oleh Agus Mustofa pada 29 Maret 2012 pukul 13:33
Bagian yang paling ‘membingungkan’ bagi sejumlah kawan di dalam
forum DTM ini adalah hubungan antara kehendak makhluk di dalam KEHENDAK Tuhan.
Ujung pangkal kebingungan itu saya lihat bermula ketika kita mengira bahwa
KEHENDAK Tuhan itu sama dengan kehendak kita. Atau, setidak-tidaknya, kita
merasa tahu kehendak Tuhan, dan bahkan menempatkan diri lebih tahu daripada
Tuhan. Hhehe.., lha wong menebak kehendak saya saja Anda tidak bisa, kok mau
menebak kehendak Tuhan.. ;)
Untuk bisa memahami posisi kehendak manusia di dalam kehendak
Allah, saya ingin mengajak Anda menelusurinya dari ujung pangkalnya, dan
mengambil pijakan dari sumber otentik: Firman Allah.
1). Bahwa seluruh
alam semesta ini adalah MILIK-Nya dan DILIPUTI-Nya. Baik itu berupa dimensi
ruang, waktu, materi, energi, dan informasi. Termasuk peristiwa ‘baik’ dan
‘buruk’, anugerah dan musibah, adalah milik-Nya dan berada di dalam-Nya.
Diliputi-Nya.
QS. An Nisaa’ [4]: 126
Kepunyaan Allah-lah segala yang di langit dan segala yang di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu.
2). Bukan hanya
diliputi-Nya, baik dan buruk itu ternyata juga BERASAL dari-Nya. Orang-orang
yang menganggap kebaikan datang dari Allah, dan keburukan datang dari manusia
disebut sebagai ‘tidak mengerti’ pembicaraan.
QS. An Nisaa’ [4]: 78
… Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa
sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu
hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?
3). Semua kejadian
di alam semesta ini adalah KEHENDAK-NYA. Dan ketika menghendaki semua realitas
ini Dia hanya mengatakan KUN – 'jadilah', maka mewujudlah segala yang
Dia kehendaki itu. Termasuk ketika Allah menciptakan manusia.
QS. An Nahl [16]: 40
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya
mengatakan kepadanya: "KUN (jadilah)", maka jadilah ia.
QS. Ali Imran (3): 59
Sesungguhnya misal (penciptaan) `Isa di sisi Allah, adalah seperti
Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya:
KUN (jadilah), maka jadilah dia.
4). Karena manusia
diliputi Allah, maka kehendak manusia pun diliputi atau berada di dalam
Kehendak Allah. Bahkan, bukan hanya di dalam-Nya, melainkan ‘tidak bisa
berkehendak’ kecuali dikehendaki-Nya.
QS. At Takwiir (81): 29
Dan kamu tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.
5). Lantas, kalau
begitu apakah berarti kehendak manusia SAMA dengan kehendak Allah? Nah,
disinilah distorsi pemahaman yang sering terjadi. Sehingga ada yang mengatakan:
kalau kehendakku adalah kehendak Allah, kenapa saya masih disuruh bertanggung
jawab? Kan ini sama saja dengan mempertanggungjawabkan kehendak Allah sendiri?
Kalau Anda mengikuti sejumlah notes saya tentang keberadaan
makhluk di dalam Tuhan, mestinya Anda sudah bisa menarik kesimpulan yang cukup
baik. Bahwa, berada di dalam Allah itu bukan berarti SAMA DENGAN Allah. Saya
kira Anda masih ingat analogi ‘Himpunan Tak Berhingga’ yang memuat angka-angka.
Jika Allah diibaratkan sebagai SEMESTA PEMBICARAAN dalam himpunan tak berhingga
itu, maka makhluk bisa diibaratkan angka-angka yang menjadi anggotanya.
Misalnya, angka 1 adalah manusia, angka 2 adalah hewan, angka tiga
tumbuhan, angka 4 adalah malaikat, dan seterusnya termasuk benda-benda langit,
ruang, waktu, materi, energi, dan informasi, berserta dengan segala peristiwa
yang terjadi di dalamnya. Maka, tentu Anda sudah bisa mengambil kesimpulan
sendiri bahwa angka 1 tidaklah sama dengan angka ‘tak berhingga’. Atau dengan
kata lain, manusia tidak sama dengan Tuhan meskipun manusia berada di dalam
Tuhan.
Jika diperluas, kehendak manusia TIDAK SAMA dengan kehendak Tuhan.
Penglihatan manusia TIDAK SAMA dengan penglihatan Tuhan. Pendengaran manusia
TIDAK SAMA dengan pendengaran Tuhan. Dan segala sifat manusia TIDAK SAMA dengan
sifat-sifat Tuhan. Manusia mendengar, Tuhan MAHA mendengar. Manusia melihat,
Tuhan MAHA melihat. Manusia berkehendak, Tuhan MAHA berkehendak. Manusia berada
dalam segala KETERBATASAN, sedangkan Allah dalam skala yang tak terbayangkan. Tak
berhingga.
Perbandingan antara sifat manusia dengan sifat Tuhan adalah ibarat
angka 1 dibagi dengan angka tak berhingga, hasilnya = NOL. Ya, manusia di dalam
Allah adalah NOL alias semu. Ada lambangnya, tapi tak ada isinya. Itulah makna
kalimat LAA ILAAHA ILLALLAH – tidak ada sesuatu pun yang eksis kecuali hanya
Allah. Siapa pun yang tidak bisa menerima kemutlakan eksistensi Allah ini
berarti dia telah mengingkari syahadatnya.
Maka, memahami kehendak manusia di dalam kehendak Allah haruslah
proporsional. Tidak serta merta MENYAMAKAN kehendak makhluk dengan
kehendak-Nya. Kehendak manusia hanya menempati BAGIAN yang sangat PARSIAL dalam
kehendak-Nya yang holistik. Dengan kehendak yang parsial itulah manusia bisa
mengalami kekeliruan dan kesalahan yang menyebabkan terjadi keburukan padanya.
Ini pula yang dikatakan Allah di dalam firman-Nya, bahwa kebaikan berasal dari
Allah, sedangkan keburukan berasal dari (keterbatasan) manusia. Sebuah
pemahaman yang seakan-akan kontradiktif dengan ayat 'kehendakku di dalam
kehendak-Nya' di atas. Padahal, semata-mata kita kurang memahaminya secara
holistik.
QS. An Nisaa’ (4): 79
Segala kenikmatan yang kamu peroleh berasal dari Allah, dan segala bencana yang menimpamu disebabkan oleh (keterbatasan)
dirimu sendiri…
6). Maka takdir
jelek dan takdir baik itu sebenarnya terjadi disebabkan oleh keterbatasan
manusia di dalam berkehendak. Seandainya dia berkehendak searah dengan kehendak
Allah yang LEBIH HOLISTIK, maka dia akan memperoleh kebaikan. Tetapi, karena
dia berkehendak dengan ‘kehendak Allah’ yang parsial di dalam dirinya, dia pun
memperoleh musibah.
Maka, dalam konteks ini, kita menjadi paham kenapa ada takdir baik
dan takdir buruk. Karena, manusia sering terburu nafsu menampilkan egonya lebih
tinggi dari Ego Allah, mendahulukan kehendaknya daripada kehendak Allah,
menyombongkan kepintarannya dibandingkan ilmu Allah, mendahulukan
kepentingannya dibandingkan ‘kepentingan’ Allah, dan seterusnya.
Allah pun lantas mengingatkan, barangsiapa menonjolkan kepentingan
egoistiknya, ia bakal menemui bencana. Dan barangsiapa mengikuti petunjuk-Nya
ia akan memperoleh kebaikan. Disinilah muncul ayat tentang tanggung jawab itu.
QS. Al Mudatstsir (74): 37-38
Bagi siapa saja di antaramu yang berkehendak akan maju atau mundur. Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya,
Artinya, kehendak 'maju' itu berada di dalam kehendak Allah.
Tetapi kehendak 'mundur' pun berada di dalam kehendak Allah. Silakan memilih
dengan segala konsekuensinya. Karena nikmat dan bencana itu juga berasal dari
Allah, disebabkan oleh pilihan yang kita lakukan sendiri.
7). Namun demikian,
Allah pun BERKEHENDAK untuk mengampuni segala kekeliruan yang kita lakukan
dikarenakan segala keterbatasan kita itu. Siapa pun yang datang kepada-Nya memohon
ampunan pasti diampuninya, karena Dia adalah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Semua terserah kepada kehendak-Nya..!
QS. An Nisaa’ (4): 110
Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya,
kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Wallahu a’lam bishshawab.
~ Salam ‘Mudah-mudahan Tidak Bingung Lagi’ ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar