Senin, 06 Juni 2016

[2] – KALENDER BIZONAL vs KALENDER UNIFIKASI MENGUATKAN METODE RQG

MENJELANG bulan suci Ramadan 1437 H, para ulama dari berbagai negeri Islam melakukan kongres di Turki dalam tajuk “International Hijri Calendar Unity Congress”. Acara tersebut digelar oleh Kementerian Agama Turki bekerjasama dengan ICOP (Islamic Crescent Observation Project), The European Council for Fatwa and Research, dan Kandili Observatory.

Kongres yang dihadiri oleh 130 delegasi dari berbagai negeri Islam itu sedang berusaha menyatukan pemahaman dan persepsi tentang perlunya kalender yang berlaku universal bagi umat Islam di seluruh dunia. Sebuah upaya yang sangat menggembirakan dan perlu dukungan kita semua. Karena, sungguh kita prihatin dengan perpecahan di segala bidang yang terjadi selama ini – bahkan hanya untuk mempersepsi sebuah kalender yang berlaku global pun kita nggak bisa akur selama ratusan tahun.

Beberapa nama terkenal hadir di acara tersebut, diantaranya adalah Yusuf al Qaradlawi selaku ketua persatuan ulama dunia, Muhammad Syaukat Audah pendiri dan ketua ICOP, Nidhal Guessoum pakar Astrofisika Aljazair yang kini menjadi guru besar di American University of Sharjah UEA, Jamaludin Abdurraziq ilmuwan Maroko pencetus Kalender Unifikasi, dan Syaraf Al Qudah pakar Syariah Jordania. Sedangkan dari Indonesia, hadir Prof. Dr. Syamsul Anwar Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, dan Hendro Setyanto Msi sebagai anggota Lajnah Falakiyah PBNU.

Intinya, para ulama Islam dunia kini semakin mengarah kepada penyatuan kalender yang berbasis pada pengamatan astronomi modern. Dan lagi, mengarah kepada hari yang sama untuk tanggal yang sama, ataupun tanggal yang sama untuk hari yang sama, di seluruh muka bumi. Artinya, jika di suatu negeri tanggal 1 Ramadan jatuh hari Senin, maka negeri-negeri di seluruh dunia harus berada pada hari dan tanggal yang sama.

Ini berbeda dengan Kalender Bizonal, yang menentukan adanya dua tanggal dan dua hari yang berbeda di permukaan bumi, seperti kalender Masehi. Misalnya, di Indonesia hari Senin, di Amerika masih hari Minggu. Dalam kalender unifikasi, seluruh permukaan bumi ditetapkan sebagai hari yang sama, seiring dengan tenggelamnya matahari.

Pedoman kalender unifikasi adalah terjadinya konjungsi atau ijtimak di bagian yang paling barat permukaan Bumi. Maka, seluruh permukaan bumi di sebelah timurnya memiliki hari yang sama dalam jangkauan 24 jam. Artinya, patokan utamanya adalah posisi terjadinya peristiwa konjungsi sebagai penanda habisnya bulan lama, dan datangnya bulan baru.

Pedoman ini mirip dengan apa yang saya utarakan dalam konsep Rukyat Qobla Ghurub (RQG). Bahwa penanda datangnya bulan baru adalah peristiwa “konjungsi”. Sedangkan penanda datangnya hari baru adalah waktu “maghrib” yang terjadi seiring dengan tenggelamnya matahari di masing-masing negeri. Sangat sederhana.

Sebagai contoh, hari Minggu, 5 Juni 2016, konjungsi bakal terjadi pukul 10.00 wib. Maka, bulan Ramadan 1437 H sudah hadir di seluruh permukaan bumi. Namun, permulaan hari di Indonesia adalah sekitar 7,5 jam kemudian saat maghrib menjelang. Sedangkan di Arab Saudi, maghrib akan datang sekitar 4-5 jam berikutnya. Tetapi, seluruh negeri di muka bumi memiliki hari dan tanggal yang sama.

Sebuah upaya yang semakin maju untuk menyamakan persepsi umat Islam Global. Meskipun masih ada beberapa kriteria yang harus dikaji lebih lanjut untuk menyempurnakannya. Semoga ke masa depan, umat Islam bisa memperoleh jalan keluar terbaiknya. 

Bagaimana menurut Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar