oleh Agus Mustofa pada 23 Juli 2012 pukul 5:14
Tentang
perbedaan awal Ramadan kali ini, saya ingin mengemukakan pendapat salah seorang
kawan. Ia mengatakan, bahwa perbedaan itu sebenarnya berujung pangkal dari
definisi hilal,
yang memang berbeda. Ada yang mendefinisikan hilal
secara tradisi, dan ada yang mendefenisikannya secara substansi. Jika
didefinisikan secara tradisi, maka hilal
adalah bulan sabit yang tampak oleh mata telanjang, seperti zaman Nabi SAW.
Tetapi, jika hilal
didefinisikan sebagai substansi, hilal
adalah penanda datangnya ‘bulan baru’. Sehingga kemunculannya bisa dihitung
dengan metode sains modern, tanpa harus mensyaratkan terlihat secara kasat
mata.
Maka,
sebagaimana penetapan waktu shalat, kita bisa memilih definisi tentang hilal. Jika waktu shalat
dipahami secara tradisi, maka tidak bisa tidak, kita harus selalu melihat
matahari setiap mau menjalankan shalat, sebagaimana Rasulullah melakukannya
saat itu. Dalam hal puasa Ramadan, hilal
harus terlihat kasat mata, tanpa ada kompromi apa pun. Termasuk
jika awan tebal menutupi ufuk barat selama berhari-hari, sehingga hilal tidak
kelihatan. Tetapi, jika kita memilih substansi bahwa hilal adalah penanda
datangnya bulan Ramadan, maka kita sudah bisa memulai puasa Ramadan sesuai
hasil perhitungan waktu secara saintifik, tanpa terikat penampakan hilal. Persis seperti
penentuan waktu shalat yang cukup melihat jam sebagai hasil hisab ilmiah, tanpa
harus melihat matahari.
Dalam
konteks umat Islam di Indonesia, masalahnya memang bukan soal bisa melakukan
perhitungan secara saintifik atau tidak. Karena semua pihak sudah sama-sama
pintar menghitung posisi Bulan. Melainkan, pada ketidak-kesepakatan penentuan
definisi hilal
tersebut. Satu pihak mendefinisikan hilal
secara tradisi, dan lain pihak mendefinisikan hilal sebagai
substansi. Runyamnya, perbedaan yang mestinya sederhana dan bisa diselesaikan
secara teknis ini, lantas merambah ke wilayah yang lebih politis dengan
bumbu-bumbu ego pribadi atau ego kelompok, yang semakin ‘kusut’.
Maka,
ketika hal ini masih belum bisa diselesaikan secara keumatan, saya mengusulkan
agar umat Islam menjadi tahu duduk persoalannya secara pribadi terlebih dahulu.
Agar sebagai individu, kita bisa mempertanggungjawabkan keputusan kita di
hadapan Allah. Dan biarlah mereka yang punya kewenangan untuk memutuskan secara
keumatan itu juga mempertanggung-jawabkan keputusannya kepada Allah, pada
waktunya.
Umat
Islam harus dipahamkan agar menjadi tahu duduk persoalannya. Dan tidak beragama
secara ikut-ikutan belaka. Karena, pertanggungjawaban kita kepada Allah memang
tidak berlaku rombongan. Melainkan sendiri-sendiri. Pemimpin
mempertanggungjawabkan kepemimpinannya, pengikut juga mempertanggungjawabkan
keikutsertaannya secara personal. Bahkan, antara orang tua, anak, dan guru pun
tidak menghadap Allah secara bersama-sama. Melainkan nafsi-nafsi.
QS. Ibrahim [14]: 21
Dan mereka semua akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah. Lalu
berkata para pengikut kepada pemimpinnya: "Sesungguhnya kami dahulu adalah
pengikut-pengikutmu. Maka dapatkah kamu menghindarkan kami dari azab Allah
barang sedikit? Para pemimpin itu menjawab: "Seandainya Allah memberi
petunjuk kepada kami, niscaya kami akan memberitahukan caranya kepadamu. Kita
ini sama saja, mau mengeluh atau bersabar. Sedikitpun, kita tidak mempunyai
tempat untuk melarikan diri."
Nah,
dalam berbagai perhitungan yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang berkompeten
kita tahu bahwa akhir bulan Sya’ban adalah sekitar 11.25 WIB. Di seluruh
Indonesia, hilal
muncul pada ketinggian yang sangat tipis, tidak sampai 2 derajat. Dengan
tingkat kecemerlangan di bawah satu persen. Dengan kata lain, hampir bisa
dipastikan tidak tampak oleh mata telanjang. Semua pihak tidak ada yang berbeda
pendapat tentang hasil perhitungan ini.
Tetapi,
ternyata dari data yang sama ini bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda.
Yakni, ketika digunakan untuk memutuskan awal berpuasa. Bukan awal Ramadan.
Kalau, soal awal Ramadan semua berpendapat sama, bahwa bulan Sya’ban sudah
habis pada Kamis, 19 Juli 2012. Dan 1 Ramadan jatuh pada Jum’at, 20 Juli 2012.
Yang berbeda itu, sekali lagi, adalah ‘awal berpuasa’.
Ada
yang berpuasa di tanggal 1 Ramadan (20/7), dan ada yang memulainya di tanggal 2
Ramadan (21/7). Dengan alasan masing-masing. Satu pihak mengikuti tradisi, di
lain pihak berdasar pada substansi. Tentu saja, kita sebagai ‘pengikut’ harus
pintar dan hati-hati mengikutinya, karena pertanggungjawaban kita kepada Allah
itu ternyata bersifat sendiri-sendiri..! Semoga Allah membimbing kita semua di
dalam ilmu dan Ridha-Nya.
*
NOTES ini juga diterbitkan di Jawa Pos dan Kaltim Post di kolom TAFAKUR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar