oleh Agus Mustofa pada 21 Juli 2012 pukul 12:45
Ramadan
benar-benar bulan penuh hikmah. Bulan pembelajaran untuk meningkatkan kualitas kedewasaan
kita dalam beragama. Coba saja lihat, baru berada di ’ambang pintunya’ kita sudah
disodori masalah sebagai studi kasus: ‘perbedaan awal Ramadan’. Rupanya, Allah sedang
mengajari umat Islam agar menjadi lebih pintar dan dewasa dalam menyikapi berbagai
peristiwa yang ada di sekitarnya. Dan, pembelajaran yang paling mengesankan, memang,
adalah dengan studi kasus seperti ini.
Bukan
hanya studi kasus, tetapi juga harus berulang-ulang! Yang kadang-kadang bisa sangat
membosankan bagi murid-murid yang pandai. Atau, setidak-tidaknya yang punya kecerdasan
di atas rata-rata. Masa iya sih, setiap tahun
harus belajar masalah yang sama: tidak lulus-lulus. Menentukan awal Ramadan, menetapkan
1 Syawal, bahkan menyepakati Hari Raya Haji pun kita hampir selalu berbeda. Padahal,
yang namanya Hari Raya Haji itu mestinya ‘tidak mungkin’ berbeda di seluruh dunia.
Kenapa?
Ya,
karena penetapannya harus merujuk ke ritual haji di tanah suci. Jika disana jamaah
haji sedang wuquf di Padang Arafah, maka umat Islam di seluruh dunia disunnahkan
melakukan puasa Arafah. Dan esok harinya, di seluruh penjuru planet ini digelar
shalat Idul Adha. Itu bertepatan dengan jamaah haji yang lempar jumrah dan bertawaf
di Baitullah. Tapi, ternyata banyak juga yang melakukan puasa Arafah, justru saat
jamaah haji sudah meninggalkan Arafah, berada di Mina. Sehingga selayaknya, puasa
kita itu tidak disebut sebagai puasa Arafah, melainkan puasa Mina.
Perbedaan
penetapan waktu ibadah semacam ini sebenarnya boleh saja dikatakan ‘lumrah’ jika
hanya terjadi satu-dua kali. Bahkan, disebut penuh hikmah jika arahnya menuju pada
perbaikan kualitas diri maupun keumatan. Tetapi, jika hal semacam itu terjadi berulang-ulang
tanpa solusi yang jelas, ditakutkan akan banyak ‘peserta didik’ yang bosan dengan
hal yang sama itu. Apalagi jika mulai muncul indikasi semakin memburuk. Misalnya,
mulai ada yang mempersepsi sidang itsbat tidak lagi berguna, dan tak mau menghadirinya.
Ini menjadi bumerang bagi kebersamaan umat. Dan bukan lagi memunculkan hikmah, tapi
mengarah kepada masalah yang semakin serius. Kita harus waspada..!
Masalahnya
bukan lagi berada pada tataran keilmuan dan kematangan spiritualitas, melainkan
mulai mendangkal ke arah ego pribadi, kelompok, atau bahkan kepentingan politis.
Jika ini yang terjadi, sungguh kita semakin jauh dari hikmah yang dijanjikan Allah
bertaburan di bulan Ramadan ini. Dan kita akan dimintai pertanggungjawaban atas
hal ini. Khususnya, bagi yang hanya ikut-ikutan.
QS. Al Israa’ [17]: 36
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggung-jawabannya (masing-masing).
Jika
secara keumatan tidak ada yang mampu menyelesaikan masalah ini, maka umat Islam
harus pandai-pandai mengambil hikmah secara pribadi, agar kita tidak menjadi korban
sia-sia. Dan, kita berharap, mudah-mudahan Allah segera mengirimkan pemimpin yang
memiliki kapabilitas dan integritas yang bisa menyatukan umat, demi kemaslahatan
bersama.
Bagaimanakah
caranya agar kita selamat secara pribadi dan tidak menjadi korban kesia-siaan dari
sebuah kelalaian ataupun ketidak-pedulian? Tentu saja, harus memiliki pengetahuan
tentang kasus ini, sebagaimana diajarkan dalam firman Allah di atas. Yang pertama,
pahamilah kapan bulan Sya’ban berakhir. Yang jika kita merujuk ke pendapat para
pakar Astronomi dari lembaga-lembaga berkompeten,
hasilnya adalah sebagai berikut.
Menurut
ahli Ilmu Falak PBNU KH Slamet Hambali, sebagaimana dikutip oleh website resmi PCNU
Pekalongan, akhir Sya'ban 1433 Hijriyah jatuh pada Kamis (19/7). Demikian pula Muhammadiyah
malah sudah mengumumkan bahwa akhir Sya’ban jatuh pada Kamis, 19 Juli 2012. Sedangkan,
menurut pakar Astronomi Boscha, Dr. Ir. Moedji Raharto, akhir bulan Sya’ban akan
terjadi pada Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25 WIB. Artinya, semua pihak sebenarnya
sepakat, bahwa hari Kamis, 19 Juli 2012 itu bulan Sya’ban sudah berakhir, pada siang
hari itu.
Masalahnya,
karena habisnya adalah siang hari, maka pada saat matahari terbenam ketinggian bulan
sabit sebagai penanda datangnya
Ramadan masih berusia sekitar 6 jam, alias di bawah 2 derajat. Sehingga sangat mungkin
tidak terlihat oleh mata telanjang. Tetapi, kalau kita sepakat bahwa puasa ini adalah
‘Puasa Ramadan’, tentu kita sudah harus berpuasa ketika bulan Ramadan itu datang,
bukan? Persis seperti dijelaskan dalam ayat berikut ini.
QS. Al-Baqarah [2]: 185
“Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia. Dan berisi penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk
itu serta pembeda (kebaikan dan keburukan). Karena itu, barangsiapa di antara kamu
hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa... []
Yang
perlu kita pahamkan lebih lanjut adalah, bahwa waktu sahur untuk berpuasa esok hari
itu masih sekitar 10 jam lagi. Kita mengamati datangnya bulan sabit sekitar jam
6 sore, tapi waktu untuk berpuasa dimulai sekitar jam 4 pagi. Jadi, kalau pun jam
6 sore itu bulan belum kelihatan, sepuluh jam lagi pasti dia sudah sangat tinggi
di atas horison, berusia sekitar 16 jam. Karena, sebenarnya malam itu Ramadan memang
sudah datang..!
Maka,
betapa sayangnya jika bulan penuh rahmat yang sangat mulia ini tidak kita sambut
kedatangannya. Dan kita baru berpuasa esoknya pada tanggal 2 Ramadan. Sementara,
Allah pun sudah memerintahkan agar kita segera berpuasa begitu bulan suci ini hadir.
Kenapa kita mesti dibingungkan oleh bulan sabit sore hari ya,
padahal puasanya kan baru esok pagi? Wallahu
a’lam bishshawab. (Bersambung).
*
Notes ini juga diterbitkan di koran Jawa Pos & Kaltim Post, dalam Kolom TAFAKUR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar