"TEGA
BENAR…”.
Mungkin
ada yang mengomentari demikian terhadap judul diatas. Tapi itulah memang
kesimpulan dari memahami ayat Al Qur’an terkait dengan perintah berpuasa di
bulan Ramadan. Bukan dalam konteks emosional, melainkan dalam konteks akademis.
Berikut ini adalah ayat
utama yang memerintahkan kita untuk berpuasa.
Qs. Al-Baqarah (2) : 183
“Wahai
orang-orang yang BERIMAN, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Cobalah perhatikan,
siapakah yang dipanggil Allah untuk menjalankan ibadah puasa dalam bulan Ramadan?
Jawabnya: orang yang BERIMAN.
Dengan
kata lain, Allah tidak memanggil orang-orang yang tidak beriman.
Setidak-tidaknya, nggak
usah melanjutkan membaca ayat tersebut. Karena, kalimat berikutnya
itu hanya ditujukan kepada mereka yang beriman. Yakni: perintah puasa agar
menjadi orang yang bertakwa.
Berarti, jika kita tidak
termasuk orang beriman, kita tidak diwajibkan berpuasa? Dan tidak berpeluang
untuk menjadi orang yang bertakwa? Ya.
Karena bagi orang yang tidak beriman, ibadah puasa yang semestinya penuh makna
menjadi tidak berarti apa-apa. Tidak menyehatkan. Tidak membuatnya lebih
bertakwa. Apalagi, lebih mendekatkan dia kepada Allah. Puasa hanya akan
berdampak secara lahiriah maupun batiniah ketika kita mendahuluinya dengan
keimanan.
Maka, sungguh
sedemikian penting keimanan sebagai pondasi bagi proses beragama. Sehingga
tidak heran, Allah memberikan pilihan secara sangat tegas terkait hal ini.
Qs.
Al-‘Israa’ (17) : 107
“Katakanlah:
BERIMAN-lah kamu kepadanya atau TIDAK USAH beriman (sekalian). Sesungguhnya
orang-orang yang diberi PENGETAHUAN sebelumnya, apabila Al Quran dibacakan
kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil BERSUJUD.”
Menurut ayat diatas,
keimanan memiliki keterkaitan erat dengan pengetahuan. Yakni, sebuah kepahaman
atas suatu masalah yang menyebabkan dia menjadi YAKIN. Itulah Iman. Seseorang
tidak akan bisa “yakin” kalau tidak memiliki pengetahuan atas suatu hal. Dan
dia tidak akan memiliki pengetahuan tentang hal itu, kalau tidak
mempelajarinya. Dan dia tidak akan bisa mempelajarinya, kalau tidak menggunakan
akal kecerdasannya secara sehat.
Itulah yang saya
maksudkan dengan pembahasan kemarin, bahwa keimanan memiliki kaitan erat dengan
akal kecerdasan. Sehingga runtutannya menjadi demikian: orang berakal mesti
menggunakan kecerdasannya untuk belajar, yang dengan belajar itu ia kemudian
menjadi paham dan yakin, dan lantas memiliki komitmen untuk beribadah sesuai
dengan keyakinannya. Itulah PROSES KEIMANAN. Bukan sekedar ikutan-ikutan
percaya.
Maka, kembali kepada
ayat tentang puasa di atas, panggilan untuk berpuasa hanya ditujukan kepada
mereka yang sudah beriman. Yakni, orang yang sudah memiliki pengetahuan tentang
“seluk beluk puasa”, sehingga dia “yakin” bahwa puasa ini sangat “bermanfaat”
secara lahiriah maupun batiniah. Dan, kemudian dia berkomitmen untuk
menjalankannya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan niat yang dijaganya secara
istiqomah dalam perbuatannya.
Jika ini yang terjadi,
maka kalimat berikutnya di dalam ayat puasa itu bakal menunjukkan dampaknya.
Yakni: la’allakum tattaqun -
menjadi orang yang bertakwa. Karena, memang, ketakwaan adalah hasil akhir dari
proses puasa yang berbasis pada keimanan.
Bagaimana
menurut Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar