MENJELANG bulan suci
Ramadan 1437 H, para ulama dari berbagai negeri Islam melakukan kongres di
Turki dalam tajuk “International Hijri Calendar Unity Congress”. Acara tersebut
digelar oleh Kementerian Agama Turki bekerjasama dengan ICOP (Islamic Crescent
Observation Project), The European Council for Fatwa and Research, dan Kandili
Observatory.
Kongres yang dihadiri
oleh 130 delegasi dari berbagai negeri Islam itu sedang berusaha menyatukan
pemahaman dan persepsi tentang perlunya kalender yang berlaku universal bagi
umat Islam di seluruh dunia. Sebuah upaya yang sangat menggembirakan dan perlu
dukungan kita semua. Karena, sungguh kita prihatin dengan perpecahan di segala
bidang yang terjadi selama ini – bahkan hanya untuk mempersepsi sebuah kalender
yang berlaku global pun kita nggak bisa akur selama ratusan tahun.
Beberapa nama terkenal hadir
di acara tersebut, diantaranya adalah Yusuf al Qaradlawi selaku ketua persatuan
ulama dunia, Muhammad Syaukat Audah pendiri dan ketua ICOP, Nidhal Guessoum
pakar Astrofisika Aljazair yang kini menjadi guru besar di American
University of Sharjah UEA, Jamaludin Abdurraziq ilmuwan Maroko pencetus
Kalender Unifikasi, dan Syaraf Al Qudah pakar Syariah Jordania. Sedangkan dari
Indonesia, hadir Prof. Dr. Syamsul Anwar Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah, dan Hendro Setyanto Msi sebagai anggota Lajnah Falakiyah PBNU.
Intinya, para ulama
Islam dunia kini semakin mengarah kepada penyatuan kalender yang berbasis pada
pengamatan astronomi modern. Dan lagi, mengarah kepada hari yang sama untuk
tanggal yang sama, ataupun tanggal yang sama untuk hari yang sama, di seluruh
muka bumi. Artinya, jika di suatu negeri tanggal 1 Ramadan jatuh hari Senin,
maka negeri-negeri di seluruh dunia harus berada pada hari dan tanggal yang sama.
Ini berbeda dengan
Kalender Bizonal, yang menentukan adanya dua tanggal dan dua hari yang berbeda
di permukaan bumi, seperti kalender Masehi. Misalnya, di Indonesia hari Senin,
di Amerika masih hari Minggu. Dalam kalender unifikasi, seluruh permukaan bumi
ditetapkan sebagai hari yang sama, seiring dengan tenggelamnya matahari.
Pedoman kalender
unifikasi adalah terjadinya konjungsi atau ijtimak di bagian yang paling barat
permukaan Bumi. Maka, seluruh permukaan bumi di sebelah timurnya memiliki hari
yang sama dalam jangkauan 24 jam. Artinya, patokan utamanya adalah posisi
terjadinya peristiwa konjungsi sebagai penanda habisnya bulan lama, dan
datangnya bulan baru.
Pedoman ini mirip dengan
apa yang saya utarakan dalam konsep Rukyat Qobla Ghurub (RQG). Bahwa penanda
datangnya bulan baru adalah peristiwa “konjungsi”. Sedangkan penanda datangnya
hari baru adalah waktu “maghrib” yang terjadi seiring dengan tenggelamnya
matahari di masing-masing negeri. Sangat sederhana.
Sebagai contoh, hari
Minggu, 5 Juni 2016, konjungsi bakal terjadi pukul 10.00 wib. Maka, bulan
Ramadan 1437 H sudah hadir di seluruh permukaan bumi. Namun, permulaan hari di
Indonesia adalah sekitar 7,5 jam kemudian saat maghrib menjelang. Sedangkan di
Arab Saudi, maghrib akan datang sekitar 4-5 jam berikutnya. Tetapi, seluruh
negeri di muka bumi memiliki hari dan tanggal yang sama.
Sebuah upaya yang
semakin maju untuk menyamakan persepsi umat Islam Global. Meskipun masih ada
beberapa kriteria yang harus dikaji lebih lanjut untuk menyempurnakannya.
Semoga ke masa depan, umat Islam bisa memperoleh jalan keluar terbaiknya.
Bagaimana menurut Anda?
Bagaimana menurut Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar