Rabu, 08 Juni 2016

[4] – UNTUK SIAPAKAH IBADAHMU?

SELAIN “niat” yang bertujuan obyektif - seperti yang kita bahas kemarin - “niat” juga memiliki tujuan subyektif. Perbedaannya terletak pada “apa” dan “siapa” yang menjadi tujuan puasa atau ibadah kita. Pada intinya, “niat” harus dikaitkan dengan “tujuan”. Sebuah perbuatan yang tidak dikaitkan dengan tujuan, menjadi tidak jelas langkah operasionalnya. Dan kemudian kita sebut sebagai ”nggak niat”.

Coba bayangkan, hari ini Anda keluar rumah “tanpa tujuan”. Kira-kira apa yang menjadi “niat” Anda keluar rumah? Menjadi nggak jelas, bukan? Berbeda dengan ketika Anda bepergian dengan tujuan yang jelas. Untuk bisnis, misalnya. Maka, Anda akan bisa menentukan hal-hal apa saja yang Anda perlukan untuk mencapai tujuan bisnis tersebut. Mulai dari kesiapan konsep, modal, SDM, peralatan, bahkan jaringan pemasaran.

Tujuan yang jelas akan menentukan cara yang jelas dalam mencapainya. Dan ini kemudian menjadikan “niat” kita menjadi jelas juga. Orang-orang yang tidak jelas dalam menjalankan pekerjaannya sering kita sebut sebagai orang yang ”nggak niat” bekerja. Lha wong tujuan nggak jelas, operasional nggak jelas, lantas apa yang mau dia peroleh dengan cara yang seperti itu?

Demikian pula dengan puasa dan ibadah kita pada umumnya. Letakkanlah “tujuan Anda” beribadah dalam koridor yang jelas. Yang secara pertanyaan, telah saya sampaikan dalam diskusi kemarin: “untuk APA” dan “untuk SIAPA” puasa yang kita lakukan ini. Yang dalam kajian hari ini kita bisa memperluasnya: bukan hanya puasa, melainkan ibadah pada umumnya.

Secara obyektif tujuan puasa adalah “supaya sehat” dan “supaya bertakwa”. Selain bersumber pada hadits shumu tashihu yang dianggap kontroversial sebenarnya ada sejumlah hadits yang mengajarkan tentang pentingnya “puasa sebagai obat” untuk mencapai kesehatan tubuh kita, yang diriwayatkan secara sahih oleh Imam Muslim. Sedangkan puasa untuk ketakwaan, jelas-jelas disampaikan Allah dalam Qs. Al-Baqarah (2):183.

Dalam tema hari ini, kita membahas “niat” dalam konteks “tujuan subyektif” melalui pertanyaan: Untuk Siapa Ibadahmu? Jawaban yang benar atas pertanyaan ini bakal menentukan “niat yang benar” pula. Yang pada gilirannya, akan menghasilkan amalan yang benar, dan akhirnya hasil yang benar.

Jadi, “untuk SIAPAKAH ibadahmu?” Untuk Allah-kah? Atau untuk dirimu sendiri? Kalau untuk Allah, apakah Allah memang membutuhkan ibadahmu? Sehingga, sampai ada yang mengatakan bahwa Allah itu “menjadi Tuhan” karena disembah oleh makhluk-Nya. Dan jika tidak ada yang menyembah-Nya, maka eksistensi Tuhan pun menjadi tidak ada.

Ataukah, ibadah kita ini sebenarnya ya untuk diri kita sendiri. Karena Allah memang tidak membutuhkan apa pun dari makhluk-Nya. Allah adalah Allah, yang tetap menjadi Tuhan meskipun seluruh makhluk tidak menyembah-Nya.

Namun, jika ibadah kita ini untuk diri sendiri, lantas dimana “posisi Allah” dalam hakikat peribadatan kita? Jangan-jangan ibadah yang demikian itu berubah menjadi praktek “menyembah dan mempertuhankan” diri kita sendiri…?!

Bagaimana menurut Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar