarnya teriak-teriak ‘Masya Allah! Allahu akbar! Masya Allah Allahu Akbar!’”

“Kenapa Masya Allah? Karena sesungguhnya hal itu tidak mampu dilakukan manusia. Karena Allah menghendaki, maka jadi mampu. Jadi masya Allah diucapkan atas sesuatu yang seharusnya tidak terjadi tapi bisa terjadi. Tapi kalau sesuatu yang memang mesti terjadi dan benar-benar terjadi, lalu kamu terharu atas itu, maka Subhanallah. Itu ada posisinya sendiri-sendiri, tapi daripada susah-susah, sebut apa saja, itu sudah bener.”

“Yang dimaksud Tedjo, masyarakat kita dulu sudah universitas, tidak primordial, sudah bukan firqah-firqah, sudah bukan syu’ub wa qobail. Di atasnya kan insan, manusia. Anda mempersatukan diri dengan siapapun saja, maka menjadi manusia. Nanti manusia diganggu lagi oleh gender, misalnya. Pokoknya kalau perwakilan wanita harus 30% segala macem. Kalau memang niat, ya wanita diberi kesempatan yang sama, bukan minta jatah sekian persen. Maka saya tak pernah ikut ideologi gender, karena saya tidak pernah urusan wanita kecuali dengan istri saya. Selebihnya kan manusia.”

“Di atasnya ada Abdullah, memposisikan diri terhadap Allah. Anda bersama dengan Allah. Lalu di atasnya kita menjadi khalifatullah. Anda ditugasi Allah, Anda karyawannya Allah, sudah digaji, bayar pajak dikit kepada Allah karena sudah digaji luar biasa banyak.”

“Kemarin ibunya Mas Nevi kan meninggal dunia. Situasinya memang cenderung seperti itu, tapi saya guyon. Waktu memberi sambutan saya guyon dan orang-orang tertawa. Lho gimana sih, wong Beliau suci, murni, perintis, jujur, dan Beliau masuk surga?”

“Orang-orang bertanya kok bisa yakin. Lho mosok aku terus dikongkon ngomong ‘Iki mlebu neroko’, ngono? Atau ‘Ya, mungkin dia masuk neraka ya’ gitu? Memang nggak ada yang bisa kita pastikan. Saya husnudzon dan saya tidak menemukan faktor-faktor pada ibunya Mas Nevi yang kira-kira bisa membuatnya masuk neraka.”

“Aku husnudzon, dan punya keyakinan tentang yang dimaksud surga itu kayak gimana, neraka itu kayak gimana. Siapa yang harus masuk, siapa yang tidak. Lho ini keyakinan, jadi jangan amin. Nek amin lak ijek mugo-mugo. Kalau kita nggak pernah punya keyakinan tentang kebaikan, terus gimana? Hatiku beneran kok, ikhlas kok. Ini bukan sombong. Yakin kok sombong. Wong saiki ki gak nduwe keyakinan tentang kebaikan.”

“Mas Beben, saya mau tanya, mungkin Mas Beben punya wawasan jazz secara musik dengan 7, trus jazz dalam arti karakter. Dan lalu ternyata masyarakat jazz lebih luas daripada masyarakat musik jazz. Ini kan yang kita temukan di KC.”

“Ini yang saya ceritakan adalah fakta dari sesuatu yang saya amati,” jawab Mas Beben, “Kenapa 7? Satu oktaf terdiri dari 7 note. Kebetulan Allah memberikan tanda-tanda. Kalau di musik, scale itu menunjukkan abjad, interval atau jarak antarnot itu menujukkan suku kata, dan chord (tiga nada yang dibunyikan sekaligus) itu merupakan kata. Lagu secara keseluruhan merupakan satu karangan.”

“Ada sebuah buku berjudul Jazz for Rock Guitarist, itu isinya pendalaman tentang chord, karena memang ciri khas jazz salah satunya adalah penggunaan chord yang banyak – tapi bukan untuk pamer. Ada hal-hal yang kadang-kadang bisa dimasukkan, tapi karena kurang pengetahuan maka dia tidak dimasukkan. Dan kita bayangkan, otang yang memilii perbendaharaan kata yang sedikit, akan terbatas untuk menyampaikan pikirannya. Orang jazz bilang, banyakin chord, mungkin kamu bisa bicara lebih banyak.”

“Cak Nun adalah orang yang perbendaharaan katanya luar biasa, maka tulisannya luar biasa. Maka Cak Nun adalah seorang mahajazz. Selain perbendaharaan kata yang banyak, Beliau juga tahu persis cara menempatkannya, bagaimana timing-nya.”

Bumi dan planetnya diukur menurut jarak tertentu yang kalau diubah sedikit saja akan menyebabkan kekacauan. Ini tanda-tanda dari Allah. Phytagoras, ahli Matematika, Kosmologi, dan bisa bermain musik, menemukan hal ini secara lengkap. Bahwa jarak dari satu planet ke planet lain merupakan interval. Ketika belajar filsafat dan mentok, Phytagoras pergi ke Mesir. Di sana dia menemukan 4 nada suci. Waktu itu ada alat musik namanya lyra, menggambarkan 4 unsur alam semesta. Karena penasaran, dibawalah alat musik itu ke Yunani. Phytagoras mencoba menambahkan 4 nada lagi, tapi ternyata kacau. Dengan ilmu Kosmologi Kuno, dia mengetahui bahwa ada 7 planet selain Bumi di dalam tata surya. Dia hitung menggunakan monochord, sampai mendapatkan apa yang kini kita kenal dengan 1, 1 ½, dan seterusnya. Phytagoras membagi satu oktaf menjadi delapan. Ada tujuh not. Delapan itu dari Do ke Do lagi.

Phytagoras menemukan bumi berputar pada porosnya mengeluarkan bunyi, tapi pada waktu itu belum diketahui jelas. Planet Bumi berputar, sebagaimana Saturnus, Uranus, berputar mengeluarkan bunyi. Tahun 1619 ketika Keppler menemukan bahwa Bumi berputar dengan mengeluarkan bunyi mi, fa, mi. Penemuannya lebih detil dari apa yang ditemukan pendahulunya.

Menurut kepercayaannya, suatu ketika bumi dan benda-benda langit pernah mengalami harmoni sempurna, bunyinya doremifasolasido, yaitu ketika terjadi Big Bang, penciptaan alam semesta.

Buku itu Harmoni Alam Semesta dibukukan tahun 1619, bersamaan dengan pertama kali orang kulit hitam Afrika didatangkan sebagai budak di Amerika. Kalau orang hitam tak pernah datang ke Amerika, musik akan lurus-lurus saja. Itu dari desa Swahili.

“Lalu ada 7 warna (modes) dalam major scale. Ada 7 warna dalam harmonic minor, ada 7 warna dalam melodic minor. Kalau seni rupa menggambarkan dengan warna : sedih, sedih banget. Kalau baru belajar musik akan diberi gambaran, ini biru. Di musikpun ada biru muda, biru tua.”

Seven modes in major scale itu adalah sebagai berikut : ionian, dorian, phrygian, lydian, mixolydian, aeolian, locrian.

“Dari 7 ini dibagi lagi menjadi 7 lagi, ada tujuh tingkat. Ini gunanya untuk apa? Kalau Beethoven mengatakan bahwa belajar musik itu untuk menghancurkannya, orang jazz bilang belajar musik untuk bermain-main. Panjang ceritanya, tapi yang pasti Phytagoras-lah yang membagi satu oktaf menjadi tujuh. Bukan tidak mungkin dia – dan juga penemu-penemu lain – melihat informasi itu di dalam Alquran.”

TIGA CATATAN

Cak Nun memberikan tiga catatan untuk melegitimasi:

1. Di dalam ayat-ayat Tuhan selalu disebut bahwa ‘yang terdengar’ didahulukan daripada ‘yang terlihat’. Lebih penting yang didengar daripada yang dilihat. Sami’un dulu baru bashirun. Ini juga tanda yang luar biasa. Kalau para teknolog, manajer sosial, pemimpin-pemimpin negara, punya apresiasi musik seperti John F. Kennedy, misalnya, termasuk sastra dan sebagainya, mereka akan mendapat penemuan-penemuan manajemen yang juga luar biasa.

2. Yang kita nikmati sekarang, sampe dunia IT, kan para jazzer yang berjasa. Mereka orang yang melakukan pekerjaan jazz di berbagai bidang. Pekerjaan jazz adalah pekerjaan luar biasa, dan pemusik Jazz ini adalah pemberi ingatan kepada seluruh laku kebudayaan, teknologi, dan kenegaraan. Kalau tidak ada jazz, kita tidak ingat bahwa kita kreatif. Jadi saya ingin mengangkat Beben menjadi anggota Majelis Ulama. Kenapa Majelis Ulama? Majelis Ulama itu sekarang hanya diisi oleh ahli fikih, padahal kehidupan itu begitu luasnya, harus ada ahli pertanian, ahli musik, ahil teknologi, ahli IT. Harusnya Majelis Ulama berisi semua ‘alim; yang banyak disebut ulama. Karena ‘ulama’ maka dibutuhkan dari berbagai bidang yang mengurusi kekhalifahan manusia, karena Allah menyuruh kita menjadi khalifah. Sekarang yang terjadi adalah sekularisme, di mana yang disebut agama adalah ibadah mahdloh saja. Sementara pasar tidak dihubungkan dengan agama. Musik disebut antiagama, Kiaikanjeng disebut musik gombal, bid’ah dan selanjutnya. Kita terima kasih kepada Beben. Saya kira tidak kebetulan Anda di KC. Sekarang Anda sudah Kiai-nya KC, bukan musisi jazz KC. Yang namanya Kiai itu kalau di Jawa Tengah namanya ‘hajar’/’ajar’. Ki Hajar Dewantara. Orang yang sudah melampaui yang lainnya sehingga dia selalu dijadikan wacana oleh masyarakat.

3. Bahwa jazz yang dilakukan oleh Beben adalah jazz di wilayah pengolahan musik dan kesenian. Sementara yang dilakukan Kiaikanjeng adalah di wilayah kebudayaan. Yang dilakukan Kiaikanjeng bukan eksplorasi nada dan musikal tapi eksplorasi kebudayaan, bagaimana orang dari berbagai wilayah di dunia ini bisa berjumpa, menjadi satu aransemen, satu komposisi, melalui inovasi-inovasinya Nevi. Mungkin beberapa temen belum tahu bahwa gamelan KK ini bukan gamelan Jawa. Ini gamelan Nevi Budiyanto, guru seni rupa SMP. Nevi ini mencoba bikin komposisi.

“Ini upaya jazzing kultural, bukan jazzing musikal, sehingga bisa di mana-mana. Bisa di Italy, Mesir, Scotland, dan lain-lain. Ini pragmatis saja sebetulnya, tidak terlalu inovatif. Tapi Nevi mencari peluang-peluang di antara 7-7 tadi. Gimana itu Nev, asal-usulnya kamu susun struktur nada ini?”

“Ini struktur nadanya bukan pelog slendro tapi solmisasi,” jawab Pak Nevi, “Berawal dari nada dasar Do=G. Kemudian oleh temen-temen diadakan inovasi untuk tidak hanya bisa digunakan untuuk Do=G; tapi bisa pula menggunakan Do=C. Ada semacam wilayah-wilayah seperti ini yang bisa dipasangkan.”

“Untuk apa?”

“Supaya jangkauan nada yang ada di gamelan ini bisa dipakai untuk lebih kaya lagi.”

“Jadi upayanya kebudayaan, bukan musikal meskipun alatnya musik. Jadi misalnya Beethoven Symphoni 9. Ini bagaimana untuk bisa Arab segala macam? Untuk Jawa juga bisa?”

“Untuk Jawa bisa. Pelog bisa, slendro bisa. Sebenarnya ini upaya sederhana saja. Artinya bukan berawal dari bahwa saya ini ahli musik, terus ijtihad yang muluk-muluk. Wong saya ini bukan orang musik, mung senang dengan seni musik.”

“Jadi Nevi ini kan yang menang di mana-mana di luar negeri kan terkenal gamelannya. Kalau Umi Kultsum dimainkan dengan gamelan kan pingsan orang Mesir. Dan pemimpin orkestra Mesir, Yasser Muawwad, mencoba nuthuk ini tapi nggak bisa.”

“Orang berdzikir dalam suatu thariqah bahwa hidup itu penuh kemungkinan, kamu harus mengeksplorasi. Beben mengatakan bahwa kalau tidak ada budak-budak dari Swahili, musik Amerika ya country doank. Begitu orang Afrika datang, musik dunia seperti sekarang.”

“Nevi mungkin tidak punya jangkauan seperti itu, tapi ia bisa menyapa orang Italy, Belanda, Mesir, dan lain-lain. Dan ini belum pakai Zainul waktu di Mesir. Kalau pakai Zainul saya kira akan lebih dahsyat lagi. Padahal ya cuma gini ini. Dan Nevi memang tidak pernah merasa berinovasi karena Nevi itu saya kira orang yang sangat rendah hati sampai dia nanti untuk masuk surga pun agak nggak enak lah. Dia kalau mau diwawancara wartawan lari masuk ke kamar mandi.”

“Saya kalau bisa alat musik ya bakal sering ketemu Beben. Kalau saya bisa main gitar, saya pasti pilih jazz. Tapi sudah latihan, tetep nggak bisa. Memang Allah tidak mengijinkan saya untuk main gitar. Tapi ra iso nggitar wae wis dadi pemusik. Saya di Italy diminta untuk mimpin orkestra. Dan setelah pementasan di Roma ketika meninggalnya Paus Yohanes Paulus II, mereka memanggil saya Maestro. Mereka pikir saya ngerti not balok, bisa piano, dan lain-lain.”

“Katanya, ‘Bener-bener kami ingin Mr. Emha suatu saat bisa datang ke sini untuk memimpin orkestra’. Modar!”

Tapi saya lalu tanya ke Jijit, dan menurut dia saya memang maestro, “Maestro itu nggak harus bisa main, tapi bisa mengerti persis apa yang harus dimainkan. Dia yang mengatur, dia yang bisa merasakan, dia yang mengaransir. Kalau mengaransir saya bisa. Saya bikin lagu cukup banyak. Tapi lagune yo ngono-ngono kuwi lah. Pas dibutuhkan, bisa. Wiridan saya kan Allahuma tuhno, allahuma tekno. Kalau pas butuh ono, pas entek ono. Karang yo kere.”

Kemudian Cak Nun meminta Kiaikanjeng, terutama Pak Nevi, Mas Bayu, berkolaborasi dengan Mbak Inna dan Mbak Via untuk menyanyikan lagu entah apa tanpa rundingan, semata-mata mengandalkan spontanitas.

“Lho Nev kamu jangan kehilangan spontanitas. Yang membuat Kiaikanjeng 20 tahun lebih bisa survive itu karena ada Nevi. Karena Nevi tidak bisa menjaga diri, tidak bisa menjaga tangannya. Kalau sudah main, mabuk. Nevi ini menurut saya jazzer. Sehingga ketika rekaman batal semua. Setelah dicek ada bunyi ck-ck-ck. Waktu itu belum pakai digital. Di Pluit waktu itu. Akhirnya kita cari lakban biar dia nggak mengeluarkan suara-suara ck-ck-ck tadi.”

“Yang paling tinggi dalam kehidupan adalah kebaikan yang memproduksi kegembiraan bersama. tidak ada gunanya kebaikan dan kebenaran kalau hasilnya bukan kegembiraan bersama. tidak boleh kegembiraan sendiri, tapi bersama. Itulah gunanya jazz.”

Sebelum memainkan dua lagu terakhir, Mas Beben menyatakan, “Tapi bener bahwa Cak Nun ini maestro. Banyak di dunia ini yang kita pikir ngerti musik, tapi nggak bisa baca not juga. Contohnya Yanni, Pavarotti.”

Dua lagu terakhir itu adalah Give Me One Reason dan Route 66.

MENEMPUH KEMERDEKAAN MENUJU BATASAN

“Apakah tadi selama Anda asyik dengan musik, Anda lupa pada Tuhan? Jadi selama ini orang salah dengan konsep tentang kekhusyukan. Dipikirnya khusyuk adalah Anda sholat, inget Tuhan thok nggak inget dunia. Terus apa gunanya Anda menjadi khalifah di dunia kalau Anda bertamu ke Tuhan dunia tidak Anda bawa?”

“Waktu makan inget Tuhan nggak? Waktu jualan di pasar apa ingat Tuhan? Itu bukan berarti Anda tidak inget Tuhan. Yang penting Anda membawa kesadaran itu ke mana-mana.”

“Jazz adalah sikap dan perilaku merdeka terhadap kehidupan. Kemerdekaan yang bisa membuat Anda menembus-nembus, menemukan wilayah-wilayah yang sebelumnya belum ditemukan. Dari wilayah estetika sampai teknologi sampai spiritualitas. Pertanyaan saya, kemerdekaan itu jalan atau tujuan?”

“Jadi Anda menempuh kemerdekaan itu untuk menemukan batasan Anda. Anda akan berteduh, ilaihi rojiun, ilaina turjaun. Jadi bukan kemerdekaan sebagai ideologi, melainkan sebagai metodologi. Ideologinya adalah menemukan batasan-batasan Anda, sebab begitu melewati batas, Anda akan fals. Kurang batesnya, fals juga.”

“Ini semua yang Anda alami dari jam 9 malam sampai jam 3 pagi ini menjauhkan Anda dari Tuhan atau mendekatkan Anda kepada Tuhan? Sebenarnya kunci hidup itu cuma satu – mau main musik, mau dagang, mau jadi presiden – itu produknya menjauhkan dari Tuhan atau mendekatkan Anda kepada Tuhan? Kalau mendekatkan, bagus, beres. Parameternya cuma itu thok.”

“Untuk itu, kita sekarang sudah sampai pada batas. Kita tidak pulang dengan kemerdekaan-kemerdekaan. Kita pulang dengan permenungan-permenungan tentang keterbatasan masing-masing. Kita sudah eksplorasi segala sesuatu, tapi masing-masing punya batasan. Kalau cocoknya kepala gudang ya nggak usah jadi direktur.”

“Perjalanan kita ini cembung ya, kita awali sampai memuncak ke kemerdekaan, kemudian menurun lagi ke sublimasi. Saya ‘menipu’ Anda dengan jusul ini ya – insyaAllah dalam arti baik. Saya mengatakan ‘Jazz 7 Langit’, bukan ‘Musik Jazz 7 Langit’. Artinya, kita memperluas diri, bukan hanya di bidang musik tapi juga pemahaman-pemahaman dan pengembaraan-pengembaraan pemikiran, praktis di wilayah yang lebih luas.”

“Saya kira Mas Beben dan teman-teman jazz se-Indonesia susah mengadakan acara festival jazz yang melebar-lebar seperti ini. Tapi perlu Anda ketahui bahwa kamu semua yang tidak disebut sebagai orang jazz ini sesungguhnya bukan sekadar pecinta jazz, tapi juga pelaku-pelaku jazz di wilayah yang mungkin berbeda. Produknya juga berbeda dengan Anda, tapi kami melakukan watak yang sama, karakter yang sama, yaitu ijtihad.”

“Tentang angka 7, Tuhan dramatis saja seolah-olah 7 penting. Padahal 9 ya penting, 11 ya penting, 17 ya penting. Semua penting. Misal kalau bapak kita meninggal, kita mengadakan 7 harian. Saya ditanya apakah boleh atau tidak mengadakan 7 harian. Saya jawab, jangankan 7 harian, tiap hari juga boleh tahlilan, asal jangan kemudian diniati sebagai ibadah mahdloh.”

“Sekarang saya tanya kepada Zainul, dalam eksporasi dunia qiro’ah itu kenapa ada 7?”

“Di dalam dunia tilawatil Quran,” jawab Mas Zainul, “ada 7 nama lagu. Ada bayati, hijaz, shoba, ros, jiharkah, syika, dan nahawan.”

Lantas Mas Zainul memberikan contoh untuk masing-masing nama lagu tersebut, bagaimana pembacaannya.

“Pernahkah ada forum di dunia di mana 7-nya Mas Beben, 7 modes tadi, di dalam satu pemahaman qiro’ah sab’ah selain di Kenduri Cinta? Ya Allah, dunia menjadi bagian dari akhirat. Selama ini kan akhirat jadi sampingannya dunia.”

“Anda tidak bisa menyatu dengan Allah tanpa terlebih dahuu menyatu dengan makhluk-makhluk Allah. Jazz di benua tertentu, qiro’ah di benua lain, malam ini dipertemukan oleh Allah, disaksikan oleh Sunan Drajat. Sunan Kalijaga keliling-keliling.”

Lalu Cak Nun meminta Mas Zainul untuk menyanyikan Alif Lam Mim – mengulangi yang dilakukan bulan kemarin – dalam lagu yang paling disukai oleh Mas Zainul, yakni syika.

“Sekarang kita kembali ke batasan yang lebih dasar lagi.”

Selepas Mas Zainul dan Cak Nun selesai, Mbak Inna mengungkapkan kesannya, “Aku nemuin ada yang staccato. Tadi aku coba main-mainin nadanya Mas Zainul di heartbeat, itu bisa jadi funk. Berarti Mas bernyanyi dengan kata-kata Allah, saya bernyanyi jazz, tapi ilmunya sama. Saya shock. Tiba-tiba kalau diritmikin, ada yang tiga perempat, ada yang empat perempat, ada yang nggak tahu berapa per berapa. Ketika saya nyanyi saya bisa menjaga ritmik karena ada musik sehingga saya tidak kegok. Kalau musik nggak ada saya disuruh improve sendiri saya bingung. Mas Zainul lancar banget, tidak meleset sedikitpun. Berarti sepertinya saya harus belajar qiroah. Guru Beben bilang ke saya, kamu bukan belajar ilmu musik, sejarah musik. Hari ini juga terbukti. Gila, orang nggak ada musiknya, bisa bikin tempo sendiri. Anda semua beruntung sekali kalau Anda ngerti.”

Mas Dony dan Mas Imam membawakan lagu Ning Ndonya Piro Suwene yang dipadu dengan Changes-nya Black Sabbath.

“Allah mengubah hidup Anda karena Anda sudah mengubah hidup Anda juga. Anda sudah mengubah, mematangkan cara berpikir dan cara bersikap Anda. Anda akan menjadi utusan-utusan Allah yang diberi fasilitas oleh Allah selengkap-lengkapnya. Jaminan kepada keluarga Anda, jaminan kepada masa depan Anda, anak-cucu Anda, karena Anda sudah mengubah diri Anda melalui KC. Mari menyerahkan seluruh dunia yang kita urus kepada Allah, semoga Allah menilainya dengan kebaikan dan membalasnya dengan kemuliaan, dan barokah bagi Anda semua.”

Kiaikanjeng memuncaki dengan ‘Alimul Ghoibi, dilanjutkan dengan doa bersama dipimpin oleh Ustadz Nursamad Kamba.

*caknun.com/2013/jazz-tujuh-langit/