ni adalah pertanyan besar yang tidak mudah
menjawabnya. Dan sedang menjadi mainstream pembicaraan di kalangan ilmuwan dunia.
Baik yang bersifat filosofis maupun saintifik. Namun demikian, pembahasan di wilayah
filosofis agaknya akan ‘lebih mudah’ – atau setidak-tidaknya memakan waktu lebih
pendek – dibandingkan dengan pembahasan di wilayah saintifik. Kenapa bisa begitu?
Karena, di wilayah filosofis ini kita ‘hanya’ membutuhkan ‘keyakinan’ asumsi – yang
sumbernya bisa logika dan rasionalitas ataupun intuisi, ilham dan wahyu – sedangkan
di wilayah sains membutuhkan pembuktian berdasar data empiris yang bergantung kepada
banyak faktor yang menjadi kendalanya. Dalam sudut pandang Al Qur’an, wilayah filosofis
itu bersumber dari ayat-ayat qauliyah, sedangkan wilayah sains bersumber dari ayat-ayat
kauniyah.
-------------------------------------------------------------------------------------
Meskipun dasar filosofis ‘hanya’ menjadi asumsi bagi proses
saintifik, tetapi sebenarnya disinilah awal dari semua langkah untuk mencapai kesimpulan
yang baik – syukur-syukur benar. Jika asumsinya salah, secanggih apa pun proses
saintifiknya, hasilnya pasti salah. Dengan kata lain, sebenarnya sains hanya berfungsi
sebagai penjelas teknis dari sebuah filosofi yang menjadi asumsi. Dengan demikian,
kita lantas bisa melihat betapa penting sebenarnya proses penyusunan asumsi yang
baik dan benar itu. Ringkasnya: harus benar dulu secara filosofis, barulah kita
berada di jalur yang benar dalam memperoleh kesimpulan saintifik yang benar.
Sesungguhnya, asumsi bisa dibangun dengan cara apa saja. Bisa
diambil dari pengalaman sebelumnya, bisa dari kesimpulan saintifik yang mendahuluinya,
bisa dari intuisi dan inspirasi yang bersifat internal, ataupun dari sumber-sumber
tepercaya lainnya, termasuk kitab suci. Bagi seorang ilmuwan muslim yang menjadikan
Al Qur’an sebagai panduan hidupnya ayat-ayat Al Qur’an bisa menjadi inspirasi yang
luar biasa dalam membangun asumsi yang terarah.
Logika dasarnya, alam semesta dengan segala peristiwa di dalamnya
adalah ciptaan Allah. Maka, jika ingin memahaminya, kita harus ‘bertanya’ kepada
Yang Menciptakannya. Dan menariknya, ternyata Allah sudah ‘menjawab’ pertanyaan
kita itu sebelum kita bertanya, lewat firman-firman-Nya di dalam Al Qur’an. Kita
tinggal mencari saja ayat-ayat yang bisa menjadi inspirasi filosofis bagi semua
peristiwa yang sedang kita hadapi. Disana ada ‘clue’ alias ‘tanda-tanda’,
yang kemudian diistilahkan sebagai al ayat.
Ada yang disebut sebagai ayat-ayat qauliyah berupa teks
Al Qur’an, dan ada yang dikenal sebagai ayat-ayat kauniyah berupa peristiwa
alam yang dihamparkan di sekitar kita. Ayat-ayat qauliyah berfungsi sebagai
dasar filosofis, sedangkan ayat-ayat kauniyah harus dieksplorasi menggunakan
sains yang berbasis metode ilmiah.
Berikut ini adalah dalil dari ayat-ayat qauliyah sebagai dasar
filosofis, maupun ayat kauniyah sebagai dasar observasi saintifik
QS. Yusuf [12]: 111
Sesungguhnya pada kisah-kisah (sejarah)
mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran
itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi (kitab) yang membenarkan (meluruskan
kitab-kitab) sebelumnya, dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk
serta rahmat bagi kaum yang beriman.
QS. Yusuf [12]: 105
Dan banyak sekali tanda-tanda di
langit dan di bumi yang mereka lalui, tapi mereka berpaling darinya (tidak menghiraukannya).
Maka, bagi seorang ilmuwan muslim, proses filosofis dan saintifik
itu berada di dalam ‘satu tarikan nafas’ belaka. Karena, baik yang qauliyah
maupun yang kauniyah, kedua-duanya adalah ayat-ayat Allah. Yakni, ‘tanda-tanda’
alias clue yang diberikan sebagai petunjuk untuk melangkah lebih jauh dalam
memahami realitas ciptaan-Nya.
Dikarenakan keduanya masih berupa clue, maka keduanya
memang memerlukan penafsiran. Ada tafsir terhadap teks Al Qur’an, ada pula tafsir
terhadap realitas alam semesta. Tafsir Al Qur’an berada di ranah filosofis yang
cenderung subyektif, dan membutuhkan perangkat ilmu tafsir. Sedangkan tafsir alam
semesta berada di dalam ranah obyektif yang membutuhkan perangkat sains. Meskipun,
obyektivitas sains sendiri akan cenderung semakin subyektif ketika berada di wilayah
soft science.
Karena semua itu adalah tafsir – baik yang qauliyah
maupun kauniyah – maka kesimpulannya memang tidak akan pernah mutlak. Yang
filosofis maupun yang saintifik, semuanya bersifat relatif. Kebenaran mutlak hanya
tersimpan di dalam Al Qur’an sebagai sumber ayat qauliyah, dan alam semesta
sebagai sumber ayat kauniyah. Itulah sebabnya, seluruh bentuk tafsir Al Qur’an
selalu akan mengalami perubahan dan perkembangan, sebagaimana juga yang terjadi
pada sains.
Dengan memahami semua ini, kita menjadi tahu peta persoalannya.
Dan bisa memposisikan diri secara proporsional. Apalagi, ketika memasuki ranah diskusi
antar pemikiran yang berbeda. Harus disamakan dulu frame-nya, agar diskusinya
bisa ‘klik’ alias ‘nyambung’. Kalau tidak, hanya akan terjadi hit
and run, dan dijamin tidak akan menemukan titik temu sebagai kesimpulannya.
Yang satu berada di wilayah subyektif, yang lainnya berada di wilayah obyektif,
misalnya. Atau, yang satu dan lainnya punya definisi berbeda terhadap masalah yang
sama. Bagaimana mungkin bisa terjadi diskusi yang bagus dan berkualitas?
Lantas, bagaimanakah Al Qur’an memberikan dasar filosofi bagi
eksistensi alam semesta ini? Ada apa sebelum universe? Sungguh ini pertanyaan yang
sangat kental dengan filosofi yang cenderung subyektif, serta sangat sulit dijawab
oleh sains yang mengandalkan obyektivitas. Kenapa? Karena, memang tidak ada obyeknya..!!
Jadi,bagaimana bisa obyektif..??
Ketiadaan adalah kekosongan. Suatu kondisi dimana tidak ada
apa-apa yang bisa kita sebut secara terinci. Dalam konteks alam semesta, yang disebut
kosong mutlak itu adalah lenyapnya seluruh variabel penyusun universe. Materi tidak
ada. Energi tidak ada. Ruang dan waktu pun tidak ada. Jika masih ada salah satunya,
belum bisa disebut kosong alias tiada.
Ini berbeda dengan ‘kehampaan’. Hampa itu tidak kosong. Masih
berisi, setidak-tidaknya energi. Meskipun saya tidak yakin ada sebuah ruang yang
bisa benar-benar hampa secara mutlak terhadap materi. Diantaranya, terhadap ‘materi
hantu’ yang dikenal sebagai neutrino yang bisa menembus apa saja tanpa bisa dideteksi
ataupun dihalangi. Berdasar atas temuan materi hantu inilah, kemudian berkembang
lebih luas menjadi dark matteryang misterius itu. Terdeteksi keberadaannya,
tetapi tidak diketahui wujudnya. Bahwa ruang alam semesta yang tadinya dikira hampa
itu ternyata tidaklah hampa. Melainkan berisi ‘materi gelap’.
Apalagi energi. Hampir bisa dipastikan, seluruh ruang alam
semesta ini berisi energi, meskipun juga tidak bisa dideteksi secara langsung, sehingga
disebut sebagai dark energy. Perbedaannya, hanyalah soal kerapatannya. Ruangan
yang semula dikira hampa materi, ternyata mengandung materi dengan kerapatan yang
rendah atau tak terdeteksi. Demikian pula, ruangan yang semula dikira hampa energi,
dikarenakan kerapatan energinya yang sedemikian rendah sehingga tak terdeteksi.
Atau, bisa juga dikarenakan peralatan kita yang tak bisa menangkapnya. Selama disitu
ada gaya yang bekerja – termasuk gaya gavitasi yang mengisi seluruh penjuru alam
semesta – maka disitu pun ada energi. Dan jika disitu ada energi, sangat boleh jadi
hadir pula materi. Meskipun disebut sebagai materi gelap.
Walhasil, tidak ada ruang hampa yang benar-benar kosong di
alam semesta. Apalagi, yang dimaksud kekosongan itu hanya isinya, yakni: materi
dan energi. Sedangkan ruang dan waktu sebagai ‘wadahnya’ masih ada. Ini bukan kekosongan,
melainkan ‘kehampaan’, yang sesungguhnya tidak benar-benar hampa.
Kekosongan adalah ketiadaan mutlak. Tak ada materi, tak ada
energi, sekaligus tak ada ruang dan tak ada waktu..! Dalam kondisi ini, sains sudah
tidak bisa lagi mengukur dan menghitungnya. Juga tak mampu menyodorkan bukti-bukti
empiris yang menjadi andalannya. Bahkan secara filosofis disebut sebagai runtuh
di titik singularitas. Ya, SAINS ternyata runtuh di fase KETIADAAN..!!
Maka, apalagi yang bisa disebut saat seluruh variabel penyusun
alam semesta ini tiada. Karena sesungguhnya, tanpa adanya keempat variabel alam
semesta itu, tidak ada peristiwa apa pun yang bakal terjadi. Termasuk bahasa yang
kita gunakan untuk menyebut sesuatu. Itulah yang oleh Al Qur’an disebut sebagai
suatu keadaan dimana kita belum bisa disebut.
QS. Al Insaan [76]: 1
Bukankah telah datang kepada manusia suatu
masa dari (pergerakan) waktu, dimana ketika itu dia belum merupakan sesuatu yang
bisa disebut?
Ayat ini sungguh luar biasa secara filosofis. Allah menginformasikan
bahwa waktu mengalami dinamika, yang di suatu saat yang lalu segala realitas ini
(termasuk manusia) belum bisa disebut. Bukan
‘tidak ada’, melainkan tidak bisa disebut. Karena, di fase ini sangat boleh jadi
segala variabel penyusun alam semesta belum eksis.
Kalau RUANG saja belum ada, bagaimana Anda bisa menentukan
posisi sebuah peristiwa. Pertanyaan ‘dimana’, ‘kemana’, ‘yang mana’, dan semacamnya
tidak memiliki pijakan sama sekali. Lha wong, tak ada ukuran apa pun untuk
menentukan posisi. Demikian pula, ketika WAKTU tidak ada, maka pertanyaan ‘sebelum
itu apa’, ‘sesudah itu bagaimana’, ‘kapan’, dan semacamnya juga tak ada maknanya.
Termasuk ketika Anda bertanya: SEBELUM ada universe ini ada apa ya..?? Hhehe, pertanyaan
ini kayaknya salah deh. Meaningless.Bukan salah yang tidak bisa menjawab
pertanyaan ini, melainkan salah yang bertanya. Ternyata untuk bertanya pun harus
punya ilmunya.. :)
Jadi, sebelum ada universe, berarti tidak ada ruang, waktu,
materi, dan energi. Lantas apa yang ada? Hanyalah ‘Sesuatu’ yang TIDAK BISA DISEBUT,
karena tidak ada perbendaharaan bahasa yang bisa menjelaskan Zat yang Tak Ada Yang
Menyerupainya itu. Zat yang tak bisa lagi dijelaskan lewat pengetahuan manusia –
yang memang sangat bergantung kepada keberadaan variabel-variabel alam semesta.
Persis seperti yang diceritakan oleh ayat berikut ini - laisa kamitslihi syai'un
- sebagai dasar filosofis untuk mengenali Eksistensi-Nya...
QS. Asy Syuura [42]: 11
(Dialah) Pencipta langit dan bumi.
Dia menjadikan bagimu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri dan dari jenis binatang
ternak pasangan-pasangannya (pula). Dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan
itu. Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Dan Dia-lah yang Maha
Mendengar dan Melihat.
Wallahu a’lambissawab
~ salam ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar