oleh Agus Mustofa pada 14 Februari 2011 pukul 8:38
Rupanya
hidup bahagia semakin langka. Sehingga tidak sedikit yang bertanya: bisakah
kita mencapai hidup bahagia? Sebuah pertanyaan yang mencerminkan sikap
pesimistik dalam mencapai kebahagiaan hidup. Atau jangan-jangan malah
menggambarkan sikap apatis alias keputusasaan.
Sebagian orang lagi menaruh harapan dengan mengatakan,
meskipun tidak bisa memperoleh kebahagiaan di dunia mereka bakal memeroleh
kebahagiaan di akhirat. Yang ini, menggambarkan sikap orang yang terlalu PeDe,
seakan-akan dia sudah pasti akan menjadi penghuni surga. Jangan-jangan yang
terjadi adalah tidak kedua-duanya. Di dunia tidak bahagia, di akhirat pun tidak
masuk surga... :(
Disinilah pentingnya kita memahami ajaran Islam secara
utuh, substansial dan praktis. Bukan hanya teoritis. Karena sesungguhnyalah
kebahagiaan itu bisa diperoleh di dunia dan di akhirat secara simultan. Tentu
saja, kita harus membenahi dulu pemahaman kita tentang makna bahagia. Bahwa
bahagia bukanlah terpenuhinya segala keinginan, karena sudah pasti keinginan
kita tidak akan pernah terpenuhi semuanya.
Kebahagiaan juga bukan hidup ’tenang-tentram’ tanpa
masalah, karena sesungguhnya hidup ini adalah aliran masalah setiap hari. Dan,
bahagia pun bukanlah datangnya cinta dari semua orang, sebab hal itu adalah
sesuatu yang tidak mungkin disebabkan adanya perbedaan kepentingan. Kebahagiaan
adalah akumulasi kenikmatan dari sejak bangun tidur sampai tidur kembali. Juga
sejak lahir sampai mati. Bahkan sejak di dunia sampai di akhirat kelak.
Kebahagiaan ’tidak perlu’ dan ’tidak bisa’ dikejar.
Apalagi dengan materi. Semakin dikejar, dia akan semakin menjauh. Kebahagiaan
muncul sebagai anugerah bagi orang-orang yang bersikap baik terhadap
kehidupan. Yang bersikap jahat kepada kehidupan, meskipun serba berkecukupan
secara materi, tidak akan pernah menemukan kebahagiaan. Justru penderitaan.
Adalah salah besar orang-orang yang berpendapat
kebahagiaan adalah identik dengan uang, misalnya. Dia pasti orang yang belum
punya uang. Atau setidak-tidaknya, belum lama punya uang. Atau, terjebak kepada
’kesenangan’ terhadap uang. Dan mengira dengan uang itu ia bisa membeli
segala-galanya.
Seperti telah saya sampaikan, kawan saya yang sudah
memiliki ’segala-galanya’ pun ternyata hanya menemukan ’kekosongan hidupnya’
justru setelah sampai di puncak 'kesuksesannya'. Ternyata kebahagiaan bukan
terkait secara langsung dengan kesuksesan meraih hal-hal yang bersifat
material.
Sebanyak apa pun uang yang dimiliki seseorang tidak akan
bisa ’membeli’ nikmatnya makan, ketika sikap hatinya salah. Juga tidak bisa
'membeli' nikmatnya minum. Atau pulasnya tidur. Atau, teduhnya kasih sayang.
Atau, damainya persahabatan. Atau, harmonisnya rumah tangga. Dan berbagai
sumber-sumber kenikmatan lainnya. Banyak sekali orang yang tidak merasakan
kebahagiaan dalam hidupnya, ketika punya banyak uang. Sebaliknya, tidak sedikit
orang yang bahagia justru ketika dia tidak punya uang, tetapi bisa ’berdamai’
dengan masalahnya.
Ini menjadi bukti keadilan Allah dan ajaran Islam. Bahwa
kebahagiaan ternyata bukan hanya milik orang-orang kaya, para penguasa,
tokoh-tokoh terkemuka, dan sejumlah elit tertentu saja. Banyak orang kaya raya
dan 'mapan' hidupnya, setiap hari pekerjaannya ’memegangi kepala’ karena
dipusingkan oleh berbagai masalah. Sebaliknya, banyak rakyat jelata yang seperti
’tidak punya’ apa-apa setiap hari tergelak dalam tawa bahagia.
Cobalah tengok sejarah, kapankah Rasulullah mengatakan: baiti
jannati ~ rumahku adalah surgaku? Apakah saat beliau kaya raya
sebagai bangsawan dan hartawan di Mekah, atau saat beliau menjadi Rasul di
Madinah yang rumahnya sangat sederhana? Ternyata, justru ketika beliau sudah
hidup apa adanya secara sederhana. Itu menunjukkan bahwa surga dunia bukan
terletak di harta benda, melainkan di sikap hati yang berdamai dengan setiap
masalah.
Dan, itu sekaligus, membuktikan bahwa ’surga’ kebahagiaan
bisa diraih sejak masih di dunia. Tidak perlu biaya. Hanya dengan mengubah mindset
beserta akhlak mulia yang diterapkan dalam kehidupan nyata.
Bukan hanya yang bersifat teoritis, misalnya dengan mengatakan: ’jika Anda
dekat dengan Allah maka segalanya akan beres’. Memang, tetapi harus ada
penjabaran praktis, bagaimanakah yang dimaksud dekat dengan Allah itu. Kita sih
sudah yakin seyakin-yakinnya, jika seseorang telah dekat dengan-Nya, segala
persoalan bakal beres semua. Tetapi, bagaimana caranya? Karena beragama tidak
terletak di tataran teori melainkan pada tataran praktek.
Akhlak Rasulullah dipuji-puji Allah di dalam al Qur’an.
Dan akhlak itu pula yang mengantarkan Rasulullah memperoleh surga: dunia maupun
akhirat. Ada beberapa akhlak mulia yang jika diterapkan bakal mengantarkan
setiap manusia kepada surganya. Dan ini menjadi landasan utama setiap pribadi
yang mengaku dirinya Islam.
Yang pertama adalah sikap sabar. Orang
sabar adalah kandidat penerima kebahagiaan. Menurut al Qur’an, ’sabar’ itu
bermakna dua. Yakni: tidak tergesa-gesa dalam melakukan
segala hal dan tahan uji ketika menghadapi
masalah. Orang yang seperti ini akan memeroleh nikmat yang luar biasa, baik
dalam prosesnya maupun hasil akhirnya.
Orang yang sabar selalu bersikap tenang dalam menyikapi
segala masalah. Bukan ditenang-tenangkan. Bukan pula disabar-sabarkan.
Melainkan paham betul, bahwa orang sabar memang selalu ’didampingi’ Allah dalam
mencari solusi. Ia pun telah melihat bukti, bahwa kesabaran selalu membuat dia
bisa mengontrol diri untuk tidak tergesa-gesa dalam membuat keputusan, dan
jernih dalam memandang persoalan. Orang yang demikian menjadi sangat kuat
jiwanya, dan nikmat hidupnya. Tidak ada gelombang sebesar apa pun yang bisa
menggoyahkannya.
QS. Al Baqarah [2]: 155
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar,
QS. Al Baqarah [2]: 153
Hai orang-orang yang beriman,
mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
Yang kedua adalah orang yang ikhlas.
Semakin ikhlas seseorang dalam menjalani kehidupan, semakin nikmatlah hidupnya.
Sayang, keikhlasan juga tidak bisa dipaksakan. Keikhlasan hanya bisa diperoleh
dengan kepahaman dan latihan. Hanya orang-orang yang sudah makan asam garam
kehidupan saja yang bisa menjalani hidupnya dengan penuh keikhlasan.
Selebihnya, hanyalah teori keikhlasan. Atau, kadang-kadang diikhlas-ikhlaskan
alias terpaksa ikhlas.
Tapi, keikhlasan itu sebenarnya seperti apa? Seringkali
kita tahu jawabnya, tetapi tidak tahu prakteknya. Secara teoritis kita akan
menjawab begini: ikhlas itu adalah berbuat tanpa pamrih, karena Allah semata. Lillahi
taala. Tetapi, sebenarnya kita juga 'tidak tahu' bagaimana
penerapan dari kalimatlillahi taala itu. Apa cukup dengan
mengatakan: ’’semua ini saya lakukan karena Allah’’...?
Al Qur’an dengan sangat indah menceritakan secara
sederhana, bahwa Ikhlas yang benar-benar lillahi taala itu adalah ketika kita
bisa meniru perbuatan Allah. Berbuat kebajikan kepada orang
lain sebagaimana Allah telah berbuat kebajikan kepada kita. Menolong orang lain
sebagaimana Allah menolong kita. Mencukupi orang lain sebagaimana Allah
mencukupi kita. Membahagiakan orang lain sebagaimana Allah telah membahagiakan
kita.
QS. Al Qashash [28]: 77
’’...berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu...’’
Konkretnya, ketika seseorang merasa telah diberi rezeki
oleh Allah, maka ia lantas menjadi ingin menolong orang lain dengan rezeki itu.
Saat dia merasa telah diberi kekuasaan oleh Allah maka dia bakal memanfaatkan
kekuasaannya untuk kemaslahatan orang lain. Pada waktu ia merasa telah banyak
diberi ilmu oleh Allah, maka ia memberikan ilmu yang bermanfaat untuk orang
lain. Dan seterusnya.
Setiap saat, yang ada di hatinya adalah rasa
’berkelimpahan’ karena telah menerima demikian banyak karunia Allah dalam
hidupnya. Dan lantas, ia menularkan perasaan itu kepada orang lain sebagai
bentuk rasa syukur, dengan memberikan apa saja yang telah ia miliki untuk orang
yang membutuhkan.
Hidup orang ini sungguh bahagia, karena dia menerima dua
sumber kebahagiaan sekaligus. Yang pertama, ia menerima kebahagiaan dari
perasaan syukurnya. Rasa keberlimpahannya. Persis seperti firman Allah dalam
QS. ‘Ibrahim [14]: 7
Dan (ingatlah
juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti
Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku),
maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.
bahwa barangsiapa bersyukur maka Allah akan menambahkan
nikmat kepadanya. Dan, yang kedua, dia akan memperoleh kebahagiaan karena bisa
menolong orang lain yang sedang membutuhkan. Praktek akhlak semacam ini akan
memberikan efek yang sangat sangat riil, dan membuat jiwa seseorang menjadi
berbunga-bunga.
Keikhlasan yang seperti ini pula yang bakal
melipatgandakan efek kesabaran. Orang-orang yang bisa menjalankan kesabaran
sekaligus ikhlas, nikmatnya luar biasa. Kesabaran memberikan kekuatan dan
kejernihan. Sedangkan keikhlasan menghasilkan rasa lapang dalam kehidupan. Dua
sifat itu adalah sebagian dari akhlak mulia yang bakal mengantarkan seorang
muslim memeroleh kebahagiaannya..!
Selanjutnya, bagaimanakah langkah-langkah operasionalnya.
Bagaimana pula peran ikhtiar dan takdir dalam meraih kebahagiaan? Mmm..,
kayaknya kita bahas di note berikutnya aja ya...?!
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar