oleh Agus Mustofa pada
26 Juli 2012 pukul 7:44
Tiga
hari menjelang bulan Ramadan, seorang kawan saya mengirimi SMS dari Amerika
Serikat.
SMS
berbahasa Inggris itu kurang lebih berisi begini: mas Agus, saya dan anak saya
sedang berada di kota Seattle. Kami berencana melakukan perjalanan ke Oklahoma
naik mobil pada saat bulan puasa. Anak saya memutuskan berpuasa 13 jam saja,
sesuai dengan paparan buku Anda: ‘Tahajud Siang Hari, Dhuhur Malam Hari’. Tapi
saya berencana berpatokan pada gerakan matahari, yang durasinya lebih panjang.
Bagaimana pendapat Anda?
Saya
katakan kepadanya, tidak ada masalah dengan keduanya. Baik berbuka mengikuti
tenggelamnya matahari, maupun berbuka lebih awal. Karena keduanya memiliki
pijakan yang jelas. Yang berbuka mengikuti matahari berdasar pada tradisi yang
sahih, sedangkan yang berbuka sesuai perhitungan jam mengikuti substansi
ibadah; yang akan saya jelaskan berikut ini.
Suatu
ketika saya membawa jamaah umroh di bulan puasa. Berangkat dari Jakarta sekitar
jam 1 siang, pesawat bergerak ke arah barat menuju Jeddah. Kecepatan pesawat
itu rata-rata 1000 km/ jam. Karena bergerak ke arah barat, maka pesawat itu
seperti sedang mengejar matahari. Kecepatan rata-rata matahari 1.600 km/ jam,
sehingga pesawat itu pun tertinggal 600 km/ jam. Dampaknya, durasi siang
menjadi lebih panjang 4-5 jam, karena mataharinya lebih lama terlihat.
Kejadian
menariknya adalah saat perjalanan itu sudah menempuh waktu lima jam. Seorang
jamaah umroh bertanya kepada saya: “pak
Agus, menurut jam tangan saya yang masih mengikuti waktu Jakarta, sekarang ini
sudah jam 6 sore. Tetapi, saya melihat keluar jendela matahari masih terang.
Bagaimana dengan puasa kita, apakah kami boleh berbuka ataukah harus menunggu
matahari tenggelam?’’
Saya
katakan kepadanya, “Anda
boleh berbuka sekarang mengikuti jam Jakarta.’’ Saya lihat matanya
bersinar penuh tanda tanya. Dan, ia memang bertanya lebih lanjut: kenapa kok boleh berbuka sekarang?
Bukankah berbuka harus ditandai
dengan tenggelamnya matahari?, tegasnya. Saya menjawabnya demikian,
karena ia memulai puasanya sahur di
Jakarta, maka ia pun boleh mengakhirinya dengan berpedoman pada jam Jakarta
juga. Lha wong
tidak berpuasa saja boleh koak.
Karena, ia sedang dalam perjalanan: sebagai musafir.
Jamaah
umroh yang mendengar argumentasi saya ada yang bisa menerima, dan lantas
berbuka. Tetapi, sebagiannya tidak mantap dengan penjelasan saya itu. Dan
kemudian memutuskan untuk mengikuti matahari tenggelam saja. Sambil tersenyum
saya katakan kepada mereka: “Silakan bagi yang mau mengikuti matahari
tenggelam’’. Jadilah sebagian jamaah itu berbuka, dan sebagiannya menahan diri
menunggu tenggelamnya matahari.
Satu
jam kemudian, jamaah yang menunggu tenggelamnya matahari itu melihat jam
tangannya. Masih jam 19.00 wib. Dia melihat keluar jendela: sinar matahari
terang menyinari langit. Dua jam kemudian, dia melihat jam tangannya lagi,
sudah menunjukkan jam 20.00. Di luar jendela ternyata masih terang. Tiga jam
kemudian, pukul 21.00, ia melihat keluar jendela lagi, juga tetap masih terang.
Ia mulai gelisah. Dan empat jam kemudian, pukul 22.00 wib, ternyata langit
masih terang. Saya lihat, ia sudah hampir tidak mampu menahan kegelisahan...
Untunglah,
tak lama kemudian pramugari mengumumkan bahwa kota nun jauh di bawah pesawat
sudah memasuki waktu maghrib. Beberapa jamaah itu hampir bersamaan berucap Alhamdulillah, tak mampu
menyembunyikan kegembiraannya. Dibukanya jendela, tapi mereka terkejut, karena
ternyata langit tetap masih terang..! Dengan wajah bingung, ia bertanya kepada
saya, kenapa sampai waktu maghrib pun langit di luar jendela masih cukup
terang.
Sambil
tesenyum saya menjawab: “tentu
saja, karena kita sedang berada di ketinggian 40 ribu kaki alias 13 kilometer
dari daratan. Sehingga, matahari masih kelihatan cukup terang.’’
Saya lantas menggodanya, “apakah
Anda benar-benar ingin berbuka setelah matahari tenggelam?” Sambil
tersipu mereka pun memulai berbuka puasa.
Saya
katakan lebih lanjut kepadanya,
“untung kita naik pesawat dengan kecepatan 1000 km/ jam. Seandainya pesawat ini
bergerak dengan kecepatan 1.600 km/ jam, yakni sama dengan kecepatan matahari,
maka kita tidak akan pernah menyaksikan matahari tenggelam, meskipun
berhari-hari mengelilingi bumi.’’
Lebih
parah lagi, kalau kita naik pesawat Concorde yang sudah grounded itu.
Kecepatannya lebih dari 2000 km/ jam. Sehingga pesawat akan menyelip matahari
yang kecepatannya hanya 1.600 km/ jam. Dan ketika matahari sudah terselip,
berarti posisi matahari yang tadinya di barat pesawat, kini menjadi di
timurnya. Artinya, lebih pagi dari saat berangkat. Semakin lama bukan semakin
siang, melainkan semakin pagi. Kemudian ketemu waktu subuh, padahal, tentu
saja, kita sudah shalat subuh di tanah air. Selanjutnya, bertemulah kita dengan
waktu sahur. Semakin runyam, karena semakin jauh dari waktu berbuka..! Kok, jadi ‘kacau balau’
begini?
Yah,
begitulah keadaan peradaban modern ini. Pergerakan manusia yang semakin
mengglobal telah menembus batas-batas waktu konvensional yang selama ini kita
jadikan patokan ibadah. Jika kita tidak melakukan adaptasi sesuai kondisi yang
terus berkembang pesat ini, umat Islam benar-benar akan terjebak di masa lalu,
dan sibuk berkutat dengan hal-hal yang tidak perlu. Wallahu a'lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar