Jazz Tujuh Langit
Oleh Redaksi Kenduri Cinta
Ada yang berbeda dalam tata panggung Kenduri Cinta edisi April
2013 yang jatuh pada tanggal 12. Bonang, Saron, Rebana, Kendhang, berjajar rapi
di atas panggung – yang ukurannya lebih luas daripada biasanya – bersama dengan
biola, keyboard, saxophone, drum. Belum saja pukul setangah delapan malam,
jamaah sudah ramai berdatangan, mengisi baris-baris gelaran di depan panggung,
turut menikmati gladi resik kelompok Kiaikanjeng yang berkolaborasi dengan
Beben and Friends.
Tepat pukul delapan, acara dibuka dengan tadarus Surah Al-Fath,
lalu diprologi oleh Mas Baim, Mas Adi, Mas Anjar, Mas Boim, dan Mas Rusdi.
Sebagaimana mukadimah yang ditulis sendiri oleh Cak Nun untuk tema kali ini,
jazz itu ‘mengalir’, bukan ‘aliran’. Dan dia tidak terbatas hanya dalam dunia musik,
tetapi juga dalam bentuk-bentuk proses kehidupan yang kita jalani.
Lalu tujuh. Orang Jawa punya beberapa kata baik yang mengandung
unsur tujuh (atau pitu dalam Bahasa Jawa) : pitulungan, pituduh. Lalu kita
menyebut wujud kesepakatan kita dengan kata ‘setuju’, bukan sepuluh atau yang
lain. Juga orang Betawi punya tokoh pahlawan yang namanya Si Pitung.
Tak hanya di Indonesia. Kita mengenal ada SEVEN WONDERS, SEVEN
HABITS. Lalu sekarang juga marak kebiasaan nongkrong anak-anak muda di SEVEN
ELEVEN. Maka pasti tujuh ini bukan hanya urusan orang Jawa. Ini rahasia Tuhan.
Al-Fatihah terdiri dari tujuh butir ayat. Sebelum sampai pada
tujuh, kita harus terlebih dulu mengenal enam. Enam itu masa. Enam itu akhir.
Kalau misalnya rumah kita bernomor 6, kemungkinan kita akan lama tinggal di
rumah itu, atau bahkan mungkin akan seterusnya di situ. Allah sendiri
menceriterakan penciptaan langit dalam enam masa. Al-Quran berakhir pada surah
ke-114 (1+1+4=6).
Nama-nama Nabi yang diperkenalkan kepada kita ada 25; 2+5=7. Tujuh
ini angkanya Nabi Muhammad. Thoriqoh Syadziliyah mengatakan bahwa Nabi Muhammad
itu pembuka dari yang tertutup dan penutup dari yang masa lalu. Nabi Muhammad
berkedudukan sebagai penutup sekaligus pembuka.
Kembali ke langit. Di dalam Al-Quran langit disebut berpasangan
dengan bumi, sammawati wal ardl. Bumi disebut dalam bentuk kata tunggal,
sementara langit disebut dalam kata jamak; menujukkan bahwa dia berlapis-lapis.
Dalam kesempatan ini juga diperkenalkan Ketua KC yang baru, Bang
Boim (Muhammad Ridwan) – yang sebelumnya pada 2006-2007 juga pernah mengetuai
KC. Pada edisi KC kali ini, beberapa teman dari lingkar Maiyah di kota lain
turut datang. Mas Adhon dari Bangbang Wetan Surabaya diminta naik ke atas
panggung.
“Di BBW itu ya mungkin hampir sama dengan forum KC ini, tapi saya
belum bisa mengkomparasikan juga karena baru kali ini saya bisa datang ke KC.
Tapi sekilas saya lihat muatan ilmu di sini lebih berbobot. Kalau durasinya ya
hampir sama, sampai menjelang Shubuh. Saya sendiri di BBW sejak pertama kali
forum itu diadakan, tapi nggak rutin datangnya. Yang saya rasakan di setiap
forum adalah rasa nyaman. Meskipun dari banyak yang disampaikan ada yang saya
nggak ngerti, tapi ada keasyikan yang saya rasakan dalam kebersamaan di Maiyah
ini. Saya merasa sangat mudah menjalin persahabatan melalui forum-forum
Maiyah.”
Feel The Jazz
“Nggak terasa sudah satu tahun saya di KC,” ujar Mas Beben
mengawali sesi pertama, “Dengan apresiasi yang luar biasa dari KC, setahun
sangat tidak terasa. Main di mana-mana, Beben Jazz itu cirinya dua : topi dan
kacamata. Karena kadang ketika main di festival jazz saya merasa sepi dalam
keramaian, maka saya bersembunyi di belakang kacamata saya. Dan itu saya selalu
merem. Tapi hari ini di KC, saya mau buka kacamata saya untuk Anda semua.”
“Saya tidak berusaha untuk menunjukkan apa-apa, tidak ingin
menunjukkan main gitar yang mlintir, yang akrobatik. Saya hanya ingin berusaha
main jazz dengan khusyuk, karena dari kekhusyukan ini lahir keindahan. Di sini
saya ingin berbagi kebahagiaan dengan kalian semua.”
Mas Beben dan kawan-kawan – ada Nick di saxophone, Ivan di
keyboard, Ricky di bass, dan Nair di drum – membawakan lima lagu. Lagu pertama
berasal dari era ’80-an, Just The Two of Us dari Grover Washington. Dilanjut
dengan lagu pop Prancis yang di-Inggris-kan yang kemudian menjadi lagu kedua
terpopuler abad XX setelah Yesterday-nya The Beatles, Autumn Leaves dibawakan
dalam blues. Lagu ketiga Fly Me to The Moon dalam funk, lalu What A Wonderdul
World dalam swing dan bossas, dipungkasi dengan So Danco Samba-nya Antonio
Carlos Jobim.
“Luar biasa apresiasi yang kami dapatkan di sini. Serunya,
penonton sudah sangat mengerti kapan harus tepuk tangan di jazz. Setiap aliran
musik punya cara tepuk tangan tersendiri. Kalau di rock Anda bisa tepuk tangan
di sepanjang lagu. Kalau musik klasik, belum boleh tepuk tangan kalau belum
selesai. Di jazz, seperti yang Anda lakukan tadi, tepuk tangan tiap ada
improvisasi.”
“Jazz itu musik yang memerdekakan. Lalu kenapa mesti belajar?
Supaya kita makin tahu apa yang kita mau. Ada orang yang inginnya musik seperti
ini, tapi tidak bisa mewujudkannya karena kurang secara keilmuan. Di situlah
pentingnya belajar; supaya apa yang dia inginkan sesuai dengan refleksikan.”
“Orang yang makin bisa hidup menjadi diri sendiri, hidup sesuai
yang dia pilih. Bukan hidup yang memilih dia. Kalau kita punya kesempatan
seperti itu, berbahagialah. Kita di dalam komunitas jazz Kenduri Cinta ini
diajak nge-jazz secara nggak langsung. Tanpa sadar kita makin punya kemerdekaan
itu.”
Mas Beben mengundang siapapun yang berkeinginan belajar musik
secara teknis untuk datang bergabung ke Komunitas Jazz Kemayoran atau ke
Kandank Jurank Doank.
“Salah satu filosofi jazz adalah bermain sambil mendengar.
Bukannya tidak mau latihan, tapi kita selalu ingin ada misteri dalam permainan.
Ada spontanitas. Bermain sambil mendengar, akhirnya dengan pertalian batin
kita, kita bisa bermain kompak.”
“Luar biasa prolog yang dibuat oleh Cak Nun. Waktu terima e-mail-nya,
saya sangat terharu sampai menangis beberapa kali di depan istri saya. Saya
terharu karena Cak Nun sangat nge-jazz – bukan hanya sebagai aliran musik, tapi
sebagai sikap hidup. Miles Davis dan John Coltrane pun belum tentu bisa nulis
se-jazzy Cak Nun. Dan senior-senior jazz saya belum ada yang bisa ngomong
sedalam itu.”
“Dalam rangka Jazz Tujuh Langit, selama seminggu saya dan istri
saya ke Jogja untuk rekreasi sambil jam session dengan Kiaikanjeng. Banyak
musisi di Indonesia yang lupa pada hakikat atau falsafah musik. Saya di Jogja
menemukan bahwa masih banyak musisi-musisi sejati di Jogja. Saya belajar banyak
di sana.”
Sebelum masuk ke sesi kedua, yaitu Kiaikanjeng bersama Mbak Via,
Mas Wahyu membacakan mukadimah yang ditulis Cak Nun, berjudul sama dengan judul
acara malam ini.
Bergembira Bersama Kiaikanjeng dan Mbak
Via
Tepuk tangan riuh rendah dari jamaah begitu Kiaikanjeng
membunyikan gamelan. Di vokal ada Mas Zainul Arifin dan Mbak Via, menyanyikan
lagu Kelahiran.
“Tadinya saya bilang nggak bisa waktu diajak Cak Nun untuk
nge-jazz, karena saya ini kan penyanyi pop, nggak bisa nyanyi jazz yang
meliuk-liuk. Di bayangan saya jazz itu kan keren. Tapi lalu Cak Nun menjelaskan
apa yang dimaksud jazz di sini, maka saya baru ngerti,” Mbak Via menyapa
jamaah, “Saking senengnya Kiaikanjeng mau main jazz, terus bikin baju baru. Tak
pesenke ning tonggoku.”
“Setelah mendengar penjelasan Cak Nun mengenai jazz, lho kalau
begitu ternyata setiap hari kami ini nge-jazz. Nomor satunya keikhlasan, kadang
nggak latihan untuk memunculkan spontanitas. Setiap pentas kita selalu
nge-jazz, karena nggak pernah tahu lagu apa yang mau dibawakan. Kadang sudah
menyiapkan lagu ini, tapi di panggung, Cak Nun menyuruh kami membawakan lagu
yang lain. Karena Cak Nun itu Mr. Suddenly.”
Lagu kedua dari Kiaikanjeng dan Mbak Via ada Tembang Setan, lalu
disusul dengan Semua Bernyanyi, dan kemudian Gundul Pacul.
Kolaborasi Kiaikanjeng dan Inna Kamarie
Sesi ketiga, kolaborasi antara Kiaikanjeng dan Mbak Inna Kamarie,
membawakan tiga lagu. Yang pertama lagu Menungso dengan beberapa adaptasi, lagu
kedua Someone Like You; lagu ketiga Summer Time.
TIGA TINGKAT JAZZ
“Jadi ada tiga tingkat jazz yang akan saya jelaskan pada Anda,”
Cak Nun menyampaikan konsep mengenai jazz, “Jazz itu ada outputnya di bidang
musik, ada outputnya di bidang kebudayaan yang lebih luas, dan ada outputnya di
bidang kehidupan yang bukan hanya budaya tapi juga ada agama, politik, ekonomi.
Jazz itu satu sikap hidup, satu cara memperlakukan hidup. Dia berpedoman pada
sifat Tuhan. Sifat Tuhan yang pertama itu selalu menguak yang gaib. Kalau Allah
itu ‘alimul ghoib, Mengetahui segala yang gaib. Kalau manusia mempelajari
segala yang gaib.”
Jazz adalah pekerjaan untuk selalu mencari peluang-peluang yang
belum pernah ada, selalu melakukan ijtihad atau jihad hati dan pikiran, mencari
kemungkinan-kemungkinan. Dan itu bisa terjadi bukan hanya pada musik.
“Maka di dalam Islam ada jazzakumullah. Jadi jazz ini orang yang
sudah mendapat ijazah. Kalau di kalangan kiai, ijazah diberikan pada santri
yang sudah dianggap pantas untuk mencapai suatu level dan dia dikasih kepercayaan
untuk melakukan pekerjaan yang lebih tinggi atau lebih besar. Kemudian kata
‘ijazah’ direbut oleh dunia sekolahan yang sangat kapitalistik seolah-olah dari
mereka.”
“Jazz itu sikap hidup, jadi tidak setiap orang punya kewajiban
untuk seperti Beben yang mengaplikasikannya dalam aransemen dan composing nada
dan irama. Orang boleh menerapkan watak jazz itu di berbagai bidang. Anda kalau
berdagang tidak jazzy ya gitu-gitu aja. Anda harus menguak
kemungkinan-kemungkinan baru. Anda harus ber-ijtihad. Anda harus kembali pada
dasar, yaitu orang hidup itu cuma ada tiga : Anda milih untuk ijtihad (inovatif
dan kreatif), ittiba’ (mengikuti sesuatu yang dipahami), atau taqlid (anut
grubyuk, pokoke melok).”
“Tapi ini tidak berlaku untuk orang pikun. Orang pikun tidak
terikat pada tiga hal itu. misalnya dia lupa bahwa dirinya presiden, maka dia
jadi Ketua Partai Demokrat. Itu pikun. Dia pikir puncak kariernya adalah
menjadi ketua partai, padahal dia sudah presiden. Dan itu tidak bisa disalahkan
karena dia pikun. Jadi Anda jangan marah-marah. Ini saya selalu mencarikan
alasan supaya semua orang masuk surga. Enak to nek karo aku.”
“Jadi Kiaikanjeng ini bersikap jazz, tapi mereka tidak punya
peluang untuk bener-bener menciptakan output musikal karena waktu mereka digunakan
untuk melayani masyarakat secara sosial, kebudayaan, dan agama. Maka jazz-nya
muncrat-muncrat pada berbagai hal. Output musik sedikit-sedikit ya bisa, tapi
tidak bisa secara total menjadi musisi jazz karena waktu. Nek ndelok raine kan
gak cocok blas, jan ra ono potongan. Maka di luar negeri mereka selalu
diremehkan awalnya, tapi setelah selesai bermain orang-orang menciumi tangan
mereka.”
“Mereka kalau sudah sampai pada puncak jazzy-nya selalu merem.
Waktu di Conservatorio, pusat musik klasik di Napoli – kotanya Maradonna waktu
dia main sepakbola, mereka mainnya sampai memejamkan mata. Tangannya sudah
nggak tahu ke mana. Begitu sukses waktu itu, karena orang Italy nggak ngerti
not gamelan.”
“Tapi mereka nge-jazz di wilayah kedua, yaitu di wilayah kebudayaan.
Misalnya, tadi Mbak Inna menyanyikan lagu Menungso, itu kan lagu Jawa asli,
tapi kemudian oleh Sabrang di-Bahasa Inggris-kan menjadi Man on the land.”
Kiaikanjeng membuktikan bahwa sesungguhnya tidak ada bedanya
manusia di dunia ini. Kenapa kemudian jazz hanya ada di Amerika? Kalau blues di
New Orleans, di Chicago? Kenapa jazz hanya berbentuk seperti itu tadi? Kenapa
tidak mungkin dia muncul di warung-warung, tidak muncul di perilaku-perilaku
yang penuh terobosan?
Kiaikanjeng menyambung semua kemungkinan kebudayaan itu. Misal,
pernah lagu Israel, lagu Arab, lagu Jawa, diuleg jadi satu oleh Kiaikanjeng.
“Kenapa tiba-tiba kamu menjadi orang Arab, orang Yahudi, orang Jawa? Wong kamu
berasal dari gen yang sama.”
“Kita semua terkotak-kotak dan dan akan menyatu kembali dengan
watak jazz. Kalau tidak, manusia tidak akan pernah bersatu lagi.”
Bahkan tidak ada yang membayangkan bahwa puncak jazz adalah
tilawatil Quran. Se-jazz-jazz-nya musik, dia masih memerlukan kunci awal, masih
ada disiplin, meskipun dia cari peluang masuk di antara dua ketukan. Tapi
qiro’ah, tidak memerlukan kunci awal dan setiap titik bunyinya merupakan
improvisasi.
“Qori’ adalah pelaku jazz yang sebenarnya, kecuali yang kuliah
akhir-akhir ini karena mereka kemudian dipaket-paket, ada qiro’ah sab’ah, ada
model Mesir, model apa. Kalau jazz ya sakmodel-modele.”
“Level ketiga adalah nggak cuma di kebudayaan, tapi sampai ke
agama dan segala macam. Anda jangan menyangka lagu Summer Time itu lagu Amerika.
Ya memang dari Amerika, tapi apakah Anda pernah mempelajari nasabnya? Kayak
kata ‘jazz’ itu dari mana? Dalam Bahasa Inggris tidak ada lho kebiasaan kata
j-a-z-z. itu pasti agak Arab-Arab dikit. Dalam habitat Bahasa Inggris kata
‘jazz’ itu kan aneh.”
“Kayak lagu Summer Time, orang mendengarkannya kan tergantung pada
khasanah sejarahnya. Kalay kayak saya, saya pernah hidup di Amerika dalam
kesengsaraan, jadi saya nggak bisa romantik dengan summer time. Apalagi saya
kemudian direpotin dengan Negro-Negro; saya mendidik mereka untuk bisa jadi
manusia modern, dan itu susah banget.”
“Dan, di dalam jazz tidak ada lho yang namanya fals. Kalau Anda
ngomong ada suara fals, itu buakn fals tapi tidak pada tempatnya. Seharusnya
bukan dia yang nongol, tapi kok dia. Misalnya Do kurang dikit, lho kenapa dia
di situ?”
“Yang disebut fals sebenarnya adalah kekeliruan manajemen, karena
seluruh benda, bunyi, dan apapun saja dalam kehidupan ini, dijamin oleh Tuhan
tidak ada yang sia-sia, tidak ada yang mubadzir.”
“Kalau mau cari fals, itu adalah menteri yang seharusnya tidak
jadi menteri. Ini kan serba fals semua, dan karena semuanya fals, maka menjadi
satu harmoni. Presidene fals, partaine fals, menterine fals, saiki rakyate melu
fals sisan.”
Cak Nun kemudian meminta untuk dibunyikan kembali lagu Summer
Time, dan Beliau menyanyikan sholawat dalam iringan musik tersebut.
“Ini bukan pementasan, ini memberi contoh kepada Anda bahwa Anda
bisa melakukan terobosan-terobosan. Saat ini Indonesia sedang buntu berat,
kalau Anda tidak punya daya terobosan dalam hidup Anda, Anda mau nunggu siapa?
Anda yang harus melakukannya sendiri. Jadi sebenarnya jazz ini dzikir, yang
mengingatkan Anda kalau Anda bisa menembus.”
“Dalam pola-pola pembacaan Alquran maupun dialek etniknya, ada 7 macam.
‘Alimul ghoibi wa syahadah merupakan sifat Tuhan yang utama. Allah itu menguak
kegaiban. Dia menyaksikan dan mengalami. Dia menyamar seolah belum tahu,
padahal kan dia juga yang bikin, itu semata-mata untuk supaya kita belajar
menjadi muta’alimul ghoibi wa syahadah.”
“Pada ayat lain Tuhan bilang, ‘Wahai jin dan manusia!’ Selalu jin
dulu, baru manusia. Ini belum ada tafsirnya – mau Jalalain, Ibnu Katsir. Kenapa
jin dulu yang disebut? Karena manusia kalau meningkat dia akan menjadi jenius,
maka dia menjadi bagian dari jin.” Sontak jamaah tertawa terpingkal-pingkal.
“Pernah ada pentas jazz pake ngaji? Itu karena kurang jazz!
Bagaimana dunia ngaji nyambung banget sama jazz. Sehebat-hebatnya jazz dia
masih pakai gitar, tapi ngaji, sudah nggak ada bunyi alat musik yang berani
berbunyi saking utuhnya improvisasi entitas ngaji itu.”
Cak Nun kemudian memperdengarkan satu dialek ngaji yang terdengar
‘tradisional’ dan sangat Jawa. Tapi rupanya itu bukan Jawa, melainkan Sudan.
“Ini juga terobosan. Boleh dong ada jazz Arab, jazz Jawa.
Palaran-palaran itu juga jazzy sekali. Mari kita men-jazz-kan dunia.”
“Silahkan ikut naik untuk Sudjiwo Tedjo! Pak Tedjo ini vokalnya
terbaik, dia masuk surga karena suaranya,” Cak Nun menyambut Presiden Jancuker
itu dengan gojegan, “Maksude sing mlebu surgo suarane thok, nek wonge mbuh.”
MENUJU TAUHID
Sekarang giliran Syekh Nursamad Kamba angkat suara, “Saya nggak
paham musik, tapi dari yang disuguhkan sejak awal jadi mengerti, Oh ini to yang
namanya jazz. Ini sebenarnya tanpa ceramah sudah paham. Jazz ini kalau bahasa
agamanya tauhid, tauhid yang sejati. Dalam beragama ada proses pendidikan.
Kalau dalam antropologi agama, sosiologi agama, dan psikologi agama, ada
perkembangan dari keberagamaan. Dari yang awalnya melihat Tuhan itu banyak,
sampai kemudian berkembang ke kesadaran bahwa Tuhan itu Mahaesa.”
Dalam proses penerapannya juga mengalami perkembangan. Kita masih
terikat oleh lembaga-lembaga keagamaan. Kita masih merasa perlu melembagakan
diri dalam institusi tertentu. Kita mengikat diri untuk beragama. Sepanjang
kita mengurung diri dalam lembaga-lembaga, dalam pengkotak-kotakan agama, kita
tidak akan sampai pada seni dalam beragama atau seni tauhid. Tauhid itu keesaan
Allah yang kita merupakan bagian di dalamnya.
Tauhid yang sesungguhnya adalah dengan seni jazz yang tersimpul
dalam asmaul husna. Dalam asmaul husna, Tuhan itu Maha Kaya tapi juga Maha
Miskin. Kalau orang sampai pada taraf tauhid sejati, dia memberi atas nama
Tuhan, dan menerima juga atas nama Tuhan. Tuhan menjelma menjadi manusia dalam
tataran yang berbeda. Maka dikatakan bahwa TUhan itu lathiful kabir, lebih
halus daripada yang paling halus.
Dalam kitab suci, Tuhan seolah-oleh menampakkan Diri-Nya sebagai
Maha narsis. Itu maksudnya supaya Tuhan bisa menjadi sosok idola bagi setiap
makhluk-Nya. Kalau sudah menjadi idola, seorang idola kalau meminta kepada yang
diidolakannya, sudah bukan merupakan beban, melainkan terdengar sebagai
perintah yang dengan senang hati ditunaikan.
“Setiap agama yang datang ke Indonesia itu kan menciptakan
peradaban, kerajaan. Karena pemahaman agama yang seperti itu yang menciptakan
dorongan untuk berinteraksi secara individual maupun sosial, maka pendidikan
agama harus berkembang supaya orang-orang beragama menjadi efektif, aktif dalam
interaksi sosial untuk bisa membangun peradaban. Saya rasa itu penting bagi
kita untuk menyikapi keterikatan kita pada institusi-institusi agama.”
Orang yang sampai pada taraf seni tauhid tidak perlu terikat
dengan batasan-batasan tertentu untuk melangkah pada kebaikan. Dia punya
logikanya sendiri, seperti orang yang ahli beladiri yang sudah tidak lagi
memikirkan teori-teori untuk bergerak. Mereka sudah melampaui teori, mereka
sudah sampai pada taraf kreatif.
TUJUH LANGIT DI DALAM TUHAN
“Tujuh langit itu bukan Anda di langit pertama terus mau ke langit
kedua. Bukan Bumi berada di langit keberapa. Yang dimaksud bukanlah
lapisan-lapisan jasad. Bukan bumi ‘dan’ langit, melainkan ‘di dalam’. Langit
yang di dalamnya ada Bumi itu ada di dalam kita, dan manusia ada di dalam
Tuhan. Jadi bukannya Tuhan ada di sana, langit ada di sana. Anda bisa mencapai
langit ketujuh sekarang juga, tergantung apakah Anda telah suwung atau tidak.”
“Kalau di dalam dirimu masih ada yang membebanimu, kalau di dalam
dirimu masih ada dirimu, kalau di dalam dirimu masih ada yang seharusnya tidak
membebanimu, maka kamu tak akan bisa terbang. Di dalam dirimu jangan ada
dirimu. Kebanyakan orang, di dalam dirinya hanya ada dirinya, hanya ada ego dan
eksistensinya. Kalau dirimu suwung, berarti yang ada di dalam dirimu hanyalah
iradlah Allah. Kamu jadi presiden, itu iradlah Allah. Kamu bikin KC, itu
iradlah Allah, karena kita di dalam Allah. Lalu, apakah kita di dalam Allah
atau sebaliknya? Itu soal dialektika, soal sawang-sinawang.”
Mbak Tedjo kemudian bernyanyi diiringi gamelan Kiaikanjeng,
menyanyikan lagu Jancuk.
“Supaya Anda tidak salah paham, supaya para ulama tidak marah sama
Tedjo, saya kasih tahu epistemologi ‘jancuk’. Jawa Timur bagian timur
menyebutnya ‘jancuk’, sementara Jawa Timur bagian barat menyebutnya ‘dancuk’.
Ini hanya soal aksentuasi pendengaran tiap orang yang berbeda-beda.”
“Banyak orang salah paham, pengajian kok pakai misuh-misuh.
Sebentar, ‘dancuk’ itu berasal dari kata ‘diencuk’, itu kan menunjuk pada yang
paling dasar dari harga diri manusia. ‘Diancuk’ merupakan reaksi kemarahan
orang terhadap perbuatan jahat. Tidak ada kata ‘dancuk’ yang diucapkan dalam
rangka kejahatan. Justru dia merupakan protes terhadap kejahatan. Itu semua
dilakukan atau diucapkan lalu muncul sebagai idiom budaya karena kemurnian
manusia untuk selalu bereaksi melawan kedzaliman. Jadi Jancukers adalah
kumpulan orang-orang yang melawan kedzaliman.”
“Semua yang buruk-buruk aku tunjukkan baiknya, dan aku menolak
untuk menunjukkan buruknya yang baik-baik meskipun aku tahu. Biar engkau
kembali pada cita-cita yang suwung.”
Dengan diiringi gamelan Kiaikanjeng, Mbak Inna dan Mbak Via
membawakan lagu Gerimis Aje
“Saya minta doa, bersama Pak Nursamad, saya dan teman-teman
Kiaikanjeng diundang ke Maroko bulan Juni, kemudian dikejar juga oleh
Madagaskar. Ini segera kita urus. Mungkin dibantu temen-temen KC untuk
pengurusannya ke Maroko.”
“Saya kira di sana Zainul yang akan paling senang karena menurut
Ustadz Nursamad di sana kebanyakan penganut Qodiriyah. Kalau orang Syiah kan
dimarahi karena syahadatnya ditambahi. Itu jazz dalam bdang tauhid. Kan boleh
to diterusin? Misalkan ditambahi ‘saya bersaksi bahwa pohon itu hiijau, bahwa
kacang itu enak pol’. Di Iran, ada sebagian Syiah yang menambah syahadat dengan
‘Imam Khomeini waliyulloh’. Itu dianggap kafir, sesat.”
“Kalau suaranya Zainul diperdengarkan di sana, insya Allah
pingsan-pingsan orang sana, sebagaimana yang terjadi di Mesir. Mereka sampai
hari ini masih terngiang-ngiang dan minta-minta betul, cuman kita suruh
sembuhkan dulu lah itu keroyokan di sepakbola.”
“Dulu kami sudah ada rencana untuk mengunjungi Moammar Khadafi,
tapi rupanya dia sudah berniat untuk jihad fisabilillah, sehingga akhirnya
nggak jadi. Khadafi itu seorang politisi jazz yang tidak mau naik pangkat, jadi
kolonel terus. Maka dia disikat oleh seluruh aturan militer dunia. Kalau
Indonesia kan diapusi dengan televisi dan koran sudah selesai.”
“Kalau Anda masih terikat oleh ritme yang konvensional, belum
nge-jazz. Saya ini dari dulu sudah nge-jazz, tidurnya lima menit, setengah jam,
dan jam berapa saja. Yon Koeswoyo pernah saya ajak ke sini. Lalu dia bertanya,
‘Jam piro Cak?’ Saya jawab, ‘Yo jam sepuluh munggah lah’.”
“Dia nggak bisa, karena ternyata tidurnya selalu jam 10. Saya
bilang, ‘Lho kok sama dengan saya?’ Dia bingung, ‘Lho jare mau acarane jam 10
munggah?’”
“Ya kalau kata perjanjian kan jam 10 itu tadi, tapi kalau kita
bikin sendiri jam 10 itu nanti jam 5 pagi, kan nggak apa-apa to? Lajeng kulo
kedah matur wow ngaten? Sinambi jumpalitan? Iki aku diweruhi anakku cilik iku.”
Kemudian Mas Zainul Arifin, seorang Qodiriyah dari Trowulan,
bersama dengan Mbak Via dan diiringi musik Kiaikanjeng, membawakan satu nomor
sholawat yang dipadukan dengan lagu Barat L-O-V-E.
“Itu yang saya sebut jazz dalam perolehan budaya, bukan hanya
musik. Jadi hasilnya adalah mempersatukan apa-apa yang sebelumnya tidak
tersambung. Ini tadi dari Alexandria ke Madura, mampir Situbondo bentar, baru
ke Amerika. Tapi diantarkan oleh Madura juga. Untuk supaya tahu bahwa yang bisa
bikin komposisi begini ini cuma Indonesia. Yang punya ide seperti ini hanya
Indonesia karena calonnya, dua tahun lagi insyaAllah Indonesia akan ada
kebangkitan-kebangkitan kecil. Akan ada penguasaan-penguasaan, akan ada
nasionalisasi di beberapa bidang. Jadi tidak seenaknya investor-investor luar
negeri datang mengeruk. Akan ada aturan-aturan baru, tidak boleh menjual bahan
mentah di bidang mining dan sebagainya. Akan ada perbaikan-perbaikan. Nah nanti
secara internasional mereka akan ikut. Pada suatu hari, mereka capek juga.
Selama ini ada pertarungan-pertarungan antara penjajah dengan kita yang
dijajah, seharusnya kita membela orang yang dijajah. Tapi soal politik
kapan-kapan saja.”
Mbah Tedjo, yang juga sering tampil bersama Kiaikanjeng,
mengatakan bahwa dia menikmati musik kothekan barusan. Kemudian dia bertanya
kepada Cak Nun mengapa masyarakat kita belakangan ini menghadapi kematian dalam
nuansa kesedihan, hitam-hitam, dengan cara Barat semua? Di mana sikap hidup Ono
tangis layu-layu, tangise wong wedi mati, gedhongono kuncenono, wong mati
mongso wurungo?
“Anak saya yang paling kecil, si Rampak, suatu hari menari-nari
kayak Tedjo tadi sambil teriak-teriak.”
“Jadi anak saya itu lari-lari sambil teriak ‘Ibu mati, yes, hore!
Ibu mati, yes!’ begitu,” cerita Mbak Via, “Karena Tante saya tidak terbiasa
dengan yang begitu, dia panik, dipikirnya saya mau mati beneran. Lalu
dipanggillah Rampak, ditanya kenapa teriak-teriak begitu.”
“Dia jawabnya, ‘Lho kenapa memangnya? Nggak seneng po mati? Yo
seneng to mati, nggak seneng po ketemu Allah?’ Maksud dia, orang mati itu
ketemu Allah, maka bersenang-senanglah. Menurut dia ketemu Allah itu
menggembirakan, maka sia lari-lari keliling seperti itu.”
“Pembelajaran menyangkut ilmu Tuhan, meneliti sendiri seperti
apapun, wacana utamanya tetap informasi Tuhan,” lanjut Cak Nun, “Kalimat
tayyibah (astaghfirullah, alhamdulilah, Allahu akbar, masyaAllah) sebenarnya
tidak ada hubungannya dengan susah atau senang. Kalau memang ada psikologi
susah atau senang, mending kita milih senang. Karena tidak ada apapun yang
tidak menyenangkan. Di tahun 73 saya menulis di majalah Basis, judulnya ‘Ia
Mati, Alhamdulillah’.”
“Sekarang ini kebudayaan dan psikologi sosial manusia sudah
mendegradasikan kalimat-kalimat Tuhan itu untuk fakultas-fakultas budaya. Jadi
kalau dapat duit, alhamdulillah. Jadi alhamdulillah direndahkan. Padahal tidak
ada yang tidak alhamdulillah, tidak ada yang tidak Allahu akbar, tidak ada yang
tidak masya Allah, tidak ada yang tidak Subhanallah.”
“Bahkan ualma-ulama tidak memandu masyarakat untuk konvensinya
dulu. Apa bedanya masyaAllah dengan subhanallah? Konvensinya dulu? Kalau
misalnya ada pohon tumbang, itu apa yang harus diucapkan? Karena kalimat
tayyibah sudah sedemikian terdegradasi dalam masyarakat kita, kalau suatu
ketika ada rumah kebakaran lalu kita bilang alhamdulilah, ya dikepruki wong.
Itu yang salah bukan alhamdulillah-nya, tapi degradasi yang dilakukan oleh cara
berpikir manusia terhadap kata-kata itu. Padahal tidak ada yang tidak memenuhi
syarat untuk dikasih ucapan kalimat tayyibah.”
“Kamu manusia, harus berangkat dari fakultas-fakultas ini menuju
universitas. Sekarang kan tidak ada universitas. Yang ada adalah kumpulan
fakultas-fakultas. Yang ada kan sarjana fakultas. Jadi universitas itu
penipuan. Yang ada adalah paguyuban fakultas-fakultas.”
“Yang ditanyakan Tedjo adalah secara kebudayaan rakyat kita sudah
sampai universitas, tiba-tiba kita menjadi orang modern balik menjadi fakultas
lagi. Kalau gini alhamdulillah kalau gini subhanallah.”
“Misal dulu ada golnya David Villa, penyiar pertandingannya orang
Arab, ada kejadian di mana kipernya maju hampir ke depan gawang lawan, sama
David Villa direbut bolanya, maju dikit, dilambungkan menuju gawang kiper yang
sudah lari tadi. Ini kiper sipat kuping mlayu mbalik sampai gawangnya, dan
betul pada langkah terakhir dia bisa menepis bolanya. Penyiarnya teriak-teriak
‘Masya Allah! Allahu akbar! Masya Allah Allahu Akbar!’”
“Kenapa Masya Allah? Karena sesungguhnya hal itu tidak mampu
dilakukan manusia. Karena Allah menghendaki, maka jadi mampu. Jadi masya Allah
diucapkan atas sesuatu yang seharusnya tidak terjadi tapi bisa terjadi. Tapi
kalau sesuatu yang memang mesti terjadi dan benar-benar terjadi, lalu kamu
terharu atas itu, maka Subhanallah. Itu ada posisinya sendiri-sendiri, tapi
daripada susah-susah, sebut apa saja, itu sudah bener.”
“Yang dimaksud Tedjo, masyarakat kita dulu sudah universitas,
tidak primordial, sudah bukan firqah-firqah, sudah bukan syu’ub wa qobail. Di
atasnya kan insan, manusia. Anda mempersatukan diri dengan siapapun saja, maka
menjadi manusia. Nanti manusia diganggu lagi oleh gender, misalnya. Pokoknya
kalau perwakilan wanita harus 30% segala macem. Kalau memang niat, ya wanita
diberi kesempatan yang sama, bukan minta jatah sekian persen. Maka saya tak
pernah ikut ideologi gender, karena saya tidak pernah urusan wanita kecuali
dengan istri saya. Selebihnya kan manusia.”
“Di atasnya ada Abdullah, memposisikan diri terhadap Allah. Anda
bersama dengan Allah. Lalu di atasnya kita menjadi khalifatullah. Anda ditugasi
Allah, Anda karyawannya Allah, sudah digaji, bayar pajak dikit kepada Allah
karena sudah digaji luar biasa banyak.”
“Kemarin ibunya Mas Nevi kan meninggal dunia. Situasinya memang
cenderung seperti itu, tapi saya guyon. Waktu memberi sambutan saya guyon dan
orang-orang tertawa. Lho gimana sih, wong Beliau suci, murni, perintis, jujur,
dan Beliau masuk surga?”
“Orang-orang bertanya kok bisa yakin. Lho mosok aku terus
dikongkon ngomong ‘Iki mlebu neroko’, ngono? Atau ‘Ya, mungkin dia masuk neraka
ya’ gitu? Memang nggak ada yang bisa kita pastikan. Saya husnudzon dan saya
tidak menemukan faktor-faktor pada ibunya Mas Nevi yang kira-kira bisa
membuatnya masuk neraka.”
“Aku husnudzon, dan punya keyakinan tentang yang dimaksud surga
itu kayak gimana, neraka itu kayak gimana. Siapa yang harus masuk, siapa yang
tidak. Lho ini keyakinan, jadi jangan amin. Nek amin lak ijek mugo-mugo. Kalau
kita nggak pernah punya keyakinan tentang kebaikan, terus gimana? Hatiku
beneran kok, ikhlas kok. Ini bukan sombong. Yakin kok sombong. Wong saiki ki
gak nduwe keyakinan tentang kebaikan.”
“Mas Beben, saya mau tanya, mungkin Mas Beben punya wawasan jazz
secara musik dengan 7, trus jazz dalam arti karakter. Dan lalu ternyata
masyarakat jazz lebih luas daripada masyarakat musik jazz. Ini kan yang kita
temukan di KC.”
“Ini yang saya ceritakan adalah fakta dari sesuatu yang saya
amati,” jawab Mas Beben, “Kenapa 7? Satu oktaf terdiri dari 7 note. Kebetulan
Allah memberikan tanda-tanda. Kalau di musik, scale itu menunjukkan abjad,
interval atau jarak antarnot itu menujukkan suku kata, dan chord (tiga nada
yang dibunyikan sekaligus) itu merupakan kata. Lagu secara keseluruhan
merupakan satu karangan.”
“Ada sebuah buku berjudul Jazz for Rock Guitarist, itu isinya
pendalaman tentang chord, karena memang ciri khas jazz salah satunya adalah
penggunaan chord yang banyak – tapi bukan untuk pamer. Ada hal-hal yang
kadang-kadang bisa dimasukkan, tapi karena kurang pengetahuan maka dia tidak
dimasukkan. Dan kita bayangkan, otang yang memilii perbendaharaan kata yang
sedikit, akan terbatas untuk menyampaikan pikirannya. Orang jazz bilang,
banyakin chord, mungkin kamu bisa bicara lebih banyak.”
“Cak Nun adalah orang yang perbendaharaan katanya luar biasa, maka
tulisannya luar biasa. Maka Cak Nun adalah seorang mahajazz. Selain
perbendaharaan kata yang banyak, Beliau juga tahu persis cara menempatkannya,
bagaimana timing-nya.”
Bumi dan planetnya diukur menurut jarak tertentu yang kalau diubah
sedikit saja akan menyebabkan kekacauan. Ini tanda-tanda dari Allah.
Phytagoras, ahli Matematika, Kosmologi, dan bisa bermain musik, menemukan hal
ini secara lengkap. Bahwa jarak dari satu planet ke planet lain merupakan
interval. Ketika belajar filsafat dan mentok, Phytagoras pergi ke Mesir. Di
sana dia menemukan 4 nada suci. Waktu itu ada alat musik namanya lyra,
menggambarkan 4 unsur alam semesta. Karena penasaran, dibawalah alat musik itu
ke Yunani. Phytagoras mencoba menambahkan 4 nada lagi, tapi ternyata kacau.
Dengan ilmu Kosmologi Kuno, dia mengetahui bahwa ada 7 planet selain Bumi di
dalam tata surya. Dia hitung menggunakan monochord, sampai mendapatkan apa yang
kini kita kenal dengan 1, 1 ½, dan seterusnya. Phytagoras membagi satu oktaf
menjadi delapan. Ada tujuh not. Delapan itu dari Do ke Do lagi.
Phytagoras menemukan bumi berputar pada porosnya mengeluarkan
bunyi, tapi pada waktu itu belum diketahui jelas. Planet Bumi berputar,
sebagaimana Saturnus, Uranus, berputar mengeluarkan bunyi. Tahun 1619 ketika
Keppler menemukan bahwa Bumi berputar dengan mengeluarkan bunyi mi, fa, mi.
Penemuannya lebih detil dari apa yang ditemukan pendahulunya.
Menurut kepercayaannya, suatu ketika bumi dan benda-benda langit pernah
mengalami harmoni sempurna, bunyinya doremifasolasido, yaitu ketika terjadi Big
Bang, penciptaan alam semesta.
Buku itu Harmoni Alam Semesta dibukukan tahun 1619, bersamaan
dengan pertama kali orang kulit hitam Afrika didatangkan sebagai budak di Amerika.
Kalau orang hitam tak pernah datang ke Amerika, musik akan lurus-lurus saja.
Itu dari desa Swahili.
“Lalu ada 7 warna (modes) dalam major scale. Ada 7 warna dalam
harmonic minor, ada 7 warna dalam melodic minor. Kalau seni rupa menggambarkan
dengan warna : sedih, sedih banget. Kalau baru belajar musik akan diberi
gambaran, ini biru. Di musikpun ada biru muda, biru tua.”
Seven modes in major scale itu adalah sebagai berikut : ionian,
dorian, phrygian, lydian, mixolydian, aeolian, locrian.
“Dari 7 ini dibagi lagi menjadi 7 lagi, ada tujuh tingkat. Ini
gunanya untuk apa? Kalau Beethoven mengatakan bahwa belajar musik itu untuk
menghancurkannya, orang jazz bilang belajar musik untuk bermain-main. Panjang
ceritanya, tapi yang pasti Phytagoras-lah yang membagi satu oktaf menjadi
tujuh. Bukan tidak mungkin dia – dan juga penemu-penemu lain – melihat
informasi itu di dalam Alquran.”
TIGA CATATAN
Cak Nun memberikan tiga catatan untuk melegitimasi:
1. Di dalam ayat-ayat Tuhan selalu disebut bahwa ‘yang terdengar’
didahulukan daripada ‘yang terlihat’. Lebih penting yang didengar daripada yang
dilihat. Sami’un dulu baru bashirun. Ini juga tanda yang luar biasa. Kalau para
teknolog, manajer sosial, pemimpin-pemimpin negara, punya apresiasi musik
seperti John F. Kennedy, misalnya, termasuk sastra dan sebagainya, mereka akan
mendapat penemuan-penemuan manajemen yang juga luar biasa.
2. Yang kita nikmati sekarang, sampe dunia IT, kan para jazzer
yang berjasa. Mereka orang yang melakukan pekerjaan jazz di berbagai bidang.
Pekerjaan jazz adalah pekerjaan luar biasa, dan pemusik Jazz ini adalah pemberi
ingatan kepada seluruh laku kebudayaan, teknologi, dan kenegaraan. Kalau tidak
ada jazz, kita tidak ingat bahwa kita kreatif. Jadi saya ingin mengangkat Beben
menjadi anggota Majelis Ulama. Kenapa Majelis Ulama? Majelis Ulama itu sekarang
hanya diisi oleh ahli fikih, padahal kehidupan itu begitu luasnya, harus ada
ahli pertanian, ahli musik, ahil teknologi, ahli IT. Harusnya Majelis Ulama
berisi semua ‘alim; yang banyak disebut ulama. Karena ‘ulama’ maka dibutuhkan
dari berbagai bidang yang mengurusi kekhalifahan manusia, karena Allah menyuruh
kita menjadi khalifah. Sekarang yang terjadi adalah sekularisme, di mana yang
disebut agama adalah ibadah mahdloh saja. Sementara pasar tidak dihubungkan
dengan agama. Musik disebut antiagama, Kiaikanjeng disebut musik gombal, bid’ah
dan selanjutnya. Kita terima kasih kepada Beben. Saya kira tidak kebetulan Anda
di KC. Sekarang Anda sudah Kiai-nya KC, bukan musisi jazz KC. Yang namanya Kiai
itu kalau di Jawa Tengah namanya ‘hajar’/’ajar’. Ki Hajar Dewantara. Orang yang
sudah melampaui yang lainnya sehingga dia selalu dijadikan wacana oleh
masyarakat.
3. Bahwa jazz yang dilakukan oleh Beben adalah jazz di wilayah
pengolahan musik dan kesenian. Sementara yang dilakukan Kiaikanjeng adalah di
wilayah kebudayaan. Yang dilakukan Kiaikanjeng bukan eksplorasi nada dan
musikal tapi eksplorasi kebudayaan, bagaimana orang dari berbagai wilayah di
dunia ini bisa berjumpa, menjadi satu aransemen, satu komposisi, melalui
inovasi-inovasinya Nevi. Mungkin beberapa temen belum tahu bahwa gamelan KK ini
bukan gamelan Jawa. Ini gamelan Nevi Budiyanto, guru seni rupa SMP. Nevi ini
mencoba bikin komposisi.
“Ini upaya jazzing kultural, bukan jazzing musikal, sehingga bisa
di mana-mana. Bisa di Italy, Mesir, Scotland, dan lain-lain. Ini pragmatis saja
sebetulnya, tidak terlalu inovatif. Tapi Nevi mencari peluang-peluang di antara
7-7 tadi. Gimana itu Nev, asal-usulnya kamu susun struktur nada ini?”
“Ini struktur nadanya bukan pelog slendro tapi solmisasi,” jawab
Pak Nevi, “Berawal dari nada dasar Do=G. Kemudian oleh temen-temen diadakan
inovasi untuk tidak hanya bisa digunakan untuuk Do=G; tapi bisa pula
menggunakan Do=C. Ada semacam wilayah-wilayah seperti ini yang bisa
dipasangkan.”
“Untuk apa?”
“Supaya jangkauan nada yang ada di gamelan ini bisa dipakai untuk
lebih kaya lagi.”
“Jadi upayanya kebudayaan, bukan musikal meskipun alatnya musik.
Jadi misalnya Beethoven Symphoni 9. Ini bagaimana untuk bisa Arab segala macam?
Untuk Jawa juga bisa?”
“Untuk Jawa bisa. Pelog bisa, slendro bisa. Sebenarnya ini upaya
sederhana saja. Artinya bukan berawal dari bahwa saya ini ahli musik, terus
ijtihad yang muluk-muluk. Wong saya ini bukan orang musik, mung senang dengan
seni musik.”
“Jadi Nevi ini kan yang menang di mana-mana di luar negeri kan
terkenal gamelannya. Kalau Umi Kultsum dimainkan dengan gamelan kan pingsan
orang Mesir. Dan pemimpin orkestra Mesir, Yasser Muawwad, mencoba nuthuk ini
tapi nggak bisa.”
“Orang berdzikir dalam suatu thariqah bahwa hidup itu penuh
kemungkinan, kamu harus mengeksplorasi. Beben mengatakan bahwa kalau tidak ada
budak-budak dari Swahili, musik Amerika ya country doank. Begitu orang Afrika
datang, musik dunia seperti sekarang.”
“Nevi mungkin tidak punya jangkauan seperti itu, tapi ia bisa
menyapa orang Italy, Belanda, Mesir, dan lain-lain. Dan ini belum pakai Zainul
waktu di Mesir. Kalau pakai Zainul saya kira akan lebih dahsyat lagi. Padahal
ya cuma gini ini. Dan Nevi memang tidak pernah merasa berinovasi karena Nevi
itu saya kira orang yang sangat rendah hati sampai dia nanti untuk masuk surga
pun agak nggak enak lah. Dia kalau mau diwawancara wartawan lari masuk ke kamar
mandi.”
“Saya kalau bisa alat musik ya bakal sering ketemu Beben. Kalau
saya bisa main gitar, saya pasti pilih jazz. Tapi sudah latihan, tetep nggak
bisa. Memang Allah tidak mengijinkan saya untuk main gitar. Tapi ra iso nggitar
wae wis dadi pemusik. Saya di Italy diminta untuk mimpin orkestra. Dan setelah
pementasan di Roma ketika meninggalnya Paus Yohanes Paulus II, mereka memanggil
saya Maestro. Mereka pikir saya ngerti not balok, bisa piano, dan lain-lain.”
“Katanya, ‘Bener-bener kami ingin Mr. Emha suatu saat bisa datang
ke sini untuk memimpin orkestra’. Modar!”
Tapi saya lalu tanya ke Jijit, dan menurut dia saya memang
maestro, “Maestro itu nggak harus bisa main, tapi bisa mengerti persis apa yang
harus dimainkan. Dia yang mengatur, dia yang bisa merasakan, dia yang
mengaransir. Kalau mengaransir saya bisa. Saya bikin lagu cukup banyak. Tapi
lagune yo ngono-ngono kuwi lah. Pas dibutuhkan, bisa. Wiridan saya kan Allahuma
tuhno, allahuma tekno. Kalau pas butuh ono, pas entek ono. Karang yo kere.”
Kemudian Cak Nun meminta Kiaikanjeng, terutama Pak Nevi, Mas Bayu,
berkolaborasi dengan Mbak Inna dan Mbak Via untuk menyanyikan lagu entah apa
tanpa rundingan, semata-mata mengandalkan spontanitas.
“Lho Nev kamu jangan kehilangan spontanitas. Yang membuat
Kiaikanjeng 20 tahun lebih bisa survive itu karena ada Nevi. Karena Nevi tidak
bisa menjaga diri, tidak bisa menjaga tangannya. Kalau sudah main, mabuk. Nevi
ini menurut saya jazzer. Sehingga ketika rekaman batal semua. Setelah dicek ada
bunyi ck-ck-ck. Waktu itu belum pakai digital. Di Pluit waktu itu. Akhirnya
kita cari lakban biar dia nggak mengeluarkan suara-suara ck-ck-ck tadi.”
“Yang paling tinggi dalam kehidupan adalah kebaikan yang
memproduksi kegembiraan bersama. tidak ada gunanya kebaikan dan kebenaran kalau
hasilnya bukan kegembiraan bersama. tidak boleh kegembiraan sendiri, tapi
bersama. Itulah gunanya jazz.”
Sebelum memainkan dua lagu terakhir, Mas Beben menyatakan, “Tapi
bener bahwa Cak Nun ini maestro. Banyak di dunia ini yang kita pikir ngerti
musik, tapi nggak bisa baca not juga. Contohnya Yanni, Pavarotti.”
Dua lagu terakhir itu adalah Give Me One Reason dan Route 66.
MENEMPUH KEMERDEKAAN MENUJU BATASAN
“Apakah tadi selama Anda asyik dengan musik, Anda lupa pada Tuhan?
Jadi selama ini orang salah dengan konsep tentang kekhusyukan. Dipikirnya
khusyuk adalah Anda sholat, inget Tuhan thok nggak inget dunia. Terus apa
gunanya Anda menjadi khalifah di dunia kalau Anda bertamu ke Tuhan dunia tidak
Anda bawa?”
“Waktu makan inget Tuhan nggak? Waktu jualan di pasar apa ingat
Tuhan? Itu bukan berarti Anda tidak inget Tuhan. Yang penting Anda membawa
kesadaran itu ke mana-mana.”
“Jazz adalah sikap dan perilaku merdeka terhadap kehidupan.
Kemerdekaan yang bisa membuat Anda menembus-nembus, menemukan wilayah-wilayah
yang sebelumnya belum ditemukan. Dari wilayah estetika sampai teknologi sampai
spiritualitas. Pertanyaan saya, kemerdekaan itu jalan atau tujuan?”
“Jadi Anda menempuh kemerdekaan itu untuk menemukan batasan Anda.
Anda akan berteduh, ilaihi rojiun, ilaina turjaun. Jadi bukan kemerdekaan
sebagai ideologi, melainkan sebagai metodologi. Ideologinya adalah menemukan
batasan-batasan Anda, sebab begitu melewati batas, Anda akan fals. Kurang
batesnya, fals juga.”
“Ini semua yang Anda alami dari jam 9 malam sampai jam 3 pagi ini
menjauhkan Anda dari Tuhan atau mendekatkan Anda kepada Tuhan? Sebenarnya kunci
hidup itu cuma satu – mau main musik, mau dagang, mau jadi presiden – itu
produknya menjauhkan dari Tuhan atau mendekatkan Anda kepada Tuhan? Kalau
mendekatkan, bagus, beres. Parameternya cuma itu thok.”
“Untuk itu, kita sekarang sudah sampai pada batas. Kita tidak
pulang dengan kemerdekaan-kemerdekaan. Kita pulang dengan
permenungan-permenungan tentang keterbatasan masing-masing. Kita sudah
eksplorasi segala sesuatu, tapi masing-masing punya batasan. Kalau cocoknya
kepala gudang ya nggak usah jadi direktur.”
“Perjalanan kita ini cembung ya, kita awali sampai memuncak ke
kemerdekaan, kemudian menurun lagi ke sublimasi. Saya ‘menipu’ Anda dengan
jusul ini ya – insyaAllah dalam arti baik. Saya mengatakan ‘Jazz 7 Langit’,
bukan ‘Musik Jazz 7 Langit’. Artinya, kita memperluas diri, bukan hanya di
bidang musik tapi juga pemahaman-pemahaman dan pengembaraan-pengembaraan
pemikiran, praktis di wilayah yang lebih luas.”
“Saya kira Mas Beben dan teman-teman jazz se-Indonesia susah
mengadakan acara festival jazz yang melebar-lebar seperti ini. Tapi perlu Anda
ketahui bahwa kamu semua yang tidak disebut sebagai orang jazz ini sesungguhnya
bukan sekadar pecinta jazz, tapi juga pelaku-pelaku jazz di wilayah yang
mungkin berbeda. Produknya juga berbeda dengan Anda, tapi kami melakukan watak
yang sama, karakter yang sama, yaitu ijtihad.”
“Tentang angka 7, Tuhan dramatis saja seolah-olah 7 penting.
Padahal 9 ya penting, 11 ya penting, 17 ya penting. Semua penting. Misal kalau
bapak kita meninggal, kita mengadakan 7 harian. Saya ditanya apakah boleh atau
tidak mengadakan 7 harian. Saya jawab, jangankan 7 harian, tiap hari juga boleh
tahlilan, asal jangan kemudian diniati sebagai ibadah mahdloh.”
“Sekarang saya tanya kepada Zainul, dalam eksporasi dunia qiro’ah
itu kenapa ada 7?”
“Di dalam dunia tilawatil Quran,” jawab Mas Zainul, “ada 7 nama
lagu. Ada bayati, hijaz, shoba, ros, jiharkah, syika, dan nahawan.”
Lantas Mas Zainul memberikan contoh untuk masing-masing nama lagu
tersebut, bagaimana pembacaannya.
“Pernahkah ada forum di dunia di mana 7-nya Mas Beben, 7 modes
tadi, di dalam satu pemahaman qiro’ah sab’ah selain di Kenduri Cinta? Ya Allah,
dunia menjadi bagian dari akhirat. Selama ini kan akhirat jadi sampingannya
dunia.”
“Anda tidak bisa menyatu dengan Allah tanpa terlebih dahuu menyatu
dengan makhluk-makhluk Allah. Jazz di benua tertentu, qiro’ah di benua lain,
malam ini dipertemukan oleh Allah, disaksikan oleh Sunan Drajat. Sunan Kalijaga
keliling-keliling.”
Lalu Cak Nun meminta Mas Zainul untuk menyanyikan Alif Lam Mim –
mengulangi yang dilakukan bulan kemarin – dalam lagu yang paling disukai oleh
Mas Zainul, yakni syika.
“Sekarang kita kembali ke batasan yang lebih dasar lagi.”
Selepas Mas Zainul dan Cak Nun selesai, Mbak Inna mengungkapkan
kesannya, “Aku nemuin ada yang staccato. Tadi aku coba main-mainin nadanya Mas
Zainul di heartbeat, itu bisa jadi funk. Berarti Mas bernyanyi dengan kata-kata
Allah, saya bernyanyi jazz, tapi ilmunya sama. Saya shock. Tiba-tiba kalau
diritmikin, ada yang tiga perempat, ada yang empat perempat, ada yang nggak
tahu berapa per berapa. Ketika saya nyanyi saya bisa menjaga ritmik karena ada
musik sehingga saya tidak kegok. Kalau musik nggak ada saya disuruh improve
sendiri saya bingung. Mas Zainul lancar banget, tidak meleset sedikitpun.
Berarti sepertinya saya harus belajar qiroah. Guru Beben bilang ke saya, kamu
bukan belajar ilmu musik, sejarah musik. Hari ini juga terbukti. Gila, orang
nggak ada musiknya, bisa bikin tempo sendiri. Anda semua beruntung sekali kalau
Anda ngerti.”
Mas Dony dan Mas Imam membawakan lagu Ning Ndonya Piro Suwene yang
dipadu dengan Changes-nya Black Sabbath.
“Allah mengubah hidup Anda karena Anda sudah mengubah hidup Anda
juga. Anda sudah mengubah, mematangkan cara berpikir dan cara bersikap Anda.
Anda akan menjadi utusan-utusan Allah yang diberi fasilitas oleh Allah
selengkap-lengkapnya. Jaminan kepada keluarga Anda, jaminan kepada masa depan Anda,
anak-cucu Anda, karena Anda sudah mengubah diri Anda melalui KC. Mari
menyerahkan seluruh dunia yang kita urus kepada Allah, semoga Allah menilainya
dengan kebaikan dan membalasnya dengan kemuliaan, dan barokah bagi Anda semua.”
Kiaikanjeng memuncaki dengan ‘Alimul Ghoibi, dilanjutkan dengan
doa bersama dipimpin oleh Ustadz Nursamad Kamba.
*caknun.com/2013/jazz-tujuh-langit/