Jumat, 01 November 2013

MENGKLARIFIKASI PERBEDAAN PERSEPSI ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (4)

Persepsi yang muncul di benak kita ternyata jauh lebih dominan dibandingkan dengan realitas obyektif. Sebuah realitas obyektif yang sama bisa saja memunculkan persepsi yang berbeda. Dan sayangnya – atau bisa juga ‘celakanya’ – realitas obyektif itu baru memiliki makna setelah melewati persepsi manusia. Karena itu, dalam notes kali ini saya mengangkat masalah ini lebih detil, sekaligus untuk menjawab ‘kegalauan’ Koko Brian dalam menanggapi notes saya yang pertama.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Yang pertama, soal tema ‘AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS’ yang saya gunakan untuk ‘mewadahi’ diskusi kita kali ini. Koko Brian mempersepsi itu sebagai ‘kurang tepat’, karena seakan-akan menempatkan Al Qur’an sebagai satu-satunya sumber bagi sains. Tentu saja ini adalah persepsi dia. Bagi saya tidak demikian. Dan ‘realitas obyektif'nya memang tidak demikian.. :)

Secara bahasa, kalimat tersebut adalah berbicara tentang AL QUR’AN yang bisa menjadi sumber filosofi bagi apa saja dalam kehidupan seorang muslim. Bahkan juga bagi siapa saja secara umum. Salah satunya adalah bagi sains. Sama sekali tidak ada klaim yang tergambar disana, bahwa Al Qur’an ‘harus’ menjadi satu-satunya sumber filosofi bagi Sains. Saya kira persepsi Koko Brian dalam hal ini agak berlebihan. Yang kata anak muda sekarang: emang lagi sensi (tive) ya..?  ;)

Kecuali, jika kalimat tersebut dibalik susunannya menjadi begini: SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS ADALAH AL QUR’AN. Nah, kalau yang ini Anda boleh menyalahkan saya karena telah melakukan klaim sepihak, bahwa ‘satu-satunya’ sumber filosofi sains adalah Al Qur’an. Karena itu, jawaban saya tentang ini juga bisa Anda dapati di tulisan-tulisan sesudahnya – khususnya notes ke-3 – yang dengan tegas menjelaskan bahwa asumsi filosofis bisa diambil dari mana saja:

‘’Sesungguhnya, asumsi bisa dibangun dengan cara apa saja. Bisa diambil dari pengalaman sebelumnya, bisa dari kesimpulan saintifik yang mendahuluinya, bisa dari intuisi dan inspirasi yang bersifat internal, ataupun dari sumber-sumber tepercaya lainnya, termasuk kitab suci. Bagi seorang ilmuwan muslim yang menjadikan Al Qur’an sebagai panduan hidupnya, ayat-ayat Al Qur’an bisa menjadi inspirasi yang luar biasa dalam membangun asumsi yang terarah.’’

Jadi, inilah bukti pertama bahwa persepsi subyektif ternyata jauh lebih dominan dibandingkan realitas obyektif. Bukti kedua, adalah komentar kedua Koko Brian berikut ini, tentang mental ‘pejalan spiritual’ dan ‘pejalan sains’ alias saintis. Menurut persepsinya, seorang pejalan spiritual memiliki mental ‘harus selalu benar’dalam memahami kitab sucinya terkait dengan realitas. Sedangkan seorang saintis memiliki mental gentle, yang berani mengakui kesalahan, jika hasil penelitiannya memang salah. 

Menurut saya komentar Koko Brian ini tidak obyektif, dan agak ‘miring-miring’ alias campur aduk, hhehe.. Jika mau dibandingkan, maka yang bisa dikomparasi adalah antar ‘pelaku’ atau antar ‘realitas’. Sehingga tidak perlu muncul komentar di akhir paragraf yang subyektif seperti ini: ’Hasil penelitian scientific bisa jadi salah (dan harus diakui jika memang salah), sedangkan kitab suci tidak bisa (bahkan tidak boleh) salah.’’

Padahal sebelumnya, yang dibahas adalah mental ‘pelaku spiritual’ dengan ‘pelaku sains’. Lha kok ujung-ujungnya membandingkan ‘kitab suci’ dengan ‘hasil penelitian’? Tentu saja tidak apple to apple alias tidak selevel.

Jika mau membandingkan mental pelakunya, marilah kita batasi pada pelaku. Bagaimana mental seorang ‘pejalan spiritual’ dan bagaimana mental seorang ‘saintis’. Saya kira sama saja. Keduanya adalah orang-orang yang mencari kebenaran. Yang pertama mencari kebenaran holistik – memadukan antara subyektivitas dan obyektivitas – sedangkan yang kedua mencari kebenaran obyektif – dengan menolak subyektivitas.

Sepanjang yang saya ketahui, tidak ada seorang ‘pejalan spiritual’ sejati yang memaksa-maksakan kebenarannya. Dan menyodor-nyodorkan persepsinya atas Al Qur’an sebagai kebenaran mutlak. Dia pasti akan memposisikan dirinya sebagai pembelajar yang sangat boleh jadi mengalami kesalahan dalam memahami kebenaran sejati, yakni Al Qur’an. Dan pasti, akan mengoreksi kesalahan hipotesisnya dalam mencari kebenaran, jika tidak sesuai dengan Al Qur’an.

Apa bedanya dengan ‘pejalan sains’ yang juga memperlakukan alam semesta sebagai kebenaran mutlak yang tidak boleh salah. Sehingga, kalau ada penelitian yang salah hipotesis harus ‘dipaksa-paksa’ untuk sama dengan alam semesta? Sama saja tohmentalnya? Cuma, persepsinya menjadi BIAS ketika ‘hasil penelitian’ dikomparasi dengan ‘kitab suci’. Nggak level la yaw..!!, kata akan muda sekarang. Komparasinya baru akan selevel, kalau kebenaran mutlak Al Qur’an dibandingkan dengan kebenaran mutlak realitas alam semesta. Dan, itulah konsep yang diajarkan Islam, bahwa kitab suci dan alam semesta adalah sama-sama ayat Allah, yang satu disebut ayat qauliyah, lainnya disebut sebagai ayat kauniyah.

Bukti berikutnya tentang dominasi persepsi terhadap obyektivitas adalah komentar Koko Brian yang ketiga, tentang ‘kesimpulan obyektif yang bergantung kepada asumsi filosofisnya’. Dia ‘mengharamkan’ adanya subyektivitas dalam sains. Dan itu saya setuju, seperti tulisan yang dikutipnya dari notes saya: “Begitulah, sains yang obyektif ternyata bisa berujung pada persepsi yang subyektif sesuai dengan filosofi yang mendasari SESEORANG dalam menggunakan sains.”

Tetapi, obyektivitas murni dalam sains itu kan teorinya. Pada prakteknya, kita menemukan banyak kesimpulan ‘obyektif’ yang bersifat ‘pesanan’ disebabkan oleh penetapan asumsi yang ‘subyektif’. Sengaja istilah ‘obyektif’ dan ‘subyektif’ itu saya beri tanda petik, untuk menunjukan bahwa keduanya tidak bisa dilakukan dengan murni, sebagaimana diharapkan oleh Koko Brian. Berikut ini adalah contoh-contoh kasus yang bisa terjadi dikarenakan kesengajaan ataupun ketidak sengajaan meletakkan asumsi subyektif ke dalam proses obyektif sains.

Kasus 1.
Cobalah hitung berapa lama perjalanan dari Denpasar menuju ke Sydney.

Untuk bisa menghitung dengan baik, maka Anda harus menentukan asumsinya terlebih dahulu. Terserah Anda membuatnya. Dan itu akan menentukan hasil yang berbeda, sesuai dengan keinginan subyektif Anda. Mau 6 jam, 10 jam, 20 jam, atau sebulan. Jika asumsinya naik pesawat, tentu hasilnya akan berbeda dengan kalau asumsinya naik kapal laut. Naik pesawat pun, harus diasumsikan menggunakan pesawat jenis apa, kecepatannya berapa, konstan ataukah dipercepat, pilotnya siapa, sedang mabuk ataukah tidak, lagi ada gangguan cuaca atau tidak, dan seterusnya, dan sebagainya, dan lain-lainnya.

‘Subyektifitas’ kita dalam menentukan asumsi akan menentukan hasil akhirnya. Subyektivitas itu bisa dalam arti kesengajaan dalam memilih asumsi, ataupun ketidak sengajaan yang menyebabkan asumsi menjadi kurang holistik. Sehingga, hasil akhirnya meleset. Nah, kesengajaan atau tidak itulah faktor subyektif, yang ternyata berpengaruh pada hasil akhir yang ‘obyektif’.

Memang, bisa saja ada upaya untuk meminimalisir subyektivitas itu, tetapi hasilnya tidak pernah benar-benar obyektif. Diantaranya, dikarenakan ‘ketidaksengajaan’ meletakkan asumsi yang keliru ataupun ‘ketidakmampuan’ membuat asumsi yang tepat.

Kasus 2.
Pengaruh asumsi yang bersifat subyektif akan semakin kentara pada kasus-kasus ekstrim dimana kita sulit untuk memverifikasi hasil akhirnya. Yaitu, ketika bukti-bukti empiris sulit diperoleh untuk menguji hipotesis. Ataupun, ketika para penguji tidak tahu apakah sebuah hipotesis itu benar ataukah tidak. Kesimpulan ‘obyektif’ akan sangat didominasi oleh asumsi yang bersifat subyektif.

Contoh konkretnya, adalah ketika Albert Einstein menetapkan konstanta universe ke dalam persamaan matematikanya, sehingga menghasilkan sifat alam semesta yang tetap alias tidak mengembang. Hasil ‘obyektif’ dari persamaan matematisnya itu sepenuhnya dikendalikan oleh konstanta yang diasumsikan berdasar pertimbangan subyektivitasnya, yang berpendapat alam semesta tidak berkembang..!

Artinya, pada seorang ilmuwan selevel Einstein pun subyektivitas asumsi bisa masuk ke ranah sains yang diharapkan ‘obyektif’ tersebut. Bahwa kemudian konstanta itu terbukti salah ‘secara obyektif’, karena data empiris menunjukkan alam semesta mengembang, itu adalah soal berikutnya, yang boleh jadi juga harus diuji secara terus menerus apakah kesimpulan alam semesta yang mengembang itu sudah final. Karena, bukankah sains juga selalu berkembang dan akan melahirkan ‘obyektivitas-obyektivitas’ baru?

Kasus 3.
Demikian pula yang terjadi pada Stephen Hawking ketika membuat asumsi bahwa alam semesta lahir dari fluktuasi kuantum. Sehingga, ujung-ujungnya berpendapat bahwa alam semesta tidak memerlukan Tuhan. Ini hasil yang obyektif ataukah subyektif? Bergantung pada keperluannya.. :)

Jika keperluannya untuk ilmu, bisa saja disebut sebagai kesimpulan yang obyektif. Karena, jika kita cermati satu persatu proses saintifiknya semua terpenuhi. Asumsi tentang adanya fluktuasi kuantum memang benar adanya. Dan karena ada fluktuasi kuantum itu lantas memunculkan partikel-partikel dasar pembentuk alam semesta, juga bisa dipahami lewat probabilitas kuantum. Dan seterusnya, partikel-partikel itu akan berevolusi menjadi alam semesta yang kita huni ini, juga oke-oke saja. Sampai disini terpenuhi semua obyektivitasnya.

Tetapi, ketika ini dikaitkan dengan kesimpulannya bahwa alam semesta tak perlu Tuhan untuk menjadi ada, kita lantas perlu mengevaluasi proses penetapan asumsinya. Apa yang menjadi asumsinya, sehingga dia bisa berkesimpulan seperti itu? Owwh, ternyata karena dia menetapkan awal alam semesta dari fluktuasi kuantum. Tentu saja kesimpulan ‘obyektif’nya akan mengatakan tidak ada Tuhan. Akan menjadi lain, kalau dia meletakkan asumsinya berangkat dari ketiadaan.. :)

Ketiadaan bukanlah ‘ruang hampa’ yang menjadi dasar asumsi dia. Karena ruang hampa itu bukanlah ketiadaan. Masih ada ruang dan waktu yang mewadahi energi dan materi. Sehingga, benar saja kalau dia mengatakan partikel dan energi bisa bermunculan dari ruang hampa itu mengikuti probabilitas kuantum. 

Coba dia agak mundur sedikit lagi ke arah ‘masa lalu’ alam semesta dimana ketiadaan mutlak menjadi awal dari universe. Yakni, ketika seluruh variable alam semesta yang berupa ruang-waktu-materi-energi itu belum terbentuk, tentu hasilnya akan lain. Karena, di saat itu sains tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengungkapnya. Sains runtuh seiring kondisi 'tiada', alias runtuh di titik singularitas. Dan inilah yang dihindari oleh saintis sekelas Hawking sekalipun. Karena sesungguhnya dia sangat paham bahwa di titik singular itu seluruh rumus matematik ataupun saintifik yang diterapkannya tidak lagi berguna. Maka, ia pun 'memilih' agak maju sedikit secara waktu, ketika fluktuasi kuantum sudah ada. Bagaimana menurut Anda..?

Dan akhirnya, tentang adanya rasa kekaguman, ketakjuban atau bahkan ‘ketakutan’ bagi seorang ‘pejalan spiritual’, memang itulah persepsi subyektif yang akan menjadi ending-nya. Dan itu pula yang membedakannya dengan ‘pejalan sains’ yang berhenti hanya pada realitas obyektifnya saja. Seorang ‘pejalan spiritual’ mendedikasikan seluruh aktivitasnya untuk memperoleh pengalaman spiritual yang sangat subyektif setelah mengembara dalam perjalanan panjang yang holistik – antara subyektivitas dan obyektivitas. Ujung-ujungnya adalah ‘meleburkan diri’ dalam Realitas Subyektif yang telah mengadakan dan menyelenggarakan seluruh drama kolosal alam semesta yang sangat menakjubkan dan mempesona ini. Subhanallaah..!

QS. Al Hasyr (59): 24
Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepadaNya segala yang ada di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar