Senin, 31 Oktober 2011

MENELADANI SOSOK IBRAHIM


QS. Al An’am [6] : 161
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; AGAMA IBRAHIM YANG LURUS; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik".

Abraham atau Ibrahim. Siapakah dia? Tentu saja setiap umat Yahudi, Nasrani, dan Mukmin sudah tidak asing lagi dengan sosok yang satu ini, yang sering disebut-sebut sebagai "Bapak Agama Samawi", sehingga agama-agama itu disebut sebagai “Agama Ibrahimi (Abrahamic Faith)”, dikarenakan Allah telah meletakkan fondasi-fondasi agama seperti halnya: shalat, zakat, puasa, dan haji di tangan Ibrahim.

Mari kita mencoba untuk mengenal lebih jauh dan mengambil pelajaran berharga dari sosok Ibrahim yang kita cintai dan kita kagumi ini.

Jika kita mempelajari lebih dalam kisah tentang Ibrahim dalam Al Qur’an, maka ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari kehidupan Ibrahim, yang insya Allah jika kita lakukan akan sangat bermanfaat dalam hidup ini.

Menurut beberapa sumber sejarah dan kitab suci, Ibrahim dilahirkan di sekitar kawasan Irak (sumber lain menyebutkan Ibrahim berasal dari sekitar Turki). Ibrahim dilahirkan di tengah-tengah masyarakat dan keluarga penyembah berhala. Ibrahim muda adalah seorang yang cerdas dan kritis. Maka dari itu ia tidak segan-segan mempertanyakan kebiasaan aneh yang dilakukan masyarakat dan keluarganya yang selalu melakukan penyembahan terhadap patung-patung berhala. Bagi Ibrahim, hal ini tidak masuk akal, bahwa patung-patung yang merupakan benda mati harus diperlakukan sebagai “Tuhan-Tuhan” yang harus disembah dan dimintai pertolongan dan berkah.

Maka Ibrahim muda memutuskan untuk melakukan pencarian terhadap Tuhan yang sejati. Ibrahim mengarahkan perhatiannya kepada benda-benda langit yang besar, yang mungkin merupakan jawaban atas pencariannya. Dimulai dari kemunculan bintang, yang dianggap Ibrahim sebagai “Tuhan”. Namun setelah bintang tenggelam dan digantikan bulan, maka Ibrahim menunjuk bulan itu sebagai “Tuhannya”. Namun bulan itu pun tenggelam dan digantikan matahari yang jauh lebih besar, dan segera Ibrahim berkata, “Benda terbesar inilah Tuhanku yang sebenarnya.” Namun sekali lagi, matahari itu pun tenggelam, dan digantikan lagi oleh bintang dan bulan.
Maka akal kecerdasan Ibrahim pun membuat kesimpulan bahwa Tuhan sebenarnya adalah Sang Pencipta bumi dan langit beserta isinya. Kisah ini bisa anda baca pada Surat Al-An’am [6] : 74-79.

Ibrahim segera memulai syi’ar agama, dan dimulai dari masyarakatnya yang menyembah berhala. Pada suatu malam, Ibrahim melakukan penghancuran besar-besaran terhadap berhala-berhala tersebut, dan menyisakan satu patung besar saja dengan mengalungkan kapak yang telah digunakannya untuk menghancurkan patung-patung lainnya.

Maka keesokan harinya, hebohlah masyarakat penyembah berhala tersebut. Dengan marah mereka menuduh Ibrahim, karena mereka tahu bahwa Ibrahim selama ini selalu kritis terhadap kebiasaan penyembahan berhala tersebut. Ibrahim dengan enteng mengatakan, “Patung besar itulah yang telah melakukannya!” Semakin marahlah masyarakat penyembah berhala tersebut. Mereka mengatakan bahwa tidak mungkin patung besar yang merupakan benda mati itu bisa melakukan pengrusakan terhadap patung-patung lainnya. Maka sekali lagi Ibrahim menjawab dengan cerdas, “Jika demikian, kenapa kalian tetap saja menyembah benda-benda mati tersebut yang tidak memiliki daya untuk melakukan apa pun?”. Kisah ini bisa anda baca pada Surat Al-Anbiyaa’ [21] : 51-67, dan Surat Maryam [19] : 42-46.
Ibrahim telah memberikan argumen-argumen cerdas dan kritis, namun tetap disampaikannya dengan cara lemah lembut, terutama kepada ayahnya yang juga merupakan seorang penyembah berhala. Namun, masyarakat sudah terlanjur marah, dan memutuskan untuk membakar Ibrahim hidup-hidup. Ibrahim tidak mundur sedikit pun, dan penuh keyakinan bahwa Allah Yang Maha Kuasa akan melindunginya. Benar saja, bahwa api itu tidak dapat membakar tubuh Ibrahim. Kisah ini bisa anda baca pada Surat Al-Anbiyaa’ [21] : 68-69.

Setelah Ibrahim diselamatkan oleh Allah, maka ia memutuskan untuk meninggalkan kaum dan keluarganya, untuk berdakwah kepada umat manusia. Dalam perjalanannya Ibrahim berkenalan dengan Sarah dan menikahinya. Namun hingga keduanya berusia lanjut, Allah belum mengaruniakan anak. Maka Sarah mengizinkan Ibrahim untuk menikahi seorang budak dari Mesir yang bernama Hajar. Dari Hajar inilah Ibrahim mendapatkan seorang putra yang bernama Ismail. Tidak lama kemudian Allah mengaruniakan seorang putra lagi, kali ini dari rahim Sarah, dan dinamai Ishak. Kelak Ismail menurunkan garis keturunan bangsa Arab, sedangkan Ishak menurunkan garis keturunan bangsa Israel. Al Qur’an tidak secara spesifik menjelaskan tentang kehidupan keluarga Ibrahim ini, namun anda bisa melihat rujukannya pada Kitab Kejadian di Perjanjian Lama.

Di hari tuanya, sekali lagi Ibrahim mendapatkan ujian dari Allah. Sudah sekian lama Ibrahim mendambakan seorang putra. Maka ketika lahir seorang Ismail dari rahim Hajar, sudah tentu Ibrahim sangat menyayangi putra sulungnya itu. Namun tiba-tiba Allah memerintahkan kepada Ibrahim, melalui mimpinya, untuk mengorbankan putra semata wayangnya itu. Ibrahim tentu saja sangat bersedih. Akan tetapi Ibrahim tidak berani untuk menolak perintah Allah itu, karena Ibrahim benar-benar seorang yang penyabar dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Maka Ibrahim dengan penuh keyakinan, memenuhi perintah Allah untuk mengorbankan putranya. Ismail sendiri adalah seorang yang berbakti, dan menguatkan keyakinan ayahnya untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah.

Ketika pisau telah diletakkan di leher Ismail, maka turunlah firman Allah yang memerintahkan Ibrahim untuk menggantikan putranya tersebut dengan seekor domba. Yang nantinya daging hewan tersebut harus dibagikan kepada kaum fakir miskin. Allah melihat ketulusan, kesabaran, dan keikhlasan tiada tara pada seorang Ibrahim untuk mengabdi kepada-Nya, maka Ibrahim lulus dari ujian Allah tersebut. Peristiwa ini setiap tahun diperingati dalam Hari Raya Kurban atau Idul Adha.

Ibrahim juga diberi gelar sebagai orang pertama yang disebut sebagai “muslim” yang artinya : Orang yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Dari garis keturunannya pula lahir nabi-nabi besar yang pernah ada di Bumi ini. Anda bisa baca kisah pengorbanan Ismail ini pada Surat Ash-Shaaffaat [37] : 101-110.

Dari kisah teladan Ibrahim ini, ada beberapa hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik oleh kita:

1). Ibrahim berpendapat bahwa perilaku keluarga dan masyarakat penyembah berhala itu sebagai kebiasaan yang tidak masuk akal. Maka di sini Ibrahim telah menggunakan potensi akal kecerdasannya untuk mencari kebenaran sejati.

2). Meskipun Ibrahim dibesarkan di tengah-tengah keluarga dan masyarakat penyembah berhala, namun Ibrahim berani menentang kebiasaan tersebut dan memilih untuk berpegang kepada agama Allah. Ini adalah sebuah teladan, bahwa dalam beragama tidak boleh sekedar ikut-ikutan. Jadi anda tidak usah khawatir ketika akal dan hati nurani anda sedang “bertabrakan” dengan tradisi masyarakat dan pendapat kebanyakan orang. Ikuti saja apa yang menurut anda paling baik.

3). Ibrahim tidak pernah lelah mencari Tuhan yang sejati, sehingga Allah memberikan jawaban atas pencariannya itu. Sebuah pembelajaran penting, bahwa kebenaran adalah sebuah usaha pencarian tanpa henti. Jangan sampai anda merasa sudah cukup dalam mencari kebenaran, hanya karena anda lahir sebagai seorang “Muslim” dan ber-KTP “Islam”.

4). Ibrahim melakukan syi’ar agama dengan argumen-argumen yang cerdas dan tajam, namun dikemas dalam perkataan yang santun dan penuh kelembutan. Ini adalah pelajaran penting, bahwa dalam berdiskusi kita harus senantiasa menunjukkan bukti-bukti rasional, dengan sopan santun dan penuh kelembutan. Agama bukanlah hal yang bisa dipaksakan dengan doktrin-doktrin, apalagi dengan penyajian yang kasar dan emosional.

5). Ibrahim diselamatkan oleh Allah dari kobaran api. Maka ini adalah sebuah pembelajaran bagi kita, bahwa keyakinan yang tinggi bisa menghasilkan kekuatan dashyat.

6). Ketika bukti-bukti keberadaan Allah telah sedemikian nyata bagi Ibrahim, maka Ibrahim berkomitmen untuk melakukan pengabdian dengan tulus dan ikhlas hanya kepada Allah bukan yang lain.

7). Meskipun Ibrahim telah diangkat menjadi Nabi, namun bukan berarti Allah tidak lagi mengujinya. Justru Allah memberikan ujian terberat yaitu perintah untuk mengorbankan anak satu-satunya, Ismail. Ibrahim terbukti, dengan ketaatan dan keikhlasan luar biasa, lulus dari ujian ini. Maka orang semacam Ibrahim inilah yang layak mendapatkan predikat seorang “Muslim” alias orang yang benar-benar berserah diri kepada Allah, bukan sekedar 'Muslim label'.

Pelajaran yang bisa kita dapatkan adalah belum layak seorang disebut muslim selama ia belum bisa berkorban demi kemaslahatan umat manusia, atas nama Allah.

Secara garis besar, bisa kita simpulkan bahwa ada keterkaitan yang erat antara akal, keyakinan, ketaatan, dan keikhlasan. Gunakan akal kecerdasan kita untuk mencapai keyakinan. Akal itu akan mengantarkan kita kepada bukti-bukti nyata keberadaan Allah sehingga kita yakin. Kalau kita sudah yakin, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak taat dan ikhlas hanya kepada Allah semata.

Mudah-mudahan kita bisa meneladani seorang Ibrahim, Bapak Agama Samawi, sehingga kita benar-benar akan menjadi seorang Muslim Sejati!

Allahu'alam ..

Semoga bermanfaat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar