SELAIN “niat” yang
bertujuan obyektif - seperti yang kita bahas kemarin - “niat” juga memiliki
tujuan subyektif. Perbedaannya terletak pada “apa” dan “siapa” yang menjadi
tujuan puasa atau ibadah kita. Pada intinya, “niat” harus dikaitkan dengan
“tujuan”. Sebuah perbuatan yang tidak dikaitkan dengan tujuan, menjadi tidak
jelas langkah operasionalnya. Dan kemudian kita sebut sebagai ”nggak niat”.
Coba
bayangkan, hari ini Anda keluar rumah “tanpa tujuan”. Kira-kira apa yang
menjadi “niat” Anda keluar rumah? Menjadi nggak jelas, bukan? Berbeda dengan
ketika Anda bepergian dengan tujuan yang jelas. Untuk bisnis, misalnya. Maka,
Anda akan bisa menentukan hal-hal apa saja yang Anda perlukan untuk mencapai
tujuan bisnis tersebut. Mulai dari kesiapan konsep, modal, SDM, peralatan,
bahkan jaringan pemasaran.
Tujuan
yang jelas akan menentukan cara yang jelas dalam mencapainya. Dan ini kemudian
menjadikan “niat” kita menjadi jelas juga. Orang-orang yang tidak jelas dalam
menjalankan pekerjaannya sering kita sebut sebagai orang yang ”nggak niat”
bekerja. Lha wong tujuan nggak jelas, operasional nggak jelas, lantas
apa yang mau dia peroleh dengan cara yang seperti itu?
Demikian pula dengan
puasa dan ibadah kita pada umumnya. Letakkanlah “tujuan Anda” beribadah dalam
koridor yang jelas. Yang secara pertanyaan, telah saya sampaikan dalam diskusi
kemarin: “untuk APA” dan “untuk SIAPA” puasa yang kita lakukan ini. Yang dalam
kajian hari ini kita bisa memperluasnya: bukan hanya puasa, melainkan ibadah
pada umumnya.
Secara
obyektif tujuan puasa adalah “supaya sehat” dan “supaya bertakwa”. Selain
bersumber pada hadits shumu tashihu yang dianggap kontroversial
sebenarnya ada sejumlah hadits yang mengajarkan tentang pentingnya “puasa
sebagai obat” untuk mencapai kesehatan tubuh kita, yang diriwayatkan secara
sahih oleh Imam Muslim. Sedangkan puasa untuk ketakwaan, jelas-jelas disampaikan
Allah dalam Qs. Al-Baqarah (2):183.
Dalam
tema hari ini, kita membahas “niat” dalam konteks “tujuan subyektif” melalui
pertanyaan: Untuk Siapa Ibadahmu? Jawaban yang benar atas pertanyaan ini bakal
menentukan “niat yang benar” pula. Yang pada gilirannya, akan menghasilkan
amalan yang benar, dan akhirnya hasil yang benar.
Jadi,
“untuk SIAPAKAH ibadahmu?” Untuk Allah-kah? Atau untuk dirimu sendiri? Kalau
untuk Allah, apakah Allah memang membutuhkan ibadahmu? Sehingga, sampai ada
yang mengatakan bahwa Allah itu “menjadi Tuhan” karena disembah oleh
makhluk-Nya. Dan jika tidak ada yang menyembah-Nya, maka eksistensi Tuhan pun
menjadi tidak ada.
Ataukah,
ibadah kita ini sebenarnya ya untuk diri kita sendiri. Karena Allah
memang tidak membutuhkan apa pun dari makhluk-Nya. Allah adalah Allah, yang
tetap menjadi Tuhan meskipun seluruh makhluk tidak menyembah-Nya.
Namun,
jika ibadah kita ini untuk diri sendiri, lantas dimana “posisi Allah” dalam
hakikat peribadatan kita? Jangan-jangan ibadah yang demikian itu berubah
menjadi praktek “menyembah dan mempertuhankan” diri kita sendiri…?!
Bagaimana menurut Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar