Sabtu, 02 November 2013

SOAL KETAUHIDAN DAN ILMU PENGETAHUAN KEALAMAN ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (5)

Inspirasi filosofis di dalam Al Qur’an tidak hanya tentang ketuhanan. Meskipun, soal ketauhidan ini mendominasi kandungan Al Qur’an. Termasuk, mendominasi masa pewahyuan selama sekitar 12 tahun dari 23 tahun masa turunnya Al Qur’an. Selain mengusung tema utama soal ketauhidan, Al Qur’an juga memberikan inspirasi-inspirasi yang bersifat obyektif kepada ilmu pengetahuan kealaman alias sains. Yang prosesnya, tentu saja melalui ulama atau ilmuwan sebagai pelakunya. Karena, memang sains adalah kumpulan ‘hasil karya’ dari para ulama dan saintis secara kolektif. Sehingga, tidaklah mungkin menjaga kesterilan sains dari pelakunya. Dalam notes kali ini, selain menjawab pertanyaan Mas Budi Pramono soal ketauhidan, saya juga menjawab komentar Koko Brian dan kang Eka Iman.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pertanyaan Mas Budi tentang konsep WUJUD di dalam Islam sangatlah fundamental. Bahwa menurutnya, ketiadaan mutlak itu sebenarnya tidak ada. Yang ada ialah keber-ADA-an yang bertingkat. Dimana Allah ‘menempati level’ keberadaan mutlak, dan selebihnya adalah makhluk yang menempati level keberadaan terdegradasi – semakin tidak mewujud.

Jika kita konsisten mengikuti filosofi ini, maka kita akan bertemu dengan grade yang paling rendah sebagai ke-TIADA-an berada di seberang keber-ADA-an. Kecuali kita memang sepakat untuk meniadakan kata ‘TIADA’ dari perbendaharaan bahasa kita. Tapi menurut saya, ketiadaan ini sebenarnya diperlukan untuk menjadi komparasi bagi keber-ADA-an. Sehingga dalam syahadat Tauhid pun kita menggunakan kata tersebut: laa ilaaha illallaahTIADA Tuhan selain (keber-ADA-an) Allah. 

Namun apakah penggunaan kata ‘tiada’ itu menggambarkan kondisi yang benar-benar bersifat mutlak? Menurut saya, bergantung pada cara kita melihat dan menerapkannya. Jika kita sedang berbicara makhluk, maka ketiadaan itu bisa bermakna mutlak. Tetapi, ketika kita berbicara tentang Tuhan, maka ketiadaan itu adalah bagian dari keberadaan-Nya.

Analogi Himpunan dalam ilmu Matematika saya kira bisa digunakan untuk menjelaskannya. Dikarenakan sifat Tuhan yang Maha Meliputi segala sesuatu, maka kita bisa menganalogikan Tuhan sebagai semesta pembicaraan. Di dalam semesta pembicaraan itu ada himpunan makhluk yang diciptakan-Nya sekaligus diliputi-Nya. Ada himpunan malaikat, himpunan manusia, himpunan jin, himpunan binatang, himpunan tumbuhan, dan himpunan benda-benda mati. Dan, ini yang menarik, ada himpunan-himpunan kosong pada setiap himpunan makhluk.

Artinya, kekosongan alias ketiadaan bisa diberlakukan kepada makhluk, bukan kepada Tuhan. Kepada setiap himpunan, tetapi tidak kepada semesta pembicaraan. Karena semesta pembicaraan adalah segala-galanya, sedangkan segala jenis himpunan –termasuk himpunan kosong– adalah bagian saja dari semesta pembicaraan.

Dengan analogi ini, kita bisa memperoleh gambaran yang agak mirip dengan konsep Al Qur’an dalam menerangkan ketauhidan. Bahwa Allah meliputi segalanya: alam semesta beserta seluruh isinya. Termasuk apa yang disebut ADA dan TIADA. Tetapi, perlu digarisbawahi bahwa ADA dan TIADA itu sebenarnya adalah makhluk. Sehingga, ketika berbicara tentang KETIADAAN, maka kita harus mensejajarkan dengan makhluk. Bukan dengan Tuhan.

Manusia ADA, dan suatu ketika bisa TIADA. Malaikat dan Jin juga ADA, tapi suatu ketika bisa TIADA. Pepohonan dan binatang ADA, namun suatu ketika juga bisa TIADA. Sebagaimana juga alam semesta ADA, tetapi suatu ketika bisa TIADA. Yakni, ketika variabel-variabel ruang-waktu-materi-energi musnah, alam semesta pun bakal lenyap beserta seluruh peristiwa yang ada di dalamnya. Dan yang ADA tinggallah SESUATU yang tidak bisa didefinisikan lagi oleh segala macam bahasa dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Dialah Sang Semesta Pembicaraan. Dialah Zat yang ‘Laisa Kamitslihi Syai-un’, sebagai keber-ADA-an Mutlak, karena tak ada lagi variabel yang bisa dikenakan kepada-Nya.

Mengenai QS. Al Insaan (76) : 1, yang saya gunakan dalam notes sebelum ini memang lebih menggambarkan ketiadaan dalam skala makhluk. Dan lebih khusus lagi adalah manusia. Tetapi, ayat itu bisa dikembangkan lebih luas sebagai analogi bagi ketiadaan makhluk, dengan menggunakan logika filosofis yang saya uraikan di atas.

Sedangkan yang khusus terkait dengan alam semesta, Allah menjelaskannya dalam ayat-ayat yang bercerita tentang penciptaan langit & bumi dari tidak ada menjadi ada, sebagaimana telah dikutipkan oleh nyong Dhasryl Arya Bima. Dan kemudian ditambahkan lagi oleh Mas Budi sendiri dengan mengutip istilah-istilah di dalam Al Qur’an terkait proses penciptaan: KHALAQA, JA’ALA, BARI’U, MUSHAWWIRU, FATHIR, dan khususnya BADA’A.

Sebagaimana juga saya menutup notes ke-4 dengan QS. Al Hasyr (59) : 24 yang menggambarkan semua makhluk diciptakan dari tidak ada menjadi ada. Saya kutipkan lagi berikut ini. ‘’Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepadaNya segala yang ada di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’’

Ringkas kata, saya sependapat bahwa keber-ADA-an mutlak hanya milik Allah. Sedangkan makhluk bisa berada dalam keber-ADA-an dan ke-TIADA-an relatif. ‘Ada’ dan ‘tiada’nya terjadi di dalam Zat yang MAHA ADA..!

                                                                      * * *

Selanjutnya mengenai masalah ‘Inspirasi bagi SAINS’ ataukah ‘inspirasi bagi SAINTIS’, saya ingin memberikan komentar pendek saja. Bahwa secara bahasa sebenarnya tidak perlu menjadi masalah. Karena, kedua-duanya bisa dipakai. Berikut ini, saya berikan contoh yang lebih umum. 

Jika ada suatu peristiwa yang memberi inspirasi kepada saya sebagai seorang penulis buku, maka seseorang bisa mengatakan dengan dua cara. Yang pertama‘’Peristiwa itu menjadi SUMBER inspirasi bagi AGUS MUSTOFA untuk menulis buku’’. Atau yang kedua: ''Peristiwa itu menjadi SUMBER inspirasi bagi BUKU Agus Mustofa.'' Dalam tata bahasa Indonesia, kalimat semacam ini tidak bermasalah. Dan memilki makna yang sama. Yang berbeda adalah PERSEPSI orang yang membacanya, terkait dengan rasa bahasa yang muncul di benaknya. Karena itu, diskusi soal ini tidak perlu memakan space lebih besar lagi, intinya persepsi subyektif saya dan Koko Brian berbeda terhadap obyek atau kalimat yang sama. Saya kira pembaca dan peserta diskusi ini sudah bisa mengambil kesimpulannya sendiri.

Yang kedua, tentang contoh soal menghitung lama perjalanan dari Denpasar ke Sydney memang sengaja saya buat ‘terbuka’, agar bisa menunjukkan korelasi antara penetapan asumsi dengan efek kesimpulannya. Bahwa asumsi yang berbeda akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Dan asumsi tersebut bisa ditetapkan secara obyektif maupun subyektif. Itu saja. 

Yang ketiga, soal Einstein dan Hawking. Bukan cuma Einstein yang ilmuwan teoritis, Hawking pun adalah seorang matematikawan alias ilmuwan teoritis. Tetapi, tetap saja keduanya adalah SAINTIS  yang menerapkan kaidah-kaidah saintifik dalam setiap karyanya. Namun, bukan disitu masalah yang sedang saya bahas. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa bagi seorang saintis - selevel Einstein maupun Hawking – pada PRAKTEKNYA tidak bisa menghindar dari subyektivitas asumsi yang berpengaruh pada obyektivitas kesimpulan. Itu saja. Namun, secara TEORITIS, saya kira kita sependapat bahwa Sains mesti dijaga obyektivitasnya.

                                                                        * * *

Untuk pertanyaan lainnya, dari Kang Eka Iman, adalah soal apakah Al Qur’an bisa digunakan untuk memprediksi masa depan sebagaimana sains. Saya kira perlu diproporsionalkan dulu pemahaman kita tentang keterkaitan antara Al Qur’an dan Sains. Bahwa, Islam tidak pernah memposisikan Al Qur’an dan sains berhadap-hadapan. Sehingga, adalah tidak tepat jika ada pertanyaan seperti ini: ‘’Apakah Al Qur’an dapat digunakan untuk memprediksi gejala alam dan hukum alam yang belum ditemukan oleh Sains?’’

Karena, Al Qur’an memang bukan sains ataupun sesuatu yang layak ditandingkan dengan sains. Tidak apple to apple, ataupun bandeng to bandeng (meminjam istilah Koko Brian). Ayat-ayat Qur’an berada di ‘hulu’, sedangkan sains berada di ‘hilir’. Jadi bagaimana bisa menandingkannya? Yang bisa dilakukan adalah menjadikan yang di ‘hulu’ itu sebagai ‘sumber’ bagi yang di hilir. Itulah sebabnya, saya mengangkat serial notes ini dengan tema: ‘’Al Qur’an sebagai Sumber Filosofi bagi Sains’’. Kalaupun ada yang tidak setuju dan berbeda pendapat, boleh-boleh saja, wong namanya diskusi. Cuma, tentu dengan argumentasi yang jelas dan konsisten agar bisa menjadi pelajaran bersama.

Sebagian contohnya sudah saya kemukakan dalam notes terdahulu. Misalnya, Al Qur’an memberikan clue bahwa alam semesta ini berkembang dan berdinamika, tetapi dalam keseimbangannya. Di ayat yang lain lagi, Allah mengindikasikan bahwa akhir alam semesta ini bukan berupa nolnya entropi yang disebabkan mengembang tidak terkendali, karena Dia telah memberikan sinyal bahwa Allah menahan pergerakan langit itu agar tidak lenyap.

Dalam penciptaan Bumi, Allah menyebut dulunya berupa asap panas yang kemudian mendingin membentuk tata surya beserta planet-planetnya - termasuk Bumi. Dan lantas, memunculkan daratan, gunung-gunung, perairan, atmosfer, tanaman, binatang, dan manusia. Dan seterusnya.

Dalam penciptaan manusia, Al Qur’an juga memberikan banyak sekali clue yang bisa dijadikan inspirasi bagi pengembangan sains. Atau, katakanlah inspirasi bagi ilmuwan muslim - dan kelak akan menjadi khazanah sains :). Diantaranya, manusia diciptakan dari satu substansi tunggal (nafsin waahidatin) yang kini dikenal sebagai stem cell. Juga, tentang fase-fase penciptaannya di dalam rahim. Pun tentang biomolekuler dan sistem saraf. Tentang Jiwa dan Ruh. Dan sebagainya...

Dan masih banyak lagi inspirasi yang bisa digali dari dalam Al Qur’an untuk menstimulasi perkembangan sains - tentu lewat para ilmuwan - secara filosofis agar asumsinya on the right track. Mulai dari ilmu Astronomi, Geografi, Geologi, Biologi, Fisika, Kimia, Matematika, Anatomi, Psikiatri, Kesehatan, Ekonomi, Sosial, Politik, dan sebagainya, termasuk spiritualitas. Al Qur’an memancing manusia untuk memahami alam sekitarnya, termasuk dirinya dengan cara mengamati dan melakukan penelitian secara langsung di lapangan, yang kemudian dikenal sebagai sains itu. Jadi, bukan hanya berpegangan pada Al Qur’an - dalam bentuk teks - lantas bisa menguasai ilmu alam semesta. Inilah yang harus dipahami secara proporsional. Karena, justru Al Qur’an sendirilah yang telah memberikan dorongan untuk melakukan semua itu. Bahwa ayat qauliyah (teks) harus diterapkan sebagai ayat kauniyah (realitas).

QS. Adz Dzaariyaat (51): 20-21
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (clue) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?

Ayat semacam ini bertaburan di dalam Al Qur’an, dengan maksud mendorong manusia agar memahami ciptaan Allah secara saintifik. Dan sebenarnya bukan hanya kepada umat Islam, melainkan kepada seluruh umat manusia. Supaya apa? Supaya manusia mengenal Tuhan yang telah menciptakan semua realitas ini - termasuk dirinya. Juga supaya tidak terjebak kepada pengembangan ilmu belaka, melainkan memanfaatkan ilmu itu untuk memahami Dia Yang Maha Berilmu, yang telah menciptakan dan mengadakan jagat raya ini berdasar ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Tapi, tentu saja, hal itu bagi yang mau. Bagi yang tidak mau, ya monggo-monggo saja. Lha wong Allah saja tidak pernah memaksa hamba-Nya, apalagi saya.. :)

QS. Yunus (10): 99-100

Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, PASTI-lah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemarahan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya (dalam beriman)

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar